Saturday, April 12, 2025

Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan: Apa Bedanya











Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan: Apa Bedanya

Haffiyan Irzalbhi

Universitas Mercu Buana

Irzalbhi0205@gmail.com

Abstrak

Artikel ini membahas secara sistematis perbedaan antara posisi kepala negara dan
kepala pemerintahan dalam sistem ketatanegaraan modern. Meskipun kedua posisi
ini sering kali disamakan oleh masyarakat umum, keduanya memiliki fungsi,
kewenangan, dan peran konstitusional yang berbeda, tergantung pada bentuk
pemerintahan yang dianut suatu negara, seperti sistem presidensial, parlementer,
atau semi-presidensial. Melalui pendekatan yuridis-komparatif dan kajian literatur
yang didasarkan pada teori-teori klasik dan kontemporer tentang pemisahan
kekuasaan serta praktik ketatanegaraan di berbagai negara, artikel ini menunjukkan
bahwa pemahaman yang tepat mengenai perbedaan antara kepala negara dan kepala
pemerintahan sangat penting dalam mendorong akuntabilitas politik dan efektivitas
pemerintahan. Penelitian ini juga menyoroti bagaimana perbedaan peran tersebut
diterapkan dalam konteks Indonesia, serta tantangan yang dihadapi dalam
praktiknya.

Kata Kunci : Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Sistem Pemerintahan,

Abstract
This article systematically examines the differences between the positions of head
of state and head of government in modern constitutional systems. Although these
roles are often conflated in public discourse, they carry distinct functions,
authorities, and constitutional roles depending on the system of governance
adopted by a country, such as presidential, parliamentary, or semi-presidential
systems. Utilizing a juridical-comparative approach and drawing on both classical
and contemporary theories of the separation of powers, as well as constitutional
practices from various countries, this study highlights the importance of
understanding the distinction between these two positions. Such understanding is
essential to promoting political accountability and effective governance. The article
also explores how these roles are defined and practiced within the Indonesian
context, along with the challenges faced in their implementation.
Pendahuluan

    Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem pemerintahan
presindesial yang artinya presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat
dijatuhkan karena rendahnya dukungan politik. Namun terdapat mekanisme untuk
mengontrol presiden, bahkan penjatuhan presiden. Pembatasan kekuasaan terhadap
presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan secara tegas dinyatakan dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yaitu kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Perumusan yang
terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, mengandung arti sebagaimana dinyatakan Jimly Asshiddiqie, bahwa:
“Artinya, ada kekuasaan pemerintahan negara yang menurut undang-undang dasar
dan ada pula kekuasaan pemerintahan negara yang tidak menurut undang-undang.
Yang dimaksud dengan “menurut undang-undang dasar” juga dapat dibedakan
antara yang secara eksplisit ditentukan dalam undang-undang dasar dan ada pula
yang tidak secara eksplisit ditentukan dalam undang-undang dasar. Kepala Negara
dan presiden selaku kepala pemerintahan Negara menurut Undang-Undang Dasar,
dalam UUD 1945 juga tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang adanya
kedudukan kepala negara (Head Of State) ataupun Kepala pemerintahan (Head Of
Government) atau Chief Executive.

    Kepala negara secara umum merupakan simbol persatuan nasional dan
berfungsi dalam kapasitas seremonial dan representatif, meskipun dalam beberapa
sistem, seperti monarki absolut atau presidensial kuat, ia juga memiliki kekuasaan
eksekutif yang nyata. Sebaliknya, kepala pemerintahan bertanggung jawab atas
jalannya pemerintahan sehari-hari dan pelaksanaan kebijakan publik. Perbedaan ini
tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga berdampak langsung pada akuntabilitas
politik, stabilitas pemerintahan, serta mekanisme checks and balances dalam sistem
ketatanegaraan. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 memberikan posisi yang unik
di mana Presiden menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Hal ini berbeda dengan sistem parlementer seperti di Inggris, di mana Raja (kepala
negara) berperan simbolis, sementara Perdana Menteri memegang kendali atas
fungsi pemerintahan. Studi perbandingan antara berbagai sistem ini penting untuk
memahami implikasi praktis dan teoritis dari pemisahan maupun penyatuan dua
posisi tersebut.

