Thursday, May 29, 2025

KONSTITUSI dan HAM : Sejauh Mana Perlindungannya

Oleh :  Nurul Khotimah (D24)

Abstrak

Konstitusi sebagai hukum dasar suatu negara memiliki peran fundamental dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM). Artikel ini mengkaji sejauh mana efektivitas konstitusi dalam memberikan perlindungan HAM, dengan fokus pada konteks Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode analisis yuridis normatif dengan pendekatan komparatif terhadap berbagai instrumen konstitusional dan praktik penegakan HAM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Konstitusi Indonesia secara luas membahas prinsip -prinsip hak asasi manusia, tetapi masih ada kesenjangan antara norma -norma Konstitusi dan implementasinya yang sebenarnya. Faktor -faktor seperti penegakan hukum yang lemah, kurangnya kesadaran publik, dan tantangan struktural adalah hambatan utama untuk mencapai perlindungan hak asasi manusia yang optimal. Studi ini menyimpulkan bahwa perlindungan hak asasi manusia dalam Konstitusi akan meningkat melalui reformasi kelembagaan, meningkatkan kapasitas pejabat penegak hukum dan memungkinkan masyarakat sipil.

Kata Kunci: konstitusi, hak asasi manusia, perlindungan hukum, implementasi, reformasi

1. Pendahuluan

Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak fundamental yang melekat pada setiap individu sebagai konsekuensi dari keberadaannya sebagai manusia. Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM telah menjadi salah satu indikator utama dalam menilai kualitas demokrasi dan supremasi hukum suatu negara. Dalam konteks ini, konstitusi sebagai hukum tertinggi memiliki posisi strategis sebagai instrumen utama yang mengatur dan menjamin perlindungan HAM.

Konsep HAM berkembang dari filosofi hukum kodrat yang meyakini bahwa setiap manusia memiliki hak-hak yang tidak dapat dicabut oleh siapapun, termasuk negara. Perkembangan konsep ini mencapai puncaknya dengan diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini kemudian menjadi rujukan bagi negara-negara di dunia dalam merumuskan perlindungan HAM dalam konstitusi mereka.

Sebagai negara konstitusional, Indonesia telah menjalani perjalanan panjang untuk melindungi HAM secara menyeluruh. Sejak kemerdekaannya pada tahun 1945, konstitusi negara ini telah berubah dan berkembang, terutama melalui empat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 antara tahun 1999 dan 2002. Empat amandemen ini dilakukan karena tuntutan reformasi untuk meningkatkan demokratisasi dan hak asasi manusia.

Sebelum era reformasi, pengaturan HAM dalam konstitusi Indonesia masih sangat terbatas. UUD 1945 versi asli hanya mengatur beberapa hak fundamental secara implisit, seperti persamaan kedudukan di hadapan hukum (Pasal 27 ayat 1) dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2). Keterbatasan ini menjadi salah satu kritik utama terhadap konstitusi Indonesia pra-reformasi.

Amandemen konstitusi tersebut membawa perubahan signifikan dalam pengaturan HAM, dengan memasukkan Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 10 pasal (Pasal 28A hingga 28J). Penambahan bab khusus ini menunjukkan komitmen negara untuk memberikan jaminan konstitusional yang lebih kuat terhadap perlindungan HAM. Selain itu, berbagai hak fundamental lainnya juga diperkuat dalam pasal-pasal lain, seperti hak atas informasi, hak atas pendidikan, dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

Namun demikian, perlu dievaluasi apakah jaminan konstitusional tersebut benar-benar memberikan perlindungan bagi warga negara. Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa jaminan konstitusional yang kuat tidak secara otomatis menjamin perlindungan HAM yang efektif dalam praktik. Dibutuhkan sistem pendukung yang luas, termasuk institusi yang kuat, budaya hukum yang baik, dan partisipasi masyarakat yang aktif.

Permasalahan mendasar yang sering muncul adalah kesenjangan antara norma konstitusional dengan realitas implementasi. Meskipun konstitusi telah memberikan jaminan perlindungan HAM yang komprehensif, dalam praktiknya masih ditemukan berbagai pelanggaran dan keterbatasan dalam penegakan HAM. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana efektivitas konstitusi dalam memberikan perlindungan HAM yang sesungguhnya.

