jihan naila rosyadah
Abstrak
Kekerasan seksual merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM) yang menodai martabat, integritas, dan keamanan korban. Di Indonesia, meskipun terdapat jaminan konstitusional atas perlindungan HAM, realitas di lapangan menunjukkan bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan seksual masih jauh dari memadai. Artikel ini membahas dinamika perlindungan HAM terhadap korban kekerasan seksual, tantangan implementasi hukum, peran lembaga negara, serta rekomendasi strategis untuk memperkuat perlindungan dan pemulihan korban. Dengan mengkaji berbagai kasus dan regulasi yang berlaku, tulisan ini menyoroti urgensi reformasi hukum, penguatan institusi, dan perubahan paradigma sosial demi memastikan hak-hak korban tidak lagi terabaikan.
Kata Kunci: Kekerasan seksual, Hak Asasi Manusia, perlindungan korban, implementasi hukum, Indonesia
Pendahuluan
Kekerasan seksual adalah bentuk pelanggaran HAM yang paling nyata dan menyakitkan, yang berdampak luas pada fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi korban. Di Indonesia, kasus kekerasan seksual terus meningkat setiap tahun, baik di ruang privat maupun publik, menimpa perempuan, anak-anak, hingga kelompok rentan lainnya. Meskipun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) telah menjamin perlindungan HAM, implementasinya masih menghadapi banyak hambatan, mulai dari minimnya akses keadilan, lambatnya proses hukum, hingga stigma dan diskriminasi terhadap korban.
Perlindungan HAM bagi korban kekerasan seksual seharusnya menjadi prioritas negara, sebagaimana diamanatkan dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa perlindungan tersebut kerap terabaikan, sehingga korban sering kali tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan yang layak. Artikel ini bertujuan mengkaji secara kritis perlindungan HAM terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia, mengidentifikasi permasalahan utama, serta menawarkan solusi konkret untuk memperbaiki sistem perlindungan yang ada.
Permasalahan
Beberapa permasalahan utama dalam perlindungan HAM terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia meliputi:
- Minimnya Perlindungan Hukum
Banyak instrumen hukum yang ada belum secara komprehensif mengatur perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Fokus regulasi sering kali lebih berat pada aspek kriminalisasi pelaku, sementara hak-hak korban kurang mendapat perhatian.
- Akses Terbatas ke Keadilan dan Layanan Dukungan
Korban sering menghadapi hambatan untuk melapor, baik karena stigma, ketakutan, maupun kurangnya akses terhadap layanan pendampingan hukum, kesehatan, dan psikososial.
- Lambatnya Proses Hukum dan Impunitas.
Proses hukum yang lambat dan berbelit-belit membuat banyak korban enggan melanjutkan kasusnya. Tidak jarang pelaku mendapat impunitas, sementara korban harus menanggung trauma berkepanjangan.
- Kurangnya Kesadaran dan Edukasi Masyarakat
Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang isu kekerasan seksual dan HAM menyebabkan korban sering disalahkan atau distigmatisasi, sehingga memperparah penderitaan mereka.
- Keterbatasan Peran Lembaga Negara
Lembaga seperti Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah berperan, namun masih menghadapi keterbatasan sumber daya dan kewenangan dalam penanganan kasus secara efektif.
Pembahasan
1. Kekerasan Seksual sebagai Pelanggaran HAM
Kekerasan seksual melanggar sejumlah hak dasar manusia, antara lain hak atas rasa aman, hak atas kesehatan, hak atas kebebasan dari penyiksaan, dan hak atas keadilan. Tindakan seperti pemerkosaan, pelecehan, dan eksploitasi seksual tidak hanya menyebabkan penderitaan fisik dan mental, tetapi juga menimbulkan trauma jangka panjang yang menghambat korban untuk menjalani kehidupan normal.
Selain itu, kekerasan seksual sering kali merupakan manifestasi dari diskriminasi gender dan ketidaksetaraan sosial, yang memperburuk posisi perempuan dan anak-anak sebagai kelompok rentan. Diskriminasi ini memperpanjang siklus kekerasan dan menghambat upaya pemulihan korban.
2. Landasan Hukum Perlindungan HAM di Indonesia
UUD NRI secara tegas menjamin perlindungan HAM bagi seluruh warga negara, termasuk korban kekerasan seksual. Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya[1]. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Namun, dalam praktiknya, perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual masih lemah. Banyak peraturan perundang-undangan yang lebih menekankan pada aspek pidana pelaku, sementara hak-hak korban, seperti hak atas pemulihan, perlindungan, dan rehabilitasi, sering terabaikan.
3. Tantangan Implementasi dan Penegakan Hukum
- Definisi Kekerasan Seksual yang Sempit
Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), istilah kekerasan seksual tidak secara eksplisit diatur dalam KUHP, melainkan hanya disebut sebagai perbuatan cabul[1]. Hal ini menyebabkan banyak kasus tidak dapat diproses secara hukum atau korban kesulitan membuktikan unsur pidana.
