Thursday, June 24, 2021

HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA

 

Penulis : Dinda Damarisa Anggadewi (dindadam112@gmail.com)

Hubungan Antara Agama dan Negara di Indonesia



Pendahuluan

            Pembahasan tentang hubungan agama dan negara di Indonesia sangat penting dan relevan setidaknya karena tiga alasan. Menurut Titi Surti Nastiti (2014: 35-36) menyatakan bahwa : pertama, secara historis, masyarakat yang mendiami wilayah Indonesia sesungguhnya sangat lekat dengan agama, keagamaan atau sistem kepercayaan tertentu. Kedua, secara filosofis dan dasar kenegaraan, Indonesia mengakui dan menjadikan agama sebagai bagian dari prinsip-prinsip dalam berbangsa dan bernegara. Indonesia tidak mengakui agama tertentu sebagai agama resmi negara, secara bersamaan mengakui adanya keberadaan sekaligus mendukung berkembangnya sejumlah agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dengan demikian Indonesia bukanlah negara agama dan sekaligus juga bukan negara sekuler. Ketiga, antara agama dan negara masih sering menuai kontroversi bahkan menjadi persoalan serius dalam berbagai kehidupan di Indonesia. (Ahmad Sadzali, 2020).

            Sebenarnya secara garis besar, Pancasila dan UUD 1945 telah hadir di dalam hubungan antara agama dan negara untuk menghadirkan kenyamanan terhadap warga negaranya dalam berbangsa dan bernegara yang dapat dipahami pada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karenanya, hubungan agama dan negara yang ada di Indonesia telah diperjelas dalam beberapa pasal dalam UUD 1945, yaitu: Pasal 28E UUD bahwa: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”, serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk berbadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (Ali Ismail Shaleh et al, 2019).

Permasalahan

            Hubungan antara agama dan negara di Indonesia kerap menjadi persoalan dari waktu ke waktu. Polemik agama dan negara seringkali muncul dalam berbagai persoalan. Misalnya persoalan tentang kedudukan antara agama dan negara manakah yang lebih tinggi derajatnya, apakah antara agama dan negara bisa saling dihubungkan, lalu apakah keduanya bisa berjalan berdampingan atau justru sebaliknya. Posisi kedudukan agama maupun negara yang tidak pada tempatnya juga menjadi persoalan tersendiri bagi hubungan antara agama dan negara. Saling memengaruhi bahkan menguasai sering menjadi pemandangan biasa dalam catatan sejarah umat manusia. Keberpihakan agama maupun negara yang berlebihan satu terhadap yang lain juga seringkali menghilangkan fungsi kontrol sosial dari keduanya. (Osian Orjumi Moru, 2010). Jika persoalan-persoalan seperti ini terus berulang dan berlanjut di tengah masyarakat, maka akan berujung disintegrasi bangsa. Bahkan akan berpengaruh pada medan lain seperti ekonomi, pendidikan, hukum, kebudayaan, dan lainnya.

Pembahasan

            Ada dua asumsi pokok yang melandasi perbedaan pemikiran tentang hubungan agama dan negara dalam konteks Indonesia, yakni: Pertama, masalah hubungan politik antara agama dan negara muncul dan berkembang dari pandangan-pandangan yang berbeda di kalangan pendiri republik ini tentang bagaimanakah Indonesia yang dicita-citakan. Kedua, hubungan politik antara agama dan negara yang kurang baik tidak muncul dari doktrin agama sendiri, melainkan dari bagaimana agama diartikulasikan secara sosio-kultural, ekonomis dan politis di Indonesia. (Muhammad Anang Firdaus, 2014). Selanjutnya, hubungan antara agama dan negara menurut Din Syamsudin terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: Pertama, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara integral. Domain agama juga menjadi domain negara, demikian sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada jarak dan berjalan menjadi satu kesatuan.

            Kedua, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung. Kedua wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan negara berjalan berdampingan, keduanya bertemu untuk pemenuhan kepentingan masing-masing, agama membutuhkan lembaga negara untuk melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga negara memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan spirit ketuhanan.

            Ketiga, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara merupakan dua domain yang berbeda dan tidak ada hubungannya sama sekali. Golongan ini memisahkan hubungan antara agama dan politik/negara. Oleh sebab itu, golongan ini menolak pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma agama ke dalam system hukum agama. (Moh Dahlan, 2014).

