Abstrak
Gotong
royong sebagai nilai luhur bangsa Indonesia telah menjadi salah satu pilar
utama dalam membangun ketahanan sosial. Pancasila sebagai dasar negara
memperkokoh prinsip ini dengan mengedepankan kebersamaan, keadilan sosial, dan
solidaritas. Namun, di era modern yang penuh tantangan globalisasi,
individualisme, dan disrupsi teknologi, nilai-nilai gotong royong menghadapi
ancaman serius. Artikel ini membahas pentingnya kolaborasi gotong royong
berbasis Pancasila dalam membangun ketahanan sosial, mencakup upaya
revitalisasi nilai-nilai lokal, penguatan komunitas, serta sinergi antara
masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Dengan pendekatan ini, ketahanan
sosial dapat diwujudkan untuk menghadapi kompleksitas kehidupan modern.
Kata
Kunci: Gotong
royong, Pancasila, ketahanan sosial, era modern, kolaborasi.
Pendahuluan
Gotong royong merupakan warisan budaya bangsa yang mencerminkan nilai kebersamaan dan solidaritas. Prinsip ini menjadi penyangga utama dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, dari kehidupan sehari-hari hingga tanggap bencana. Sebagai dasar negara, Pancasila memberikan fondasi filosofis untuk memperkuat semangat gotong royong melalui sila-sila yang mengedepankan kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial.
Namun,
globalisasi dan modernisasi membawa tantangan baru. Individualisme,
materialisme, dan perkembangan teknologi sering kali menggantikan nilai
kebersamaan dengan kepentingan pribadi. Hal ini menimbulkan fragmentasi sosial
yang melemahkan ketahanan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
baru untuk mengintegrasikan nilai-nilai gotong royong dalam konteks modern.
Makalah
ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran kolaborasi berbasis gotong royong dan
Pancasila dalam membangun ketahanan sosial di era modern, serta memberikan
solusi untuk revitalisasi nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahan
- Menurunnya Nilai Gotong Royong
di Era Modern
Modernisasi sering kali melahirkan individualisme, yang melemahkan semangat kolektif. Teknologi digital, meskipun membawa manfaat, juga memperluas kesenjangan sosial. - Fragmentasi Sosial dan
Ketahanan Sosial yang Rapuh
Perbedaan ekonomi, budaya, dan pandangan politik sering kali menciptakan konflik yang mengancam harmoni sosial. - Minimnya Pendidikan tentang
Nilai Pancasila
Generasi muda sering kali kurang memahami dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Pembahasan
1.
Gotong Royong sebagai Pilar Ketahanan Sosial
Gotong
royong adalah fondasi sosial masyarakat Indonesia yang telah teruji dalam berbagai
dinamika zaman. Sebagai praktik sosial, gotong royong mencerminkan budaya
kolektif yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individu.
Dalam sejarah bangsa, gotong royong menjadi salah satu nilai utama yang
menyatukan masyarakat dalam menghadapi tantangan sosial, politik, maupun
ekonomi.
A.
Gotong
Royong sebagai Warisan Budaya Lokal
Gotong
royong tidak hanya sekadar praktik, tetapi juga bagian integral dari identitas
bangsa Indonesia. Sebagai warisan budaya lokal, gotong royong telah lama
menjadi motor penggerak dalam menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat,
seperti:
·
Pembangunan
Infrastruktur Desa:
Tradisi seperti sambatan atau ngayah dalam masyarakat pedesaan
menunjukkan semangat kebersamaan. Dalam praktik ini, masyarakat bahu-membahu
membangun fasilitas umum, seperti jalan desa, jembatan, atau rumah ibadah,
tanpa mengharapkan imbalan finansial.
·
Tanggap
Bencana: Ketika
bencana melanda, seperti gempa bumi, banjir, atau gunung meletus, gotong royong
menjadi respons alami masyarakat Indonesia. Mereka mengorganisasi diri untuk
menyediakan makanan, tempat tinggal sementara, dan bantuan lainnya bagi korban
bencana.
