Shahbilal Ryonisa Utama (D37)
Abstrak
Diskriminasi terhadap difabel masih menjadi tantangan serius di ruang publik
Indonesia, meski telah ada berbagai regulasi yang menjamin hak-hak mereka.
Artikel ini mengulas realitas diskriminasi yang dialami difabel di ruang
publik, baik secara fisik, sosial, maupun kebijakan. Melalui studi literatur,
kasus nyata, dan analisis regulasi, artikel ini menyoroti bentuk diskriminasi,
faktor penyebab, serta upaya yang telah dan perlu dilakukan untuk mewujudkan
ruang publik yang inklusif. Kesimpulan dan saran diharapkan dapat menjadi
masukan bagi pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lain untuk
menghapus diskriminasi dan mendorong kesetaraan hak difabel di ruang publik.
Kata Kunci: diskriminasi,
difabel, ruang publik, hak asasi, inklusi sosial
Pendahuluan
Penyandang disabilitas atau
difabel merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang
sama dengan warga negara lainnya. Namun, dalam kenyataannya, difabel masih
sering mengalami diskriminasi, baik secara langsung maupun tidak langsung,
terutama di ruang-ruang publik. Diskriminasi ini tidak hanya menghambat
partisipasi difabel dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, tetapi juga
melanggar hak asasi manusia yang telah dijamin dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas4.
Meskipun pemerintah telah
mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk mendukung inklusi difabel,
praktik diskriminasi masih kerap terjadi. Mulai dari aksesibilitas fisik yang
buruk, pelayanan publik yang tidak ramah, hingga stigma dan prasangka negatif
yang melekat di masyarakat. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji apakah
diskriminasi terhadap difabel masih terjadi di ruang publik, bentuk-bentuk
diskriminasi yang muncul, serta solusi yang dapat diupayakan untuk
mengatasinya.
Permasalahan
Permasalahan utama yang diangkat
dalam artikel ini adalah:
- Apakah diskriminasi terhadap difabel masih terjadi
di ruang publik Indonesia?
- Apa saja bentuk diskriminasi yang dialami difabel
di ruang publik?
- Faktor apa saja yang menyebabkan diskriminasi
tersebut masih terjadi?
- Bagaimana upaya yang telah dan perlu dilakukan
untuk menghapus diskriminasi terhadap difabel di ruang publik?
Pembahasan
1. Realitas Diskriminasi
Difabel di Ruang Publik
Diskriminasi terhadap difabel di
ruang publik masih sering terjadi, baik dalam bentuk fisik, sosial, maupun
kebijakan. Kasus terbaru di Surakarta, misalnya, menunjukkan bagaimana seorang
difabel yang menggunakan motor roda tiga dilarang parkir di tempat umum oleh
juru parkir, meski tidak ada larangan resmi untuk kendaraan roda tiga2. Kejadian ini tidak hanya menghambat mobilitas
difabel, tetapi juga menunjukkan kurangnya pemahaman dan empati dari petugas
layanan publik.
Contoh lain adalah kasus yang
melibatkan pejabat publik, di mana seorang Menteri Sosial memaksa anak difabel
rungu untuk berbicara di depan umum, tanpa memperhatikan kebutuhan komunikasinya.
Tindakan ini merupakan bentuk ableisme, yaitu paradigma yang menganggap
kemampuan non-difabel sebagai standar utama, sehingga kebutuhan khusus difabel
diabaikan1.
Selain diskriminasi langsung,
difabel juga menghadapi hambatan aksesibilitas di ruang publik. Banyak
fasilitas umum seperti trotoar, halte, terminal, dan gedung perkantoran yang
belum ramah difabel. Fasilitas seperti ramp, guiding block, lift, dan informasi
audio-visual seringkali tidak tersedia atau tidak sesuai standar, sehingga
menyulitkan difabel untuk beraktivitas secara mandiri3.
2. Bentuk-Bentuk Diskriminasi
Diskriminasi terhadap difabel di
ruang publik dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Diskriminasi Fisik: Tidak tersedianya
fasilitas aksesibel seperti jalur kursi roda, toilet khusus, parkir
khusus, dan informasi berbasis braille atau audio35.
- Diskriminasi Sosial: Stigma, prasangka, dan
perlakuan berbeda dari masyarakat, seperti menganggap difabel tidak mampu,
tidak produktif, atau membutuhkan bantuan berlebihan56.
- Diskriminasi Kebijakan: Regulasi atau
kebijakan yang tidak inklusif, seperti persyaratan sehat jasmani dan rohani
untuk menjadi anggota dewan, atau kuota kerja difabel yang tidak
ditegakkan47.
- Diskriminasi Layanan Publik: Pelayanan
publik yang tidak ramah difabel, seperti petugas yang tidak terlatih
menghadapi kebutuhan khusus difabel, atau penolakan akses ke fasilitas
publik25.