Kajian ini sangat penting untuk mengevaluasi kemajuan dan hambatan dalam penerapan instrumen konstitusional untuk melindungi HAM. Dengan memahami bagaimana konstitusi berinteraksi dengan perlindungan HAM, diharapkan dapat ditemukan cara untuk memperkuat sistem perlindungan HAM yang lebih efisien dan berkelanjutan. Selain itu, kajian ini penting untuk mendukung teori konstitusi dan HAM, khususnya dalam konteks negara berevolusi.

2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini fokus pada beberapa permasalahan utama:

Pertama, bagaimana konstitusi Indonesia mengatur dan menjamin perlindungan HAM dalam kerangka normatif? Permasalahan ini penting untuk dipahami karena konstitusi sebagai hukum tertinggi harus memberikan landasan yang kokoh bagi perlindungan HAM. Analisis terhadap ketentuan konstitusional akan memberikan gambaran mengenai sejauh mana komitmen negara dalam menjamin HAM secara normatif.

Kedua, sejauh mana efektivitas implementasi jaminan konstitusional terhadap HAM dalam praktik ketatanegaraan? Permasalahan ini mengkaji kesenjangan antara norma dengan praktik, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi perlindungan HAM.

Ketiga, apa saja tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam mewujudkan perlindungan HAM yang optimal melalui instrumen konstitusional? Identifikasi terhadap berbagai hambatan ini penting untuk merumuskan strategi penguatan sistem perlindungan HAM.

Keempat, bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat perlindungan HAM dalam kerangka konstitusional? Permasalahan ini akan mengkaji berbagai alternatif solusi untuk meningkatkan efektivitas perlindungan HAM.

3. Pembahasan

3.1 Landasan Konstitusional Perlindungan HAM di Indonesia

Konstitusi Indonesia mengatur perlindungan HAM melalui berbagai ketentuan yang tersebar dalam beberapa pasal. Sebelum amandemen, pengaturan HAM dalam UUD 1945 masih terbatas dan belum komprehensif. Ketentuan yang ada hanya mencakup beberapa hak dasar seperti persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1), hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2), dan kebebasan beragama (Pasal 29 ayat 2). Keterbatasan ini mencerminkan paradigma negara yang masih menempatkan kewajiban warga negara lebih menonjol dibandingkan hak-haknya.

Namun, antara tahun 1999 dan 2002, empat kali amandemen mengubah undang-undang Hak Asasi Manusia. Perubahan terbesar yang terjadi adalah penambahan Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari Pasal 28A hingga 28J. Penambahan bab khusus ini merupakan kemajuan besar dalam konstitusionalisasi hak asasi manusia di Indonesia dan menunjukkan pergeseran paradigma dari negara yang berfokus pada kewajiban menjadi negara yang mengakui dan melindungi hak-hak manusia.

Pasal 28A menjamin hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan, yang merupakan hak paling fundamental dalam hierarki HAM. Ketentuan ini memberikan perlindungan konstitusional terhadap hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Pasal 28B mengatur hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, termasuk hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28C memberikan jaminan terhadap hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Ketentuan ini mengakui pentingnya pembangunan kapasitas manusia sebagai bagian integral dari HAM. Sementara itu, Pasal 28D mengatur berbagai hak sipil dan politik, termasuk pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Aspek penting lainnya adalah pengakuan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang diatur dalam Pasal 28E. Pasal ini tidak hanya memberikan kebebasan kepada individu untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama mereka, tetapi juga memberikan kebebasan kepada individu untuk memilih jenis pendidikan dan pendidikan, pekerjaan, kewarganegaraan, dan tempat tinggal. Ayat 3 Pasal 28E juga menjamin hak atas kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat, yang merupakan pilar kehidupan demokratis.

Pasal 28F memberikan jaminan terhadap hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Ketentuan ini sangat relevan dalam era informasi digital saat ini, dimana akses terhadap informasi menjadi kunci pemberdayaan masyarakat.