·
Pemberdayaan
Komunitas:
Kelompok-kelompok masyarakat, seperti arisan atau kelompok tani, memanfaatkan
gotong royong untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Sistem koperasi,
misalnya, adalah wujud modern dari gotong royong yang memperkuat posisi ekonomi
kelompok kecil melalui usaha bersama.
B.
Nilai-Nilai
Gotong Royong dalam Konteks Ketahanan Sosial
Ketahanan
sosial adalah kemampuan masyarakat untuk bertahan, beradaptasi, dan berkembang
dalam menghadapi tantangan. Gotong royong memainkan peran penting dalam
memperkuat ketahanan sosial melalui beberapa mekanisme:
·
Meningkatkan
Solidaritas:
Dengan bekerja sama, masyarakat membangun kepercayaan dan hubungan emosional
yang kuat, sehingga menciptakan rasa saling memiliki.
·
Menjaga
Persatuan dalam Keberagaman:
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, gotong royong menjadi
jembatan untuk mengatasi perbedaan suku, agama, dan budaya, dengan menekankan
pada kesamaan tujuan.
·
Mendorong
Kemandirian Kolektif:
Melalui gotong royong, masyarakat tidak hanya bergantung pada bantuan
pemerintah, tetapi juga mengembangkan solusi mandiri untuk menyelesaikan
masalah mereka.
C.
Dinamika
Gotong Royong di Era Modern
Di
era modern, gotong royong menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan masa
lalu. Perubahan gaya hidup, pengaruh globalisasi, dan kemajuan teknologi
digital memengaruhi cara masyarakat berinteraksi dan berkolaborasi. Namun,
nilai-nilai gotong royong tetap relevan jika diadaptasi dalam konteks yang
baru:
·
Transformasi
Digital Gotong Royong:
Media sosial dan platform digital telah memungkinkan gotong royong berlangsung
dalam skala yang lebih luas. Contohnya, crowdfunding digunakan untuk
membiayai kebutuhan masyarakat, seperti operasi kesehatan atau bantuan bencana.
Inisiatif seperti Kitabisa.com menunjukkan bagaimana teknologi dapat
menjadi sarana untuk memperkuat nilai gotong royong.
·
Urbanisasi
dan Adaptasi Nilai Gotong Royong:
Di perkotaan, nilai gotong royong sering kali tergantikan oleh individualisme.
Namun, munculnya komunitas berbasis tempat tinggal, seperti RT/RW atau
komunitas pecinta lingkungan, membuktikan bahwa gotong royong tetap dapat
dipertahankan dalam bentuk yang lebih terorganisasi.
D.
Implementasi
Gotong Royong dalam Kebijakan Publik
Pemerintah
Indonesia telah mengintegrasikan nilai gotong royong dalam berbagai kebijakan
pembangunan:
·
Program
Padat Karya:
Program ini mengadopsi prinsip gotong royong dengan melibatkan masyarakat dalam
proyek pembangunan infrastruktur lokal. Selain memberikan lapangan kerja,
program ini memperkuat solidaritas masyarakat.
·
Kampanye
Hidup Sehat:
Kampanye seperti posyandu atau desa sehat melibatkan masyarakat
untuk bekerja sama dalam menjaga kesehatan lingkungan mereka.
· Desa Mandiri: Melalui program ini, pemerintah mendorong masyarakat desa untuk membangun potensi lokal mereka dengan memanfaatkan semangat gotong royong.
2.
Pancasila sebagai Landasan Filosofis
Setiap
sila dalam Pancasila mendukung penguatan nilai gotong royong:
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa:
Mengajarkan toleransi dan saling menghormati.
2.
Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab:
Mendorong solidaritas dan empati.
3.
Persatuan
Indonesia:
Menekankan pentingnya menjaga persatuan.
4.
Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: Menyiratkan pentingnya musyawarah
dalam pengambilan keputusan bersama.
5.
Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia:
Mengutamakan pemerataan dan kesejahteraan sosial.
3.