3. Faktor Penyebab
Diskriminasi
Beberapa faktor yang menyebabkan
diskriminasi terhadap difabel masih terjadi di ruang publik antara lain:
- Paradigma Ableisme: Pandangan yang
menempatkan kemampuan non-difabel sebagai standar utama, sehingga
kebutuhan difabel diabaikan atau dianggap tidak penting1.
- Kurangnya Edukasi dan Empati: Masyarakat dan
petugas layanan publik kurang memahami kebutuhan dan hak difabel, sehingga
cenderung bersikap diskriminatif, baik secara sadar maupun tidak25.
- Keterbatasan Infrastruktur dan Anggaran:
Fasilitas publik seringkali tidak dirancang dengan prinsip universal
design, dan anggaran untuk fasilitas ramah difabel masih minim37.
- Stigma dan Prasangka Sosial: Difabel sering
dipandang sebagai beban atau kelompok yang tidak produktif, sehingga
hak-haknya diabaikan567.
- Penegakan Hukum yang Lemah: Meski ada
regulasi yang menjamin hak difabel, implementasi dan penegakan hukumnya
masih lemah47.
4. Upaya Menghapus
Diskriminasi
Berbagai upaya telah dan perlu
dilakukan untuk menghapus diskriminasi terhadap difabel di ruang publik, antara
lain:
- Peningkatan Aksesibilitas Fisik: Pemerintah
dan pengelola fasilitas publik harus memastikan tersedianya fasilitas
aksesibel sesuai standar, seperti ramp, lift, guiding block, dan informasi
berbasis braille atau audio3.
- Pelatihan dan Edukasi: Petugas layanan
publik perlu dilatih untuk memahami kebutuhan difabel dan memberikan
pelayanan yang ramah dan inklusif25.
- Penegakan Hukum dan Pengawasan: Pemerintah
harus menegakkan regulasi yang menjamin hak difabel, termasuk memberikan
sanksi bagi pelaku diskriminasi dan memastikan implementasi kuota kerja
difabel47.
- Kampanye Anti-Stigma: Masyarakat perlu
diedukasi untuk menghapus stigma dan prasangka terhadap difabel, serta
mendorong partisipasi aktif difabel dalam berbagai bidang kehidupan67.
- Pelibatan Difabel dalam Perencanaan: Difabel
harus dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan
serta pembangunan fasilitas publik, agar kebutuhan mereka benar-benar
terakomodasi35.
Kesimpulan
Diskriminasi terhadap difabel di
ruang publik Indonesia masih terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari hambatan
aksesibilitas fisik, pelayanan publik yang tidak ramah, hingga stigma dan
prasangka sosial. Meskipun telah ada regulasi yang menjamin hak-hak difabel,
implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Paradigma ableisme, kurangnya
edukasi, keterbatasan fasilitas, dan lemahnya penegakan hukum menjadi faktor
utama penyebab diskriminasi.
Untuk mewujudkan ruang publik
yang inklusif, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan
pemangku kepentingan lainnya. Peningkatan aksesibilitas fisik, edukasi,
penegakan hukum, kampanye anti-stigma, dan pelibatan difabel dalam perencanaan
menjadi langkah penting yang harus terus diupayakan.
Saran
- Pemerintah harus memperkuat penegakan hukum terkait
perlindungan hak difabel dan memastikan implementasi regulasi secara
konsisten di seluruh wilayah.
- Fasilitas publik harus didesain dengan prinsip
universal design, melibatkan difabel dalam proses perencanaan dan
evaluasi.
- Masyarakat dan petugas layanan publik perlu
diberikan edukasi dan pelatihan tentang inklusi dan hak-hak difabel.
- Kampanye anti-stigma harus digalakkan secara masif
untuk mengubah paradigma dan sikap masyarakat terhadap difabel.
- Difabel harus didorong untuk aktif berpartisipasi
dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, serta diberikan ruang yang
setara untuk berkontribusi.
Daftar Pustaka
1.
Saputra, Auditya. “Ableisme dan Diskriminasi
terhadap Penyandang Disabilitas.” PSHK.
2.
RRI Surakarta. “Diskriminasi Terhadap Difabel
Kembali Terjadi di Kota Surakarta.”
3.
Asumsi.co. “Bagaimana Aturan yang Berlaku Untuk
Memberikan Fasilitas Ramah Disabilitas?”
4.
Jurnal Kemendagri. “Studi Deskriptif Riset
Kebijakan Tentang Hak-Hak Difabel di Indonesia.”
5.
Rahmawati, Heru Adi Putranto. “Diffable-Friendly
Public Service Model Building Intiatives the City of Inclusion.” Jurnal
Pencerah.
6.
Waro’i, M. R. H. “Diskriminasi dan Resistensi
Difabel dalam Sosiologi Sastra.” Kandai.
7.
Unpad.ac.id. “Hentikan Diskriminasi Terhadap
Kaum Difabel.”
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.