Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Hukum Positif di Indonesia
Disusun Oleh :
Nama :
Dody James Tua Aritonang
Nim :
41517010102
Matkul :
KEWARGANEGARAAN
Dosen :
Atep Afia Hidayat, Ir.MP
Abstrak
Artikel ini membahas tentang
penegakan hukum mengenai hak asasi manusia di indonesia berdasarkan
undang-undang nomor 39 tahun 1999. Adapun penulis memilih judul ini karena
hingga saat ini penegakan hukum khususnya terkait dengan hak asasi manusia di
Indonesia masih kurang maksimal utamanyadikarenakan sampai saat ini Negara
Indonesia masih dalam zona transisi yang masih diwarnai dengan ketidak pastian
hukum. Pokok permasalahan dalam artikel ini adalah:bagaimana penerapan hukum
pada pelanggaran Hak Asasi Manusia, Lembaga manakah yang mengadili para
pelanggar Hak Asasi Manusia, apakah sarana penyelesaian yang dipakai dalam
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, serta bagaimanakah prinsip
hukum Islam tentang Hak Asasi Manusia. Kesimpulan dari permasalahan yang di
bahas adalah Penerapan hukum kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
ini berpedoman pada Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak
Asasi Manusia, di mana dalam Undang-undang tersebut disebut tentang pengadilan
ad hoc yang dipakai untuk mengadili para pelanggar Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Lembaga yang mengadili para pelanggar Hak Asasi Manusia adalah
pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia, yang tidak beda dengan pengadilan biasa,
khususnya pengadilan pidana. Sebab pada hakekatnya pengadilan pidana juga
mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang bersifat khas adalah bahwa
pelanggaran Hak Asasi Manusia berkaitan dengan kesepakatan internasional. Untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di wilayah
Indonesia yaitu melalui pengadilan Ad Hoc apabila waktu terjadinya pelanggaran
Hak Asasi Manusia sebelum UndangUndang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak
Asasi Manusia dan apabila terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut
setelah Undang-undang ini maka diselesaikan melalui pengadilan Hak Asasi
Manusia dan apabila terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut sebelum
Undangundang ini dapat juga diselesaikan melalui alternatif penyelesaian yaitu
melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Hak Asasi Manusia menurut prinsip Islam tidak dapat terlepas dari Al Qur’an dan
As Sunnah karena dari kedua sumber tersebut menjadi suatu kaidah-kaidah
petunjuk dan bimbingan bagi seluruh umat manusia. Metodologi yang dipakai dalam
penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana akan menggunakan jenis
penelitian deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kata Kunci – Penegakan Hukum, Hak Asasi
Manusia, Indonesia
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sesungguhnya manusia diciptakan
Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang mana sifat
Pengasih dan Penyayang dapat menjadi “suri tauladan”. Sifat Ar-Rohman (Maha
Pengasih) yaitu bahwa Allah selalu melimpahkan nikmat karunia-Nya kepada para
mahluk ciptaan (manusia)-Nya, sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang)
mengartikan bahwa Allah senantiasa bersifat Rahmat yang menyebabkan Allah
selalu melimpahkan RahmatNya.Berawal dari itu kita selaku manusia yang diberi
akal budi dan hati nurani oleh karenanya agar senantiasa di dunia ini
memancarkan sifat Pengasih dan Penyayang baik kepada sesama manusia, sesama mahluk
hidup dan alam semesta, sehingga memberikan “Rahmatan Lil Alamin” bagi seluruh
alam semesta. Setiap orang yang dapat berpikir secara jujur, harus mengakui
bahwa kehadirannya di muka bumi ini bukan atas kehendaknya sendiri, bahwa
manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dihina.
Allah memerintahkan para malaikat supaya
bersujud menghormati manusia, agar manusia tidak hidup sejajar dengan
margasatwa. Kendatipun di muka bumi manusia hidup menanggung berbagai macam
penderitaan dan kesukaran, namun jika ia hidup lurus dan damai bersama makhluk
sejenisnya, tentu di sisi Allah ia lebih mulia daripada Malaikat di langit.
Sejak lebih dari empat belas abad yang lalu manusia telah diinformasikan
tentang kedudukannya di muka bumi ini, bahwa Sang Maha Pencipta tidak
membenarkan adanya kezhaliman oleh manusia atas sesamanya dan atas segala
sesuatu yang ditugasi untuk khalifahnya.
Hampir setiap negara ada
permasalahan dalam usaha untuk menegakkan HAM, tidak terkecuali di
Indonesia.Bangsa Indonesia akhir-akhir ini menjadi sorotan negara-negara di
dunia berkaitan dengan penegakan HAM.Masalah penegakan HAM selalu beriringan
dengan masalah penegakan hukum, di mana hal ini menjadi salah satu hal krusial
yang paling sering dikeluhkan oleh warga masyarakat pada saat ini. Yaitu
lemahnya penegakan hukum.Masyarakat terkesan apatis melihat hampir semua kasus
hukum dalam skala besar dan menghebohkan, baik yang berhubungan dengan tindak
kriminal, kejahatan ekonomi, apalagi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), belum
ada yang diselesaikan dengan tuntas dan memuaskan. Masyarakat berharap, bahwa
demi kebenaran, maka hukum harus senantiasa ditegakkan.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945 pada pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jelaslah bahwa negara Indonesia ialah
suatu negara yang berdasarkan atas Undang-Undang Dasar yang mengatur segala
sendi- sendi kehidupan dengan peraturan- peraturan yang bermula dari kedaulatan
rakyat yang didelegasikan kepada negara yang bermuara demi kedaulatan rakyat
itu sendiri. Karena walaupun sebenarnya perangkatperangkat yang ada dirasa
sudah cukup memadai, tetapi dalam realitanya hukum masih belum menunjukkan
keadaan seperti yang diharapkan.
Lebih dari lima puluh tujuh tahun setelah
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia melarang semua bentuk penyiksaan dan
kejahatan, tindakan tidak manusiawi atau menurunkan martabat perlakuan atau
hukuman, penyiksaan masih saja dianggap umum. Hari ini, pada hari hak asasi
manusia, marilah kita berjanji kepada diri kita kepada prinsip- prinsip
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, mendedikasikan kembali diri kita dalam
menghapus penyiksaan dari muka bumi ini”.
