Thursday, June 12, 2025

diskriminasi terhadap difabel Masihkah Terjadi di Ruang Publik

 


Shahbilal Ryonisa Utama (D37)










Abstrak
Diskriminasi terhadap difabel masih menjadi tantangan serius di ruang publik Indonesia, meski telah ada berbagai regulasi yang menjamin hak-hak mereka. Artikel ini mengulas realitas diskriminasi yang dialami difabel di ruang publik, baik secara fisik, sosial, maupun kebijakan. Melalui studi literatur, kasus nyata, dan analisis regulasi, artikel ini menyoroti bentuk diskriminasi, faktor penyebab, serta upaya yang telah dan perlu dilakukan untuk mewujudkan ruang publik yang inklusif. Kesimpulan dan saran diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lain untuk menghapus diskriminasi dan mendorong kesetaraan hak difabel di ruang publik.

Kata Kunci: diskriminasi, difabel, ruang publik, hak asasi, inklusi sosial

Pendahuluan

Penyandang disabilitas atau difabel merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Namun, dalam kenyataannya, difabel masih sering mengalami diskriminasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama di ruang-ruang publik. Diskriminasi ini tidak hanya menghambat partisipasi difabel dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, tetapi juga melanggar hak asasi manusia yang telah dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas4.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk mendukung inklusi difabel, praktik diskriminasi masih kerap terjadi. Mulai dari aksesibilitas fisik yang buruk, pelayanan publik yang tidak ramah, hingga stigma dan prasangka negatif yang melekat di masyarakat. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji apakah diskriminasi terhadap difabel masih terjadi di ruang publik, bentuk-bentuk diskriminasi yang muncul, serta solusi yang dapat diupayakan untuk mengatasinya.

Permasalahan

Permasalahan utama yang diangkat dalam artikel ini adalah:

  • Apakah diskriminasi terhadap difabel masih terjadi di ruang publik Indonesia?
  • Apa saja bentuk diskriminasi yang dialami difabel di ruang publik?
  • Faktor apa saja yang menyebabkan diskriminasi tersebut masih terjadi?
  • Bagaimana upaya yang telah dan perlu dilakukan untuk menghapus diskriminasi terhadap difabel di ruang publik?

Pembahasan

1. Realitas Diskriminasi Difabel di Ruang Publik

Diskriminasi terhadap difabel di ruang publik masih sering terjadi, baik dalam bentuk fisik, sosial, maupun kebijakan. Kasus terbaru di Surakarta, misalnya, menunjukkan bagaimana seorang difabel yang menggunakan motor roda tiga dilarang parkir di tempat umum oleh juru parkir, meski tidak ada larangan resmi untuk kendaraan roda tiga2. Kejadian ini tidak hanya menghambat mobilitas difabel, tetapi juga menunjukkan kurangnya pemahaman dan empati dari petugas layanan publik.

Contoh lain adalah kasus yang melibatkan pejabat publik, di mana seorang Menteri Sosial memaksa anak difabel rungu untuk berbicara di depan umum, tanpa memperhatikan kebutuhan komunikasinya. Tindakan ini merupakan bentuk ableisme, yaitu paradigma yang menganggap kemampuan non-difabel sebagai standar utama, sehingga kebutuhan khusus difabel diabaikan1.

Selain diskriminasi langsung, difabel juga menghadapi hambatan aksesibilitas di ruang publik. Banyak fasilitas umum seperti trotoar, halte, terminal, dan gedung perkantoran yang belum ramah difabel. Fasilitas seperti ramp, guiding block, lift, dan informasi audio-visual seringkali tidak tersedia atau tidak sesuai standar, sehingga menyulitkan difabel untuk beraktivitas secara mandiri3.

2. Bentuk-Bentuk Diskriminasi

Diskriminasi terhadap difabel di ruang publik dapat dikategorikan sebagai berikut:

  • Diskriminasi Fisik: Tidak tersedianya fasilitas aksesibel seperti jalur kursi roda, toilet khusus, parkir khusus, dan informasi berbasis braille atau audio35.
  • Diskriminasi Sosial: Stigma, prasangka, dan perlakuan berbeda dari masyarakat, seperti menganggap difabel tidak mampu, tidak produktif, atau membutuhkan bantuan berlebihan56.
  • Diskriminasi Kebijakan: Regulasi atau kebijakan yang tidak inklusif, seperti persyaratan sehat jasmani dan rohani untuk menjadi anggota dewan, atau kuota kerja difabel yang tidak ditegakkan47.
  • Diskriminasi Layanan Publik: Pelayanan publik yang tidak ramah difabel, seperti petugas yang tidak terlatih menghadapi kebutuhan khusus difabel, atau penolakan akses ke fasilitas publik25.