    Konsep kepemimpinan secara etimologis berasal dari kata "pimpin" yang
berarti membimbing atau menuntun, sedangkan "pemimpin" merujuk pada individu
yang menjalankan fungsi membimbing tersebut. Kepemimpinan sendiri dapat
dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain dalam
rangka mencapai tujuan bersama. James L. Gibson, sebagaimana dikutip oleh
Pasalog (2010, hlm. 110), mendefinisikan kepemimpinan sebagai upaya
menggunakan gaya pengaruh yang tidak bersifat memaksa untuk memotivasi
individu agar mencapai sasaran tertentu. Sementara itu, Ralph M. Stogdill dalam karya yang dikutip oleh Ambar Teguh Sulistiyani (2008, hlm. 13), menyatakan
bahwa kepemimpinan merupakan proses memengaruhi aktivitas kelompok yang
terorganisasi dalam upaya mereka untuk menetapkan dan mencapai tujuan. Selain
itu, menurut Joseph C. Rost, kepemimpinan adalah hubungan timbal balik antara
pemimpin dan pengikut yang saling memengaruhi dan diarahkan pada terjadinya
perubahan nyata yang mencerminkan tujuan kolektif (Sulistiyani, 2008, hlm. 13).

    Malayu Hasibuan dalam bukunya yang berjudul Manajemen Sumber Daya
Manusia menyatakan kepemimpinan adalah “Cara seorang pemimpin
mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif untuk
mencapai tujuan organisasi” (Hasibuan, 2007:170). Pendapat Hasibuan
menyatakan bahwa seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi para bawahannya, dengan berbagai cara yang dimiliki, agar para
bawahannya dapat bekerja secara bersama untuk melakukan dan melaksanakan apa
yang menjadi tugas nya. Pemimpin harus dapat memberikan sanksi terhadap
bawahannya yang melanggar aturan yang telah ditetapkan, demi merubah
kebiasaan, kondisi dan situasi yang terjadi di dalam organisasi kea rah yang lebih
baik dari sebelum nya.

    Kepemimpinan dalam konteks pemerintahan bukan hanya berkaitan dengan
kemampuan memengaruhi individu atau kelompok, tetapi juga menyangkut
legitimasi politik, etika kekuasaan, dan efektivitas pengambilan kebijakan publik.
Pemimpin negara—dalam hal ini kepala negara dan kepala pemerintahan—
memiliki peran ganda yang kompleks: sebagai simbol integrasi nasional dan
sebagai aktor utama dalam proses administrasi kenegaraan.

    Dalam sistem presidensial seperti di Indonesia, Presiden tidak hanya
dituntut untuk mampu menjalankan fungsi administratif pemerintahan secara
teknokratis, tetapi juga harus memiliki kualitas kepemimpinan yang mampu
menjembatani berbagai kepentingan politik dan sosial di masyarakat. Hal ini sesuai
dengan pandangan Rost (dalam Sulistiyani, 2008) yang menekankan bahwa
kepemimpinan merupakan proses hubungan timbal balik antara pemimpin dan
pengikut dalam mencapai perubahan yang bermakna.

    Lebih lanjut, kepemimpinan dalam negara modern memerlukan sinergi
antara otoritas formal yang diberikan konstitusi dan legitimasi substantif yang
diperoleh dari kepercayaan rakyat. Oleh karena itu, seorang kepala pemerintahan
tidak cukup hanya memiliki kekuasaan hukum, tetapi juga harus mampu
menjalankan gaya kepemimpinan transformatif—yakni kepemimpinan yang
mampu menginspirasi perubahan, memberdayakan bawahan, dan menjaga
stabilitas sistem demokrasi.

    Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, Presiden memiliki kedudukan
strategis untuk menjalankan kepemimpinan integratif, baik sebagai kepala negara
yang menjaga kohesi nasional, maupun sebagai kepala pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap jalannya roda pemerintahan. Penguatan sistem
presidensial pasca amandemen UUD 1945 menjadikan kepemimpinan presiden
sangat menentukan dalam keberhasilan reformasi birokrasi, stabilitas politik, dan
pembangunan nasional secara berkelanjutan.

    Namun, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memastikan bahwa
kekuasaan eksekutif tidak melampaui batas-batas konstitusional dan tetap
akuntabel kepada publik. Di sinilah pentingnya kepemimpinan yang tidak hanya
legal secara formal, tetapi juga etis secara moral dan responsif terhadap aspirasi
masyarakat.

Permasalahan

    1. Apa perbedaan konseptual antara kepala negara dan kepala pemerintahan
dalam teori ketatanegaraan klasik dan kontemporer?

    2. Bagaimana pembagian peran antara kepala negara dan kepala pemerintahan
diterapkan dalam berbagai sistem pemerintahan seperti presidensial,
parlementer, dan semi-presidensial?

