Thursday, May 29, 2025

Sejarah Panjang UUD 1945 dari Proklamasi hingga Amandemen ke-4

 

Oleh : Syafa Fatin Jannah (D28)


Abstrak

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan dasar hukum tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejak disahkan pada 18 Agustus 1945, UUD 1945 telah mengalami berbagai dinamika sejarah dan politik yang membentuk wajah konstitusi Indonesia hingga saat ini.

Perjalanan panjang UUD 1945 dimulai dari masa perumusan oleh BPUPKI dan PPKI, dilanjutkan dengan berbagai fase penggantian konstitusi seperti UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, pemberlakuan kembali UUD 1945 melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959, hingga era reformasi yang mendorong amandemen sebanyak empat kali. Kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman historis dan kritis mengenai latar belakang serta dampak dari setiap fase perkembangan konstitusi terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan menelaah konteks sosial-politik di setiap tahapannya, tulisan ini menekankan pentingnya UUD 1945 sebagai instrumen utama dalam menjaga demokrasi, supremasi hukum, dan keutuhan bangsa.

Kata Kunci : Konstitusi, UUD 1945, amandemen, reformasi, sejarah hukum, ketatanegaraan Indonesia

 

Abstract ( English )

The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945) serves as the highest legal foundation in the Indonesian constitutional system. Since its ratification on August 18, 1945, it has undergone significant political and historical changes that have shaped the nation’s constitutional identity. Its long journey includes its initial formulation by BPUPKI and PPKI, replacement by the Federal Constitution of 1949 and the Provisional Constitution of 1950, its reinstatement through the Presidential Decree of July 5, 1959, and the four major amendments during the Reform Era. This study aims to provide a historical and critical understanding of each phase in the evolution of the Constitution and its implications for Indonesia’s state system. By examining the socio-political context behind each constitutional development, this paper highlights the essential role of the 1945 Constitution in safeguarding democracy, the rule of law, and national unity.

Keywords : Constitution, 1945 Constitution, amendment, reform, legal history, Indonesian constitutional system

 

PENDAHULUAN

Konstitusi adalah dokumen dasar yang menjadi pijakan dalam seluruh proses penyelenggaraan negara. Di dalamnya tercermin nilai-nilai, prinsip, serta arah yang hendak dicapai oleh suatu bangsa dalam menjalankan kehidupan bernegara. Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bukan sekadar seperangkat norma hukum, tetapi juga merupakan hasil pergulatan panjang para pendiri bangsa dalam merumuskan identitas dan cita-cita kemerdekaan. Sejak pertama kali disahkan sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, UUD 1945 telah mengalami dinamika yang tidak sederhana. Ia telah diganti, diberlakukan kembali, dan akhirnya diamandemen sebanyak empat kali. Semua ini mencerminkan bahwa konstitusi bukanlah teks yang beku, melainkan dokumen yang hidup dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.

Perjalanan panjang UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah dan politik yang menyertainya. Masa awal kemerdekaan, ketika negara masih mencari bentuk dan stabilitas, memperlihatkan bagaimana konstitusi digunakan sebagai alat pengatur sekaligus simbol persatuan. Namun seiring waktu, perubahan sosial, ekonomi, dan politik mendorong perlunya penyesuaian terhadap sistem ketatanegaraan yang ada. Terlebih lagi, masa Orde Baru telah meninggalkan warisan otoritarianisme yang membuat UUD 1945 kerap dimaknai secara sempit dan dipakai untuk melanggengkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu munculnya tuntutan reformasi pada akhir 1990-an.

Amandemen UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap antara tahun 1999 hingga 2002 merupakan tonggak penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Proses ini tidak hanya memperbarui isi pasal-pasal, tetapi juga mengubah struktur dan logika bernegara, termasuk penguatan sistem demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia, serta sistem checks and balances yang lebih seimbang. Namun, perubahan tersebut tentu tidak lepas dari perdebatan dan tantangan, baik dari sisi substansi maupun politik.