Melihat
kondisi penegakan hukum yang ada, kebanyakan orang menyaksikan betapa banyak kasus-kasus
hukum yang belum terselesaikan secara tuntas. Seperti yang sering terdengar,
ketika proses pengadilan sedang berlangsung, upaya naik banding berlarut-larut,
muncul isu mafia peradilan dan tuduhan suap yang dapat membebaskan terdakwa
dari jerat hukum dan sebagainya. Selalu muncul alasan klise dari pengadil,
yaitu telah diputus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, sehingga secara
yuridis formal tidak salah. Bahwa perbedaan antara pengadilan dan
instansiinstansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya
sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan
macam-macam peraturan hukum yang berlaku di suatu negara.
Deklarasi
Hak- Hak Asasi Manusia bagi negara Indonesia telah ada dari jaman dahulu namun
baru di ikrarkan pada pedoman dasar negara ini yaitu yang berada di dalam
pembukaan Undang- Undang Dasar 1945.yang di dalamnya terdapat hak- hak asasi
selaku manusia baik manusia selaku mahluk pribadi maupun sebagai mahluk sosial
yang di dalam kehidupannya itu semua menjadi sesuatu yang inheren, serta
dipertegas dalam Pancasila dari sila pertama hingga sila kelima. Jika dilihat
dari terbentuknya deklarasi Hak Asasi Manusia bangsa Indonesia lebih dahulu
terbentuk dari pada HakHak Asasi Manusia PBB yang baru terbentuk pada tahun
1948.
Pernyataan HAM di dalam Pancasila
mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan
menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas
(bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak
asasi orang lain. Ini berarti, bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui
dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap
organisasi pada tatanan manapun, terutama negara dan pemerintah khususnya di
Negara Indonesia.Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung untuk
menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak asasi manusia setiap warga
negara dan penduduknya tanpa diskriminasi. Ir. Sukarno pernah berkata bahwa
filsafat pancasila itu berjiwa kekeluargaan ini disebabkan, karena pertama-
tama pancasila ini untuk pertama kalinya disajikan kepada khalayak ramai
sebagai dasar filsafat negara republic Indonesia yang kelak akan didirikan. Dan
kehidupan manusia yang didasari filsafat pancasila, jadi bangsa Indonesia itu
melihatnya sebagai suatu kehidupan kekeluargaan.
Kewajiban menghormati hak asasi
manusia tersebut tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan
persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak
untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama
dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengaturan mengenai hak asasi manusia
ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan
BangsaBangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsabangsa tentang
Hak-hak Anak, dan berbagai instrument internasional lain yang mengatur mengenai
hak asasi manusia. Materi UndangUndang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan
hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
UndangUndang Dasar 1945. Sedangkan di dalam UndangUndang Dasar 1945 (yang
diamandemen), masalah mengenai HAM dicantumkan secara khusus dalam Bab X Pasal
28 A sampai dengan 28 J, yang merupakan hasil Amandemen Kedua Tahun 2000.
Di mancanegara dan Indonesia
khususnya, tercatat banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atau
kejahatan atas kemanusiaan, dimana pelakunya bebas berkeliaran dan bahkan tak
terjangkau oleh hukum atau dengan kata lain perkataan membiarkan tanpa
penghukuman oleh negara terhadap pelakunya impunity.Impunitas yaitu membiarkan
para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran
berat Hak Asasi Manusia seperti, kejahatan genosida, kejahatan manusia, dan
kejahatan perang tidak diadili merupakan fenomena hukum politik yang dapat kita
saksikan sejak abad yang lalu hingga hari ini.
Sebagai bahan ilustrasi, dimana saat
kita sedang menunggu tindak lanjut atas rekomendasi tim pencari fakta kerusuhan
Mei 1997 yang belum tuntas, tragedi yang dramatis pasca jajak pendapat mengenai
penentuan nasib Timor-Timur menyusul, belum lagi peristiwa Tanjung Priok,
penyerbuan kantor PDI, penculikan aktivis pro demokrasi, penembakan mahasiswa
Universitas Trisakti (Tragedi Semanggi) dan atau peristiwa unik seperti
pembunuhan dukun santet dan lain sebagainya.Rangkaian berbagai peristiwa yang
mewarnai khasanah pelanggaran Hak Asasi Manusia di tanah air tidak satupun
secara hukum terselesaikan. Pengusutan tuntas dengan membawa ke Pengadilan
untuk menemukan pelaku utamanya sering kali kandas. Gambaran persoalan di atas
menjelaskan bahwa penyebab “impunity” selain faktual juga bersifat normatif,
karena alasan itulah barangkali yang dimungkinkan adanya pemberlakuan amnesti
umum, atau secara basa-basi mengajukan pelakunya ke pengadilan, tetapi dengan
vonis ringan karena dianggap hanya “kesalahan prosedur” bahkan vonis bebas.
Memproses secara hukum terhadap
aparat khususnya TNI yang diduga melakukan pelanggaran hukum dan HAM selama ini
memang dapat dikatakan “tabu” untuk dilaksanakan, aparat yang melakukan
kesalahan cenderung mendapatkan kekebalan atau “impunity”.Dan bila tidak ada
tuntutan yang keras dari masyarakat maka sering terjadi kasus yang melibatkan
aparat negara tidak sampai pada proses penyelesaian hukum secara tuntas. Dan
jika ada tuntutan dari masyarakat pun, dapat diperkirakan hasilnya pun
cenderung kurang memenuhi asas keadilan masyarakat. Berdasarkan masalah
tersebut diatas penulis tertarik menulis penelitian ini.
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian
ini ingin mencari jawaban atas pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1)
Bagaimana penerapan hukum pada pelanggaran Hak Asasi Manusia? 2) Lembaga
manakah yang mengadili para pelanggar Hak Asasi Manusia?
3)
Apakah sarana penyelesaian yang dipakai dalam kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia di Indonesia? 4) Bagaimanakah prinsip hukum Islam tentang Hak Asasi
Manusia?