Selain itu, Pasal 28H konstitusi mengatur hak ekonomi dan sosial, termasuk hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan hak untuk mendapatkan tempat tinggal, lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

Namun demikian, Pasal 28J Konstitusi menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan juga menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak dan kebebasan orang lain dan untuk melindungi hak dan kebebasan individu lainnya.

Pembatasan dalam Pasal 28J ini memberikan ruang bagi negara untuk melakukan pembatasan terhadap HAM, namun dengan syarat-syarat yang ketat. Pembatasan hanya dapat dilakukan melalui undang-undang dan harus memenuhi prinsip-prinsip proporsionalitas, legalitas, dan legitimasi tujuan. Ketentuan ini mencerminkan prinsip bahwa HAM bukanlah hak yang absolut, tetapi harus diimbangi dengan kepentingan umum dan hak orang lain.

3.2 Implementasi Perlindungan HAM dalam Praktik

Implementasi jaminan konstitusional terhadap HAM dalam praktik ketatanegaraan Indonesia menunjukkan gambaran yang kompleks dan beragam. Di satu sisi, terdapat kemajuan signifikan dalam pengakuan dan perlindungan HAM sejak era reformasi, namun di sisi lain masih ditemukan berbagai tantangan dan keterbatasan yang menghambat realisasi penuh perlindungan HAM.

Sejak era reformasi, Indonesia telah mengalami kemajuan besar dalam bidang kebebasan sipil dan politik. Setelah lama berada di bawah pengawasan yang ketat, kebebasan pers berkembang menjadi salah satu yang paling bebas di Asia Tenggara. Kebebasan berserikat juga meningkat, dengan ribuan organisasi masyarakat sipil, partai politik, dan kelompok advokasi yang beroperasi secara terbuka. Media massa juga dapat beroperasi dengan lebih bebas, mengkritik pemerintah, dan menyuarakan berbagai perspektif tanpa takut akan pembredalan yang sewenang-wenang seperti pada era Orde Baru.

Dengan dilaksanakannya pemilihan umum yang berkala, bebas, langsung, umum, rahasia, jujur, dan adil, kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik juga semakin terbuka. Dalam berbagai tingkatan pemerintahan, masyarakat memiliki kesempatan yang luas untuk berpartisipasi dalam proses politik, baik sebagai pemilih maupun sebagai kandidat. Otonomi daerah mendistribusikan kekuasaan. Ini juga memungkinkan masyarakat lebih terlibat dalam pengambilan keputusan lokal.

Namun, dalam praktiknya masih ditemukan berbagai permasalahan serius. Kasus-kasus pembatasan kebebasan beragama dan berkeyakinan masih terjadi, terutama terhadap kelompok minoritas. Fenomena intoleransi agama yang menguat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya kesenjangan antara jaminan konstitusional dengan realitas di lapangan. Pembangunan tempat ibadah kelompok minoritas seringkali menghadapi hambatan dari kelompok mayoritas, dan negara tidak selalu mampu memberikan perlindungan yang memadai.

Intimidasi terhadap aktivis HAM dan jurnalis juga masih menjadi perhatian serius. Meskipun tidak separah pada era Orde Baru, kriminalisasi terhadap aktivis yang mengkritisi kebijakan pemerintah masih terjadi, terutama melalui penggunaan pasal-pasal kontroversial dalam berbagai undang-undang. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seringkali digunakan untuk membungkam kritik, meskipun telah mengalami beberapa kali revisi untuk mengurangi potensi penyalahgunaan.

Dalam bidang hak ekonomi, sosial, dan budaya, capaian Indonesia menunjukkan hasil yang beragam. Program-program pengentasan kemiskinan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) telah memberikan kontribusi positif dalam mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan akses terhadap layanan dasar. Data menunjukkan tren penurunan angka kemiskinan yang konsisten, meskipun masih terdapat kantong-kantong kemiskinan yang memerlukan perhatian khusus.

