Penulis : Dinda Damarisa Anggadewi
(dindadam112@gmail.com)
Hubungan Antara Agama dan Negara di Indonesia
Pendahuluan
Pembahasan
tentang hubungan agama dan negara di Indonesia sangat penting dan relevan
setidaknya karena tiga alasan. Menurut Titi Surti Nastiti (2014: 35-36)
menyatakan bahwa : pertama, secara historis, masyarakat yang mendiami wilayah
Indonesia sesungguhnya sangat lekat dengan agama, keagamaan atau sistem
kepercayaan tertentu. Kedua, secara filosofis dan dasar kenegaraan, Indonesia
mengakui dan menjadikan agama sebagai bagian dari prinsip-prinsip dalam
berbangsa dan bernegara. Indonesia tidak mengakui agama tertentu sebagai agama
resmi negara, secara bersamaan mengakui adanya keberadaan sekaligus mendukung
berkembangnya sejumlah agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha,
dan Konghucu. Dengan demikian Indonesia bukanlah negara agama dan sekaligus juga
bukan negara sekuler. Ketiga, antara agama dan negara masih sering menuai
kontroversi bahkan menjadi persoalan serius dalam berbagai kehidupan di
Indonesia. (Ahmad Sadzali, 2020).
Sebenarnya
secara garis besar, Pancasila dan UUD 1945 telah hadir di dalam hubungan antara
agama dan negara untuk menghadirkan kenyamanan terhadap warga negaranya dalam
berbangsa dan bernegara yang dapat dipahami pada sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karenanya, hubungan agama dan negara yang ada di
Indonesia telah diperjelas dalam beberapa pasal dalam UUD 1945, yaitu: Pasal
28E UUD bahwa: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya”, serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa” dan Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk berbadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (Ali Ismail Shaleh et al, 2019).
Permasalahan
Hubungan
antara agama dan negara di Indonesia kerap menjadi persoalan dari waktu ke
waktu. Polemik agama dan negara seringkali muncul dalam berbagai persoalan.
Misalnya persoalan tentang kedudukan antara agama dan negara manakah yang lebih
tinggi derajatnya, apakah antara agama dan negara bisa saling dihubungkan, lalu
apakah keduanya bisa berjalan berdampingan atau justru sebaliknya. Posisi
kedudukan agama maupun negara yang tidak pada tempatnya juga menjadi persoalan
tersendiri bagi hubungan antara agama dan negara. Saling memengaruhi bahkan
menguasai sering menjadi pemandangan biasa dalam catatan sejarah umat manusia.
Keberpihakan agama maupun negara yang berlebihan satu terhadap yang lain juga
seringkali menghilangkan fungsi kontrol sosial dari keduanya. (Osian Orjumi
Moru, 2010). Jika persoalan-persoalan seperti ini terus berulang dan berlanjut
di tengah masyarakat, maka akan berujung disintegrasi bangsa. Bahkan akan
berpengaruh pada medan lain seperti ekonomi, pendidikan, hukum, kebudayaan, dan
lainnya.
Pembahasan
Ada
dua asumsi pokok yang melandasi perbedaan pemikiran tentang hubungan agama dan
negara dalam konteks Indonesia, yakni: Pertama, masalah hubungan politik antara
agama dan negara muncul dan berkembang dari pandangan-pandangan yang berbeda di
kalangan pendiri republik ini tentang bagaimanakah Indonesia yang
dicita-citakan. Kedua, hubungan politik antara agama dan negara yang kurang
baik tidak muncul dari doktrin agama sendiri, melainkan dari bagaimana agama
diartikulasikan secara sosio-kultural, ekonomis dan politis di Indonesia.
(Muhammad Anang Firdaus, 2014). Selanjutnya, hubungan antara agama dan negara
menurut Din Syamsudin terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: Pertama, golongan
yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara integral.
Domain agama juga menjadi domain negara, demikian sebaliknya, sehingga hubungan
antara agama dan negara tidak ada jarak dan berjalan menjadi satu kesatuan.
Kedua,
golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan
secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung. Kedua
wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan negara
berjalan berdampingan, keduanya bertemu untuk pemenuhan kepentingan
masing-masing, agama membutuhkan lembaga negara untuk melakukan akselerasi
pengembangannya, demikian juga lembaga negara memerlukan agama untuk membangun
negara yang adil dan sesuai dengan spirit ketuhanan.
Ketiga,
golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara merupakan dua domain yang
berbeda dan tidak ada hubungannya sama sekali. Golongan ini memisahkan hubungan
antara agama dan politik/negara. Oleh sebab itu, golongan ini menolak
pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma agama ke dalam system
hukum agama. (Moh Dahlan, 2014).
Sementara
itu dalam sejarah bangsa Indonesia, hubungan antara agama dan negara berkembang
terbagi menjadi empat golongan, yaitu:
a.