Tantangan Era Modern
Di era
modern, gotong royong sebagai nilai yang melekat pada budaya Indonesia
menghadapi berbagai tantangan yang menguji relevansinya dalam membangun
ketahanan sosial. Beberapa tantangan utama meliputi digitalisasi, globalisasi,
dan urbanisasi, yang secara signifikan mengubah pola interaksi dan struktur
sosial masyarakat.
A.
Digitalisasi:
Polarisasi versus Kolaborasi
Kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan besar dalam cara
masyarakat berinteraksi. Media sosial, yang awalnya dirancang untuk memudahkan
komunikasi dan membangun komunitas, sering kali menjadi alat polarisasi
daripada memupuk persatuan.
·
Meningkatnya
Polarisasi Sosial:
Media sosial memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat, tetapi juga sering
digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, berita palsu, dan provokasi.
Akibatnya, masyarakat cenderung terfragmentasi berdasarkan kelompok ideologis
atau kepentingan tertentu, mengurangi solidaritas yang menjadi inti gotong
royong.
·
Kurangnya
Interaksi Tatap Muka:
Ketergantungan pada komunikasi virtual menggantikan interaksi langsung,
sehingga menurunkan kualitas hubungan sosial yang dibangun melalui empati dan
kerja sama nyata.
Namun, digitalisasi juga dapat
menjadi peluang jika diintegrasikan dengan nilai gotong royong. Misalnya,
platform crowdfunding atau aplikasi berbasis komunitas dapat digunakan
untuk mendukung kegiatan sosial yang melibatkan banyak pihak. Contohnya adalah
kampanye donasi daring untuk membantu korban bencana alam atau pembiayaan
proyek pembangunan desa.
B.
Globalisasi:
Pergeseran Nilai dan Identitas
Globalisasi membawa pengaruh budaya
asing yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Budaya
individualistis, misalnya, kerap mengikis semangat gotong royong yang
menekankan kolektivitas.
·
Dominasi
Budaya Asing:
Budaya populer dari negara maju, yang mengedepankan efisiensi individual dan
persaingan, mulai mengubah pola pikir masyarakat Indonesia, terutama generasi
muda. Hal ini memunculkan kecenderungan untuk lebih mementingkan kepentingan
pribadi dibandingkan kepentingan bersama.
·
Pergeseran
Nilai dalam Dunia Kerja:
Dalam dunia kerja modern, fokus pada produktivitas dan persaingan individu
sering kali mengurangi kesempatan untuk bekerja sama dalam suasana yang
kolektif.
Untuk menghadapi tantangan
globalisasi, perlu ada upaya revitalisasi nilai-nilai lokal, termasuk gotong
royong, dalam pendidikan formal dan non-formal. Mengintegrasikan nilai-nilai
Pancasila, termasuk gotong royong, dalam kurikulum pendidikan adalah langkah
penting untuk memastikan generasi muda tetap menghargai identitas dan budaya
lokal mereka.
C.
Urbanisasi:
Melemahnya Ikatan Sosial Tradisional
Urbanisasi, yang ditandai dengan
perpindahan besar-besaran penduduk dari desa ke kota, membawa dampak signifikan
terhadap ikatan sosial tradisional yang menjadi landasan gotong royong.
·
Individualisme
dalam Kehidupan Perkotaan:
Di kota-kota besar, gaya hidup yang sibuk dan fokus pada kebutuhan individu
sering kali menyebabkan masyarakat kurang peduli terhadap lingkungan
sekitarnya. Fenomena ini terlihat pada rendahnya partisipasi warga dalam
kegiatan sosial, seperti kerja bakti atau pertemuan lingkungan.
·
Pecahnya
Komunitas Tradisional:
Perpindahan penduduk ke kota besar sering kali memutuskan hubungan mereka
dengan komunitas asal di desa. Akibatnya, solidaritas berbasis kekerabatan dan
kedekatan geografis melemah.
Meskipun demikian, urbanisasi juga
membuka peluang untuk membentuk komunitas baru yang berbasis minat atau tujuan
bersama. Misalnya, komunitas pecinta lingkungan atau gerakan masyarakat untuk
menciptakan ruang hijau di perkotaan dapat menjadi bentuk baru dari gotong
royong di era modern.
