Thursday, October 24, 2024

Pancasila sebagai Fondasi Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat


 



ABSTRAK

Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, memegang peranan penting dalam membentuk kebijakan pemberdayaan masyarakat. Nilai-nilai Pancasila memberikan landasan moral dan filosofis dalam penyusunan kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat kesejahteraan sosial, kesetaraan, dan keadilan. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana nilai-nilai Pancasila menjadi fondasi kebijakan pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Melalui pendekatan teoritis dan kajian literatur, artikel ini membahas konsep pemberdayaan, permasalahan yang dihadapi, serta bagaimana nilai-nilai Pancasila diterapkan dalam berbagai kebijakan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.

Kata Kunci: Pancasila, kebijakan, pemberdayaan masyarakat, kesejahteraan, keadilan sosial.


PENDAHULUAN

Pancasila, yang menjadi dasar ideologi negara Indonesia, terdiri dari lima sila yang menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelima sila ini mengandung nilai-nilai luhur yang mencerminkan cita-cita bersama rakyat Indonesia, yaitu mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Kebijakan pemberdayaan masyarakat di Indonesia, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, harus berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila agar dapat berjalan secara efektif dan sesuai dengan karakter serta kebutuhan masyarakat Indonesia.

Pemberdayaan masyarakat merupakan proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan individu dan kelompok dalam mengambil keputusan dan mengelola kehidupan mereka sendiri. Proses ini melibatkan penguatan kapasitas sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konteks Indonesia, penerapan kebijakan pemberdayaan masyarakat harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang mengedepankan keadilan sosial, persatuan, dan kemanusiaan.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peran Pancasila sebagai fondasi kebijakan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, artikel ini juga akan menguraikan permasalahan yang sering muncul dalam proses pemberdayaan masyarakat, serta membahas beberapa contoh kebijakan yang telah diimplementasikan di Indonesia dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila.


PERMASALAHAN

Pemberdayaan masyarakat di Indonesia, meskipun telah menjadi agenda utama dalam pembangunan nasional, masih menghadapi berbagai tantangan. Beberapa permasalahan yang muncul disebabkan oleh faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi efektivitas kebijakan. Berikut adalah beberapa permasalahan utama yang dihadapi dalam proses pemberdayaan masyarakat:

  1. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi yang Tinggi
    Indonesia, sebagai negara yang memiliki wilayah geografis luas dan beragam etnis, budaya, serta potensi sumber daya alam, masih dihadapkan pada tantangan ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketimpangan ini terlihat jelas antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta antar provinsi yang lebih maju dengan daerah-daerah tertinggal. Ketimpangan ini dapat diukur melalui perbedaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan infrastruktur. Ketimpangan ini menjadi penghalang dalam proses pemberdayaan masyarakat karena tidak semua daerah memiliki akses yang sama terhadap program-program pemberdayaan.
    Misalnya, masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil sering kali tidak memiliki akses terhadap teknologi, pelatihan keterampilan, atau bahkan infrastruktur dasar seperti listrik dan air bersih. Kondisi ini membuat mereka sulit untuk meningkatkan taraf hidup dan mandiri secara ekonomi. Ketimpangan ini juga mencerminkan bahwa meskipun kebijakan pemberdayaan telah diterapkan, pelaksanaannya masih belum merata.

  2. Ketergantungan pada Bantuan Pemerintah
    Salah satu tantangan terbesar dalam program pemberdayaan masyarakat adalah terjadinya ketergantungan pada bantuan pemerintah. Beberapa program bantuan sosial yang seharusnya mendorong kemandirian sering kali justru membuat masyarakat bergantung pada bantuan tanpa ada upaya untuk meningkatkan kapasitas mereka sendiri. Hal ini terjadi ketika program-program tersebut tidak disertai dengan pelatihan yang tepat atau program pengembangan keterampilan yang mendorong masyarakat untuk mandiri.
    Sebagai contoh, Program Keluarga Harapan (PKH) memberikan bantuan langsung kepada keluarga miskin, namun jika tidak disertai dengan upaya yang berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan atau akses ke lapangan kerja, keluarga-keluarga tersebut bisa saja hanya mengandalkan bantuan dan tidak berkembang ke arah kemandirian ekonomi.

  3. Kurangnya Akses terhadap Pendidikan dan Kesehatan yang Layak
    Pendidikan dan kesehatan merupakan dua pilar utama dalam pemberdayaan masyarakat. Namun, akses terhadap kedua sektor ini masih menjadi tantangan besar, terutama di daerah-daerah terpencil dan terisolasi. Di beberapa wilayah, terutama di Indonesia bagian timur, fasilitas pendidikan yang memadai masih sulit dijangkau, baik karena masalah infrastruktur maupun kekurangan tenaga pengajar.
    Tanpa akses yang baik terhadap pendidikan, masyarakat tidak dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk mengembangkan diri dan berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi mereka. Di sektor kesehatan, banyak daerah terpencil yang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dasar, sehingga masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit yang seharusnya dapat dicegah. Kondisi kesehatan yang buruk juga berdampak pada produktivitas kerja, yang pada akhirnya menghambat proses pemberdayaan.

