HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI Indonesia
KEWARGANEGARAAN
Atep
Afia Hidayat, Ir. MP
Disusun
Oleh :
Divan
alif pratama (41518010173)
PRODI
TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS
ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS
MERCU BUANA
2021/2022
ABSTRAK
Hubungan antara
agama dan negara menjadi wacana aktual dan dinamis dalam setiap fase
perkembangan peradaban baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Perdebatan
tersebut berkisar pada masalah bentuk negara, apakah bersifat integral,
simbiotik ataukah sekuler. Berangkat dari wacana tersebut, kajian ini meneliti
eksistensi hubungan antara agama (Islam) dan negara di Indonesia. Pendekatan
yang digunakan adalah hermeneutika Martin Heidegger, sedangkan metode kajian
yang digunakan adalah metode komparatif. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa
secara historis-normatif, Nabi saw. telah merumuskan Negara Madinah berdasarkan
Piagam Madinah yang spiritnya berdasarkan nash al-Qur’an, bukan negara Islam
yang berdasarkan pada al-Qur’an secara literal. Para ulama yang menjadi pendiri
negara Indonesia juga telah merumuskan Pancasila -sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD-NKRI 1945- sebagai bangunan ideal dalam membangun relasi agama
dan negara di Indonesia, sehingga agama dan negara dapat berkembang secara dinamis-dialektis.
Susbtansi norma agama diterapkan setelah diundangkan dan sesuai Pancasila dan
UUD-NRI Tahun 1945.
PENDAHULUAN
Perubahan sosial
merupakan sesuatu yang natural dalam kehidupan umat manusia.1 Perubahan dan
dinamika tersebut juga terjadi dalam tata kehidupan beragama dan bernegara,
sehingga hubungan keduanya menjadi perdebatan yang aktual dan dinamis, bahkan
bersifat ekslusif-tendensius misalnya di kalangan Syi’ah, Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Laskar Jihad (LJ) yang
memiliki pandangan bahwa agama dan negara bersifat integral, sementara itu di
kalangan reformis muncul pandangan sekuler yang menyebutkan bahwa agama dan
negara harus terpisah dengan tokohnya, Ali Abd Raziq. Dinamika perdebatan
tersebut tidak lepas dari sifat norma agama (Islam) yang bersifat komprehentif,
yang mengatur urusan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Sejarah telah membuktikan
bahwa norma agama, terutama Islam lahir dan tumbuh bersama sejarah kehidupan
negara, yaitu sejak masa Nabi Muhammad saw, terutama sejak terbentuknya Piagam
Madinah. Piagam Madinah yang dirumuskan oleh Nabi saw menjadi saksi sejarah
bahwa mulai sejak perkembangan awal, agama Islam telah berperan penting dalam
pentas politik kenegaraan untuk memperpersatukan seluruh warga masyarakat dalam
ikatan perjanjian politik kenegaraan, bukan dalam ikatan ideologi agama Islam.
orma-norma agama Islam berlaku sejak berdirinya negara Madinah yang dibangun
oleh Nabi saw.7 Implementasi norma agama Islam berjalan lancar tanpa ada kontroversi
di kalangan warga masyarakat yang majemuk di Madinah.8 Pada periode Madinah,
pluralitas hidup beragama juga semakin terasa, kebijakan Nabi saw sebagai
pemimpin negara Madinah telah mampu memayungi pluralitas hidup warga masyarakat
tersebut. Nurcholish Madjid dkk menuturkan: Pada saat kehidupan manusia semakin
plural, terasa semakin mustahil untuk menerima suatu kebenaran ajaran yang Moh
Dahlan
Permasalahan
Secara teoritis,
negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang
memaksa secara sah, lebih unggul daripada kelompok atau individu yang merupakan
bagian dari masyarakat tersebut.
Tujuan
a.memiliki
kesamaan cita-cita untuk membangun suatu sistem pemerintahan dengan mentaati
peraturan perundang-undangan yang diberkalukan, termasuk di dalamnya membangun
hubungan antara negara dengan agama yang dianut oleh warganya dalam suatu
wilayah.
b.etika
dan ibadah yang dijelaskan secara rinci, sedangkan masalah interaksi sosial
(mu’amalat) hanya dijelaskan secara global.