D.
Solusi
untuk Menghadapi Tantangan Era Modern
Untuk
mengatasi tantangan ini, beberapa langkah strategis dapat dilakukan:
·
Pemanfaatan
Teknologi untuk Memperkuat Nilai Gotong Royong: Pemerintah dan masyarakat perlu
memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas jangkauan kegiatan gotong
royong. Aplikasi yang memfasilitasi kegiatan sosial, seperti penggalangan dana
atau koordinasi relawan, harus didorong penggunaannya.
·
Penguatan
Pendidikan Nilai Pancasila:
Pendidikan formal dan informal perlu menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila,
termasuk gotong royong, sebagai bagian dari identitas nasional.
·
Revitalisasi
Komunitas Lokal:
Di tengah urbanisasi, penting untuk membangun komunitas baru yang mengadopsi
semangat gotong royong, seperti komunitas berbasis lingkungan, seni, atau
olahraga.
· Kolaborasi Lintas Sektor: Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk menciptakan program yang mendukung revitalisasi nilai gotong royong, seperti program padat karya atau gerakan sosial berbasis komunitas.
2. Pancasila sebagai Landasan Filosofis
Setiap
sila dalam Pancasila mendukung penguatan nilai gotong royong:
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa:
Mengajarkan toleransi dan saling menghormati.
2.
Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab:
Mendorong solidaritas dan empati.
3.
Persatuan
Indonesia:
Menekankan pentingnya menjaga persatuan.
4.
Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: Menyiratkan pentingnya musyawarah
dalam pengambilan keputusan bersama.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Mengutamakan pemerataan dan kesejahteraan sosial.
3.
Tantangan Era Modern
Di era
modern, gotong royong sebagai nilai yang melekat pada budaya Indonesia
menghadapi berbagai tantangan yang menguji relevansinya dalam membangun
ketahanan sosial. Beberapa tantangan utama meliputi digitalisasi, globalisasi,
dan urbanisasi, yang secara signifikan mengubah pola interaksi dan struktur
sosial masyarakat.
A.
Digitalisasi:
Polarisasi versus Kolaborasi
Kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan besar dalam cara
masyarakat berinteraksi. Media sosial, yang awalnya dirancang untuk memudahkan
komunikasi dan membangun komunitas, sering kali menjadi alat polarisasi
daripada memupuk persatuan.
·
Meningkatnya
Polarisasi Sosial:
Media sosial memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat, tetapi juga sering
digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, berita palsu, dan provokasi.
Akibatnya, masyarakat cenderung terfragmentasi berdasarkan kelompok ideologis
atau kepentingan tertentu, mengurangi solidaritas yang menjadi inti gotong
royong.
·
Kurangnya
Interaksi Tatap Muka:
Ketergantungan pada komunikasi virtual menggantikan interaksi langsung,
sehingga menurunkan kualitas hubungan sosial yang dibangun melalui empati dan
kerja sama nyata.
Namun, digitalisasi juga dapat
menjadi peluang jika diintegrasikan dengan nilai gotong royong. Misalnya,
platform crowdfunding atau aplikasi berbasis komunitas dapat digunakan
untuk mendukung kegiatan sosial yang melibatkan banyak pihak. Contohnya adalah
kampanye donasi daring untuk membantu korban bencana alam atau pembiayaan
proyek pembangunan desa.
B.
Globalisasi:
Pergeseran Nilai dan Identitas
Globalisasi membawa pengaruh budaya
asing yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Budaya
individualistis, misalnya, kerap mengikis semangat gotong royong yang
menekankan kolektivitas.
·
Dominasi
Budaya Asing:
Budaya populer dari negara maju, yang mengedepankan efisiensi individual dan
persaingan, mulai mengubah pola pikir masyarakat Indonesia, terutama generasi
muda. Hal ini memunculkan kecenderungan untuk lebih mementingkan kepentingan
pribadi dibandingkan kepentingan bersama.
·
Pergeseran
Nilai dalam Dunia Kerja:
Dalam dunia kerja modern, fokus pada produktivitas dan persaingan individu
sering kali mengurangi kesempatan untuk bekerja sama dalam suasana yang
kolektif.