            Sementara itu dalam sejarah bangsa Indonesia, hubungan antara agama dan negara berkembang terbagi menjadi empat golongan, yaitu:

a.     Golongan yang mengintegrasikan antara agama dan negara sebagai dua hal yang tidak terpisahkan. Sejarah integrasi agama dan negara berjalan dengan intensif pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan misalnya kerajaan Islam seperti Kerajaan Islam Perelak, Kerajaan Islam Samudera Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan tersebut, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum negara. Relasi agama dan negara tersebut berjalan aman dan damai tanpa adanya konflik,

b.     Golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara berjalan dalam pusaran konflik dan saling bersinggungan di antara keduanya. Dari beberapa kasus yang sering dijumpai yaitu konflik kaum agamawan yang memiliki kehendak untuk menerapkan norma-norma agama secara totalitas, sedangkan warga masyarakat lokal menolak pemberlakuan norma agama tersebut. (Ibid.).

c.     Golongan yang membangun hubungan dinais-dialektis antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan secara gradual dalam sistem hukum nasional dan berjalan tanpa konflik sebagaimana sistem ketatanegaraan kerajaan.

d.     Golongan yang membangun hubungan secular-ritualistik antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan dalam tradisi ritual keagamaan oleh pemerintah sebagai symbol pengayoman kepada warganya, sehingga masyarakat merasa diayomi dengan kedatangan pemimpin.

Dari segi gerakan politik, hubungan antara agama dan negara di Indonesia mengalami perkembangan dalam bentuk oposisi, alienasi, dan integrasi. Tiga tipologi gerakan agama tersebut telah mengalami dinamika  yang progresif dan silih berganti. (Sofyan Hadi, 2011).

            Selanjutnya, Undang-Undang Dasar 1945 sendiri tidak memisahkan hubungan agama dan negara, dapat kita lihat pada sila Pertama dan Bab XI UUD 1945 yang berjudulkan agama. Hubungan agama dan negara yang seperti dijelaskan diatas seringkali menjadi persoalan yang rumit. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih sering diperdebatkan. Jika dipahami secara jelas dan seksama, antara agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya juga saling membutuhkan.

            Persoalan-persoalan terkait agama dan negara yang seringkali muncul dan memicu persoalan lainnya terjadi karena keduanya tidak terjadi hubungan yang saling menguntungkan, saling mengayomi (checks and balances). Misalnya jika suatu negara tidak memberikan kebebasan dalam beribadah kepada warganya sesuai agama masing-masing, ataupun sebaliknya agama menganggap negara menutup diri terhadap nilai-nilai keagamaan sehingga tatanan kenegaraan berjalan secara bertentangan dengan nilai keagamaan. Dalam kasus seperti ini, agama akan cenderung mempengaruhi instrumen kenegaraan tanpa memperhatikan asas-asas demokrasi ataupun negara melakukan represi terhadap warga negaranya tanpa memperhatikan ajaran agama berkaitan dengan keadilan dan persamaan di hadapan Tuhan.

            Persoalan antara hubungan agama dan negara juga diperlukan suatu bentuk reposisi antara agama dan negara dalam konteks kekinian agar baik agama maupun negara sama-sama dapat menjalankan fungsi dan tugasnya seideal mungkin. Proses reposisi diperlukan agar baik agama maupun negara tidak melupakan esensi keberadaannya sebagai perwujudan citra Tuhan di dunia. Reposisi membantu agama dan negara mengenali secara mendalam konteks dalam suatu masyarakat.

            Pada dasarnya Negara juga telah memberikan jalan tengah di dalam pembentukan hukum nasional sehingga tidak perlu adanya konflik agama yang dapat mengganggu keutuhan nasional, hal ini dapat dilihat dari Negara sendiri memberikan middle way (Jalan Tengah) di dalam penentuan hukum yang ada di Indonesia. Hubungan antara agama dan negara diharapkan tidak lagi mengalami pergesekan baik secara subjek maupun objek penyelenggara agama dan negara, karena tokoh-tokoh sejarah terdahulu pun dalam mendirikan bangsa Indonesia senantiasa menggandeng baik itu golongan religius maupun golongan nasionalis sehingga mengokohkan posisi Indonesia sebagai negara yang aman dan sejahtera.