1.3 Tujuan Penulisan Tujuan dari
dilakukannya penulisan penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui penerapan hukum pada
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
2) Untuk
mengetahui lembaga manakah yang mengadili para pelanggar Hak Asasi Manusia.
3) Untuk mengetahui sarana penyelesaian apakah
yang dipakai dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia.
4) Untuk
mengetahui prinsip hukum Islam tentang Hak Asasi Manusia.
1.4 Kegunaan Penulisan
Adapun
kegunaan penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk
perkembangan hukum secara akademis di samping itu diharapkan dapat memberikan
masukanmasukan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah-masalah Hak Asasi
Manusia. Selain itu penelitian ini mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1.
Diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya
mengenai Hukum Acara Pidana dan Hak Asasi Manusia.
2. Dapat lebih memahami dan mendalami
pengertian Hak Asasi Manusia dengan segala aspeknya.
1.5 Metode Penelitian
Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah
penelitian normatif, dimana akan menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan
pendekatan yuridis normatif, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Penulisan ini penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode
deskriptif analisis dengan menggunakan bentuk penelitian kepustakaan (library
research).
Penulis
menggunakan data sekunder sebagai pendekatan penelitian normatif yang mencari
dan menggunakan bahan kepustakaan seperti tulisantulisan karya ilmiah maupun
jurnal-jurnal Ilmiah, buku-buku tentang hak asasi manusia sebagai referensi dan
juga mempelajari perundangundangan berkenaan dengan hak asasi manusia.
II. KERANGKA TEORI
2.1 Kerangka Teoritis
Dalam
penulisan karya ilmiah ini penulis mengemukakan teori dari pakar yang berhubungan
dengan penegakan hukum mengenai Hak Asasi Manusia, yaitu :
a. Prof. Dr. Soerjono Soekanto
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
berfungsinya kaedah hukum dalam masyarakat (penegakan hukum dalam masyarakat),
yaitu :
1)
Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri (Peraturan perundang-undangan);
2)
Petugas atau penegak hukum;
3)
Fasilitas;
4) Masyarakat.
b. Drs. C. S. T. Kansil, SH :
Hak
Asasi Manusia (HAM) merupakan hak mutlak (absolute) yaitu hak yang memberikan
wewenang kepada seseorang atau individu untuk melakukan sesuatu perbuatan, hak
mana dapat dipertahankan siapapun juga.Dan sebaliknya setiap orang harus
menghormati hak tersebut.Dengan demikian Hak Asasi Manusia merupakan hak yang
melekat (inheren) pada individu yang bersifat mutlak.
2.2 Kerangka Konseptual
Untuk memberikan landasan peraturan
dalam penulisan karya ilmiah ini, perlu penulis mengemukakan mengenai beberapa
perundangundangan dan peraturan-peraturan sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Dasar 1945 (Yang Diamandemen)
1) Pasal
28 A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya. 2) Pasal 28 D Ayat 1 : Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.
3) Pasal 28 G ayat 1 dan 2 :
(1)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
untuk memperoleh suaka politik dari negara lain.
4) Pasal
28 I Ayat 1, 2 dan 5 :
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.
(2) Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif.
(3)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundangundangan.
5) Pasal
28 J Ayat 1 : Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.7 Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
c.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Pasal 1 (1) :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
III. HASIL PEMBAHASAN
3.1 Penerapan Hukum Pada
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Pengaturan
mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya Pancasila sebagai dasar
pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat.Baik yang menyangkut
mengenai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan manusia
dengan manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai yang terkandung dalam
sila-sila yang terdapat pada pancasila.Dalam Undang- Undang No. 39 tahun 1999
tentang Hah Asasi Manusia, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan
dengan berpedoman pada deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa.
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita, konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai
Hak Asasi Manusia. Materi UndangUndang ini tentu saja harus disesuaikan dengan
kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan
pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
Sedangkan di dalam Undang- Undang
Dasar 1945 (yang telah diamandemen), masalah mengenai Hak Asasi Manusia
dicantumkan secara khusus dalam bab XA pasal 28A sampai dengan 28J yang
merupakan hasil amandemen kedua tahun 2000.9 Pemerintah dalam hal untuk melaksanakan
amanah yang telah diamanatkan melalui TAP MPR tersebut di atas, di bentuklah
Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada tanggal 23
September 1999 telah disahkan UndangUndang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang mengatur beberapa hal penting yang menyangkut Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
Pertama, definisi pelanggaran Hak
Asasi Manusia dideskripsikan sebagai setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut
Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-
Undang ini, dan tidak mendapatkan atau di khawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku (pasal 1 ayat 6).
Kedua, hak untuk hidup, hak untuk
tidak dipaksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat di kecualikan
dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke
dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ketiga, dalam Pasal 7 dinyatakan,
bahwa setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan
forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang di jamin oleh
hukum Indonesia oleh negara Republik Indonesia menyangkut Hak Asasi Manusia
menjadi hukum nasional.
Keempat, di dalam Pasal 104 diatur
tentang pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai berikut : Untuk mengadili
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di bentuk pengadilan dalam ayat (1) di
bentuk dengan Undang- Undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sebelum
terbentuk pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai mana dimaksudkan dalam ayat (2)
di adili oleh pengadilan yang berwenang.
Selanjutnya Pasal 104 ayat (1)
Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
yang berwenang mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah
pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada tanggal 8 Oktober 1999 ditetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1tahun 1999 tentang pengadilan
Hak Asasi Manusia yang bertugas menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat. Namun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1
Tahun 1999 tentang pengadilan hak asasi manusia yang dinilai tidak memadai,
sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
menjadi Undang-Undang dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tersebut di cabut.