    3. Bagaimana posisi kepala negara dan kepala pemerintahan diatur dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945

Pembahasan

    Secara konseptual, kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan
(head of government) memiliki fungsi yang berbeda dalam sistem kenegaraan.
Kepala negara umumnya berperan sebagai simbol kedaulatan, persatuan, dan
legitimasi negara di mata publik domestik dan internasional. Ia kerap melaksanakan
fungsi-fungsi seremonial seperti membuka sidang parlemen, menerima duta besar,
dan mewakili negara dalam hubungan luar negeri. Di sisi lain, kepala pemerintahan
menjalankan fungsi eksekutif yang konkret: mengatur kebijakan publik, memimpin
kabinet, serta bertanggung jawab atas jalannya roda pemerintahan sehari-hari.

    Dalam literatur klasik seperti karya Montesquieu (1748) tentang trias
politica, kekuasaan negara dibagi ke dalam tiga cabang: legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Peran kepala negara dan kepala pemerintahan masuk dalam ranah
eksekutif, tetapi dalam praktik kenegaraan modern, keduanya bisa dipisahkan (dual
executive) atau disatukan (single executive) tergantung sistemnya.

    Menurut Tsebelis (2000) dan Cheibub (2002), perbedaan ini memengaruhi pola
relasi kekuasaan, mekanisme kontrol politik, serta sistem checks and balances
dalam pemerintahan.
Sebagai kepala negara, seorang pemimpin harus mampu merepresentasikan
nilai-nilai dasar bangsa seperti keadilan, persatuan, dan integritas nasional. Fungsi
simbolik ini menuntut kualitas personal seperti wibawa, netralitas, dan kearifan, yang mencerminkan posisi sebagai pemersatu bangsa. Dalam forum internasional,
kepala negara menjadi wajah diplomasi suatu negara dan citra dari sistem nilai
nasionalnya.

    Sebagai kepala pemerintahan, pemimpin dituntut memiliki kompetensi
teknis dalam mengelola birokrasi, merumuskan kebijakan publik, serta mengambil
keputusan strategis dalam berbagai sektor, seperti ekonomi, pendidikan, dan
pertahanan. Dalam sistem presidensial, tidak adanya pembagian peran ini menuntut
Presiden memiliki kapasitas kepemimpinan yang lebih menyeluruh, termasuk
dalam krisis nasional maupun dalam dinamika politik yang kompleks.

    Lantas bagaimana dengan pembagian peran pada sistem pemerintahan yang
dianut tersebut:

-     Sistem presidensial (misalnya Amerika Serikat dan Indonesia)

Presiden memegang dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan. Ini berarti tidak ada pemisahan fungsi simbolis dan administratif
secara institusional. Presiden memimpin negara secara langsung dan memiliki
otoritas penuh terhadap kabinet.

-     Sistem parlementer (misalnya Inggris, Malaysia)

Kepala negara adalah simbolik dan non-partisan (misalnya Raja atau Presiden),
sedangkan kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri yang berasal dari partai
politik mayoritas di parlemen. Di sini, fungsi eksekutif dan administratif dijalankan
oleh kepala pemerintahan, sedangkan kepala negara menjalankan peran simbolis
dan representatif.

-     Sistem Semi-Presidensial (misalnya Perancis)

Terdapat pembagian relatif antara presiden dan perdana menteri. Presiden
bertindak sebagai kepala negara dengan kekuasaan eksekutif tertentu (terutama
dalam urusan luar negeri dan pertahanan), sementara perdana menteri
mengelola pemerintahan harian. Ini menghasilkan sistem dual eksekutif, yang
bisa menjadi sinergis atau justru menimbulkan konflik bila keduanya berasal
dari koalisi politik yang berbeda.

    Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut sistem presidensial,
posisi kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat oleh satu orang, yaitu
Presiden Republik Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD
1945 yang menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”

    Dengan demikian, tidak ada pemisahan antara kepala negara dan kepala
pemerintahan secara formal. Presiden berperan sebagai simbol kedaulatan
negara (kepala negara) sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan harian (kepala pemerintahan). Perubahan besar terjadi sejak amandemen UUD 1945
(1999–2002), di mana sistem presidensial diperkuat, presiden dipilih langsung
oleh rakyat, dan akuntabilitasnya semakin terbuka.

    Namun demikian, dalam praktik, Presiden juga menjalankan fungsi-fungsi
simbolik yang biasa melekat pada kepala negara, seperti menyampaikan pidato
kenegaraan, mewakili Indonesia dalam forum internasional, dan mengangkat
duta besar.