Ruang
Lingkup
Dalam sejarah
Islam, ada tiga tipologi hubungan antara agama dan negara. Din Syamsudin
membaginya sebagai berikut: Pertama, golongan yang berpendapat bahwa hubungan
antara agama dan negara berjalan secara integral. Domain agama juga menjadi domain
negara, demikian sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan negara tidak
ada jarak dan berjalan menjadi satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini
adalah al-Maududi. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama
dan negara berjalan secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan
langsung, sehingga kedua wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing,
sehingga agama dan negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk
kepentingan pemenuhan kepentingan masing-masing, agama memerlukan lembaga
negara untuk melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga negara
memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan spirit
ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan ini di antaranya adalah Abdullahi
Ahmed An-Na’im, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdurrahman Wahid dan
Nurcholish Madjid. Ketiga, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara
merupakan dua domian yang berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali. Golongan
ini memisahkan hubungan antara agama dan politik/ negara. Oleh sebab itu,
golongan ini menolak pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma
agama ke dalam sistem hukum negara.28 Salah satu tokoh Muslim dunia yang masuk
golongan ini adalah Ali Abd Raziq. Dalam hal yang sama, R R Alford dalam
penelitiannya yang berjudul Agama dan Politik menyebutkan bahwa agama tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku politik pemeluknya, bahkan
terkadang memiliki kecenderungan yang sebaliknya, di dunia Barat, sehingga orientasi
utama politiknya sekularisasi.
PEMBAHASAN
Dalam sejarah
bangsa Indonesia, hubungan antara agama (Islam) dan negara berkembang menjadi
empat golongan.
a.
Pertama, golongan yang mengintegrasikan
antara agama dan negara sebagai dua hal yang tidak terpisahkan. Sejarah
integrasi agama dan negara berjalan dengan intensif pada masa pertumbuhan
kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam Perelak, Kerajaan Islam
Samudera dan Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan tersebut, hukum negara
menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum negara. Relasi agama dan
negara tersebut berjalan aman dan damai tanpa adanya konflik.
b.
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa agama
dan negara berjalan dalam pusaran konflik dan saling menafikan di antara
keduanya sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Konflik kaum agamawan memiliki
kehendak untuk menerapkan norma-norma agama/Islam secara totalitas, sedangkan
warga masyarakat lokal menolak pemberlakuan norma agama tersebut. Kejadian
tersebut menimbulkan perang terbuka yang dikenal dengan perang Paderi (perang
para pemuka agama). Dari kejadian itu kemudian muncul semboyan “adat bersendi
syara’ dan syara’ bersendi Kitābullah” yang artinya; eksistensi hukum adat
diakui selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat agama Islam.
c.
Ketiga golongan yang membangun hubungan
dinamis-dialektis antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan
secara gradual dalam sistem hukum nasional dan berjalan tanpa konflik
sebagaimana sistem ketatanegaraan kerajaan Goa. Keempat, golongan yang
membangun hubungan sekular-ritualistik antara agama dan negara.
KESIMPULAN
Secara historis,
hubungan antara agama dan negara mengalami proses yang dinamis mulai dari
tipologi formalistik hingga tipologi sekularistik. Sedangkan relasi agama dan
negara yang dibangun Nabi saw memiliki kecenderungan inklusif dan substantif.
Dari tipologi tersebut, hubungan antara agama dan negara yang perlu dibangun
berdasarkan tipologi simbiotik ataupun dinamis-dialektis. Secara
konstitusional, agama dan negara berjalan dinamis-dialektis, sehingga
pelembagaan substansi norma agama Islam dalam tata kehidupan berbangsa dan
bernegara tidak bisa dilakukan dengan cara inkosntitusional, tetapi harus
melalui proses konstitusional, berdasarkan Pancasila dan UUD-NRI 1945.
DAFTAR PUSTAKA.
Abdullah,
M Amin, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Ahmad,
Munawar, Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis, Yogyakarta: LKiS,
2010.
Amiruddin,
M Hasbi, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII-Press,
2000.
Arif, Syaiful, “Teologi Kebangsaan Gus Dur”,
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,49235-
lang,id-c,kolom-t,Teologi+Kebangsaan+Gus+Dur-.phpx, (Diakses 27 Maret 2014).
Bleicher,
Josef, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Philosophy and
Critique, London: Routledge dan Kegan Paul, t.th.
No comments:
Post a Comment