Pada tanggal 23 November 2000 di
tetapkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1999. Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas
menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dalam hal ini
adalah kejahatan genosida yaitu penghancuran atau pemusnahan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan melakukan
perbuatan membunuh anggota kelompok. Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental
yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.Menciptakan kondisi kehidupan yang
bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah.Memaksakan tindakantindakan
yang bertujuan mengenai kelahiran dalam kelompok tersebut. Memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu
perbuatan yang dilaksanakan sebagai bagian dari serangan yang meluas ataupun
sistematik yang diketahuinya bahwa akibat serangan itu ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan, pemusnahan, pembudakan,
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau
kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan
seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, sterilisasi paksa, atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap
kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin maupun alasan lain yang telah
diakui secara Universal sebagai hal yang dilarang oleh hukum internasional,
penghilangan orang secara paksa kejahatan apartheid.
Dari berbagai kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia berat yang terjadi tersebut telah mendorong munculnya suatu
usulan untuk membantu pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc untuk kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat di Aceh.Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat
mengajukan usulan kepada Presiden Republik Indonesia untuk membentuk pengadilan
Hak Asasi Manusia ad hoc telah disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia.
“Ketika pelanggaran atau kejahatan
hak asasi manusia amat luas, pengabaian memang seharusnya bukan merupakan
pilihan, sekalipun upaya menyelesaikan masa lalu tidaklah sederhana. Dalam
sebuah dunia yang sejak perang dunia ke-II disibukkan dengan penyebaran isu
demokratisasi dan penghormatan terhadap martabat manusia, di lama antara proses
penegakan keadilan dan kepentingan politik antara masa transisi, melahirkan apa
yang oleh Tina Rosenberg disebut sebagai dimana besar moral, politik dan
filosofis abad ini”.
Sungguhpun Begitu, prospek penegakan
Hak Asasi Manusia kedepan tentu akan lebih baik dan cerah, mengingat pada satu sisi
proses institusional Hak Asasi Manusia, antara lain melalui pembaruan serta
pembentukan hukum terus menunjukkan kemajuan yang berarti, maupun pada sisi
lain terbangunnya ruang publik yang lebih terbuka bagi perjuangan Hak Asasi
Manusia dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini.
3.2 Lembaga Yang Dapat Mengadili
Hak Asasi Manusia
Negara Republik Indonesia adalah
negara yang berdasarkan atas hukum. Segala sesuatu yang berkenaan dengan
pelaksanaan sendi-sendi kehidupan bernegara di negara ini harus tidak
bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma dan kaidah-kaidah yang ada dalam
kegiatan-kegiatan bernegara, Indonesia yang menyatakan dalam pedoman dasar
konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum, berarti tiada kebijakan ataupun
wewenang dan amanah tanpa berdasarkan hukum.
Lembaga pengadilan yang ada di
negara Indonesia merupakan bagian dari fungsi yudikatif yang telah diamanahkan
oleh konstitusi. Keberadaan pengadilan yaitu sebagai wadah untuk menegakkan
hukum yang ada di negara ini. Lembaga pengadilan adalah suatu lembaga yang
mempunyai peran untuk mengadili dan menegakkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku
di wilayah negara hukum nasional dan fungsi dari pada lembaga pengadilan
sebagai wilayah guna mendapatkan simpul keadilan yang tiada sewenang-wenang.Dalam
lingkungan pradilan di Indonesia, mengenai masalah-masalah Hak Asasi Manusia
dewasa ini, sedang bagitu semarak di wacanakan bukan hanya saja dalam wahana
seminar, diskusi, semiloka bahkan di dalam praktisi pengembala hukum itu sedang
menjadi topik yang sering dibicarakan dan diperdebatkan. Hak Asasi Manusia
sekarang di dunia telah menjadi suatu isu global meskipun perkembangan Hak
Asasi Manusia telah lama.
Indonesia seperti negara lain yang
memiliki kepekaan dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan nilai-nilai
kemanusiaan yang ada di dalam pancasila tentu tidak dapat diam dengan seribu
bahasa berkenaan dengan pelaksanaan Hak Asasi Manusia di wilayah Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang memiliki kultur nilai-nilai yang begitu
menghormati dan menghargai arti dasar manusia yang telah di buktikan oleh
historis Indonesia yang panjang, bahwa Indonesia suatu wilayah yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan ke khasan yang beraneka ragam budayanya
tetapi dengan sesuai nilai-nilai budaya nusantara telah melaksanakan dalam
kehidupan sehari-harinya dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara dengan
bermartabat tanpa harus menghilangkan nilai-nilai budaya nusantara yang telah
menempatkan posisi manusia di dalam bingkai yang harmonis dan kesetaraan yang
sesuai dengan masyarakat Indonesia.
Negara Indonesia, pengadilan
mengenai masalahberkaitan dengan pelanggaran, pelecehan, dan kejahatan Hak
Asasi Manusia telah ada dan di atur namun hukum yang mengatur tentang
pelanggaran ataupun kejahatan Hak Asasi Manusia masih bersifat umum yaitu
terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Namun dalam
pelaksanaannya peraturan hukum yang mengatur tentang itu belum mampu
mengakomodir segala permasalahan-permasalahan Hak Asasi Manusia yang kian hari
kian berkembang dengan seiring era globalisasi dan peradaban manusia di dunia
ini.Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen perihal tentang pengadilan
yaitu termasuk dalam kekuasaan kehakiman yang mana kekuasaan itu merdeka
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, harus ada jaminan Undang-undang
tentang kedudukan para hakim.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang membahas tentang pengadilan Hak Asasi Manusia di
Indonesia terdapat dalam pasal 104 yang berbunyi: 1. Untuk mengadili
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di bentuk pengadilan Hak Asasi Manusia
di lingkungan pengadilan umum. 2. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dibentuk dengan Undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun. 3. Sebelum terbentuk pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) di adili oleh pengadilan yang berwenang.
Pasal 104 bahwa yang dimaksud dengan
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pembunuhan massal (genocide),
pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary / extra
judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan,
atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic descrimination),
berkenaan dengan pengadilan yang berwenang yaitu meliputi empat lingkungan
pengadilan sesuai dengan UU No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman diubah UU No. 35 Tahun 1999.
Lembaga yang dapat mengadili
pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia ada empat lingkungan peradilan
sesuai dengan Undang-Undang yaitu :
1) Pengadilan Umum.
2)
Pengadilan Militer.
3)
Pengadilan Agama.