Golongan
yang mengintegrasikan antara agama dan negara sebagai dua hal yang tidak
terpisahkan. Sejarah integrasi agama dan negara berjalan dengan intensif pada
masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan misalnya kerajaan Islam seperti Kerajaan
Islam Perelak, Kerajaan Islam Samudera Pasai di Aceh. Dalam sistem
ketatanegaraan tersebut, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga
menjadi hukum negara. Relasi agama dan negara tersebut berjalan aman dan damai
tanpa adanya konflik,
b.
Golongan
yang berpendapat bahwa agama dan negara berjalan dalam pusaran konflik dan
saling bersinggungan di antara keduanya. Dari beberapa kasus yang sering dijumpai
yaitu konflik kaum agamawan yang memiliki kehendak untuk menerapkan norma-norma
agama secara totalitas, sedangkan warga masyarakat lokal menolak pemberlakuan
norma agama tersebut. (Ibid.).
c.
Golongan
yang membangun hubungan dinais-dialektis antara agama dan negara. Norma-norma
agama diberlakukan secara gradual dalam sistem hukum nasional dan berjalan
tanpa konflik sebagaimana sistem ketatanegaraan kerajaan.
d.
Golongan
yang membangun hubungan secular-ritualistik antara agama dan negara.
Norma-norma agama diberlakukan dalam tradisi ritual keagamaan oleh pemerintah
sebagai symbol pengayoman kepada warganya, sehingga masyarakat merasa diayomi
dengan kedatangan pemimpin.
Dari segi
gerakan politik, hubungan antara agama dan negara di Indonesia mengalami
perkembangan dalam bentuk oposisi, alienasi, dan integrasi. Tiga tipologi
gerakan agama tersebut telah mengalami dinamika
yang progresif dan silih berganti. (Sofyan Hadi, 2011).
Selanjutnya,
Undang-Undang Dasar 1945 sendiri tidak memisahkan hubungan agama dan negara,
dapat kita lihat pada sila Pertama dan Bab XI UUD 1945 yang berjudulkan agama. Hubungan
agama dan negara yang seperti dijelaskan diatas seringkali menjadi persoalan yang
rumit. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan
atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus
politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih sering
diperdebatkan. Jika dipahami secara jelas dan seksama, antara agama dan negara
merupakan dua hal yang berbeda namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama
lain karena keduanya juga saling membutuhkan.
Persoalan-persoalan terkait agama dan negara yang seringkali muncul
dan memicu persoalan lainnya terjadi karena keduanya tidak terjadi hubungan
yang saling menguntungkan, saling mengayomi (checks and balances).
Misalnya jika suatu negara tidak memberikan kebebasan dalam beribadah kepada
warganya sesuai agama masing-masing, ataupun sebaliknya agama menganggap negara
menutup diri terhadap nilai-nilai keagamaan sehingga tatanan kenegaraan
berjalan secara bertentangan dengan nilai keagamaan. Dalam kasus seperti ini,
agama akan cenderung mempengaruhi instrumen kenegaraan tanpa memperhatikan
asas-asas demokrasi ataupun negara melakukan represi terhadap warga negaranya
tanpa memperhatikan ajaran agama berkaitan dengan keadilan dan persamaan di
hadapan Tuhan.
Persoalan antara
hubungan agama dan negara juga diperlukan suatu bentuk reposisi antara agama
dan negara dalam konteks kekinian agar baik agama maupun negara sama-sama dapat
menjalankan fungsi dan tugasnya seideal mungkin. Proses reposisi diperlukan
agar baik agama maupun negara tidak melupakan esensi keberadaannya sebagai
perwujudan citra Tuhan di dunia. Reposisi membantu agama dan negara mengenali
secara mendalam konteks dalam suatu masyarakat.
Pada dasarnya
Negara juga telah memberikan jalan tengah di dalam pembentukan hukum nasional
sehingga tidak perlu adanya konflik agama yang dapat mengganggu keutuhan
nasional, hal ini dapat dilihat dari Negara sendiri memberikan middle way
(Jalan Tengah) di dalam penentuan hukum yang ada di Indonesia. Hubungan antara
agama dan negara diharapkan tidak lagi mengalami pergesekan baik secara subjek
maupun objek penyelenggara agama dan negara, karena tokoh-tokoh sejarah
terdahulu pun dalam mendirikan bangsa Indonesia senantiasa menggandeng baik itu
golongan religius maupun golongan nasionalis sehingga mengokohkan posisi Indonesia
sebagai negara yang aman dan sejahtera.