Untuk menghadapi tantangan
globalisasi, perlu ada upaya revitalisasi nilai-nilai lokal, termasuk gotong
royong, dalam pendidikan formal dan non-formal. Mengintegrasikan nilai-nilai
Pancasila, termasuk gotong royong, dalam kurikulum pendidikan adalah langkah
penting untuk memastikan generasi muda tetap menghargai identitas dan budaya
lokal mereka.
C.
Urbanisasi:
Melemahnya Ikatan Sosial Tradisional
Urbanisasi, yang ditandai dengan
perpindahan besar-besaran penduduk dari desa ke kota, membawa dampak signifikan
terhadap ikatan sosial tradisional yang menjadi landasan gotong royong.
·
Individualisme
dalam Kehidupan Perkotaan:
Di kota-kota besar, gaya hidup yang sibuk dan fokus pada kebutuhan individu
sering kali menyebabkan masyarakat kurang peduli terhadap lingkungan
sekitarnya. Fenomena ini terlihat pada rendahnya partisipasi warga dalam
kegiatan sosial, seperti kerja bakti atau pertemuan lingkungan.
·
Pecahnya
Komunitas Tradisional:
Perpindahan penduduk ke kota besar sering kali memutuskan hubungan mereka
dengan komunitas asal di desa. Akibatnya, solidaritas berbasis kekerabatan dan
kedekatan geografis melemah.
Meskipun demikian, urbanisasi juga
membuka peluang untuk membentuk komunitas baru yang berbasis minat atau tujuan
bersama. Misalnya, komunitas pecinta lingkungan atau gerakan masyarakat untuk
menciptakan ruang hijau di perkotaan dapat menjadi bentuk baru dari gotong
royong di era modern.
D.
Solusi
untuk Menghadapi Tantangan Era Modern
Untuk
mengatasi tantangan ini, beberapa langkah strategis dapat dilakukan:
·
Pemanfaatan
Teknologi untuk Memperkuat Nilai Gotong Royong: Pemerintah dan masyarakat perlu
memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas jangkauan kegiatan gotong
royong. Aplikasi yang memfasilitasi kegiatan sosial, seperti penggalangan dana
atau koordinasi relawan, harus didorong penggunaannya.
·
Penguatan
Pendidikan Nilai Pancasila:
Pendidikan formal dan informal perlu menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila,
termasuk gotong royong, sebagai bagian dari identitas nasional.
·
Revitalisasi
Komunitas Lokal:
Di tengah urbanisasi, penting untuk membangun komunitas baru yang mengadopsi
semangat gotong royong, seperti komunitas berbasis lingkungan, seni, atau
olahraga.
·
Kolaborasi
Lintas Sektor:
Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk
menciptakan program yang mendukung revitalisasi nilai gotong royong, seperti
program padat karya atau gerakan sosial berbasis komunitas.
Dengan mengadaptasi nilai-nilai gotong royong dalam konteks modern, masyarakat Indonesia dapat mempertahankan ketahanan sosial sekaligus menjawab tantangan era digital dan globalisasi.
4. Strategi
Mengintegrasikan Gotong Royong dalam Kehidupan Modern
Untuk mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai gotong
royong di era modern, dibutuhkan strategi yang holistik dan adaptif yang
relevan dengan tantangan zaman. Strategi ini harus mampu mengintegrasikan
semangat gotong royong ke dalam kehidupan modern melalui berbagai pendekatan
inovatif, mulai dari revitalisasi komunitas lokal hingga kolaborasi lintas
sektor.
A.
Revitalisasi
Komunitas Lokal: Membentuk Kelompok yang Berbasis Kolaborasi
Komunitas
lokal menjadi salah satu pilar utama dalam menerapkan semangat gotong royong.
Namun, di era modern, keberadaan komunitas tradisional mulai tergerus.