4)
Pengadilan Niaga
Dalam wilayah empat pengadilan tersebut
para pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat di adili sesuai dengan pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang dilakukannya di dalam wilayah hukum Indonesia, tentu
berdasarkan peraturan hukum diatas para pelaku pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia di negara Indonesia dapat di jatuhkan hukuman dengan tampa pandang bulu
dan pilih kasih karena di mata hukum bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah
pelanggaran hukum yang serius dan harus segera di hukum, supaya manusia tidak
mudah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum khususnya pelanggaran terhadap
Hak Asasi Manusia di Indonesia, memberikan terapi “traumatic psicology” bagi
manusia lain.
Pengadilan Hak Asasi Manusia di
Indonesia sekarang telah memasuki babak baru dengan telah diselesaikannya
Amanat Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
menegaskan pemerintah sebagai penyelenggara negara dan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai badan legislatif guna membuat suatu perundangundangan yang berkaitan
dengan pengadilan terhadap para pelaku pelanggaran kejahatan Hak Asasi Manusia
di Indonesia. Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang- Undang no. 26
tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Keberadaannya secara hukum
“menjawab” bahwa Indonesia mau dan mampu dengan sungguh- sungguh mengadili pelaku
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, seperti yang diamanatkan Deklarasi
Hak Asasi Manuasia dan berbagai intrumen internasional serta Pradilan Pidana
Internasional. Ada keistimewaan Penagadilan Hak Asasi Manusia Indonesia yang
menganut asas “retroaktif”,yaitu mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat , yang dilakukan sebelum Undang-Undang nomor 26. tahun 2000, hal ini
dimungkinkan dengan usul Dewan Perwakilan Rakyat dan keputusan Presiden.
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang retroaktif ini dinamakan Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc.
Pengadilan di Indonesia, mulianya
pengadilan yang menangani pelanggaran Hak Asasi Manusia belumlah banyak seperti
kasus perceraian oleh pengadilan agama, kasus kriminal oleh pengadilan umum,
kasus persengketaan niaga oleh pengadilan niaga tidak menjadikan di masa depan
pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia surut dalam perkembangan ke depannya,
Pancasila sebagai falsafah bangsa
dan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengandung nilai-nilai perlindungan
Hak Asasi Manusia. Mengenai perjuangan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam
dunia peradilan mulai terwujud dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), kemudian disusul dengan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai
perwujudan pasal 104 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.Kegiatan kepemerintahan ini merupakan perkembangan hukum yang
mencerminkan wawasan perikemanusiaan yang berakar dalam budaya bangsa yang
hakikatnya merupakan ekpresi penghargaan terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia
yang terkandung dalam pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Indonesia mulai digelar untuk pertama kalinya pada tanggal 14 Maret 2002 yang
mengadili perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di Timor-Timur pasca
jejak pendapat, yang akan disusul dengan kasus terhadap pelanggaran berat Hak
Asasi Manusia lain di tanah air. Terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia berat
yang dilakukan sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dilakukan oleh
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) permanen.
Penerapan peradilan Hak Asasi
Manusia (HAM) bersifat ad hoc sesuatu yang baru dalam peradilan di Indonesia,
yang tidak saja mendapat perhatian di tanah air bahkan sampai manca negara.Demi
kredibilitas dan jati diri yang berwibawa dan adil dari peradilan Hak Asasi
Manusia Indonesia. Banyak pakar dan ilmuwan yang mendalami intrumen Hak Asasi
Manusia Internasional, termasuk implementasinya dalam dunia peradilan Hak Asasi
Manusia ad hoc di Indonesia yang sangat berharga.
Menurut Indriyanto Seno Adji
:45Secara ketat sistem hukum pidana Indonesia yang konkordansi dengan Belanda
memberikan “legality principle” sebagai salah satu pilar utama bagi setiap
negara yang mengakui dan menghargai suatu “supremacy of law”, juga mengingatkan
beberapa hal dalam penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dalam peradilan
Hak Asasi Manusia, yaitu bagi hakim peradilan HAM ad hoc adalah harapan agan
hakim ad hoc diberi kebebasan untuk menentukan suatu “dissenting apinion”
sebagai cermin akuntabilitas terhadap publik tentunya dengan tidak mengadakan
penyimpangan distrem dari KUHAP, sikap objektif harus tercermin dari hakim ad
hoc yang jauh dari kontaminasi politik.
(1) Peranan Komnas HAM
Komisi
nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat
dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi untuk melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi Hak Asasi Manusia.Peran komisi
nasional Hak Asasi Manusia sebagai mana yang diamanahkan dalam UndangUndang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Bab VII pasal 75 sampai
pasal 103.
Pasal 75
menyatakan : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bertujuan :
a.
Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia sesuai
dengan pancasila Undang- Undang Dasar 1945 dan piagam perserikatan
bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. Meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak
Asasi Manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Bahwa Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) mempunyai tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi terciptanya penegakan Hak Asasi Manusia di Indoneisa tidak terlepas dari
pancasila, UndangUndang Dasar 1945, piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia. Kemudian daripada itu juga meningkatkan perlindungan dan
penegakan Hak Asasi Manusia agar secara pribadi manusia berkembang seutuhnya.
Pasal 76 :
1) Untuk
mencapai tujuannya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melaksanakan fungsi
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang Hak Asasi
Manusia.
2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia beranggotakan
tokoh masyarakat yang propesional berdedikasi dan berintegritas tinggi,
menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan
keadilan, menghormati Hak Asasi Manusia dan kewajiban dasar manusia.
3)
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berkedudukan di ibukota negara Republik
Indonesia.
4) Perwakilan komisi nasional Hak Asasi
Manusia dapat didirikan di daerah.
Menurut pasal 76 guna mencapai arah
tujuannya komnas HAM harus melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, mediasi mengenai Hak Asasi Manusia dalam melaksanakan
fungsi tersebut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia harus terdiri dari tokoh
masyarakat yang berdedikasi dan integritas tinggi serta menghayati cita-cita
negara ini yang berdasarkan keadilan serta menghormati nilai-nilai Hak Asasi
Manusia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berada di ibukota negara dapat juga
di dirikan di daerah sebagai perwakilan komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Untuk melaksanakan keempat fungsi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia haruslah sesuai dengan amanah undang-undang
fungsi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia haruslah pengkajian atau penelitian
(Research and Study), bertugas dan berwenang melakukan:
a.
Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasioanl Hak Asasi Manusia
dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau
relatifikasi;
b. Pengkajian dan penelitian berbagai
peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan,
perubahan dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hak
Asasi Manusia;
c.
Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian;
d. Studi
kepustakaan, studi lapangan, dan studi banding di negara lain mengenai Hak
Asasi Manusia;
e. Pembatasan berbagai masalah yang berkaitan
dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan Hak Asasi Manusia;
f. Kerja sama pengkajian dan penelitian dengan
organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun
internasional dalam bidang Hak Asasi Manusia.
(2)Kendala Dalam Menyelesaikan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pelanggaran Hak Asai Manusia yang terjadi di
Indonesia terutama di daerah- daerah telah sangat menyesakkan sanubari bangsa
indonesia selaku bangsa yang menjunjung tinggi nilai dan harkat serta martabat
seorang manusia di muka bumi ibu pertiwi. Peristiwa- peristiwa dari waktu ke
waktu masih saja terus berlangsung walau instens terjadinya mengalami suatu
saat pasang surut adakalanya kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia rendah dan
di lain waktu meningkat. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi bangsa
Indonesia yang berbudi luhur berdasar kan nilai- nilai yang terkandung pada
Pancasila yang di jabarkan dengan 5 butir kalimah syahdu.
Negara Indonesia dalam hal ini
pemerintah yang memempunyai amanah dari rakyat, yang mana amanah itu untuk
meninggikan kesehjahteraan dan kedamaian antar sesama masyarakat sudah
seyoyanya berikhtiar untuk mencari cara penyelesaikan yang mengedepankan sisi-
sisi kemanusiaan yang beradab dan berkepribadian luhur. Memang dalam rangka
untuk mengurangi sampai menghapuskan bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi
Manusia bukan suatu pekerjaan yang mudah dan asal-asalan melainkan dibutuhan
suatu kinerja dari segala elemen bangsa Indonesia untuk menciptakan suasana
yang kondunsif bagi penegakan Hak Asasi Manusia tentu dengan penyelasaian yang
demokratis, komprehensif dan menyentuh hati nurani masyarakat itu sendiri.
Permasalahan di wilayah NKRI yang
berkenaan dengan kasus- kasus kekerasan yang mengakibatkan bermuara pelanggaran
Hak Asasi Manusia harus dapat menguraikan variabelvariabel mengapa terjadi
pelanggaran tersebut, dalam hal untuk mencari akar permasalahan tentu harus di
identifikasi terlebih dahulu dengan menelusuri data- data yang ada di dalam
masyarakat, sebab di sana sesungguhnya endapan dilema- dilema yang harus di
aktualisasi guna terselesaikan.
Permasalahhan pelanggaran Hak Asasi
Manusia di wilayah Indonesia memang sudah menjadi topik aktual yang selalu di
bicarakan untuk dicarikan upaya- upaya penyelesaiannya namun hingga saat ini,
dari masa reformasi hingga masa pasca tsunami masih saja dan belum
terselesaikan, ini haruslah dicermati dan di pahami dengan seksama oleh semua
pihak. Dari zaman Kepresidenan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, hingga sekarang pada masa pemerintahan Joko Widodo memimpim
bukan tidak pernah di selesaikan melalui kebijakan kebijakan pusat yang mencoba
untuk untuk mengakomodir semua kepentingan dan hasrat masyarakat lokal, masih
saja belum cukup dalam rangka untuk menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran
Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Ada beberapa hal yang harus
dicermati oleh pemerintah dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan eksekutif dan
sebagai aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat harus menerapkan
asas “good geverment”, masyarakat sebagai “public actor” di lapangan, aparat
keamanan sebagai petugas keamanan di wilayah dan lapisan masyarakat lainnya
yang dapat menjadi faktor kendala- kendala terhadap penegakan Hak Asasi Manusia
disana yang disebabkan oleh diantaranya:
1. pemeritah
selaku “policy obligation”;
2. TNI
POLRI sebagai petugas keamanan;
3.
masyarakat selaku “civil actor”;
4.
kelompok dalam masyarakat;
Pemerintah adalah salah satu
penyebab dapat terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh kerena itu
memunculkan kendala- kendala yang mengakibatkan tidak dapat terselesaikannya
permasalahan di Indonesia seperti dalam hal pengambilan kebijakan- kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah tidak mengenai dan menyentuh dasar permasalah
“basic problem” yang ada di wilayah daerah rawan terjadinya pelanggaran Hak
Asasi Manusia.
Dalam rangka penegakan hukumnya
pemerintah hanya sekedar menyelesaikan masalah pada lapisan kulitnya saja
“liptsic spare” seperti sidang pengadilan Hak Asasi Manusia yang terkesan
sandiwara politik, diadili prajurit yang berpangkat rendah sebagai pelaku
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam hal untuk mengusut pelanggaran Hak Asasi
Manusia bagi para “actor eksekutif” terkesan bertele- tele dan lamban sehingga
memunculkan “stereothipe” masyarakat terhadap proses penegakan hukum ”law
suprimacy” tidak fair ataupun setengah hati “a half heart”. Pemerintah juga
terkesan dalam melakukan diplomasi perdamaian “diplomacy of peace” terkesan
tidak serius yaitu menggunakan jalur diplomasi pada tataran eksekutif tetapi ditataran
akar rumput “grass root” yang menggunakan langkah- langkah militer.
Sehingga berakibat pada pelayanan
aparatur daerah seperti pegawai pemerintah daerah dari kabupaten hingga ke desa
banyak yang pergi maupun pindah. Sehingga berimbas pada pelayan dan pengabdian
aparatur negara tidak memadai dan maksimal di wilayah-wilayah pelanggaran HAM
karena rentan terhadap tindak kekerasan yang di lakukan oleh pihak- pihak yang
bertikai di sana. Semua itu adalah hal- hal yang krusial yang harus coba
dicermati dan di selesaikan dalam hal untuk menyelesaikan dan melenyapkan
pelanggaran Hak Asasi Manusia di NKRI dan untuk pihak- pihak yang bersitegang
harus lebih arif dan bijaksana dalam menangani semua permasalahan yang ada di
lapisan “akar rumput” supaya dapat mengurangi pelanggaran Hak Asasi Manusia.
