Wednesday, May 28, 2025

Mahkamah Konstitusi Penjaga Terakhir Konstitusi atau alat Politik

Oleh : Adelia Arnaletha Agustina (D23)

Abstrak 

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga tinggi negara yang berfungsi sebagai penjaga konstitusi dan memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Sejak didirikan pada tahun 2003, MK diharapkan menjadi benteng terakhir dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Namun, dalam praktiknya, MK tidak luput dari kontroversi. Beberapa putusan MK dalam beberapa tahun terakhir menuai kritik tajam karena dianggap lebih berpihak pada kepentingan politik daripada nilai konstitusional. Artikel ini membahas dilema posisi MK: apakah benar masih menjadi penjaga konstitusi, atau justru telah berubah menjadi alat politik kekuasaan. Melalui pendekatan deskriptif-analitis, artikel ini menguraikan peran, tantangan, serta dinamika yang membentuk wajah Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masa kini. 

 Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, konstitusi, politik, kekuasaan, demokrasi, independensi, judicial review. 

 

PENDAHULUAN 

Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia merupakan salah satu tonggak penting dalam sistem ketatanegaraan modern pasca reformasi. Kehadirannya bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari perjalanan panjang sejarah dan dorongan kuat dari masyarakat yang mendambakan perubahan fundamental dalam praktik penyelenggaraan negara. Latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi tak bisa dilepaskan dari semangat reformasi 1998, yang menuntut akuntabilitas, transparansi, serta supremasi hukum sebagai pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga ini dibentuk sebagai wujud konkret dari tekad bangsa Indonesia untuk memastikan bahwa segala produk hukum dan tindakan kekuasaan tetap berada dalam rel konstitusi. 

Dalam desain awal ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 tidak mengatur tentang keberadaan lembaga khusus yang memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi (judicial review). Namun, dengan semangat amandemen konstitusi yang dilakukan secara bertahap dari tahun 1999 hingga 2002, terbukalah ruang untuk pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru yang diberi mandat strategis untuk menjaga konstitusionalitas penyelenggaraan negara. Melalui amandemen ketiga UUD 1945, Mahkamah Konstitusi resmi dimasukkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan mulai beroperasi sejak tahun 2003. 

Secara teoritis dan normatif, Mahkamah Konstitusi diharapkan berfungsi sebagai “the guardian of the constitution”, yaitu penjaga terakhir yang bertugas memastikan bahwa konstitusi tidak diselewengkan oleh kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Dalam banyak negara demokratis, peran seperti ini menjadi sangat penting, karena tanpa mekanisme pengawasan konstitusional yang kuat, kekuasaan dapat dengan mudah tergelincir ke arah otoritarianisme. Dengan demikian, MK diharapkan bukan hanya sebagai pengadilan hukum biasa, tetapi sebagai pelindung nilai-nilai demokrasi dan keadilan substansial. 

Namun, dalam perjalanannya, MK tidak selalu dapat menjalankan fungsinya dengan mulus. Seiring dengan dinamika politik nasional yang terus berubah, Mahkamah Konstitusi mulai menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun luar. Sejumlah keputusan MK dianggap tidak lagi mencerminkan semangat konstitusi, tetapi lebih condong pada kepentingan politik tertentu. Dalam beberapa kasus, MK bahkan dituduh menjadi alat legitimasi kekuasaan yang menyamarkan dirinya dalam jubah hukum. 

Di sinilah dilema Mahkamah Konstitusi muncul. Di satu sisi, lembaga ini diharapkan menjadi benteng terakhir bagi rakyat dalam mempertahankan hak-haknya yang dijamin oleh konstitusi. Namun, di sisi lain, MK juga merupakan institusi yang pengangkatan para hakimnya sangat rentan terhadap intervensi politik, mengingat mereka ditunjuk oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung tiga lembaga yang juga memiliki kepentingan politik masing-masing. 