Kesimpulan

Antara agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya juga saling membutuhkan. Persoalan-persoalan terkait agama dan negara yang seringkali muncul dan memicu persoalan lainnya terjadi karena keduanya tidak terjadi hubungan yang saling menguntungkan, saling mengayomi (checks and balances). Selain itu, produk peraturan perundang-undangan di Indonesia setidaknya harus dapat: melindungi semua golongan, berkeadilan, sesuai dengan agama/keyakinan/kepercayaan masyarakat yang disahkan keberadaannya di Indonesia, serta sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan agama. Indonesia merupakan negara dengan agama yang beragam maka penyerapan hukum nasional dalam tiap-tiap agama juga perlu diwujudkan agar sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

Daftar Pustaka

Bua, Piter Randan et al, “Misi Gereja Dalam Mewujudkan Keadilan Sosial: Sebuah Perspektif Dari Sila Kelima Pancasila”. KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen): Vol. 5, No. 2, (2019).

Dahlan, Moh. “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia”. Jurnal Studi Keislaman: Vol. 14, No. 1. (Juni, 2014).

Firdaus, Muhammad Anang “Relasi Agama dan Negara: Telaah Historis dan Perkembangannya”. Jurnal Multikultural dan Multireligius Vo. 13. No. 3. (Desember, 2014).

Hadi, Sofyan. “Relasi dan Reposisi Agama dan Negara: Tatapan Masa Depan Keberagamaan di Indonesia”, Jurnal Millah: Vol. X, No 2. (Februari, 2011).

Moru, Osian Orjumi “Mereposisi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Perspektif Imam Kristen”. Jurnal Teruna Bhakti: Vol. 2, No. 2. (Februari, 2010).

Nastiti, Titi Surti. Jejak-jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Kalpataru: Majalah Arkeologi. 2014.

Sadzali, Ahmad. “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia: Polemik dan Implikasinya dalam Pembentukan dan Perubahan Konstitusi”. Jurnal Hukum: Vol. 3, No. 2. (2020).

Shaleh Ali Ismail et al, “Hubungan Agama dan Negara Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia: Vol. 1, No. 2. (2019).

 

 

5 comments:

  1. 34_Tasya
    Artikel ini kurang lengkap pada segi penulisan yaitu tidak adanya abstrak membuat para pembaca kurang tertarik membaca artikel ini. Pada dasarnya abstrak dibuat sebagai alat bantu seorang pembaca agar bisa mengerti inti dari tujuan seorang penulis.

    ReplyDelete
  2. 17_Laykha
    Antara agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya juga saling membutuhkan. Namun Persoalan-persoalan terkait agama dan negara yang seringkali muncul dan memicu persoalan lainnya terjadi karena keduanya tidak terjadi hubungan yang saling menguntungkan, saling mengayomi (checks and balances). Dari hal ini perlu adanya suatu bentuk reposisi antara agama dan negara dalam konteks kekinian agar baik agama maupun negara sama-sama dapat menjalankan fungsi dan tugasnya seideal mungkin. Dari Segi penulisan artikel cukup baik sehingga dapat di pahami. Semangat untuk membuat artikel artikel selanjutnya.

    ReplyDelete
  3. 78_Anggun Panggabean
    Perbedaan pemikiran tentang hubungan agama dan negara dalam konteks Indonesia yakni masalah hubungan politik antara agama dan negara yang muncul dan berkembang dari pandangan-pandangan yang berbeda di kalangan pendiri republik ini tentang bagaimanakah Indonesia yang dicita-citakan. Kedua, hubungan politik antara agama dan negara yang kurang baik tidak muncul dari doktrin agama sendiri, melainkan dari bagaimana agama diartikulasikan secara sosio-kultural, ekonomis dan politis di Indonesia.
    Persoalan antara hubungan agama dan negara juga diperlukan suatu bentuk reposisi antara agama dan negara dalam konteks kekinian agar baik agama maupun negara sama-sama dapat menjalankan fungsi dan tugasnya seideal mungkin. Hubungan antara agama dan negara diharapkan tidak lagi mengalami pergesekan karena tokoh-tokoh sejarah terdahulu pun senantiasa menggandeng baik itu golongan religius maupun golongan nasionalis sehingga mengokohkan posisi Indonesia sebagai negara yang aman dan sejahtera.

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan. Terlebih di negara Indonesia, hubungan antara Agama dan Negara sangat erat kaitannya dan hampir bersinggungan di segala lini dan bidang. Termasuk di bidang politik yang mana terkadang di dalam bidang politik, Agama seringkali menjadi alat dalam berpolitik yang mana hal tersebut dapat menimbulkan persoalan dan konflik.

    ReplyDelete

GOTONG ROYONG DALAM PERSPETIF SILA KETIGA PANCASILA: MEMBANGUN KEBERSAMAAN BANGSA

Abstrak Gotong royong adalah salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan identitas nasional....