Thursday, June 12, 2025

Bhinneka Tunggal Ika vs Hoaks Mempertahankan Persatuan di Tengah Polarisasi

 QEISHA ZULVA (D02)

Abstrak
 
Artikel ini membahas bagaimana semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" menghadapi tantangan dari penyebaran hoaks di era digital, khususnya dalam menjaga persatuan bangsa di tengah polarisasi masyarakat. Hoaks yang tersebar melalui media sosial sering kali mengeksploitasi perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sehingga memicu konflik horizontal dan melemahkan semangat kebangsaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi literatur dari berbagai sumber berita, jurnal, dan dokumen resmi. Hasil analisis menunjukkan bahwa hoaks memiliki dampak signifikan dalam memperparah perpecahan sosial, dan perlunya pendekatan kolaboratif antara pemerintah, media, lembaga pendidikan, serta masyarakat untuk memperkuat literasi digital dan menumbuhkan kembali nilai-nilai persatuan dalam keberagaman. 
Kata Kunci: Bhinneka Tunggal Ika, hoaks, persatuan, polarisasi, literasi digital 

Pendahuluan 
Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu" merupakan inti dari identitas nasional Indonesia yang multikultural. Semboyan ini pertama kali dikenalkan dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular dan kemudian diresmikan sebagai semboyan negara, tertulis pada lambang negara Garuda Pancasila. Nilai yang terkandung dalam semboyan ini adalah pengakuan terhadap keberagaman sebagai bagian dari kekuatan bangsa, bukan sebagai sumber perpecahan. Keberagaman budaya, suku, agama, dan bahasa menjadi ciri khas yang tidak dimiliki oleh banyak negara lain di dunia. Oleh karena itu, menjaga kesatuan dalam keberagaman menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa. Namun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat dalam dua dekade terakhir turut mengubah dinamika sosial masyarakat. Munculnya media sosial memberikan ruang demokratisasi informasi, tetapi juga membuka celah besar bagi penyebaran informasi yang menyesatkan, seperti hoaks dan ujaran kebencian. Hoaks bukan lagi sekadar kesalahan informasi biasa, tetapi menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan politik, ideologi, atau bahkan ekonomi tertentu. Dalam konteks ini, hoaks dapat menjadi senjata yang membelah masyarakat dan merusak fondasi persatuan. Di tengah kondisi tersebut, Indonesia menghadapi tantangan berat dalam menjaga semangat kebangsaan dan identitas kolektif sebagai satu bangsa. Polarisasi yang tajam dalam masyarakat, terutama yang dipicu oleh isu-isu SARA dan politik, telah menimbulkan keterbelahan sosial yang mengkhawatirkan. Polarisasi ini semakin diperkuat oleh algoritma media sosial yang menciptakan ruang gema (echo chamber), di mana orang hanya mendengar informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri dan menolak perspektif lain. Ketika ruang dialog semakin sempit, kepercayaan antarkelompok pun tergerus. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika diuji oleh gempuran hoaks yang berpotensi merusak tatanan sosial bangsa. Selain itu, artikel ini juga akan membahas upaya-upaya strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan generasi muda dalam mempertahankan persatuan nasional di tengah derasnya arus informasi yang tidak terverifikasi. Dengan pendekatan reflektif dan solusi berbasis kebijakan serta partisipasi masyarakat, diharapkan semangat persatuan dapat terus terjaga sebagai fondasi utama keberlangsungan bangsa Indonesia. 

Permasalahan 
1. Bagaimana hoaks memengaruhi persatuan bangsa Indonesia? 
2. Apa saja faktor yang memperparah penyebaran hoaks dan polarisasi sosial? 
3. Bagaimana relevansi nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam menghadapi ancaman tersebut? 
4. Apa langkah strategis yang dapat diambil untuk mempertahankan persatuan? 

Pembahasan 

1. Penyebaran Hoaks di Era Digital 
Hoaks didefinisikan sebagai informasi yang direkayasa untuk menyesatkan, yang sengaja disebarkan untuk mempengaruhi opini publik. Di Indonesia, platform media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, dan TikTok menjadi medium utama penyebaran hoaks. Banyak di antaranya bersifat provokatif dan menyerang identitas tertentu, seperti agama, etnis, atau pilihan politik. 
Menurut laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sepanjang tahun 2023 terdapat lebih dari 11.000 konten hoaks yang teridentifikasi. Angka ini meningkat pesat menjelang tahun politik. Beberapa contoh hoaks bahkan memicu keresahan sosial, seperti isu penculikan anak, kebijakan pemerintah palsu, dan fitnah terhadap tokoh-tokoh masyarakat. Dalam beberapa kasus, hoaks menyebabkan kekerasan massa dan persekusi terhadap individu yang dianggap berbeda. 

2. Polarisasi Sosial dan Politik 
Polarisasi adalah pembelahan tajam dalam masyarakat yang membuat dua kelompok atau lebih menjadi semakin ekstrem dan sulit untuk saling berdialog. Polarisasi politik di Indonesia telah tampak jelas sejak pemilihan umum 2014 dan 2019, di mana masyarakat terbagi dalam dua kutub dengan loyalitas tinggi. Polarisasi ini diperparah oleh algoritma media sosial yang menyajikan informasi sesuai preferensi pengguna (filter bubble), memperkuat bias dan mempersempit pandangan. 
Fenomena echo chamber membuat masyarakat hanya terpapar pada pendapat yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Hal ini memperbesar kemungkinan masyarakat menolak informasi lain, sekalipun benar. Hoaks yang disesuaikan dengan narasi kelompok tertentu pun cepat diterima tanpa verifikasi. Polarisasi yang tajam ini mengikis ruang dialog yang sehat, memperlemah solidaritas nasional, dan memicu konflik di ruang publik. 

