Thursday, June 19, 2025

Budaya Hukum Masyarakat Mengapa Masih Banyak Main Hakim Sendiri

Budaya hukum Masyarakat: Mengapa Masih Banyak Main Hakim Sendiri



Oleh : Clarista Anastasya Nafilah (D-35) 

Abstrak

Fenomena main hakim sendiri atau vigilantisme masih menjadi persoalan serius dalam masyarakat Indonesia. Meskipun Indonesia telah lama menegaskan diri sebagai negara hukum, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat kerap mengambil tindakan di luar koridor hukum formal ketika menghadapi pelaku kejahatan. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan korban jiwa serta memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia. Tulisan ini mengkaji secara mendalam mengapa budaya main hakim sendiri masih subur di tengah masyarakat, menelaah peran budaya hukum, faktor-faktor penyebab, serta menawarkan solusi untuk membangun budaya hukum yang lebih baik dan menekan praktik vigilantisme.

Kata Kunci: budaya hukum, main hakim sendiri, vigilantisme, penegakan hukum, kepercayaan masyarakat


Pendahuluan

Indonesia sebagai negara hukum menempatkan hukum sebagai pilar utama dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hukum diharapkan menjadi alat untuk menciptakan keadilan, ketertiban, dan perlindungan bagi seluruh warga negara. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa tidak semua permasalahan diselesaikan melalui jalur hukum formal. Fenomena main hakim sendiri, yakni tindakan masyarakat yang mengambil alih peran negara dalam menegakkan hukum, kerap terjadi di berbagai daerah, bahkan kadang menimbulkan korban jiwa. Kejadian penghakiman massa terhadap pelaku pencurian, pembakaran rumah pelaku kejahatan, hingga tindakan kekerasan kolektif lainnya menjadi pemandangan yang tidak asing di media massa. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas sistem hukum dan budaya hukum masyarakat Indonesia. Mengapa masyarakat masih memilih jalan main hakim sendiri, padahal negara telah menyediakan mekanisme penegakan hukum yang sah? Tulisan ini akan membahas akar permasalahan tersebut, menelaah budaya hukum masyarakat, serta menawarkan solusi untuk membangun budaya hukum yang lebih baik.


Permasalahan

Permasalahan utama yang diangkat dalam tulisan ini adalah mengapa praktik main hakim sendiri masih marak terjadi di masyarakat Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikaji bagaimana budaya hukum masyarakat Indonesia terbentuk, apa saja faktor penyebab masyarakat cenderung mengambil tindakan di luar hukum, serta bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi fenomena ini. Permasalahan ini tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum semata, tetapi juga menyangkut aspek sosial, budaya, ekonomi, dan psikologi masyarakat.


Pembahasan

Budaya hukum merupakan salah satu unsur penting dalam sistem hukum suatu negara. Lawrence M. Friedman, seorang ahli hukum terkemuka, menyatakan bahwa budaya hukum adalah sikap, nilai, dan harapan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Dalam konteks Indonesia, budaya hukum tidak hanya terbentuk dari norma-norma tertulis yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga dipengaruhi oleh norma adat, kebiasaan, dan nilai-nilai lokal yang telah hidup lama dalam masyarakat. Pada masa lalu, sebelum sistem hukum nasional terbentuk, masyarakat Indonesia telah mengenal berbagai bentuk penyelesaian masalah berdasarkan hukum adat yang bersifat tidak tertulis. Nilai-nilai gotong royong, musyawarah, dan penyelesaian masalah secara kolektif menjadi ciri khas budaya hukum tradisional di Indonesia.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya sistem hukum formal yang bersumber dari hukum Barat, terjadi pergeseran dalam budaya hukum masyarakat. Sistem hukum formal yang menuntut prosedur, birokrasi, dan administrasi sering kali dianggap lamban dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, budaya hukum tradisional yang menekankan pada kecepatan dan keadilan substantif masih tetap hidup, terutama di daerah-daerah yang akses terhadap lembaga penegak hukum terbatas. Ketika terjadi ketidaksesuaian antara harapan masyarakat akan keadilan dan kenyataan di lapangan, maka muncul kecenderungan masyarakat untuk mengambil tindakan sendiri di luar jalur hukum formal.