3. Faktor Penyebab Diskriminasi

Beberapa faktor yang menyebabkan diskriminasi terhadap difabel masih terjadi di ruang publik antara lain:

  • Paradigma Ableisme: Pandangan yang menempatkan kemampuan non-difabel sebagai standar utama, sehingga kebutuhan difabel diabaikan atau dianggap tidak penting1.
  • Kurangnya Edukasi dan Empati: Masyarakat dan petugas layanan publik kurang memahami kebutuhan dan hak difabel, sehingga cenderung bersikap diskriminatif, baik secara sadar maupun tidak25.
  • Keterbatasan Infrastruktur dan Anggaran: Fasilitas publik seringkali tidak dirancang dengan prinsip universal design, dan anggaran untuk fasilitas ramah difabel masih minim37.
  • Stigma dan Prasangka Sosial: Difabel sering dipandang sebagai beban atau kelompok yang tidak produktif, sehingga hak-haknya diabaikan567.
  • Penegakan Hukum yang Lemah: Meski ada regulasi yang menjamin hak difabel, implementasi dan penegakan hukumnya masih lemah47.

4. Upaya Menghapus Diskriminasi

Berbagai upaya telah dan perlu dilakukan untuk menghapus diskriminasi terhadap difabel di ruang publik, antara lain:

  • Peningkatan Aksesibilitas Fisik: Pemerintah dan pengelola fasilitas publik harus memastikan tersedianya fasilitas aksesibel sesuai standar, seperti ramp, lift, guiding block, dan informasi berbasis braille atau audio3.
  • Pelatihan dan Edukasi: Petugas layanan publik perlu dilatih untuk memahami kebutuhan difabel dan memberikan pelayanan yang ramah dan inklusif25.
  • Penegakan Hukum dan Pengawasan: Pemerintah harus menegakkan regulasi yang menjamin hak difabel, termasuk memberikan sanksi bagi pelaku diskriminasi dan memastikan implementasi kuota kerja difabel47.
  • Kampanye Anti-Stigma: Masyarakat perlu diedukasi untuk menghapus stigma dan prasangka terhadap difabel, serta mendorong partisipasi aktif difabel dalam berbagai bidang kehidupan67.
  • Pelibatan Difabel dalam Perencanaan: Difabel harus dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan serta pembangunan fasilitas publik, agar kebutuhan mereka benar-benar terakomodasi35.

Kesimpulan

Diskriminasi terhadap difabel di ruang publik Indonesia masih terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari hambatan aksesibilitas fisik, pelayanan publik yang tidak ramah, hingga stigma dan prasangka sosial. Meskipun telah ada regulasi yang menjamin hak-hak difabel, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Paradigma ableisme, kurangnya edukasi, keterbatasan fasilitas, dan lemahnya penegakan hukum menjadi faktor utama penyebab diskriminasi.

Untuk mewujudkan ruang publik yang inklusif, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Peningkatan aksesibilitas fisik, edukasi, penegakan hukum, kampanye anti-stigma, dan pelibatan difabel dalam perencanaan menjadi langkah penting yang harus terus diupayakan.

Saran

  • Pemerintah harus memperkuat penegakan hukum terkait perlindungan hak difabel dan memastikan implementasi regulasi secara konsisten di seluruh wilayah.
  • Fasilitas publik harus didesain dengan prinsip universal design, melibatkan difabel dalam proses perencanaan dan evaluasi.
  • Masyarakat dan petugas layanan publik perlu diberikan edukasi dan pelatihan tentang inklusi dan hak-hak difabel.
  • Kampanye anti-stigma harus digalakkan secara masif untuk mengubah paradigma dan sikap masyarakat terhadap difabel.
  • Difabel harus didorong untuk aktif berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, serta diberikan ruang yang setara untuk berkontribusi.

 

Daftar Pustaka

1.       Saputra, Auditya. “Ableisme dan Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas.” PSHK.

2.       RRI Surakarta. “Diskriminasi Terhadap Difabel Kembali Terjadi di Kota Surakarta.”

3.       Asumsi.co. “Bagaimana Aturan yang Berlaku Untuk Memberikan Fasilitas Ramah Disabilitas?”

4.       Jurnal Kemendagri. “Studi Deskriptif Riset Kebijakan Tentang Hak-Hak Difabel di Indonesia.”

5.       Rahmawati, Heru Adi Putranto. “Diffable-Friendly Public Service Model Building Intiatives the City of Inclusion.” Jurnal Pencerah.

6.       Waro’i, M. R. H. “Diskriminasi dan Resistensi Difabel dalam Sosiologi Sastra.” Kandai.

7.       Unpad.ac.id. “Hentikan Diskriminasi Terhadap Kaum Difabel.”


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47