Melalui tulisan ini, penulis berupaya menguraikan sejarah panjang UUD 1945 secara kronologis dan kontekstual, untuk memahami bagaimana perubahan-perubahan tersebut terbentuk dan sejauh mana pengaruhnya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

 

PERMASALAHAN

Dalam kajian terhadap sejarah panjang UUD 1945 dari masa proklamasi hingga amandemen keempat, beberapa permasalahan utama yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

  1. Konstitusi Dirumuskan dalam Waktu Singkat
    UUD 1945 disusun dalam waktu yang sangat terbatas, yakni hanya beberapa minggu menjelang proklamasi kemerdekaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah konstitusi tersebut cukup matang dan ideal sebagai dasar hukum negara jangka panjang.
  2. Ketidaksesuaian antara Teks dan Praktik Politik
    Meskipun UUD 1945 tetap dijadikan dasar hukum tertinggi, praktik politik selama masa Orde Lama dan Orde Baru banyak menyimpang dari semangat demokrasi yang terkandung dalam konstitusi. Kekuatan eksekutif yang terlalu dominan dan lemahnya kontrol legislatif dan yudikatif menjadi indikasi ketimpangan kekuasaan.
  3. Pergantian Konstitusi yang Tidak Stabil
    Peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1949, kemudian ke UUDS 1950, dan akhirnya kembali ke UUD 1945 lewat Dekret Presiden 1959, mencerminkan ketidakstabilan dasar hukum negara di masa awal kemerdekaan. Hal ini menunjukkan bahwa konstitusi rentan terhadap intervensi kekuasaan politik.
  4. Proses Amandemen yang Terburu-buru
    Amandemen UUD 1945 pasca-reformasi dilakukan dalam waktu yang relatif singkat (1999–2002) di tengah kondisi politik yang belum sepenuhnya stabil. Beberapa pihak menilai proses tersebut belum melibatkan partisipasi publik secara luas dan menimbulkan beberapa ketidaksinkronan antar pasal.
  5. Tumpang Tindih dan Ketidakjelasan Kewenangan Lembaga Negara
    Hasil amandemen, meski membawa banyak kemajuan, juga menimbulkan persoalan baru seperti tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara, yang berpotensi menghambat efektivitas pemerintahan.
  6. Rendahnya Literasi Konstitusi di Masyarakat
    Banyak warga negara yang belum memahami isi dan makna UUD 1945 secara utuh. Hal ini berdampak pada kurangnya partisipasi masyarakat dalam menjaga dan mengawal nilai-nilai konstitusi dalam kehidupan bernegara.

 

PEMBAHASAN

1. Perumusan Awal UUD 1945 oleh BPUPKI dan PPKI

Proses perumusan Undang-Undang Dasar 1945 tidak lepas dari dinamika menjelang kemerdekaan Indonesia. Pada awalnya, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada bulan Maret 1945. Badan ini bertugas menyusun dasar negara dan rancangan konstitusi sebagai bentuk janji kemerdekaan dari Jepang kepada bangsa Indonesia. Dalam sidang BPUPKI pertama, muncul berbagai gagasan tentang dasar negara, salah satunya dari Soekarno yang dikenal dengan nama Pancasila.

Selanjutnya, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta. Piagam ini menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945. Setelah itu, BPUPKI digantikan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan tokoh-tokoh penting seperti Soekarno, Hatta, Supomo, Yamin, dan lainnya. Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, PPKI mengesahkan UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh yang berisi 37 pasal, serta aturan peralihan dan tambahan.

Menariknya, proses perumusan ini berlangsung cepat dan efisien, namun tetap mencerminkan semangat kebangsaan dan kehendak untuk membentuk pemerintahan yang sah. Para perumus telah memperhitungkan aspek kenegaraan modern, termasuk sistem pemerintahan presidensial, pembagian kekuasaan, serta hak-hak warga negara. Meskipun disusun dalam suasana revolusioner dan darurat, UUD 1945 sejak awal telah memiliki struktur yang cukup sistematis sebagai fondasi negara merdeka.

