Wednesday, May 28, 2025

Konstitusi Indonesia: Mengapa Indonesia Tidak Kembali ke UUD 1945 Asli

Suci Amanda Pratiwi (D-25) 

Abstrak

Sejak tahun 1999, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali amandemen sebagai respons atas dinamika politik, sosial, dan hukum yang terus berkembang di Indonesia.

Amandemen-amandemen tersebut dilakukan untuk mengatasi berbagai kelemahan yang masih ditemukan dalam sistem ketatanegaraan, seperti belum terwujudnya demokrasi yang sepenuhnya berbasis hukum, perlindungan hak asasi manusia yang masih terbatas, serta kebutuhan akan desentralisasi pemerintahan yang lebih berpihak pada daerah dan penguatan peran lembaga perwakilan rakyat. Tulisan ini bertujuan menjelaskan mengapa Indonesia tidak kembali menggunakan UUD 1945 asli sebelum amandemen, dengan menggunakan metode pendekatan normatif, historis, dan yuridis. Pendekatan normatif digunakan untuk mengkaji prinsip-prinsip hukum dan norma dasar negara, pendekatan historis menelusuri latar belakang serta konteks perubahan konstitusi yang terjadi, sedangkan pendekatan yuridis menelaah aspek legal dan konsekuensi hukum dari amandemen tersebut. Kesimpulan utama dari tulisan ini adalah bahwa amandemen UUD 1945 merupakan langkah penting dan strategis untuk menyesuaikan konstitusi dengan perkembangan zaman, menjamin penegakan demokrasi yang lebih baik, memperluas perlindungan hak asasi manusia, dan mengakomodasi kebutuhan desentralisasi. Oleh karena itu, kembali ke UUD 1945 asli berpotensi menghambat kemajuan reformasi dan tidak lagi mencerminkan realitas sosial-politik Indonesia saat ini.

Kata Kunci

Konstitusi Indonesia, UUD 1945 asli, amandemen UUD 1945, reformasi konstitusi, demokrasi, hak asasi manusia, desentralisasi, ketatanegaraan.

Pendahuluan

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan konstitusi pertama dan utama Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Perumusan UUD 1945 dilakukan dalam situasi genting dan penuh tekanan politik karena kebutuhan untuk segera mendirikan negara merdeka yang berdaulat. UUD ini menjadi landasan utama penyelenggaraan negara serta pedoman hukum tertinggi yang mengatur hak dan kewajiban warga negara, struktur pemerintahan, serta hubungan antar lembaga negara.

Namun, dengan berjalannya waktu, perkembangan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia menuntut adanya penyesuaian pada konstitusi agar mampu menghadapi tantangan zaman. Pasca-Reformasi 1998, dilakukan empat kali amandemen terhadap UUD 1945, dimulai pada tahun 1999 hingga 2002. Amandemen ini bertujuan memperbaiki sistem ketatanegaraan yang sebelumnya otoriter, meningkatkan perlindungan hak asasi manusia, memperkuat desentralisasi dan otonomi daerah, serta memperjelas fungsi lembaga negara agar lebih demokratis dan akuntabel. Meski amandemen ini membawa perubahan signifikan dan dianggap penting dalam proses demokratisasi Indonesia, wacana untuk kembali ke UUD 1945 asli tetap muncul, terutama dari sebagian kelompok politik dan kalangan masyarakat yang merasa bahwa amandemen telah mengubah substansi asli konstitusi dan menggeser nilai-nilai fundamental kemerdekaan dan kedaulatan rakyat.

Konstitusi memegang peranan krusial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai sumber legitimasi kekuasaan dan aturan dasar yang mengatur penyelenggaraan negara. Ia menjadi pedoman hukum tertinggi yang harus ditaati semua elemen negara, sekaligus menjamin hak dan kewajiban warga negara. Ketika konstitusi mengalami perubahan, dampaknya tidak hanya terbatas pada aspek hukum, melainkan juga berimplikasi pada stabilitas politik, demokrasi, dan tata kelola pemerintahan. Oleh karena itu, pemahaman tentang pentingnya konstitusi sebagai landasan bernegara menjadi kunci dalam mengkaji apakah kembalinya ke UUD 1945 asli merupakan langkah yang tepat atau justru dapat menghambat proses reformasi dan perkembangan demokrasi Indonesia.