Main hakim sendiri atau vigilantisme merupakan fenomena di mana masyarakat secara kolektif atau individu mengambil alih peran negara dalam menegakkan hukum dan memberikan sanksi kepada pelaku kejahatan. Fenomena ini sering terjadi dalam kasus pencurian, perampokan, penipuan, bahkan dalam konflik antarwarga. Tindakan main hakim sendiri biasanya dilakukan dengan kekerasan, seperti pemukulan, pembakaran, atau bahkan pembunuhan terhadap pelaku kejahatan. Masyarakat merasa bahwa tindakan tersebut adalah bentuk keadilan yang harus ditegakkan ketika aparat penegak hukum dianggap tidak mampu atau tidak mau bertindak.

Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan masyarakat masih sering melakukan main hakim sendiri. Pertama, rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Banyak masyarakat yang merasa bahwa polisi, jaksa, dan hakim tidak mampu memberikan keadilan secara cepat, adil, dan transparan. Kasus-kasus penundaan proses hukum, pungutan liar, hingga kasus suap dan korupsi di lembaga penegak hukum menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum formal. Akibatnya, masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan masalah sendiri dengan harapan keadilan dapat segera ditegakkan.

Kedua, rendahnya kesadaran hukum masyarakat. Banyak masyarakat yang belum memahami pentingnya penyelesaian masalah melalui jalur hukum formal. Pendidikan hukum yang minim, kurangnya sosialisasi tentang prosedur hukum, serta akses informasi yang terbatas membuat masyarakat cenderung mengedepankan emosi dan tindakan spontan ketika menghadapi pelaku kejahatan. Dalam banyak kasus, masyarakat tidak memahami bahwa tindakan main hakim sendiri adalah pelanggaran hukum yang dapat menimbulkan konsekuensi pidana.

Ketiga, faktor budaya dan kebiasaan lokal juga berperan penting. Di beberapa daerah, penyelesaian masalah secara kolektif di luar jalur hukum formal masih dianggap sebagai hal yang wajar dan bahkan menjadi bagian dari identitas budaya. Dalam masyarakat yang masih kuat memegang nilai-nilai adat, tindakan main hakim sendiri sering dianggap sebagai bentuk solidaritas dan perlindungan terhadap komunitas. Budaya malu, rasa tidak percaya terhadap orang luar, serta keinginan menjaga nama baik komunitas sering kali mendorong masyarakat untuk tidak melibatkan aparat hukum dalam penyelesaian masalah.

Keempat, faktor ekonomi dan psikologis juga memengaruhi kecenderungan main hakim sendiri. Tekanan ekonomi, ketidakpastian hidup, serta rasa frustrasi akibat maraknya kejahatan membuat masyarakat mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan. Dalam situasi di mana masyarakat merasa tidak ada perlindungan dari negara, muncul dorongan untuk bertindak sendiri demi menjaga keamanan diri dan lingkungan.

Kelima, ketidaktegasan aparat penegak hukum dalam menindak pelaku kejahatan juga menjadi pemicu. Banyak kasus di mana pelaku kejahatan yang sudah ditangkap akhirnya dibebaskan karena kurangnya bukti, proses hukum yang berbelit-belit, atau intervensi pihak tertentu. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa hukum tidak berpihak pada korban, sehingga masyarakat merasa perlu mengambil tindakan sendiri agar pelaku kejahatan mendapatkan hukuman yang setimpal.

Dampak dari praktik main hakim sendiri sangat merugikan, baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Tindakan ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga menciptakan ketakutan, kekacauan, dan ketidakpastian hukum. Korban main hakim sendiri sering kali tidak mendapatkan perlindungan hukum, bahkan bisa kehilangan nyawa tanpa proses pengadilan yang adil. Di sisi lain, pelaku main hakim sendiri juga dapat dijerat hukum pidana, sehingga menimbulkan masalah baru dalam penegakan hukum. Lebih jauh lagi, praktik ini dapat memperburuk citra negara hukum dan menimbulkan siklus kekerasan yang sulit dihentikan.