3.3 Upaya- Upaya Penyelesaian
Dalam Kasus Hak Asasi Manusia di Indonesia
Sarana penyelesaian yang digunakan dalam
penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia di Indonesia tentunya dengan mengedepankan
normanorma kaidah hukum yang berlaku dalam menyelesaikan permasalahan-
permasalahan hukum. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu
perdamaian kedua belah pihak, penyelesaian perkara melalui cara konsultasi
negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Penyelesaian perkara
terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia di wilayah Indonesia tentunya harus
mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada di dalam masyarakat Indonesia.
Maka dari itu seyogyanya pelaksanaan
segala kebijakan republik terhadap masyarakat yang terjadi kasus-kasus
pelanggaran HAM tentunya berkiblat kepada nilai-nilai budaya, sosial, agama dan
ekonomi masyarakat itu sendiri. Dalam rangka untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang yang timbul dengan damai dan bermartabat
diperlukan suatu cara yang terus menerus dan tuntas hingga ke akar segala
permasalahan di propinsi itu. Mulai dari segi ekonomi hingga pelanggaran
nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri bukan muncul karena tidak bersebab
terjadinya pelanggaran-pelanggaran di karenakan terjadinya benturan-benturan
kepentingan antara daerah dengan pusat, ketidak adilan yang telah lama
dirasakan oleh masyarakat di sana karena dianggap sebagai sapi perahan
kebijakan pusat yang tampa peduli untuk membangun daerah yang telah memberikan
pendapatan bagi anggaran pendapat belanja negara.
Terlepas dari siapa yang mulai
membuat situasi yang dishormanisasi dalam masyarakat yang terjadi pelanggaran
HAM, haruslah disadari sarana penyelesaian dengan kekerasan atau senjata sudah
tidak efektif dalam menyelesaikan segala permasalahan. Sarana penyelesaian yang
dapat di terima oleh semua pihak lapisan masyarakat tentunya penyelesaian yang
mengedepankan nilainilai manusia tentu dengan menggunakan cara-cara yang lebih
manusia yaitu dengan cara mediasi dialog damai antara kelompok-kelompok yang
bertikai. Karena sarana penyelesaian dengan damai lebih menguntungkan segala
pihak-pihak yang bertikai dan dapat mengurangi dampak kerugian akibat
terjadinya peperangan.Sarana penyelesaian melalui perundingan, dialog lebih
arif dan bijaksana dari paa penyelesaian masalah dengan senjata. Manusia
dimanapun ketika dihargai dan dihormati nilai-nilai dasar sebagai manusia,
tidak akan merendahkan Hak Asasi Manusia lainnya namun sebaliknya, itulah
mengapa para pengamat para tokoh-tokoh negarawan lebih mengedepan penyelesaian
permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan cara damai dan lebih
bermartabat.
Penegakan terhadap Hak Asasi Manusia
di Indonesia tidak dapat di tegakkan selama pola pemikirannya hanya bersandar
pada nilai-nilai Hak Asasi Manusia suatu negara. Sebab penegakan terhadap
nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam setiap wilayah negara akan berbeda-beda
karena dipengaruhi oleh kultur budaya, sosial dan religius suatu bangsa, jika
Indonesia ingin penegakan Hak Asasi Manusia berdiri di negara ini serta harus
sesuai dengan nilai kaidah yang ada di dalam jiwa bangsa Indonesia, selama itu
belum dipahami nilai penegakan Hak Asasi Manusia hanya sebagai plaform belaka.
Dalam penyelesaian perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat maka sarana penyelesaiannya di dalam
pengadilan Hak Asasi Manusia. Jika tidak terbukti terjadi pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat maka perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia dilakukan di
pengadilan umum dimana terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia itu terjadi.Di
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1999 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Sarana penyelesaian terhadap
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah sebagai berikut :
Pasal 4 : Pengadilan Hak Asasi
Manusia bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat. Yang dimaksud dengan memeriksa dan memutuskan dalam
ketentuan ini adalah termasuk penyelesaian perkara yang menyangkut konpensasi,
restitusi, dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat terdiri dari kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan sesuai dengan “Roma Stalute of the International Criminal Count”
kejahatan genosida adalah setiap pembuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok, etnis, kelompok Agama dengan cara :
a.
Pembunuhan anggota kelompok.
b.
Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok.
c.
Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya.
d.
Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok.
e.
Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu kelompok yang lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a)
Pembunuhan.
b)
Pemusnahan.
c) Perbudakan.
d)
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang dan yang melanggar asas-asas ketentuan
pokok hukum internasional.
f) Penyiksaan.
g)
Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara.
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok
tertentu atau perkumpulan yang di dasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lainnya yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
i)
Penghilangan orang secara paksa.
j)
Kejahatan apartheid.
Pasal 43
1)
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum di undangkannya
undangundang ini, diperiksa dan diputuskan pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.
2) Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan
Presiden.
3) Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berada dilingkungan peradilan umum.
Dapat dijabarkan bagi pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum adanya Undang- Undang No. 26
Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia dapat diperiksa dan diputuskan
dalam pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc. Dalam hal Dewan perwakilan Rakyat
Republik Indonesia mengusulkan di bentuk pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc,
Dewan Perwakilan Rakyat mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu
yang terjadi sebelum di undangkannya Undangundang ini. Serta pengadilan Hak
Asasi Manusia ad hoc ini berada di lingkungan peradilan umum.
Pasal 45
1. Untuk
pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagai mana dimaksud dalam pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat,
Surabaya, Medan dan Makasar.
2.
