Wednesday, June 23, 2021

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI Indonesia

 

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI Indonesia

KEWARGANEGARAAN







Dosen Pengajar :

Atep Afia Hidayat, Ir. MP

Disusun Oleh :

Divan alif pratama (41518010173)

 

PRODI TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS ILMU KOMPUTER

UNIVERSITAS MERCU BUANA

2021/2022






ABSTRAK

Hubungan antara agama dan negara menjadi wacana aktual dan dinamis dalam setiap fase perkembangan peradaban baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Perdebatan tersebut berkisar pada masalah bentuk negara, apakah bersifat integral, simbiotik ataukah sekuler. Berangkat dari wacana tersebut, kajian ini meneliti eksistensi hubungan antara agama (Islam) dan negara di Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah hermeneutika Martin Heidegger, sedangkan metode kajian yang digunakan adalah metode komparatif. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa secara historis-normatif, Nabi saw. telah merumuskan Negara Madinah berdasarkan Piagam Madinah yang spiritnya berdasarkan nash al-Qur’an, bukan negara Islam yang berdasarkan pada al-Qur’an secara literal. Para ulama yang menjadi pendiri negara Indonesia juga telah merumuskan Pancasila -sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD-NKRI 1945- sebagai bangunan ideal dalam membangun relasi agama dan negara di Indonesia, sehingga agama dan negara dapat berkembang secara dinamis-dialektis. Susbtansi norma agama diterapkan setelah diundangkan dan sesuai Pancasila dan UUD-NRI Tahun 1945.

 

 

 

 

 

PENDAHULUAN

Perubahan sosial merupakan sesuatu yang natural dalam kehidupan umat manusia.1 Perubahan dan dinamika tersebut juga terjadi dalam tata kehidupan beragama dan bernegara, sehingga hubungan keduanya menjadi perdebatan yang aktual dan dinamis, bahkan bersifat ekslusif-tendensius misalnya di kalangan Syi’ah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Laskar Jihad (LJ) yang memiliki pandangan bahwa agama dan negara bersifat integral, sementara itu di kalangan reformis muncul pandangan sekuler yang menyebutkan bahwa agama dan negara harus terpisah dengan tokohnya, Ali Abd Raziq. Dinamika perdebatan tersebut tidak lepas dari sifat norma agama (Islam) yang bersifat komprehentif, yang mengatur urusan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Sejarah telah membuktikan bahwa norma agama, terutama Islam lahir dan tumbuh bersama sejarah kehidupan negara, yaitu sejak masa Nabi Muhammad saw, terutama sejak terbentuknya Piagam Madinah. Piagam Madinah yang dirumuskan oleh Nabi saw menjadi saksi sejarah bahwa mulai sejak perkembangan awal, agama Islam telah berperan penting dalam pentas politik kenegaraan untuk memperpersatukan seluruh warga masyarakat dalam ikatan perjanjian politik kenegaraan, bukan dalam ikatan ideologi agama Islam. orma-norma agama Islam berlaku sejak berdirinya negara Madinah yang dibangun oleh Nabi saw.7 Implementasi norma agama Islam berjalan lancar tanpa ada kontroversi di kalangan warga masyarakat yang majemuk di Madinah.8 Pada periode Madinah, pluralitas hidup beragama juga semakin terasa, kebijakan Nabi saw sebagai pemimpin negara Madinah telah mampu memayungi pluralitas hidup warga masyarakat tersebut. Nurcholish Madjid dkk menuturkan: Pada saat kehidupan manusia semakin plural, terasa semakin mustahil untuk menerima suatu kebenaran ajaran yang Moh Dahlan

 

Permasalahan

Secara teoritis, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang memaksa secara sah, lebih unggul daripada kelompok atau individu yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut.

 

Tujuan

a.memiliki kesamaan cita-cita untuk membangun suatu sistem pemerintahan dengan mentaati peraturan perundang-undangan yang diberkalukan, termasuk di dalamnya membangun hubungan antara negara dengan agama yang dianut oleh warganya dalam suatu wilayah.

b.etika dan ibadah yang dijelaskan secara rinci, sedangkan masalah interaksi sosial (mu’amalat) hanya dijelaskan secara global.