- Minimnya Laporan dan Akses Layanan
Banyak korban enggan melapor karena takut stigma, intimidasi, atau tidak percaya pada aparat penegak hukum. Layanan pendampingan hukum, kesehatan, dan psikososial pun belum merata di seluruh wilayah Indonesia.
- Lambatnya Proses Hukum dan Rendahnya Putusan Pengadilan
Proses hukum yang panjang dan melelahkan sering kali membuat korban menyerah di tengah jalan. Banyak kasus berakhir tanpa keadilan, sementara pelaku sering mendapat hukuman ringan atau bahkan bebas.
- Kurangnya Perlindungan dan Pemulihan Korban
Hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman, pemulihan psikologis, dan kompensasi masih sering diabaikan. Negara belum sepenuhnya hadir dalam memastikan pemulihan menyeluruh bagi korban.
4. Peran Lembaga Negara dan Masyarakat Sipil
Komnas Perempuan dan KPAI memiliki peran penting dalam advokasi, pencegahan, dan penanganan kasus kekerasan seksual, termasuk memberikan rekomendasi kebijakan dan pendampingan korban. Namun, efektivitas lembaga ini sangat bergantung pada dukungan pemerintah, masyarakat, dan sinergi dengan lembaga penegak hukum.
Organisasi masyarakat sipil juga berperan dalam edukasi, advokasi, dan pemberian layanan kepada korban. Kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan untuk memperkuat sistem perlindungan HAM dan memastikan korban mendapatkan keadilan dan pemulihan yang layak.
5. Upaya Perbaikan dan Rekomendasi
Berdasarkan berbagai kajian dan pengalaman di lapangan, beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan untuk memperkuat perlindungan HAM terhadap korban kekerasan seksual antara lain:
- Perbaikan Sistem Hukum
Melakukan revisi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan agar lebih berpihak pada korban, memperluas definisi kekerasan seksual, dan menyederhanakan prosedur hukum agar ramah korban.
- Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum
Memberikan pelatihan khusus kepada polisi, jaksa, dan hakim dalam menangani kasus kekerasan seksual, serta membentuk unit khusus yang fokus pada perlindungan korban.
- Peningkatan Akses Layanan Pendukung
Memastikan ketersediaan layanan kesehatan, konseling, pendampingan hukum, dan perlindungan sosial secara merata dan terjangkau di seluruh wilayah.
- Peningkatan Kesadaran dan Edukasi Masyarakat
Melakukan kampanye edukasi dan sosialisasi untuk menghapus stigma terhadap korban, meningkatkan pemahaman tentang HAM, dan membangun budaya anti-kekerasan.
- Penguatan Kolaborasi dan Kemitraan
Mendorong kerja sama antara pemerintah, lembaga non-pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam upaya perlindungan dan pemulihan korban.
Kesimpulan
Perlindungan HAM terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, baik dari aspek regulasi, implementasi, maupun budaya masyarakat. Meskipun terdapat landasan hukum yang kuat, realitas di lapangan menunjukkan bahwa korban masih sering terabaikan, baik dalam proses hukum maupun pemulihan. Negara, melalui reformasi hukum, penguatan institusi, dan perubahan paradigma sosial, harus memastikan bahwa hak-hak korban benar-benar terlindungi dan terwujud dalam tindakan nyata.
Saran
- Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan memastikan implementasi UU TPKS secara konsisten di seluruh wilayah Indonesia.
- Aparat penegak hukum harus diberikan pelatihan khusus dan membangun mekanisme yang ramah korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
- Perluasan akses layanan pendukung bagi korban, termasuk kesehatan, psikososial, dan pendampingan hukum, harus menjadi prioritas.
- Masyarakat harus didorong untuk lebih peduli, memahami, dan tidak menstigmatisasi korban kekerasan seksual melalui edukasi dan kampanye publik.
- Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, lembaga negara, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta harus diperkuat untuk menciptakan sistem perlindungan yang komprehensif dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
1. Nabila Maryam, “Analisis Penegakan Hukum dan HAM terhadap Korban Kekerasan Seksual pada Perempuan dan Anak sebagai Kelompok Rentan,” Jurnal Ilmu Syariah, UIN Antasari, 2024.
2. “Perlindungan HAM di Indonesia dengan Merujuk pada UUD Negara RI: Studi Kasus Korban Kekerasan Seksual,” Jurnal Pendidikan Transformatif (Jupetra), 2022.
3. “Perlindungan HAM di Indonesia dengan Merujuk pada UUD Negara RI: Studi Kasus Korban Kekerasan Seksual,” Jurnal Pendidikan Transformatif (Jupetra), Vol. 01 No. 03, Desember 2022.
4. “Kekerasan Seksual dan Hak Asasi Manusia dalam Pendekatan Multidisipliner,” Jurnal Pendidikan Tambusai, Volume 8 Nomor 3 Tahun 2024.
5. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia,” Jurnal Ilmiah Publika, 2023.
No comments:
Post a Comment