Untuk menanggulangi fenomena main hakim sendiri, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Edukasi hukum kepada masyarakat harus ditingkatkan agar masyarakat memahami pentingnya penyelesaian masalah melalui jalur hukum formal. Pemerintah dan lembaga penegak hukum perlu melakukan sosialisasi secara masif tentang bahaya dan konsekuensi main hakim sendiri. Selain itu, aparat penegak hukum harus meningkatkan responsivitas dan profesionalisme dalam menangani kasus-kasus kejahatan. Penegakan hukum yang tegas, adil, dan transparan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

Peningkatan sarana dan prasarana hukum, terutama di daerah-daerah terpencil, juga sangat penting. Masyarakat harus diberikan akses yang mudah dan cepat untuk melaporkan kejahatan dan mendapatkan perlindungan hukum. Reformasi birokrasi hukum perlu dilakukan agar proses hukum menjadi lebih sederhana, cepat, dan tidak berbelit-belit. Pemerintah juga harus memperkuat peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lembaga adat dalam membangun budaya hukum yang sehat. Kolaborasi antara aparat penegak hukum dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman, tertib, dan berkeadilan.

Penting juga untuk membangun budaya hukum yang kuat di tengah masyarakat. Budaya hukum tidak dapat dibangun dalam waktu singkat, tetapi memerlukan proses panjang melalui pendidikan, keteladanan, dan partisipasi aktif masyarakat. Pendidikan hukum harus dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Aparat penegak hukum harus menjadi teladan dalam menegakkan hukum secara adil dan tidak diskriminatif. Masyarakat harus didorong untuk aktif mengawasi dan mendukung proses penegakan hukum, serta tidak mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan main hakim sendiri.


Kesimpulan

Fenomena main hakim sendiri di Indonesia merupakan cerminan dari lemahnya budaya hukum dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum formal. Faktor-faktor seperti rendahnya kesadaran hukum, ketidaktegasan aparat, budaya lokal, tekanan ekonomi, dan psikologis menjadi penyebab utama maraknya praktik ini. Dampak negatif dari main hakim sendiri sangat besar, baik bagi individu maupun masyarakat, sehingga perlu upaya serius untuk menanggulanginya. Membangun budaya hukum yang sehat dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum adalah kunci utama untuk mengurangi praktik main hakim sendiri. Upaya edukasi, reformasi birokrasi hukum, peningkatan akses hukum, serta kolaborasi antara aparat dan masyarakat harus menjadi prioritas dalam membangun sistem hukum yang berkeadilan.


Saran

Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu meningkatkan edukasi hukum kepada masyarakat secara masif dan berkelanjutan. Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas, adil, dan tanpa diskriminasi agar kepercayaan masyarakat dapat kembali pulih. Masyarakat harus didorong untuk melaporkan kejahatan melalui jalur hukum formal dan tidak terprovokasi untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Selain itu, perlu adanya perbaikan sistem birokrasi hukum agar proses hukum menjadi lebih cepat, mudah, dan transparan. Kolaborasi antara aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, dan lembaga adat sangat penting untuk membangun budaya hukum yang kuat dan menekan praktik vigilantisme di tengah masyarakat.


Daftar Pustaka

Friedman, Lawrence M. (1975). The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation


Kompas.com. "Pentingnya Budaya Hukum dalam Masyarakat."


Kumparan. "Main Hakim Sendiri dalam Perspektif Hukum di Indonesia."


Repository UPT Perpustakaan Undana. "Faktor Penyebab Masyarakat Cenderung Melakukan Main Hakim Sendiri.


Business Law Binus. "Apa Itu Budaya Hukum?


Garuda Kemdikbud. "Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) dalam Perspektif Kriminologis."


Indonesian Journal of Islamic Jurisprudence, Economic and Legal Theory. "Tinjauan Yuridis Terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri."

  1. Soekanto, Soerjono. (1982). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
  2. Satjipto Rahardjo. (2009). Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.
  3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

No comments:

Post a Comment

Budaya Hukum Masyarakat Mengapa Masih Banyak Main Hakim Sendiri

Budaya hukum  Masyarakat: Mengapa Masih Banyak Main Hakim Sendiri Oleh : Clarista Anastasya Nafilah (D-35)  Abstrak Fenomena main hakim send...