 

Ruang Lingkup

Dalam sejarah Islam, ada tiga tipologi hubungan antara agama dan negara. Din Syamsudin membaginya sebagai berikut: Pertama, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara integral. Domain agama juga menjadi domain negara, demikian sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada jarak dan berjalan menjadi satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini adalah al-Maududi. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung, sehingga kedua wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk kepentingan pemenuhan kepentingan masing-masing, agama memerlukan lembaga negara untuk melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga negara memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan spirit ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan ini di antaranya adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Ketiga, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara merupakan dua domian yang berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali. Golongan ini memisahkan hubungan antara agama dan politik/ negara. Oleh sebab itu, golongan ini menolak pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma agama ke dalam sistem hukum negara.28 Salah satu tokoh Muslim dunia yang masuk golongan ini adalah Ali Abd Raziq. Dalam hal yang sama, R R Alford dalam penelitiannya yang berjudul Agama dan Politik menyebutkan bahwa agama tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku politik pemeluknya, bahkan terkadang memiliki kecenderungan yang sebaliknya, di dunia Barat, sehingga orientasi utama politiknya sekularisasi.

 

PEMBAHASAN

 

Dalam sejarah bangsa Indonesia, hubungan antara agama (Islam) dan negara berkembang menjadi empat golongan.

a.     Pertama, golongan yang mengintegrasikan antara agama dan negara sebagai dua hal yang tidak terpisahkan. Sejarah integrasi agama dan negara berjalan dengan intensif pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam Perelak, Kerajaan Islam Samudera dan Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan tersebut, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum negara. Relasi agama dan negara tersebut berjalan aman dan damai tanpa adanya konflik.

 

b.     Kedua, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara berjalan dalam pusaran konflik dan saling menafikan di antara keduanya sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Konflik kaum agamawan memiliki kehendak untuk menerapkan norma-norma agama/Islam secara totalitas, sedangkan warga masyarakat lokal menolak pemberlakuan norma agama tersebut. Kejadian tersebut menimbulkan perang terbuka yang dikenal dengan perang Paderi (perang para pemuka agama). Dari kejadian itu kemudian muncul semboyan “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitābullah” yang artinya; eksistensi hukum adat diakui selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat agama Islam.

 

c.      Ketiga golongan yang membangun hubungan dinamis-dialektis antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan secara gradual dalam sistem hukum nasional dan berjalan tanpa konflik sebagaimana sistem ketatanegaraan kerajaan Goa. Keempat, golongan yang membangun hubungan sekular-ritualistik antara agama dan negara.

 

KESIMPULAN

Secara historis, hubungan antara agama dan negara mengalami proses yang dinamis mulai dari tipologi formalistik hingga tipologi sekularistik. Sedangkan relasi agama dan negara yang dibangun Nabi saw memiliki kecenderungan inklusif dan substantif. Dari tipologi tersebut, hubungan antara agama dan negara yang perlu dibangun berdasarkan tipologi simbiotik ataupun dinamis-dialektis. Secara konstitusional, agama dan negara berjalan dinamis-dialektis, sehingga pelembagaan substansi norma agama Islam dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dilakukan dengan cara inkosntitusional, tetapi harus melalui proses konstitusional, berdasarkan Pancasila dan UUD-NRI 1945.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA.

Abdullah, M Amin, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Ahmad, Munawar, Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis, Yogyakarta: LKiS, 2010.

Amiruddin, M Hasbi, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII-Press, 2000.

Arif, Syaiful, “Teologi Kebangsaan Gus Dur”,

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,49235- lang,id-c,kolom-t,Teologi+Kebangsaan+Gus+Dur-.phpx, (Diakses 27 Maret 2014).

Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London: Routledge dan Kegan Paul, t.th.



No comments:

Post a Comment

Daftar dan Kode Peserta

 Semester Ganjil 2025 - 2026 No Kode Peserta Nama Peserta 1 E01 RE...