Revitalisasi komunitas ini harus diarahkan pada pembentukan kelompok-kelompok
yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
·
Koperasi
Digital: Membentuk
koperasi berbasis digital adalah salah satu cara untuk mengadaptasi gotong
royong dalam konteks modern. Dengan bantuan teknologi, anggota koperasi dapat
berkolaborasi secara daring, mulai dari permodalan hingga pemasaran produk.
Contohnya adalah platform seperti crowdfunding koperasi yang memungkinkan
masyarakat untuk mendanai proyek-proyek bersama.
·
Kelompok
Tani Modern: Untuk
mendukung ketahanan pangan, kelompok tani berbasis teknologi dapat menjadi
contoh gotong royong di sektor agraria. Mereka dapat berbagi sumber daya,
seperti alat-alat modern, informasi cuaca, atau akses pasar, melalui aplikasi
berbasis komunitas.
B.
Edukasi
Nilai-Nilai Pancasila:
Mengintegrasikan Pancasila ke dalam kurikulum sekolah dan program pendidikan
non-formal.
C.
Sinergi
Antar Sektor:
Pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menciptakan
program berbasis gotong royong, seperti pembangunan infrastruktur atau layanan
kesehatan masyarakat.
5.
Studi Kasus: Keberhasilan Kolaborasi Berbasis Gotong Royong
- Tanggap Bencana: Inisiatif masyarakat lokal
yang bekerja sama dengan pemerintah dalam penanganan bencana, seperti pada
gempa di Palu, menunjukkan kekuatan gotong royong.
- Program Desa Digital: Desa-desa di Indonesia yang
mengadopsi teknologi untuk memasarkan produk lokal menunjukkan
keberhasilan kolaborasi modern berbasis nilai tradisional.
Kesimpulan
Gotong
royong sebagai nilai luhur bangsa Indonesia tetap relevan dalam membangun
ketahanan sosial di era modern yang penuh tantangan, seperti individualisme,
globalisasi, dan disrupsi teknologi. Nilai ini telah terbukti sebagai landasan
yang memperkuat solidaritas, persatuan, dan kemandirian masyarakat. Namun,
dinamika kehidupan modern membutuhkan pendekatan inovatif untuk menjaga
relevansi nilai-nilai tersebut. Adaptasi melalui transformasi digital,
penguatan komunitas lokal, pendidikan nilai Pancasila, dan kolaborasi lintas
sektor menjadi kunci untuk revitalisasi gotong royong. Dengan integrasi nilai
gotong royong dalam berbagai aspek kehidupan, ketahanan sosial dapat
ditingkatkan untuk menghadapi kompleksitas tantangan era globalisasi.
Saran
- Pemanfaatan Teknologi Digital: Mendorong pengembangan platform digital yang mendukung kegiatan gotong royong, seperti aplikasi penggalangan dana, koordinasi relawan, atau pemasaran produk komunitas.
- Revitalisasi
Komunitas Lokal: Membentuk
dan menguatkan komunitas berbasis kolaborasi, seperti koperasi digital,
kelompok tani modern, atau komunitas berbasis lingkungan, untuk mendukung
solidaritas dan kemandirian masyarakat.
- Pendidikan Nilai Pancasila: Mengintegrasikan pendidikan nilai-nilai Pancasila, termasuk gotong royong, dalam kurikulum formal dan program non-formal untuk generasi muda.
- Kolaborasi Lintas Sektor: Memperkuat sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam menciptakan program pembangunan berbasis gotong royong, seperti program padat karya, layanan kesehatan, atau inisiatif pengentasan kemiskinan.
- Kaelan, M.S. (2013). Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
- Koentjaraningrat. (2002). Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
- Muljadi, H. (2019). Pancasila
dan Ketahanan Nasional. Jakarta: Rajawali Pers.
- Rahardjo, M. (2006). Masyarakat
Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.
- Tilaar, H.A.R. (2002). Multikulturalisme:
Tantangan Globalisasi dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Grasindo.
- Widyawati, D. (2019). Budaya
Lokal sebagai Modal Sosial. Malang: UB Press.
- Suganda, E. (2020). Gotong Royong dan Pembangunan Desa. Bandung: Alfabeta.
No comments:
Post a Comment