  4. Lemahnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan
    Pemberdayaan masyarakat seharusnya menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan, bukan objek. Namun, dalam banyak kasus, masyarakat sering kali hanya dijadikan sasaran kebijakan tanpa benar-benar dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Kurangnya partisipasi masyarakat ini dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti minimnya akses informasi, rendahnya tingkat pendidikan, serta terbatasnya kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif.
    Sebagai contoh, dalam beberapa kasus, kebijakan yang disusun oleh pemerintah pusat atau daerah sering kali tidak mempertimbangkan kebutuhan spesifik dari masyarakat setempat. Kebijakan yang top-down ini dapat menyebabkan program pemberdayaan tidak efektif karena tidak sesuai dengan konteks lokal. Selain itu, masyarakat sering kali merasa aspirasi mereka diabaikan, sehingga kurang termotivasi untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

  5. Birokrasi yang Kompleks dan Kurangnya Koordinasi Antar Lembaga
    Birokrasi yang rumit sering kali menjadi penghambat utama dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Proses administrasi yang panjang, regulasi yang tumpang tindih, serta kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah menjadi masalah yang memperlambat implementasi program-program pemberdayaan. Hal ini juga diperburuk oleh kurangnya kapasitas aparatur pemerintah di daerah-daerah, terutama dalam hal manajemen program dan pengelolaan anggaran.
    Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta antar lembaga terkait, sering kali menyebabkan program pemberdayaan masyarakat tidak terlaksana secara optimal. Misalnya, program pemberdayaan yang memerlukan keterlibatan dari berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, tidak jarang mengalami kesulitan karena minimnya koordinasi di antara instansi terkait. Akibatnya, program-program tersebut berjalan secara parsial dan tidak memberikan dampak yang signifikan.

  6. Budaya dan Nilai Sosial yang Menghambat Pemberdayaan
    Di beberapa daerah, budaya dan nilai-nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat dapat menjadi penghalang bagi proses pemberdayaan. Misalnya, dalam masyarakat yang masih sangat patriarkal, peran perempuan dalam kehidupan sosial dan ekonomi sering kali dibatasi, sehingga upaya untuk memberdayakan perempuan menjadi lebih sulit.
    Selain itu, ada juga nilai-nilai tradisional yang memengaruhi pola pikir masyarakat untuk lebih menerima kondisi yang ada tanpa berusaha untuk berubah. Hal ini dikenal sebagai mentalitas status quo, di mana masyarakat merasa bahwa kehidupan mereka sudah "cukup baik" meskipun sebenarnya berada dalam kondisi yang kurang sejahtera. Sikap ini dapat menjadi tantangan besar dalam mengimplementasikan kebijakan pemberdayaan yang bertujuan untuk memotivasi masyarakat agar aktif berpartisipasi dalam pembangunan.

Strategi Mengatasi Permasalahan

Untuk mengatasi permasalahan di atas, diperlukan strategi yang komprehensif dan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, serta sektor swasta. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah:

  1. Pemerataan Akses terhadap Sumber Daya
    Pemerintah perlu melakukan intervensi yang lebih kuat untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi melalui kebijakan redistribusi yang adil dan merata. Program-program pembangunan infrastruktur dasar, seperti jalan, listrik, dan air bersih, harus difokuskan pada daerah-daerah tertinggal untuk memastikan bahwa seluruh masyarakat memiliki akses yang sama terhadap sumber daya yang mendukung peningkatan kualitas hidup mereka.

  2. Pengembangan Kapasitas Masyarakat Melalui Pendidikan dan Pelatihan
    Program pemberdayaan masyarakat harus disertai dengan pendidikan dan pelatihan yang dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan masyarakat. Ini bisa dilakukan dengan menyediakan pelatihan vokasional, kursus-kursus keterampilan, dan peningkatan literasi digital untuk memperkuat daya saing masyarakat di pasar tenaga kerja. Dengan demikian, masyarakat dapat berkembang menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada bantuan pemerintah.

  3. Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pengambilan Keputusan
    Masyarakat harus diberikan ruang yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan kebijakan yang akan berdampak langsung pada mereka. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil didasarkan pada musyawarah yang melibatkan semua pihak terkait, serta memperhatikan aspirasi masyarakat. Pendekatan partisipatif ini akan membuat kebijakan pemberdayaan lebih relevan dan efektif.