2. Pergantian Konstitusi: UUD RIS 1949 dan UUDS 1950

Pasca pengakuan kedaulatan dari Belanda pada akhir 1949, Indonesia tidak lagi menggunakan UUD 1945. Sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Indonesia berubah menjadi negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS), dan memakai UUD RIS 1949 sebagai konstitusi. Dalam sistem ini, kedudukan negara bagian menjadi sangat penting, dan Presiden RIS hanya berfungsi sebagai kepala negara. Struktur ini dianggap rumit dan kurang sesuai dengan cita-cita nasional.

Namun, sistem federal tersebut tidak bertahan lama. Mayoritas rakyat dan pemimpin daerah merasa format federal lebih merupakan produk politik kolonial yang memecah belah. Akhirnya, pada Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan diberlakukannya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. UUDS ini mengadopsi sistem parlementer yang menjadikan kabinet bertanggung jawab kepada parlemen, bukan presiden.

Selama masa berlakunya UUDS 1950, Indonesia memasuki masa demokrasi parlementer. Meski membuka ruang lebih luas bagi demokrasi, sistem ini justru memicu ketidakstabilan pemerintahan karena kabinet sering berganti. Dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, lebih dari tujuh kabinet silih berganti, yang mencerminkan lemahnya sistem politik saat itu. Ketidakstabilan ini menjadi latar belakang penting bagi kembalinya UUD 1945 melalui jalan dekret presiden pada tahun 1959.

 

3. Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan Kembali ke UUD 1945

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, situasi politik terus memburuk akibat kegagalan Konstituante menyusun UUD baru. Konstituante, yang dipilih melalui Pemilu 1955, gagal mencapai konsensus mengenai bentuk konstitusi baru pengganti UUDS 1950. Dalam situasi politik yang macet, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Dekret ini menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan presiden semakin dominan. UUD 1945, yang sejatinya memberi ruang bagi sistem presidensial yang demokratis, justru diinterpretasikan secara sempit untuk memperkuat kekuasaan eksekutif. Banyak prinsip demokrasi seperti kebebasan berpendapat, pemilu yang bebas, dan otonomi kekuasaan yudikatif mulai terpinggirkan.

Meskipun pemberlakuan kembali UUD 1945 berhasil mengakhiri ketidakstabilan kabinet, tetapi yang muncul adalah sistem pemerintahan yang nyaris otoriter. Presiden memegang peran dominan, sementara lembaga legislatif dan yudikatif hanya berfungsi simbolis. Ini menjadi cikal bakal penyimpangan konstitusional yang kelak berlanjut di masa Orde Baru.

4. Orde Baru dan Penyimpangan terhadap UUD 1945

Masa Orde Baru yang dimulai sejak 1966 di bawah pemerintahan Presiden Soeharto ditandai oleh stabilitas politik yang relatif panjang, tetapi dengan harga mahal: terbatasnya ruang demokrasi. UUD 1945 dipertahankan, namun dalam praktiknya digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Pemerintahan Orde Baru memanfaatkan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang bersifat umum untuk membungkam oposisi, membatasi partisipasi politik, dan memperkuat dominasi eksekutif.

Salah satu penyimpangan terbesar adalah masa jabatan presiden yang tidak dibatasi secara efektif. Meskipun UUD 1945 tidak secara eksplisit menyatakan masa jabatan presiden hanya dua periode, semangat demokrasi seharusnya membatasi kekuasaan agar tidak menjadi absolut. Namun, dalam kenyataan politik, Presiden Soeharto terus terpilih tanpa perlawanan berarti dari MPR, yang secara struktur dikendalikan pemerintah.