3. Relevansi Nilai Bhinneka Tunggal Ika 
Dalam situasi krisis akibat hoaks dan polarisasi, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika menjadi kompas moral yang penting. Semboyan ini bukan hanya jargon, melainkan filosofi yang hidup dalam sejarah bangsa Indonesia. Keberagaman suku, agama, ras, dan budaya seharusnya menjadi kekuatan yang merekatkan, bukan memecah belah. 
Sayangnya, nilai ini mulai terpinggirkan dalam wacana publik, terutama di media sosial yang lebih banyak menampilkan narasi perbedaan dan konflik. Oleh karena itu, nilai Bhinneka Tunggal Ika harus dihidupkan kembali dalam berbagai sektor: pendidikan, media, seni, dan pemerintahan. Pendidikan karakter berbasis toleransi, pelibatan tokoh lintas agama dan adat dalam kampanye kebangsaan, serta pemanfaatan media untuk menyebarkan narasi persatuan menjadi strategi penting. 
Penting juga membangun kembali narasi kebangsaan berbasis gotong royong dan rasa senasib sepenanggungan. Kebhinekaan bukan hambatan, tapi pondasi integrasi nasional yang harus dijaga melalui dialog, empati, dan kolaborasi lintas kelompok. 

4. Strategi Menjaga Persatuan 
Untuk memperkuat persatuan di tengah ancaman hoaks dan polarisasi, diperlukan upaya sistemik yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Beberapa strategi antara lain:
a. Peningkatan Literasi Digital 
Masyarakat perlu dibekali kemampuan mengenali hoaks, memahami proses verifikasi informasi, serta mampu berpikir kritis terhadap narasi provokatif. Pemerintah bersama lembaga swadaya masyarakat dan platform digital harus menginisiasi program literasi digital secara masif, terutama di kalangan pelajar dan warga desa. 

b. Kolaborasi Antar Lembaga 
Pemerintah, tokoh agama, akademisi, media massa, dan komunitas lokal harus membangun kerja sama untuk menyuarakan pentingnya persatuan dan menangkal disinformasi. Kampanye nasional yang menyentuh hati dan relevan dengan realitas masyarakat perlu digalakkan. 

c. Regulasi dan Penegakan Hukum 
UU ITE dan regulasi lainnya harus ditegakkan secara adil dan konsisten terhadap pelaku penyebaran hoaks. Namun, penegakan hukum juga harus mengedepankan edukasi, bukan semata-mata represif, agar menciptakan efek jera sekaligus kesadaran hukum. 

d. Penguatan Identitas Nasional 
Identitas nasional harus dipupuk melalui pengenalan sejarah bangsa, budaya lokal, dan nilai-nilai luhur Pancasila. Media dan institusi pendidikan dapat memproduksi konten positif yang membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. 

e. Revitalisasi Ruang Publik 
Ruang-ruang diskusi yang aman dan inklusif perlu dibuka kembali, baik secara daring maupun luring. Forum dialog antaragama, diskusi lintas etnis, serta kegiatan seni budaya yang melibatkan berbagai golongan dapat menjadi wadah memperkuat kepercayaan antarwarga. 

f. Peran Generasi Muda 
Generasi muda adalah garda terdepan dalam menjaga persatuan. Dengan kreativitas dan kecakapan teknologi yang mereka miliki, anak muda dapat menjadi agen perubahan dalam menyebarkan narasi persatuan dan melawan hoaks. 

Kesimpulan dan Saran 
Hoaks adalah ancaman nyata terhadap persatuan bangsa, terutama ketika digunakan sebagai alat untuk memecah belah masyarakat. Di tengah meningkatnya polarisasi, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika harus kembali dikuatkan sebagai pedoman hidup bersama. Solusi jangka panjang memerlukan pendekatan multidimensional: pendidikan, regulasi, penguatan komunitas, dan kolaborasi lintas sektor. Indonesia sebagai negara majemuk hanya dapat bertahan jika setiap warga negara merasa menjadi bagian dari satu bangsa yang utuh meski berbeda latar belakang. 
Sebagai saran, pemerintah perlu meningkatkan sinergi antarlembaga dalam memerangi hoaks. Pendidikan kebangsaan perlu diperkuat, dan ruang-ruang publik harus kembali difungsikan sebagai arena dialog, bukan hanya kompetisi. Generasi muda juga harus dilibatkan secara aktif dalam merumuskan solusi kekinian dengan pendekatan kreatif dan digital. 

Daftar Pustaka 
• Kominfo. (2023). Laporan Tahunan Penanganan Hoaks di Indonesia. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika. 
• Wahid Foundation. (2022). Toleransi dan Keberagaman di Indonesia: Laporan Survei Nasional. 
• BNPT. (2020). Strategi Nasional Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. 
• Kemenko PMK. (2021). Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Intoleransi dan Disinformasi. Jakarta: Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. 
• Yuliana, D. (2021). “Hoaks dan Tantangan Integrasi Bangsa di Era Digital.” Jurnal Komunikasi dan Budaya, Vol. 13(2), 45–60. 
• BPS. (2022). Statistik Keberagaman Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
• LIPI. (2020). Media Sosial, Polarisasi Politik, dan Tantangan Persatuan Bangsa. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. • Kurniawati, R. (2023). "Membangun Literasi Digital untuk Menangkal Disinformasi." Jurnal Pustaka Komunikasi, Vol. 10(1), 12–24.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47