Pertanyaan besar pun muncul: apakah Mahkamah Konstitusi benar-benar dapat menjaga independensinya dan tetap berpihak pada konstitusi, atau justru telah bergeser menjadi alat kekuasaan yang bekerja di bawah tekanan dan kompromi politik? Apakah keberadaan Mahkamah Konstitusi masih mencerminkan harapan reformasi, atau telah menjadi simbol dari paradoks demokrasi konstitusional di Indonesia? 

 

Permasalahan 

  Permasalahan utama dalam artikel ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 

  1. 1. Apakah Mahkamah Konstitusi masih berfungsi sebagai penjaga konstitusi sesuai dengan amanat reformasi dan UUD 1945? 

  1. 2. Sejauh mana Mahkamah Konstitusi dapat menjaga independensinya dari tekanan dan kepentingan politik? 

  1. 3. Apakah terdapat indikasi bahwa Mahkamah Konstitusi telah menjadi alat legitimasi kekuasaan politik tertentu? 

 

PEMBAHASAN 

    Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita harus memahami lebih dalam mengenai fungsi, dinamika, serta realitas yang dihadapi oleh Mahkamah Konstitusi selama dua dekade terakhir. Mahkamah Konstitusi memang dibekali kewenangan konstitusional yang sangat besar. Sebagai pengadilan yang berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, MK berperan sebagai penentu arah hukum nasional. Namun, dengan kekuasaan besar itu, tanggung jawab yang menyertainya pun sangat besar. Sayangnya, beberapa putusan Mahkamah belakangan ini justru menimbulkan kontroversi dan mengguncang kepercayaan publik terhadap netralitas serta integritas lembaga tersebut. 

    Salah satu keputusan MK yang paling mendapat sorotan tajam adalah putusan terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden. Dalam putusan tersebut, Mahkamah memutuskan bahwa seseorang di bawah usia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Putusan ini dinilai banyak kalangan sebagai keputusan yang dibuat demi kepentingan politik jangka pendek, karena secara langsung membuka peluang bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, untuk maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024. Meskipun Mahkamah berdalih bahwa putusan ini didasarkan pada prinsip keadilan dan pengakuan atas pengalaman kepemimpinan, publik tidak bisa menutup mata terhadap konteks politik yang melingkupi proses pengambilan keputusan tersebut. 

      Kontroversi tersebut menjadi semakin tajam ketika masyarakat mengetahui bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu adalah ipar dari Presiden. Hubungan keluarga ini memunculkan dugaan konflik kepentingan dan mempertajam asumsi bahwa Mahkamah telah kehilangan netralitasnya. Tidak hanya itu, kritik terhadap integritas Mahkamah Konstitusi juga diperparah dengan adanya kasus-kasus sebelumnya, seperti skandal suap yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar. Peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa Mahkamah bukan lembaga yang sepenuhnya imun terhadap godaan kekuasaan dan uang. 

      Kritik terhadap MK tidak hanya datang dari kalangan aktivis atau pengamat politik, tetapi juga dari akademisi, praktisi hukum, bahkan dari tokoh-tokoh reformasi sendiri. Mereka menilai bahwa MK semakin menjauh dari prinsip-prinsip konstitusionalisme dan lebih sering menjadi alat legitimasi kekuasaan dalam sistem demokrasi prosedural. MK yang seharusnya menjadi benteng terakhir rakyat, kini dinilai justru mempersempit ruang partisipasi dan memfasilitasi penguatan oligarki. 

      Dalam praktiknya, Mahkamah Konstitusi memang sangat rentan terhadap politisasi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari cara pengangkatan hakim-hakim konstitusi yang terbagi antara Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Ketiganya adalah institusi politik (atau memiliki afiliasi politik), yang memungkinkan proses seleksi hakim lebih berorientasi pada kepentingan institusional atau bahkan personal. Ketika seorang hakim terpilih berdasarkan kesetiaan politik, maka sangat mungkin terjadi konflik antara loyalitas terhadap konstitusi dan loyalitas terhadap pihak yang mengangkatnya. 

Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendalam mengenai independensi lembaga peradilan konstitusi di Indonesia. Apakah independensi hanya bersifat formal dalam aturan, atau benar-benar terwujud dalam praktik? Tidak sedikit pengamat yang berpendapat bahwa saat ini Mahkamah Konstitusi lebih menyerupai lembaga administratif daripada lembaga peradilan independen. Keputusan-keputusan penting yang seharusnya menjadi tonggak penegakan keadilan konstitusional justru dicurigai sebagai bentuk kompromi politik tingkat tinggi. 

      Namun, bukan berarti Mahkamah Konstitusi sepenuhnya gagal dalam menjalankan perannya. Dalam banyak kasus, MK masih menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip keadilan dan konstitusionalisme. Beberapa putusan penting, seperti pembatalan pasal-pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja atau perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam berbagai undang-undang, menunjukkan bahwa MK masih memiliki potensi sebagai lembaga progresif. 

      Oleh karena itu, tantangan terbesar yang dihadapi MK bukan hanya soal tekanan politik dari luar, tetapi juga keteguhan moral dan integritas dari dalam. Diperlukan reformasi menyeluruh terhadap sistem pengangkatan hakim, pengawasan etik, serta pembenahan budaya kelembagaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme dan keadilan. 

 

Kesimpulan dan Saran 

      Mahkamah Konstitusi Indonesia merupakan buah dari semangat reformasi yang mendambakan hadirnya lembaga pengawal konstitusi yang independen, kuat, dan mampu menjadi penyeimbang kekuasaan negara. Dalam beberapa periode awal pasca pembentukannya, Mahkamah Konstitusi berhasil menunjukkan peran yang signifikan dalam menjaga demokrasi, menegakkan hukum, dan menjawab tuntutan masyarakat atas keadilan konstitusional. Namun, seiring waktu, tantangan terhadap independensi dan integritas lembaga ini semakin nyata, khususnya ketika dinamika politik nasional mulai merembes masuk ke dalam sistem rekrutmen dan pengambilan keputusan hakim. 

      Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial, seperti soal batas usia calon presiden dan wakil presiden, menjadi cerminan dari kekhawatiran publik bahwa MK telah bergeser dari posisinya sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi menjadi instrumen politik kekuasaan. Kekecewaan terhadap konflik kepentingan, lemahnya mekanisme pengawasan internal, dan adanya relasi personal antara hakim dan aktor-aktor politik semakin memperburuk citra MK di mata publik. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini pun mengalami penurunan drastis, padahal legitimasi moral MK sejatinya berasal dari kepercayaan tersebut. 

      Untuk mengembalikan kehormatan dan fungsi fundamental Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga konstitusional yang kredibel dan adil, dibutuhkan reformasi menyeluruh. Hal paling mendesak adalah membenahi sistem seleksi hakim agar lebih objektif, transparan, dan bebas dari intervensi politik praktis. Selain itu, mekanisme pengawasan etik terhadap para hakim harus diperkuat, dan setiap pelanggaran etis harus ditindak tegas agar tidak menjadi preseden buruk bagi masa depan lembaga ini. Masyarakat sipil dan dunia akademik pun perlu dilibatkan secara aktif dalam mengawal setiap proses pengambilan keputusan penting, serta terus mendorong partisipasi publik dalam pendidikan konstitusi. 

     Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi akan tetap menjadi tumpuan terakhir bagi demokrasi dan keadilan di Indonesia hanya jika ia mampu menjaga dirinya dari intervensi kepentingan politik dan konsisten menegakkan nilai-nilai luhur konstitusi. Jika tidak, maka kekhawatiran bahwa MK telah menjadi alat politik bukanlah sekadar tuduhan, melainkan kenyataan yang mengkhianati semangat reformasi dan cita-cita bangsa. 

 

DAFTAR PUSTAKA  

Asshiddiqie, Jimly. (2006). Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI. 

Mahfud MD. (2010). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES. 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47