Abstrak
Artikel ini membahas perkembangan dan dinamika partai politik di Indonesia dari era Orde Baru hingga memasuki era milenial. Di era Orde Baru, sistem politik sangat dikendalikan oleh negara, dengan hanya tiga partai yang diizinkan beroperasi, yakni Golkar, PPP, dan PDI. Namun, setelah Reformasi 1998, sistem politik mengalami liberalisasi, yang membuka ruang bagi munculnya puluhan partai politik. Era milenial ditandai dengan kemunculan generasi muda yang lebih kritis, melek digital, dan kurang terikat pada identitas politik tradisional. Artikel ini mengkaji perubahan struktur, fungsi, serta tantangan partai politik dalam menghadapi perubahan sosial-politik dan teknologi. Metode yang digunakan adalah studi pustaka dengan pendekatan kualitatif. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa partai politik Indonesia mengalami transformasi signifikan, namun masih menghadapi masalah klasik seperti oligarki politik, pragmatisme, dan rendahnya partisipasi politik substantif. Diperlukan reformasi partai politik yang lebih mendasar agar partai dapat berfungsi secara optimal dalam sistem demokrasi.
Kata Kunci: Partai Politik, Orde Baru, Era Milenial, Reformasi, Demokrasi, Generasi Muda.
Pendahuluan
Partai politik merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi. Mereka menjadi wahana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi, berpartisipasi dalam proses politik, dan memilih pemimpin yang akan mewakili kepentingan mereka. Dalam konteks Indonesia, dinamika partai politik mengalami perubahan yang drastis dari era Orde Baru hingga era milenial saat ini. Perjalanan panjang tersebut mencerminkan berbagai tantangan dan adaptasi yang harus dilalui dalam upaya mewujudkan demokrasi yang sehat dan inklusif.
Pada era Orde Baru (1966–1998), partai politik ditekan dan dimanipulasi sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaan. Namun, sejak jatuhnya Soeharto dan lahirnya era Reformasi, Indonesia menyaksikan munculnya sistem multipartai yang lebih terbuka. Dalam dua dekade terakhir, partai politik dihadapkan pada tantangan baru dari masyarakat milenial dan perkembangan teknologi digital, yang menuntut partisipasi dan transparansi lebih tinggi.
Permasalahan
1. Bagaimana karakteristik sistem partai politik pada masa Orde Baru?
2. Apa saja perubahan signifikan yang terjadi pada partai politik pasca-Reformasi?
3. Bagaimana tantangan yang dihadapi partai politik di era milenial?
Pembahasan
1. Sistem Partai Politik pada Masa Orde Baru
Orde Baru merupakan rezim otoriter yang dipimpin oleh Presiden Soeharto sejak 1966. Pada masa ini, partai politik tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam sistem demokrasi. Pada tahun 1973, terjadi fusi partai menjadi tiga kekuatan politik utama: Golkar (bukan partai, tapi "golongan karya" yang menjadi alat kekuasaan rezim), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia).
Fusi ini dilakukan untuk meredam kekuatan oposisi dan menyederhanakan sistem politik agar lebih mudah dikontrol oleh negara. Golkar, sebagai kendaraan politik utama rezim, selalu memenangkan pemilu karena dukungan penuh dari birokrasi, militer, dan pembatasan ketat terhadap kegiatan kampanye partai lain.
Kebebasan politik ditekan, media dikontrol, dan oposisi dibungkam. Partai politik hanya menjadi formalitas dalam pemilu, tanpa kemampuan nyata untuk mengontrol atau menyeimbangkan kekuasaan eksekutif.
2. Perubahan Fungsi Partai Politik dari Masa ke Masa
Pada masa Orde Baru, partai politik hanya dijadikan alat kekuasaan pemerintah dan tidak benar-benar mewakili rakyat. Setelah Reformasi, partai menjadi lebih bebas dan memiliki peran penting, seperti memilih calon pemimpin, membuat kebijakan, dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, banyak partai lebih fokus pada kekuasaan daripada melayani rakyat. Fungsi seperti pendidikan politik dan pembinaan kader sering diabaikan. Jadi, meskipun partai lebih bebas, peran idealnya belum dijalankan dengan baik. Namun, problem internal tetap melekat, seperti oligarki elite, politik transaksional, serta lemahnya kaderisasi dan ideologi partai.