Daerah hukum pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berada pada pengadilan negeri di:
a. Jakarta
Pusat yang meliputi wilayah daerah khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Jawa Barat,
Banten, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah.
b. Surabaya yang meliputi Propinsi Jawa Timur,
Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur.
c. Makassar yang meliputi Propinsi Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku
Utara, Irian Jaya.
d. Medan
yang meliputi Propinsi Sematra Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan
Sumatra Barat.
Pasal 47
1.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya
Undangundang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
2.
Komisi kebenaran dan rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk
dengan Undang-undang.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penerapan hukum kepada pelanggaran Hak
Asasi Manusia di Indonesia ini berpedoman pada Undang- Undang No. 26 Tahun 2000
tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, di mana dalam Undang-undang tersebut
disebut tentang pengadilan ad hoc yang dipakai untuk mengadili para pelanggar
Hak Asasi Manusia di Indonesia.
2.
Lembaga yang mengadili para pelanggar Hak Asasi Manusia adalah pengadilan Ad
Hoc Hak Asasi Manusia, yang tidak beda dengan pengadilan biasa, khususnya
pengadilan pidana. Sebab pada hakekatnya pengadilan pidana juga mengadili
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang bersifat khas adalah bahwa pelanggaran Hak
Asasi Manusia berkaitan dengan kesepakatan internasional.
3. Untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di wilayah Indonesia
yaitu melalui pengadilan Ad Hoc apabila waktu terjadinya pelanggaran Hak Asasi
Manusia sebelum Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi
Manusia dan apabila terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut setelah
Undangundang ini maka diselesaikan melalui pengadilan Hak Asasi Manusia dan
apabila terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut sebelum Undang-undang
ini dapat juga diselesaikan melalui alternatif penyelesaian yaitu melalui
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ditetapkan oleh UndangUndang.
4. Hak
Asasi Manusia menurut prinsip Islam tidak dapat terlepas dari Al Qur’an dan As
Sunnah karena dari kedua sumber tersebut menjadi suatu kaidah-kaidah petunjuk
dan bimbingan bagi seluruh umat manusia.
B. Saran
1. Meskipun masalah pelanggaran Hak Asasi
Manusia selalu saja mengundang suatu perdebatan, tetapi lepas dari kontroversi
yang akan muncul dikemudian hari, proses terhadap peradilan Hak Asasi Manusia
harus tetap berjalan dengan objektif dan fair. Hal ini tentunya dengan
terjadinya apabila didukung oleh peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan permasalahan yang dihadapi dalam hal ini pemerintah perlu untuk berbuat
suatu instrumen perundang-undangan yang dapat berlaku surut (rekroaktif) dalam
UndangUndang pengadilan Hak Asasi Manusia.
2. Pada era reformasi sekarang ini,
pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti apapun bentuknya, harus dapat diproses
melalui peradilan, maka perlu juga di buat sarana yang akan mendukung masalah
penegakan Hak Asasi Manusia. Hal ini sudah dilakukan oleh pemerintah dengan
pembentukan komnas HAM.
3.
Berkaitan dengan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di NKRI, apabila proses
upaya penyelesaian melalui pengadilan dapat berjalan dengan fair, maka akan
menjadi tonggak sejarah perjuangan yang akan Hak Asasi Manusia bagi bangsa dan
negara Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kualitas para aparat penegak
hukum yang memahami nilai-nilai yang berkenaan dengan Hak Asasi Manusia.
4. Hak Asasi Manusia dalam islam merupakan
anugerah dari Allah SWT, yang melekat dengan fitnah kemanusiaannya, oleh sebab
itu manusia harus senantiasa konsisten terhadap syariat agama atau aturan pedoman
sebagai falsafah hidupnya, yaitu Al Qur’an dan Hadist
DAFTAR PUSTAKA
[1] Abu Haidan, Abdullah AlHabsyi, M. Ali dan,
HakHak Sipil Dalam Islam: Tinjauan Kritis Tekstual dan Kontekstual atas Tradisi
Ahlul Baits, Jakarta : Al Huda 2004.
[2]
Anam,Koffi, Buletin Wacana Hak Asasi Manusia, Pesan Sekretaris Jenderal PBB
Memperingati Hari HAM ke- 57, Edisi 20 tahun III/ Desember 2005.
[3] CST,
Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Data Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,1986.
[4]
Dirjdjosisworo, Seodjono, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Bandung: Citra Aditya
Bakti,2002
[5]
Hamzah, Dr. Andi S. H., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990.
[6]
Sumantri M, Prof. Dr. Sri. S. H., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni, 1992.
[7] Maududi, Abul A’la, Hak Asasi Manusia
Dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1985.
[8]
Nusantara,Abdul Hakim G. Sebuah Upaya Memutus Impunitas: Tanggung Jawab Komando
Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM. Vol 2. no. 2 Nopember
2004,
[9] Soekanto,
Soerjono, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada,
1987
[10]
Supelli, Karlina Leksono dan, Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi, Jurnal
Demokrasi dan HAM, Jakarta: ID H-THC, 2001
[11]
Usman el al K.H.M. Ali, Hadist Qudsi Pola Pembinaan Ahlaq Muslim, Bandung:
Diponegoro 1996.
[12]
Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen Keempat Tahun 2002,
Cetakan IX, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
[13]
Indonesia, Undang-Undang HAM, Cetakan X, Jakarta : Sinar Grafika, 2010
[14]
Indonesia Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, Tentang Pengadilan HAM, (L.N. Tahun
2000 No. 208).
[15]
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, Jakarta: Penabur Ilmu,
2003
[16] Adji,Dr. Andriganto Seno,Pengadilan Hak
Asasi Manusia Ad Hoc yang Objektif, Kompas, 2-2- 2002.
[17] Wahid,Abdurrahman, kongko-kongko bersama
Gus Dur, melihat arah kemana HAM Indonesia, Wawancara, radio 68 H , Utan Kayu,
sabtu, jam 10.00-11.00, 2006.
[18] Tim Pengkajian FH di bawah Koordinasi
Lembaga Penelitian UID, Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia, Ditinjau dari Segi
Pancasila dan UUD 1945 Atas Dasar Keimanan dan Ketaqwaan. 2007.
Mind Map Ham
No comments:
Post a Comment