Permasalahan

Wacana untuk kembali ke UUD 1945 versi asli mencerminkan adanya berbagai persoalan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Beberapa permasalahan utama antara lain:

1. Tuntutan Stabilitas vs Demokrasi Sebagian pihak menganggap sistem asli lebih stabil, namun mengabaikan pentingnya pembatasan kekuasaan dalam demokrasi modern.

2. Sentralisasi Kekuasaan

UUD 1945 asli memberikan kekuasaan besar pada Presiden, yang tidak sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah pasca-Reformasi.

3. Minimnya Jaminan HAM 

Naskah asli tidak secara eksplisit menjamin hak asasi manusia sebagaimana UUD hasil amandemen.

4. Dominasi MPR dan Tidak Langsungnya Pemilu

Presiden dipilih oleh MPR, bukan langsung oleh rakyat, sehingga mengurangi partisipasi publik.

5. Respon terhadap Demokrasi Liberal

Kritik terhadap sistem sekarang sering kali berangkat dari kekecewaan terhadap praktik demokrasi yang belum matang, bukan kesalahan pada konstitusinya.

Permasalahan ini menunjukkan bahwa tantangan konstitusi Indonesia lebih pada pelaksanaan dan pemahaman, bukan pada naskah hukum semata.

Pembahasan

A. Sejarah dan Perbandingan UUD 1945 Asli vs Amandemen

Undang-Undang Dasar 1945 asli yang disahkan pada 18 Agustus 1945 disusun dalam konteks darurat dan terbatas, sehingga bersifat singkat, ringkas, dan memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Dalam sistem ini, Presiden tidak hanya berfungsi sebagai kepala negara, tetapi juga kepala pemerintahan tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dari lembaga legislatif. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) menjadi lembaga tertinggi negara yang memegang kedaulatan rakyat sepenuhnya, dan berwenang mengangkat serta memberhentikan Presiden. Sistem ini dikenal sebagai sistem pemerintahan “quasi-presidensial” dengan corak yang sangat sentralistik. UUD 1945 asli juga belum memuat ketentuan rinci mengenai pembagian kekuasaan yudikatif, dan tidak mencantumkan pengakuan eksplisit atas hak asasi manusia.

Sebaliknya, UUD 1945 hasil amandemen (1999–2002) membawa perubahan signifikan terhadap struktur dan prinsip ketatanegaraan Indonesia. Dalam versi amandemen, kekuasaan Presiden dibatasi melalui sistem checks and balances yang lebih ketat. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, sebagai wujud demokrasi langsung. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan lembaga bikameral (gabungan DPR dan DPD) tanpa kewenangan mengangkat atau memberhentikan Presiden secara sepihak. Amandemen juga menegaskan prinsip pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta memperkuat lembaga-lembaga independen seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Selain itu, UUD hasil amandemen memasukkan secara eksplisit pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam Pasal 28A–28J, serta memperkuat posisi daerah melalui otonomi daerah yang lebih luas. Secara keseluruhan, perubahan ini menjadikan UUD 1945 yang telah diamandemen lebih demokratis, terbuka, dan akuntabel dibandingkan versi aslinya yang lebih otoriter dan tersentralisasi.

B. Alasan Munculnya Wacana Kembali ke UUD 1945

Sejak amandemen Undang-Undang Dasar 1945 selesai dilakukan pada tahun 2002, tidak sedikit kelompok atau tokoh politik yang menyuarakan wacana untuk kembali ke UUD 1945 versi asli. Salah satu alasan utama yang sering dikemukakan adalah anggapan bahwa amandemen tersebut telah menyebabkan instabilitas politik, disintegrasi kewenangan lembaga negara, serta membuka jalan bagi liberalisasi sistem pemerintahan secara berlebihan. Mereka menilai sistem politik pasca-amandemen terlalu kompetitif, berbiaya tinggi, dan cenderung menimbulkan fragmentasi kekuasaan yang tidak efektif dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional.

Beberapa pihak juga berpendapat bahwa sistem presidensial dalam UUD hasil amandemen membuat Presiden terlalu tergantung pada partai politik dan koalisi di parlemen, sehingga mengurangi efektivitas pemerintah dalam menjalankan program-programnya. Dalam pandangan ini, kembalinya konstitusi ke versi aslinya diyakini bisa memulihkan stabilitas politik karena UUD 1945 asli memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada Presiden untuk mengambil keputusan secara cepat dan tegas, tanpa terlalu banyak intervensi dari lembaga lain.