Selain itu, sistem checks and balances tidak berjalan dengan semestinya. Lembaga-lembaga negara seperti DPR dan Mahkamah Agung tidak memiliki kekuatan nyata untuk mengontrol eksekutif. Lahirnya GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) dan konsep “demokrasi terpimpin versi Orde Baru” semakin menjauhkan praktik bernegara dari nilai-nilai demokrasi konstitusional.

Akumulasi ketidakadilan sosial, korupsi, dan krisis ekonomi akhirnya memuncak pada tahun 1998, yang menandai runtuhnya Orde Baru dan menjadi titik awal lahirnya gerakan reformasi. Dari sinilah tuntutan untuk mengamandemen UUD 1945 mulai digulirkan secara serius.

 

5. Amandemen UUD 1945: Perubahan dalam Empat Tahap (1999–2002)

Setelah runtuhnya Orde Baru, tuntutan utama masyarakat adalah demokratisasi sistem politik dan reformasi konstitusi. Amandemen UUD 1945 dilaksanakan secara bertahap dalam empat kali sidang MPR, mulai tahun 1999 hingga 2002. Proses amandemen ini menjadi salah satu pencapaian terbesar era reformasi karena dilakukan tanpa mengganti konstitusi secara total, tetapi memperbaiki struktur dan isinya dari dalam.

Amandemen Pertama (1999) berfokus pada penegasan kedaulatan rakyat, penguatan hak asasi manusia, dan pengaturan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi maksimal dua periode.

Amandemen Kedua (2000) menambahkan pasal-pasal baru mengenai hak asasi manusia, pemilu yang demokratis, dan mempertegas kewenangan DPR serta daerah dalam sistem otonomi.

Amandemen Ketiga (2001) memperkuat struktur kelembagaan seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan menjadikan pemilu sebagai satu-satunya mekanisme demokratis memilih presiden secara langsung oleh rakyat.

Amandemen Keempat (2002) menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara menyeluruh, memperjelas fungsi lembaga-lembaga tinggi negara, dan menghapus GBHN sebagai instrumen politik nasional. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, dan kedudukan DPR serta DPD semakin diperkuat.

Secara keseluruhan, amandemen ini berhasil mentransformasi UUD 1945 dari konstitusi yang cenderung otoriter menjadi lebih demokratis, akuntabel, dan menjamin hak-hak dasar warga negara.

 

6. Dampak Amandemen terhadap Sistem Ketatanegaraan

Amandemen UUD 1945 membawa dampak besar dalam kehidupan bernegara. Salah satu perubahan mendasar adalah pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Hal ini memperkuat prinsip kedaulatan rakyat dan meningkatkan akuntabilitas pemimpin nasional. Selain itu, dibentuknya Mahkamah Konstitusi memberikan jaminan atas pengujian undang-undang terhadap UUD, serta penyelesaian sengketa pemilu yang sebelumnya belum memiliki wadah konstitusional yang jelas.

Di sisi lain, lahirnya lembaga baru seperti DPD dan Komisi Yudisial turut menyeimbangkan kekuasaan legislatif dan yudikatif. Namun, tidak semua dampak amandemen berjalan ideal. Masih terdapat tumpang tindih kewenangan antar lembaga, interpretasi hukum yang multitafsir, serta problem implementasi di tingkat lokal.

Meskipun begitu, amandemen tetap menjadi titik balik penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Ia membuka ruang partisipasi masyarakat, memperkuat lembaga demokrasi, dan menghadirkan sistem yang lebih terbuka terhadap pengawasan publik.