Akses terhadap pendidikan dasar telah mencapai tingkat yang cukup baik, dengan angka partisipasi sekolah dasar yang mendekati universal. Program wajib belajar 12 tahun juga menunjukkan komitmen pemerintah untuk memenuhi hak atas pendidikan. Namun, kualitas pendidikan masih menjadi tantangan, dengan disparitas yang signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara daerah maju dan tertinggal.

Dalam bidang kesehatan, implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui program BPJS Kesehatan merupakan langkah progresif dalam memenuhi hak atas kesehatan. Program ini telah memberikan akses pelayanan kesehatan kepada lebih dari 220 juta penduduk Indonesia. Namun, tantangan dalam hal kualitas pelayanan, keterbatasan fasilitas kesehatan di daerah terpencil, dan sustainability pembiayaan masih menjadi permasalahan yang perlu diatasi.

Kesenjangan ekonomi yang masih tinggi menunjukkan bahwa pemenuhan hak ekonomi dan sosial belum optimal. Koefisien Gini Indonesia masih berada pada level yang cukup tinggi, menunjukkan distribusi pendapatan yang tidak merata. Selain itu, akses terhadap lapangan kerja, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak muda, dan penyandang disabilitas, masih sulit.

Permasalahan struktural dalam implementasi HAM juga terlihat dari lemahnya mekanisme penegakan hukum. Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum diselesaikan secara tuntas, seperti kasus 1965, Trisakti, Semanggi, dan berbagai kasus di Aceh, Papua, dan Timor Timur, menunjukkan keterbatasan dalam aspek keadilan transisional. Lemahnya political will untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut mencerminkan masih kuatnya budaya impunitas dalam sistem hukum Indonesia.

Selain itu, kolaborasi antar lembaga negara dalam perlindungan hak asasi manusia masih perlu diperkuat. Sebagai lembaga independen, Komnas HAM masih memiliki keterbatasan dalam hal kewenangan penyidikan dan penegakan hukum, sehingga rekomendasi-rekomendasinya tidak selalu ditindaklanjuti oleh lembaga terkait. Tumpang tindih kewenangan dan kurangnya sinergi antara berbagai institusi yang terlibat dalam perlindungan HAM seringkali menghambat efektivitas penegakan HAM.

3.3 Tantangan dan Hambatan Perlindungan HAM

Berbagai tantangan dan hambatan masih dihadapi dalam mewujudkan perlindungan HAM yang optimal melalui instrumen konstitusional. Tantangan pertama adalah aspek kultur hukum yang belum sepenuhnya mendukung penegakan HAM. Kesadaran masyarakat terhadap HAM, baik sebagai pemegang hak maupun pengemban kewajiban, masih perlu ditingkatkan.

Tantangan kedua terletak pada aspek struktur hukum, khususnya lemahnya kapasitas institusi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Keterbatasan sumber daya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, menjadi hambatan dalam penegakan HAM yang efektif. Selain itu, koordinasi antar lembaga yang terlibat dalam perlindungan HAM masih perlu diperkuat.

Tantangan ketiga adalah aspek substansi hukum, dimana masih terdapat peraturan perundang-undangan yang berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan standar HAM internasional masih menjadi agenda yang belum selesai. Selain itu, implementasi pembatasan HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945 masih perlu diatur lebih jelas untuk mencegah penyalahgunaan.

Faktor politik juga menjadi tantangan tersendiri, dimana dinamika politik praktis seringkali mempengaruhi implementasi perlindungan HAM. Polarisasi politik dan penggunaan isu SARA dalam kontestasi politik dapat berdampak negatif terhadap perlindungan HAM, khususnya hak minoritas.

Tantangan eksternal juga perlu dipertimbangkan, seperti pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi yang menimbulkan isu-isu HAM baru. Perlindungan data pribadi, hak digital, dan dampak kecerdasan buatan terhadap HAM menjadi tantangan kontemporer yang perlu diantisipasi.

3.4 Upaya Penguatan Perlindungan HAM

Untuk memperkuat perlindungan HAM dalam kerangka konstitusional, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan multi-dimensional. Pertama, penguatan aspek kelembagaan melalui peningkatan kapasitas dan independensi lembaga-lembaga HAM. Komnas HAM sebagai lembaga independen perlu diperkuat mandat dan kewenangannya, termasuk dalam aspek investigasi dan rekomendasi.