  4. Reformasi Birokrasi dan Peningkatan Koordinasi Antar Lembaga
    Penyederhanaan birokrasi dan reformasi sistem administrasi publik perlu dilakukan untuk mempercepat implementasi kebijakan pemberdayaan. Selain itu, koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga pemerintah pusat dan daerah, serta antar instansi terkait, sangat penting untuk memastikan bahwa program-program pemberdayaan dapat berjalan secara terintegrasi dan efisien.

Dengan upaya yang berkesinambungan dan komitmen yang kuat, permasalahan dalam pemberdayaan masyarakat dapat diatasi, sehingga seluruh lapisan masyarakat Indonesia dapat merasakan manfaat dari kebijakan-kebijakan yang disusun berdasarkan nilai-nilai Pancasila.


PEMBAHASAN

Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia memiliki peran penting dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila memberikan kerangka etis, moral, dan filosofis yang berfungsi sebagai pedoman dalam mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan, dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebijakan pemberdayaan masyarakat yang berlandaskan Pancasila diharapkan tidak hanya memperhatikan kebutuhan material, tetapi juga aspek spiritual, sosial, dan kemanusiaan.

Dalam pembahasan ini, kita akan menelaah bagaimana masing-masing sila dalam Pancasila dapat diimplementasikan dalam kebijakan pemberdayaan masyarakat di berbagai sektor. Kajian ini juga akan menunjukkan bagaimana kebijakan tersebut mencerminkan nilai-nilai Pancasila secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan pentingnya nilai spiritual dan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ini berarti bahwa kebijakan pemberdayaan masyarakat harus memperhatikan aspek keagamaan dan kebebasan beragama, dengan tetap menghormati keragaman keyakinan yang ada di Indonesia. Dalam konteks pemberdayaan, kebijakan harus memastikan bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing serta memiliki akses terhadap pendidikan agama yang layak.

Pemberdayaan masyarakat melalui sila pertama ini dapat diterapkan, misalnya, dengan menyediakan program-program pembinaan spiritual di tingkat komunitas. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa pembangunan infrastruktur publik, seperti rumah ibadah dan fasilitas-fasilitas keagamaan, dapat diakses oleh seluruh masyarakat tanpa diskriminasi. Selain itu, integrasi nilai-nilai moral dan etika agama dalam program pemberdayaan, seperti program pelatihan keterampilan kerja yang mencakup pembelajaran etika kerja yang sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, akan membantu membentuk masyarakat yang tidak hanya terampil, tetapi juga memiliki moralitas yang tinggi.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia serta keadilan dalam perlakuan terhadap setiap individu tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau budaya. Pemberdayaan masyarakat yang didasarkan pada sila ini harus berfokus pada upaya pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan sosial, serta perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.

Dalam penerapan kebijakan pemberdayaan berbasis sila kedua, pemerintah dapat mendorong program-program yang bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Misalnya, kebijakan afirmatif yang memberi kesempatan khusus bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan tinggi, pelatihan keterampilan, serta modal usaha. Program pemberdayaan yang berorientasi pada kesetaraan gender, seperti Program Pemberdayaan Perempuan di berbagai daerah, merupakan contoh implementasi nyata dari sila ini.

Selain itu, kebijakan yang mendorong partisipasi masyarakat dalam menjaga hak-hak sipil dan politik, seperti partisipasi dalam musyawarah pembangunan desa atau akses terhadap keadilan melalui bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin, juga merupakan bentuk implementasi dari sila ini. Pemerintah juga dapat memperkuat program-program kemanusiaan yang memastikan bahwa setiap warga negara diperlakukan secara adil dan beradab.

3. Persatuan Indonesia

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat harus dilakukan dalam kerangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks ini, kebijakan pemberdayaan masyarakat harus dapat mendorong solidaritas sosial dan memupuk rasa kebersamaan di tengah keragaman suku, agama, budaya, dan bahasa di Indonesia.

Program pemberdayaan berbasis sila ketiga dapat diwujudkan dengan mempromosikan nilai-nilai kebhinekaan dalam setiap program sosial dan ekonomi. Misalnya, pemerintah dapat menyelenggarakan program Desa Sadar Kerukunan, yang mendorong masyarakat dari berbagai latar belakang untuk bekerja sama dalam pembangunan desa tanpa memandang perbedaan identitas. Selain itu, program yang mendorong kolaborasi antar daerah, seperti pengembangan ekonomi lintas wilayah atau program pertukaran budaya dan keterampilan, dapat menjadi cara untuk mempererat persatuan di antara masyarakat yang berbeda latar belakang.

Dalam skala yang lebih luas, pemerintah juga dapat mendukung program-program yang mempromosikan identitas kebangsaan dan nasionalisme, misalnya melalui pendidikan kebangsaan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam menjaga nilai-nilai persatuan. Hal ini penting, terutama dalam menghadapi ancaman disintegrasi sosial akibat perbedaan pandangan politik, ekonomi, maupun sosial.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Kebijakan pemberdayaan masyarakat harus menjamin keterlibatan aktif masyarakat dalam perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan.