Selain itu, ada kelompok-kelompok tertentu khususnya dari kalangan konservatif politik atau yang memiliki afiliasi nostalgia terhadap era Orde Lama atau Orde Baru yang merindukan sistem pemerintahan yang lebih terpusat dan otoritatif. Mereka melihat masa lalu, terutama masa Orde Baru, sebagai periode stabilitas dan pembangunan, meskipun harus mengorbankan sebagian prinsip demokrasi. Dalam pandangan mereka, demokrasi liberal yang muncul setelah reformasi justru dianggap memperburuk moralitas politik, memperlemah ideologi nasional, serta melemahkan peran negara dalam menjaga kedaulatan.

Namun, pandangan ini tentu menimbulkan perdebatan karena dinilai mengabaikan semangat reformasi dan prinsip negara demokratis yang menjadi dasar amandemen konstitusi. Kritik terhadap amandemen seharusnya diarahkan pada perbaikan pelaksanaannya, bukan pada upaya untuk kembali ke konstitusi yang secara struktural membuka celah otoritarianisme dan sentralisme kekuasaan.

C. Tinjauan Kritis: Mengapa Tidak Relevan Kembali ke UUD 1945

Wacana untuk kembali ke UUD 1945 versi asli perlu ditinjau secara kritis dari berbagai sudut pandang, mengingat konteks sosial-politik Indonesia yang telah berkembang pesat sejak era Reformasi. Ada tiga pendekatan utama yang dapat digunakan untuk menilai ketidakrelevanan gagasan tersebut: perspektif demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan hukum tata negara.

Pertama, dari perspektif demokrasi, UUD 1945 versi asli menyimpan potensi besar untuk lahirnya pemerintahan yang otoriter. Pasal-pasal dalam konstitusi tersebut menempatkan kekuasaan legislatif dan eksekutif nyaris tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. Presiden memiliki kekuasaan luas—baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan—tanpa sistem checks and balances yang kuat. Dalam praktiknya, hal ini terbukti pada masa Orde Lama dan Orde Baru, ketika pemerintahan cenderung represif dan minim partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Amandemen UUD telah memperkenalkan sistem yang lebih demokratis dengan pemilu langsung, partisipasi politik yang lebih terbuka, serta lembaga-lembaga pengawas independen.

Kedua, dari perspektif hak asasi manusia (HAM), UUD 1945 asli nyaris tidak menyebutkan hak-hak dasar warga negara secara eksplisit. Perlindungan terhadap hak sipil dan politik hanya disinggung secara umum. Baru setelah amandemen, terutama melalui penambahan Bab XA, prinsip-prinsip HAM dimasukkan secara rinci, termasuk hak atas kebebasan berpendapat, beragama, hidup layak, dan mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini menyesuaikan dengan komitmen Indonesia terhadap norma-norma internasional seperti Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Ketiga, dari perspektif hukum, proses amandemen UUD 1945 telah dilakukan secara sah dan konstitusional melalui forum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan mekanisme yang diatur oleh UUD itu sendiri. Artinya, amandemen bukan tindakan inkonstitusional, melainkan bagian dari dinamika sistem hukum Indonesia yang memberi ruang pembaruan. Menghapus hasil amandemen berarti mengabaikan legalitas forum tertinggi negara yang mewakili seluruh rakyat melalui wakil-wakilnya. Selain itu, kembali ke UUD asli akan menciptakan ketidakpastian hukum dan instabilitas ketatanegaraan karena mencabut sejumlah institusi penting hasil reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan pengaturan pemilu langsung.

Dengan demikian, dari ketiga perspektif tersebut, gagasan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli bukan saja tidak relevan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip demokrasi modern, perlindungan hak rakyat, serta kepastian hukum.

D. Tantangan dan Alternatif

Wacana untuk kembali ke UUD 1945 versi asli seringkali didasarkan pada ketidakpuasan terhadap hasil amandemen, seperti fragmentasi kekuasaan, birokrasi politik yang kompleks, atau munculnya konflik antar lembaga negara. Namun, pendekatan yang solutif dan relevan dengan prinsip demokrasi bukanlah dengan membatalkan seluruh hasil reformasi, melainkan melakukan revisi terbatas terhadap pasal-pasal tertentu yang dinilai bermasalah. Revisi terbatas ini dapat diarahkan untuk menyempurnakan sistem presidensial, memperkuat efektivitas lembaga perwakilan, atau menyederhanakan mekanisme pengambilan keputusan tanpa kembali pada sentralisasi kekuasaan seperti dalam UUD 1945 asli.