 

KESIMPULAN

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan fondasi utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejak dirumuskan oleh BPUPKI dan disahkan oleh PPKI pada awal kemerdekaan, UUD 1945 telah mengalami perjalanan panjang yang penuh dinamika. Fase-fase pergantian konstitusi, mulai dari UUD RIS 1949, UUDS 1950, hingga kembali ke UUD 1945 melalui Dekret Presiden 1959, mencerminkan betapa kuatnya tarik menarik antara idealisme konstitusional dan realitas politik yang berkembang di Indonesia.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 digunakan bukan untuk menjamin hak-hak rakyat secara demokratis, melainkan lebih sebagai instrumen penguatan kekuasaan eksekutif. Hal ini menunjukkan bahwa teks konstitusi saja tidak cukup untuk menjamin tegaknya demokrasi, tanpa adanya budaya politik yang mendukung dan kontrol institusional yang memadai.

Gerakan reformasi 1998 membuka lembaran baru. Empat kali amandemen terhadap UUD 1945 antara tahun 1999 hingga 2002 merupakan upaya sistematis untuk menyesuaikan konstitusi dengan prinsip-prinsip demokrasi modern. Perubahan-perubahan ini meliputi penguatan lembaga-lembaga negara, pembatasan masa jabatan presiden, pemilihan umum yang lebih demokratis, dan jaminan hak asasi manusia yang lebih komprehensif.

Meski belum sempurna, hasil amandemen telah membawa perubahan signifikan dalam tatanan politik dan pemerintahan Indonesia. Kini tantangan terbesar bukan lagi pada teks konstitusi, melainkan pada pelaksanaan dan penegakan nilai-nilai konstitusional dalam praktik sehari-hari pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat.

 

SARAN

Dalam konteks sejarah panjang UUD 1945 dan amandemen yang telah dilakukan, beberapa hal perlu menjadi perhatian agar konstitusi tidak hanya menjadi dokumen formal, tetapi juga menjadi pedoman hidup bernegara yang nyata.

Pertama, penting bagi seluruh elemen bangsa untuk meningkatkan literasi konstitusi. Masyarakat luas harus memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara berdasarkan UUD 1945 agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi.

Kedua, lembaga-lembaga negara harus benar-benar menjalankan fungsinya sesuai dengan semangat konstitusi. Penguatan sistem checks and balances tidak cukup di atas kertas, tetapi harus diwujudkan dalam praktik yang transparan dan akuntabel. Reformasi birokrasi dan pengawasan terhadap penegak hukum perlu terus didorong agar hukum benar-benar menjadi panglima.

Ketiga, pendidikan konstitusi harus diperkuat sejak jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Generasi muda harus disiapkan menjadi warga negara yang kritis, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusional.

Keempat, perlu dilakukan evaluasi berkala terhadap hasil amandemen, tidak dengan maksud membongkar kembali secara emosional, tetapi untuk memastikan bahwa konstitusi tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman. Jika perlu dilakukan amandemen tambahan, maka harus dilaksanakan secara transparan, partisipatif, dan berorientasi pada kepentingan publik, bukan elite politik.

Dengan demikian, konstitusi akan benar-benar menjadi perwujudan dari kehendak rakyat, bukan sekadar produk politik yang mudah diubah demi kepentingan sesaat.

  

DAFTAR PUSTAKA

Amal, B., & Ihsan, M. (2023). Politik Hukum Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jurnal Al-Wasath. Diakses dari:
https://journal.unusia.ac.id/index.php/alwasath/article/download/741/429/2420

Asshiddiqie, J. (2010). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Huda, N. (2015). UUD 1945. Neliti. Diakses dari:
https://media.neliti.com/media/publications/85087-none-f3c96244.pdf

Ismail, F. (2017). Reformasi Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Rajawali Pers.

Lubis, T. M. (2005). Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mahfud MD. (2009). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Saputra, Y. (2021). Sejarah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Konstitusi di Indonesia. ResearchGate. Diakses dari:
https://www.researchgate.net/publication/352056700_SEJARAH_UNDANG-UNDANG_DASAR_NEGARA_REPUBLIK_INDONESIA_TAHUN_1945_SEBAGAI_KONSTITUSI_DI_INDONESIA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasca Amandemen I–IV). Diakses dari:
https://www.mkri.id

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47