Pendekatan demokratis dalam pemberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui program-program yang bersifat partisipatif, seperti Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes), di mana masyarakat dilibatkan secara langsung dalam menentukan prioritas pembangunan di wilayah mereka. Dalam proses ini, masyarakat dapat menyampaikan aspirasi dan kebutuhan mereka, sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kondisi lokal dan kebutuhan spesifik masyarakat.

Selain itu, program pemberdayaan yang mendorong pembentukan kelompok-kelompok masyarakat sipil, seperti kelompok tani, koperasi, atau organisasi perempuan, akan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam berorganisasi dan mengambil keputusan bersama. Dengan melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan kebijakan, pemerintah dapat memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar bermanfaat dan berkelanjutan.

Sila keempat juga relevan dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan program pemberdayaan. Dengan melibatkan perwakilan masyarakat dalam mekanisme pengawasan, seperti dalam alokasi dana desa, masyarakat dapat memastikan bahwa dana yang dialokasikan digunakan secara efektif dan tepat sasaran.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, merupakan landasan utama dalam kebijakan pemberdayaan masyarakat. Sila ini menuntut pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang berkeadilan, terutama dalam hal distribusi kekayaan, kesempatan, dan akses terhadap sumber daya.

Pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada keadilan sosial dapat diwujudkan melalui program-program redistribusi ekonomi yang memberikan akses kepada kelompok masyarakat miskin untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), serta program-program pemberdayaan ekonomi berbasis desa, seperti BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), adalah contoh nyata dari kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial.

Selain itu, kebijakan yang mendorong peningkatan akses terhadap pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat miskin juga merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan keadilan sosial. Misalnya, program beasiswa untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu dan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memberikan layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin adalah wujud nyata dari penerapan sila kelima.

Keadilan sosial juga dapat dicapai dengan mendorong kesetaraan dalam akses terhadap lapangan kerja. Program pemberdayaan berbasis keadilan sosial harus memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau sosial, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Misalnya, pelatihan kerja bagi masyarakat di pedesaan atau daerah tertinggal dapat memberikan keterampilan yang diperlukan untuk bersaing di pasar tenaga kerja.

Implementasi Kebijakan Berbasis Pancasila

Dalam konteks praktis, implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat berbasis Pancasila dapat dilihat dalam beberapa program unggulan pemerintah yang telah berjalan, seperti:

  • Program Keluarga Harapan (PKH): Program bantuan tunai yang memberikan insentif kepada keluarga miskin untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan anak-anak mereka. Ini sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila.
  • Dana Desa: Alokasi dana langsung kepada desa-desa di seluruh Indonesia untuk pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi desa. Program ini mencerminkan nilai-nilai persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
  • Program Pemberdayaan Perempuan: Berbagai inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam ekonomi melalui pelatihan kewirausahaan, akses modal, dan pembentukan kelompok usaha bersama. Program ini sejalan dengan sila kedua dan kelima Pancasila.

KESIMPULAN

Pancasila merupakan fondasi yang kokoh bagi kebijakan pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, seperti keadilan sosial, kemanusiaan, dan persatuan, sangat relevan dalam penyusunan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui penerapan nilai-nilai ini, diharapkan kebijakan pemberdayaan masyarakat dapat berjalan secara efektif dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di kelompok sosial-ekonomi yang paling rentan.

SARAN

Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan pemberdayaan masyarakat, pemerintah harus lebih melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan. Partisipasi aktif masyarakat akan memastikan bahwa kebijakan yang disusun benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka. Selain itu, perlu adanya peningkatan koordinasi antar lembaga pemerintah dan non-pemerintah untuk memastikan bahwa program-program pemberdayaan dapat berjalan dengan baik dan merata di seluruh Indonesia.

Pemerintah juga harus terus memperkuat sektor pendidikan dan kesehatan sebagai pilar utama pemberdayaan masyarakat. Dengan memberikan akses yang lebih luas terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang berkualitas, masyarakat akan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.


Daftar Pustaka

  1. Hadikusumo, D. (2018). Pancasila dalam Kebijakan Publik: Relevansi Nilai-nilai Pancasila dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Gramedia.
  2. Soekarno, I. (2015). Pancasila: Jalan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Deepublish.
  3. Suharto, E. (2020). Kebijakan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Alfabeta.
  4. Winarno, B. (2019). Teori dan Kebijakan Publik: Analisis dan Implementasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
  5. Wahyudi, R. (2017). Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan. Surabaya: Airlangga University Press.

No comments:

Post a Comment

Menguatkan Pembangunan Nasional melalui Implementasi Pancasila

  Abstrak Pancasila, sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia, memiliki peran penting dalam membimbing arah pembangunan nasional. Artikel...