Kesimpulan

    Berdasarkan kajian yuridis dan komparatif terhadap teori dan praktik
ketatanegaraan, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara kepala negara dan
kepala pemerintahan bersifat substantif dan berdampak langsung pada struktur
kekuasaan, akuntabilitas politik, serta mekanisme checks and balances dalam
sistem pemerintahan.

    Secara konseptual, kepala negara berfungsi sebagai simbol persatuan
nasional dan representasi negara, sementara kepala pemerintahan bertanggung
jawab atas operasionalisasi kebijakan publik dan penyelenggaraan administrasi
pemerintahan sehari-hari. Dalam sistem presidensial, seperti yang dianut
Indonesia, kedua peran tersebut digabungkan dalam satu figur yaitu Presiden,
berbeda dengan sistem parlementer dan semi-presidensial yang memisahkan
dua fungsi tersebut secara institusional.

    Dalam konteks Indonesia, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa
Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, yang berarti
Presiden menjalankan kedua fungsi sekaligus—baik sebagai kepala negara
maupun kepala pemerintahan. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan
dalam konstitusi, praktik ketatanegaraan menunjukkan integrasi peran tersebut
secara formal dan fungsional. Penyatuan ini memiliki implikasi penting
terhadap penguatan posisi Presiden dalam sistem presidensial Indonesia, serta
pengaturan mekanisme pengawasan melalui lembaga legislatif, yudikatif, dan
publik.

Saran

1. Perluasan Pemahaman Konstitusional
Pemerintah dan institusi pendidikan tinggi perlu mendorong penguatan literasi
konstitusional masyarakat, khususnya mengenai fungsi dan peran kepala negara
serta kepala pemerintahan. Ini penting untuk memperkuat partisipasi publik
dalam pengawasan jalannya pemerintahan.

2. Peningkatan Efektivitas Mekanisme PengawasanMeskipun Presiden memegang dua fungsi sekaligus, perlu ada optimalisasi
fungsi pengawasan legislatif dan yudikatif terhadap tindakan eksekutif untuk
mencegah potensi konsentrasi kekuasaan yang berlebihan.

3. Penguatan Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan
Kajian perbandingan antara sistem presidensial, parlementer, dan semi
presidensial perlu terus dikembangkan dalam penelitian akademik dan
pengambilan kebijakan, agar sistem presidensial Indonesia dapat diadaptasi
secara lebih dinamis terhadap tantangan kontemporer, tanpa mengorbankan
prinsip demokrasi dan akuntabilitas.

4. Revisi Akademik terhadap Ketentuan Konstitusi
Meskipun saat ini UUD 1945 tidak secara eksplisit membedakan istilah kepala
negara dan kepala pemerintahan, penting bagi para akademisi hukum tata
negara untuk mendorong wacana kodifikasi atau penjelasan resmi dalam
dokumen hukum tambahan agar tidak menimbulkan ambiguitas dalam praktik
ketatanegaraan.

Daftar Pustaka

Nurfaizi, S. R. (2020). Kepala Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
    Perspektif Siyasah Islam. DIKTUM, 233-247.

Supriyadi, H. (2018). Gaya kepemimpinan presiden Indonesia. Jurnal
    Agregasi: Aksi Reformasi Government Dalam Demokrasi, 6(2).

Novianti, Y. (2020). Sistem Pemerintahan Indonesia dan Implikasinya dalam
    Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Bonum Commune: Jurnal Ilmu
    Sosial dan Humaniora, 3(2), 109–117.

Montesquieu, Charles de Secondat. (1748). De l'esprit des lois [The Spirit of the
    Laws]. Translated by Thomas Nugent. London: G.G. and J. Robinson.

Cheibub, José Antonio. (2002). Presidentialism, Parliamentarism, and
    Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.

Asshiddiqie, Jimly. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:
    Konstitusi Press.

Bangun, B. H. (2024). Perbandingan antara sistem pemerintahan di Indonesia
    dan Malaysia. Dalet Review: Jurnal Ilmu Hukum dan Sosial, 3(1), 22–34.
    https://doi.org/10.5281/zenodo.10566452

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    Pamudji, 1995. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Jakarta: BumiAksara.

S.P,Hasibuan, Malayu. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT.
    Bumi Aksara

Sulistyani, Ambar Teguh. 2008. Kepemimpinan Profesional; Pendekatan
    Leadership Game. Yogyakarta: Gava Media

No comments:

Post a Comment

PRESENTASI 14 APRIL 2025

D04, D18, D19, D16, D21, D24, D20, D22, D23