Kedua, harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan standar HAM internasional dan ketentuan konstitusi. Proses legislative review terhadap peraturan yang berpotensi bertentangan dengan HAM perlu dilakukan secara sistematis. Selain itu, penyusunan peraturan pelaksana yang mendukung implementasi jaminan konstitusional HAM perlu diprioritaskan.

Ketiga, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan HAM yang berkelanjutan. Pemahaman yang baik terhadap prinsip-prinsip HAM akan mendukung penegakan hukum yang lebih sensitif terhadap HAM. Selain itu, pengembangan standar operasional prosedur yang berbasis HAM dalam penegakan hukum perlu dilakukan.

Keempat, penguatan peran masyarakat sipil dalam pemantauan dan advokasi HAM. Pemberdayaan organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas lokal dalam perlindungan HAM akan memperkuat sistem perlindungan HAM secara keseluruhan. Partisipasi aktif masyarakat dalam pemantauan implementasi HAM juga akan meningkatkan akuntabilitas negara.

Kelima, peningkatan kesadaran dan pendidikan HAM di semua tingkatan masyarakat. Program pendidikan HAM yang terintegrasi dalam sistem pendidikan formal dan non-formal akan membentuk budaya menghormati HAM dalam masyarakat. Selain itu, kampanye publik tentang HAM perlu dilakukan secara berkelanjutan.

4. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa konstitusi Indonesia telah memberikan landasan yang cukup komprehensif untuk perlindungan HAM. Pengaturan HAM dalam Bab XA UUD 1945 menunjukkan komitmen konstitusional yang kuat terhadap pengakuan dan perlindungan HAM. Namun demikian, efektivitas perlindungan HAM dalam praktik masih menghadapi berbagai tantangan dan keterbatasan.

Kesenjangan antara norma konstitusional dengan implementasi praktis masih menjadi permasalahan utama. Faktor-faktor seperti lemahnya kultur hukum, keterbatasan kapasitas institusi, dan harmonisasi peraturan perundang-undangan menjadi hambatan dalam mewujudkan perlindungan HAM yang optimal.

Kemajuan dalam perlindungan HAM telah dicapai, khususnya dalam bidang kebebasan sipil dan politik. Namun, tantangan dalam perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu masih memerlukan perhatian serius.

Perlindungan HAM dalam kerangka konstitusional bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat. Sinergi antara negara, masyarakat sipil, dan warga negara secara individual menjadi kunci keberhasilan dalam mewujudkan perlindungan HAM yang efektif.

 

5. Saran

Untuk memperkuat perlindungan HAM dalam kerangka konstitusional, disarankan:

1.     Reformasi Kelembagaan - Memperkuat independensi dan kewenangan Komnas HAM serta meningkatkan koordinasi antar lembaga negara.

2.      Harmonisasi Hukum - Melakukan review sistematis terhadap peraturan yang bertentangan dengan standar HAM internasional.

3.      Peningkatan Kapasitas - Mengintensifkan pendidikan dan pelatihan HAM bagi aparat penegak hukum.

4.      Pemberdayaan Masyarakat Sipil - Memperkuat peran organisasi masyarakat dalam pemantauan dan advokasi HAM.

5.      Pendidikan HAM - Mengintegrasikan pendidikan HAM dalam kurikulum formal dan program sosialisasi berkelanjutan.

6.      Sistem Monitoring - Mengembangkan mekanisme pemantauan dan evaluasi implementasi HAM yang komprehensif.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2020). Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Sinar Grafika.

Bustami, R. (2019). "Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945". Jurnal Hukum dan Pembangunan, 49(2), 234-251.

Hadjon, P.M. (2021). Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.

Marzuki, P.M. (2019). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Jakarta: Kencana.

Setiawan, A. (2021). "Efektivitas Komnas HAM dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia". Jurnal HAM, 12(1), 78-95.

Yusuf, M. (2021). "Pembatasan HAM dalam Perspektif Konstitusi Indonesia". Constitutional Review, 7(1), 89-112.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47