Alternatif lain yang lebih substansial adalah membangun dan memperkuat budaya konstitusi (constitutional culture) di kalangan penyelenggara negara maupun masyarakat. Tantangan utama bukan terletak pada teks UUD semata, tetapi pada konsistensi pelaksanaannya. Sebaik apa pun isi konstitusi, jika pelaksana negara tidak menjunjung tinggi nilai-nilainya, maka potensi penyimpangan tetap besar. Oleh karena itu, pendidikan konstitusi, transparansi, akuntabilitas pejabat publik, serta partisipasi masyarakat dalam pengawasan menjadi elemen penting agar konstitusi benar-benar hidup dalam praktik, bukan hanya di atas kertas.

Dengan demikian, alih-alih membatalkan hasil amandemen dan kembali ke naskah lama, jalan ke depan yang lebih konstruktif adalah memperkuat kualitas pelaksanaan konstitusi dan melakukan perbaikan terbatas jika dibutuhkan melalui prosedur sah dan demokratis.

Kesimpulan

Konstitusi merupakan fondasi utama dalam penyelenggaraan negara, dan perubahan terhadapnya harus dilakukan dengan pertimbangan matang serta kesadaran terhadap dinamika sosial-politik yang berkembang. Amandemen UUD 1945 bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan, melainkan upaya progresif untuk menyesuaikan konstitusi Indonesia dengan tuntutan zaman, memperkuat demokrasi, menjamin perlindungan hak asasi manusia, dan memperjelas tata kelola negara yang transparan serta akuntabel.

Wacana untuk kembali ke UUD 1945 versi asli tidak hanya tidak relevan dalam konteks demokrasi modern, tetapi juga berisiko membawa Indonesia mundur ke arah pemerintahan yang otoriter dan tersentralisasi. Permasalahan dalam praktik ketatanegaraan saat ini bukan terletak pada teks konstitusi hasil amandemen, melainkan pada pelaksanaannya yang belum maksimal. Solusi yang tepat bukan dengan menghapus hasil reformasi, tetapi dengan memperkuat budaya konstitusi dan melakukan penyempurnaan terbatas jika diperlukan melalui mekanisme sah.

Dengan demikian, menjaga dan menyempurnakan UUD 1945 hasil amandemen adalah pilihan yang paling logis dan strategis untuk memastikan Indonesia tetap berada di jalur demokrasi konstitusional yang menjunjung tinggi hak rakyat, supremasi hukum, dan keberagaman dalam bingkai negara kesatuan.

Saran

1. Melakukan evaluasi terbatas terhadap pasal-pasal hasil amandemen

Yang menimbulkan multitafsir atau hambatan dalam praktik pemerintahan, melalui mekanisme yang sah dan demokratis di MPR.

2. Memperkuat budaya konstitusi

Di kalangan penyelenggara negara dan masyarakat melalui pendidikan kewarganegaraan, pelatihan bagi aparat negara, serta penyuluhan hukum secara berkelanjutan agar nilai-nilai konstitusi benar-benar dipahami dan dijalankan.

3. Meningkatkan efektivitas lembaga pengawasan dan peradilan konstitusi, Seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Ombudsman, agar fungsi checks and balances berjalan secara optimal dan tidak disalahgunakan oleh kekuatan politik.

4. Mendorong reformasi partai politik dan sistem pemilu

Agar lebih transparan, efisien, dan berorientasi pada kepentingan publik, bukan hanya elite politik. Ini penting untuk memperkuat legitimasi demokrasi hasil amandemen.

5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi dan pengawasan

Melalui mekanisme aspirasi publik, petisi, dan forum dialog yang inklusif, agar rakyat benar-benar menjadi bagian dari proses konstitusional, bukan sekadar objek aturan.

Daftar Pustaka

1. https://nasional.kompas.com/read/2022/02/13/01300071/amandemen-keempat-uud-1945--latar-belakang-dan-perubahannya

2. Asshiddiqie, Jimly. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

3. Harun, H. (2015). Amandemen UUD 1945: Sejarah dan Implikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

4. Lembaga Survei Indonesia (LSI). (2020). Opini Publik tentang Amandemen UUD 1945.

5. https://jimlyschool.com/materi/konstitusi_dan_konstitusionalisme.pdf

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47