Kesimpulan
Antara agama dan negara merupakan
dua hal yang berbeda namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain
karena keduanya juga saling membutuhkan. Persoalan-persoalan terkait agama dan
negara yang seringkali muncul dan memicu persoalan lainnya terjadi karena
keduanya tidak terjadi hubungan yang saling menguntungkan, saling mengayomi (checks
and balances). Selain itu, produk peraturan perundang-undangan di Indonesia
setidaknya harus dapat: melindungi semua golongan, berkeadilan, sesuai dengan
agama/keyakinan/kepercayaan masyarakat yang disahkan keberadaannya di
Indonesia, serta sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang
tidak bertentangan dengan agama. Indonesia merupakan negara dengan agama yang
beragam maka penyerapan hukum nasional dalam tiap-tiap agama juga perlu
diwujudkan agar sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Daftar Pustaka
Bua, Piter Randan et al, “Misi Gereja Dalam Mewujudkan Keadilan
Sosial: Sebuah Perspektif Dari Sila Kelima Pancasila”. KURIOS (Jurnal
Teologi dan Pendidikan Agama Kristen): Vol. 5, No. 2, (2019).
Dahlan, Moh. “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia”. Jurnal
Studi Keislaman: Vol. 14, No. 1. (Juni, 2014).
Firdaus, Muhammad Anang “Relasi Agama dan Negara: Telaah Historis
dan Perkembangannya”. Jurnal Multikultural dan Multireligius Vo. 13. No.
3. (Desember, 2014).
Hadi, Sofyan. “Relasi dan Reposisi Agama dan Negara: Tatapan Masa
Depan Keberagamaan di Indonesia”, Jurnal Millah: Vol. X, No 2. (Februari,
2011).
Moru, Osian Orjumi “Mereposisi Hubungan Agama dan Negara di
Indonesia dalam Perspektif Imam Kristen”. Jurnal Teruna Bhakti: Vol. 2,
No. 2. (Februari, 2010).
Nastiti, Titi Surti. Jejak-jejak Peradaban Hindu-Buddha di
Nusantara. Kalpataru: Majalah Arkeologi. 2014.
Sadzali, Ahmad. “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia: Polemik
dan Implikasinya dalam Pembentukan dan Perubahan Konstitusi”. Jurnal Hukum: Vol.
3, No. 2. (2020).
Shaleh Ali Ismail et al, “Hubungan Agama dan Negara Menurut
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia: Vol. 1, No. 2. (2019).
34_Tasya
ReplyDeleteArtikel ini kurang lengkap pada segi penulisan yaitu tidak adanya abstrak membuat para pembaca kurang tertarik membaca artikel ini. Pada dasarnya abstrak dibuat sebagai alat bantu seorang pembaca agar bisa mengerti inti dari tujuan seorang penulis.
17_Laykha
ReplyDeleteAntara agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya juga saling membutuhkan. Namun Persoalan-persoalan terkait agama dan negara yang seringkali muncul dan memicu persoalan lainnya terjadi karena keduanya tidak terjadi hubungan yang saling menguntungkan, saling mengayomi (checks and balances). Dari hal ini perlu adanya suatu bentuk reposisi antara agama dan negara dalam konteks kekinian agar baik agama maupun negara sama-sama dapat menjalankan fungsi dan tugasnya seideal mungkin. Dari Segi penulisan artikel cukup baik sehingga dapat di pahami. Semangat untuk membuat artikel artikel selanjutnya.
78_Anggun Panggabean
ReplyDeletePerbedaan pemikiran tentang hubungan agama dan negara dalam konteks Indonesia yakni masalah hubungan politik antara agama dan negara yang muncul dan berkembang dari pandangan-pandangan yang berbeda di kalangan pendiri republik ini tentang bagaimanakah Indonesia yang dicita-citakan. Kedua, hubungan politik antara agama dan negara yang kurang baik tidak muncul dari doktrin agama sendiri, melainkan dari bagaimana agama diartikulasikan secara sosio-kultural, ekonomis dan politis di Indonesia.
Persoalan antara hubungan agama dan negara juga diperlukan suatu bentuk reposisi antara agama dan negara dalam konteks kekinian agar baik agama maupun negara sama-sama dapat menjalankan fungsi dan tugasnya seideal mungkin. Hubungan antara agama dan negara diharapkan tidak lagi mengalami pergesekan karena tokoh-tokoh sejarah terdahulu pun senantiasa menggandeng baik itu golongan religius maupun golongan nasionalis sehingga mengokohkan posisi Indonesia sebagai negara yang aman dan sejahtera.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAgama dan negara merupakan dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan. Terlebih di negara Indonesia, hubungan antara Agama dan Negara sangat erat kaitannya dan hampir bersinggungan di segala lini dan bidang. Termasuk di bidang politik yang mana terkadang di dalam bidang politik, Agama seringkali menjadi alat dalam berpolitik yang mana hal tersebut dapat menimbulkan persoalan dan konflik.
ReplyDelete