3. Tantangan Partai Politik di Era Milenial
Era milenial membawa tantangan baru bagi partai politik, antara lain:
a. Perubahan Demografis dan Politik Generasi Muda
Generasi milenial (lahir 1981–1996) dan generasi Z (lahir setelah 1997) kini mendominasi jumlah pemilih. Mereka cenderung lebih pragmatis, melek teknologi, dan kritis terhadap politik. Sayangnya, partisipasi politik mereka cenderung rendah secara formal, namun tinggi dalam ruang digital (media sosial).
Partai politik dituntut untuk menyesuaikan gaya komunikasi politik mereka agar relevan dengan nilai dan gaya hidup generasi muda. Sayangnya, banyak partai yang masih bersifat hierarkis, elitis, dan kurang inovatif dalam pendekatan digital.
b. Digitalisasi Politik dan Media Sosial
Media sosial telah mengubah cara partai berinteraksi dengan pemilih. Platform seperti Instagram, Twitter (X), TikTok, dan YouTube menjadi alat kampanye utama. Namun, disinformasi, politik identitas, dan propaganda juga meningkat.
Partai dituntut lebih transparan dan responsif, namun sebagian besar masih menggunakan media sosial hanya sebagai alat promosi, bukan untuk dialog atau edukasi politik.
c. Politik Uang dan Oligarki
Fenomena politik uang masih menjadi masalah besar dalam pemilu. Banyak kader muda yang tidak bisa naik karena tidak memiliki "modal politik". Ini memperkuat oligarki, di mana kekuasaan hanya berputar di lingkaran elite yang sama. Banyak partai menjadikan pencalonan legislatif sebagai ajang komersialisasi, bukan sebagai proses kaderisasi.
d. Lemahnya Ideologi dan Platform Politik
Sebagian besar partai tidak memiliki ideologi yang kuat dan platform kebijakan yang jelas. Ini membuat partai sulit dibedakan satu sama lain. Pemilih pun cenderung memilih berdasarkan figur, bukan program.
Kesimpulan
Dinamika partai politik Indonesia menunjukkan perubahan besar dari masa Orde Baru yang otoriter menuju era Reformasi yang demokratis. Namun, kebebasan ini belum sepenuhnya diiringi oleh peningkatan kualitas partai politik. Di era milenial, tantangan semakin kompleks: generasi muda yang kritis namun skeptis terhadap partai, media sosial yang membawa potensi sekaligus ancaman, serta partai yang masih terjebak dalam politik transaksional.
Partai politik di Indonesia belum mampu menjalankan peran sebagai agen perubahan sosial dan pendidikan politik secara optimal. Mereka cenderung elitis, pragmatis, dan tidak adaptif terhadap perubahan zaman.
Saran
Partai politik perlu memperkuat fungsi kaderisasi, memperjelas ideologi, dan lebih aktif melibatkan generasi muda. Selain itu, proses seleksi calon pemimpin harus berdasarkan kapasitas dan integritas, bukan sekadar popularitas atau kekuatan modal. Edukasi politik juga harus ditingkatkan agar demokrasi berjalan lebih sehat dan berkualitas.
Daftar Pustaka
1. Fitriani, E. (2020). Keterlibatan Generasi Milenial dalam Partai Politik: Antara Harapan dan Kenyataan. Jurnal Penelitian Politik, 17(1), 41–55.
2. Farhan, M. (2021). Digitalisasi Politik dan Perubahan Strategi Kampanye Partai Politik di Indonesia. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 6(1), 57–70.
3. Hidayat, S. (2010). Demokrasi dan Partai Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 14(1), 1–18.
4. Prihatmoko, B. (2018). Transformasi Partai Politik dalam Era Digital: Studi pada Partai Politik Indonesia. Jurnal Politik Profetik, 6(1), 73–86.
No comments:
Post a Comment