Wednesday, June 25, 2025

 

Eka Tama Dzikrullah 

D49








Wawasan Nusantara vs Globalisasi: Pertahankan Identitas Bangsa


Abstrak


Globalisasi membawa dampak besar dalam segala aspek kehidupan, termasuk budaya, ekonomi, dan politik. Di tengah arus global yang serba cepat dan terbuka, identitas bangsa Indonesia sebagai negara multikultural diuji. Artikel ini membahas pentingnya Wawasan Nusantara sebagai landasan berpikir untuk menjaga keutuhan dan identitas nasional di tengah tekanan globalisasi. Dengan pendekatan kualitatif deskriptif, artikel ini menguraikan tantangan dan strategi mempertahankan identitas bangsa tanpa menutup diri dari perkembangan global.


Kata Kunci: Wawasan Nusantara, globalisasi, identitas bangsa, nasionalisme, budaya lokal.




Pendahuluan


Globalisasi merupakan suatu proses yang menjadikan dunia semakin terhubung dan saling mempengaruhi. Fenomena ini membawa dampak positif berupa kemajuan teknologi, informasi, dan ekonomi. Namun, di sisi lain, globalisasi juga dapat mengikis nilai-nilai lokal dan identitas suatu bangsa jika tidak disikapi dengan bijak. Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya akan budaya, bahasa, dan tradisi memiliki kekuatan dalam keberagaman. Untuk mempertahankan identitas bangsa, konsep Wawasan Nusantara sangat relevan sebagai cara pandang yang menyatukan perbedaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).




Permasalahan


1. Bagaimana pengaruh globalisasi terhadap identitas bangsa Indonesia?

2. Sejauh mana Wawasan Nusantara dapat menjadi benteng dalam menghadapi arus globalisasi?

3. Strategi apa yang dapat dilakukan untuk memperkuat identitas bangsa di era global?




Pembahasan

 1. Pengaruh Globalisasi terhadap Identitas Bangsa


Globalisasi menciptakan budaya massa yang cenderung seragam dan mendunia. Budaya lokal dan nilai-nilai tradisional perlahan tergeser oleh gaya hidup global, seperti konsumsi produk asing, bahasa asing, hingga tren media sosial yang mendominasi kehidupan generasi muda. Identitas bangsa menjadi kabur jika masyarakat kehilangan kesadaran terhadap budaya sendiri.2. Wawasan Nusantara sebagai Cara Pandang Nasional


Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam kesatuan wilayah dan keberagaman. Nilai-nilai utama dalam Wawasan Nusantara adalah persatuan, keadilan, kebhinekaan, dan nasionalisme. Dengan menerapkan Wawasan Nusantara, masyarakat diajak untuk tetap terbuka terhadap dunia luar tanpa kehilangan jati diri.


 2.Strategi Mempertahankan Identitas Bangsa


Beberapa strategi antara lain:


Penguatan pendidikan karakter dan sejarah nasional.

Pelestarian budaya lokal melalui seni, bahasa, dan adat istiadat.

Pemanfaatan teknologi dan media digital untuk mempromosikan kebudayaan Indonesia.

Peningkatan kesadaran nasional melalui kebijakan negara yang inklusif dan pro-kebudayaan.

Pemberdayaan generasi muda sebagai agen pelestari identitas bangsa.




Kesimpulan


Globalisasi adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, namun bukan berarti identitas bangsa harus hilang. Dengan Wawasan Nusantara sebagai dasar berpikir, Indonesia mampu menjaga persatuan di tengah perbedaan dan tetap eksis dalam kancah global. Identitas bangsa harus terus diperkuat agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku dalam era global.




Saran


Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam menerapkan nilai-nilai Wawasan Nusantara secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan, media, dan teknologi harus digunakan untuk memperkuat nasionalisme dan melestarikan budaya lokal. Generasi muda perlu diberikan ruang untuk mengekspresikan kecintaan terhadap bangsa dalam bentuk yang kreatif dan relevan dengan zaman.




Daftar Pustaka


 Harsuti, Sri. Wawasan Nusantara dalam Konteks Globalisasi. Jakarta: Gramedia, 2018.

 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Modul Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta: Kemendikbud, 2020.

 Rahardjo, Mulyadi. Globalisasi dan Tantangan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019.

 Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

Sunday, June 22, 2025

Integrasi Nasional di Era Digital Bisakah Medsos Memperkuat Persatuan

 Oleh: Zahra Ramadani (D01)

 

Abstrak

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya media sosial, telah merevolusi cara manusia berinteraksi. Di Indonesia, media sosial menjadi medium utama bagi jutaan warga negara dalam menyuarakan pendapat, menyebarkan informasi, dan membentuk opini publik. Hal ini memberikan peluang besar bagi penguatan integrasi nasional, namun juga menimbulkan tantangan serius terhadap kohesi sosial bangsa. Artikel ini membahas peran media sosial dalam membentuk integrasi nasional di era digital, baik dari sisi potensi maupun ancamannya. Menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif melalui studi literatur dan analisis sosial-politik, artikel ini menekankan pentingnya literasi digital, regulasi etis, dan peran aktif warga negara digital (netizen) dalam menjaga persatuan bangsa. Media sosial dapat menjadi instrumen strategis dalam memperkuat semangat kebangsaan, asalkan digunakan secara bijak, inklusif, dan bertanggung jawab.

Kata Kunci: Integrasi nasional, media sosial, era digital, persatuan, literasi digital, disinformasi, netizen, toleransi


Pendahuluan

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keberagaman etnis, budaya, bahasa, dan agama yang sangat tinggi sejak awal kemerdekaan telah menghadapi tantangan serius dalam menjaga integrasi nasional. Integrasi nasional merupakan kebutuhan fundamental untuk mempertahankan kedaulatan dan stabilitas bangsa. Di tengah derasnya arus globalisasi dan revolusi industri 4.0, bentuk-bentuk baru interaksi sosial melalui media digital turut memengaruhi dinamika integrasi tersebut.

Salah satu fenomena paling menonjol dalam kehidupan digital saat ini adalah masifnya penggunaan media sosial. Data dari We Are Social (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 72% penduduk Indonesia aktif menggunakan media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, X (Twitter), Facebook, dan YouTube menjadi ruang publik baru tempat masyarakat berbicara tentang berbagai isu, termasuk yang berkaitan dengan identitas, nasionalisme, politik, agama, hingga budaya lokal.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah media sosial membantu memperkuat rasa persatuan sebagai bangsa Indonesia, atau justru memperbesar jurang perpecahan dan konflik sosial? Artikel ini akan membahas secara menyeluruh bagaimana media sosial berperan dalam proses integrasi nasional di era digital.


Permasalahan

Masalah pokok yang ingin dibahas dalam tulisan ini mencakup:

  1. Bagaimana media sosial mengubah pola komunikasi sosial di Indonesia?

  2. Apa peran media sosial dalam membangun dan memperkuat integrasi nasional?

  3. Apa saja dampak negatif media sosial terhadap kohesi sosial dan persatuan bangsa?

  4. Bagaimana strategi efektif untuk memaksimalkan potensi media sosial bagi integrasi nasional di era digital?


Pembahasan

1. Integrasi Nasional: Makna dan Urgensinya

Integrasi nasional adalah proses penyatuan berbagai kelompok sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam suatu negara menjadi satu entitas yang utuh dan stabil. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, integrasi nasional bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dalam keberagaman melalui semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Kehadiran integrasi yang kuat ditandai dengan beberapa indikator:

  • Tingkat toleransi antarwarga negara tinggi

  • Tidak ada dominasi etnis atau agama tertentu

  • Terjaminnya keadilan sosial

  • Rasa memiliki dan tanggung jawab kolektif terhadap negara

2. Transformasi Pola Komunikasi di Era Digital

Media sosial telah merevolusi komunikasi masyarakat. Jika dulu opini publik dibentuk oleh media arus utama, kini media sosial menjadi alat paling efektif dalam membentuk wacana publik secara cepat dan masif. Beberapa perubahan utama antara lain:

  • Komunikasi menjadi dua arah dan partisipatif

  • Warga bisa langsung menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dan tokoh publik

  • Identitas kultural dan politik diekspresikan lebih bebas

  • Isu-isu nasional menjadi bahan diskusi lintas daerah dalam waktu nyata

3. Potensi Media Sosial untuk Integrasi Nasional

Media sosial menyimpan sejumlah potensi besar dalam mendukung integrasi nasional:

a. Membangun Kesadaran Multikultural

Pengguna dari berbagai latar belakang bisa saling berbagi konten budaya: bahasa daerah, musik tradisional, tarian, cerita rakyat, dan tradisi. Ini menciptakan saling pengertian dan penghargaan antarbudaya yang memperkuat identitas nasional.

b. Memperkuat Solidaritas saat Krisis

Saat terjadi bencana seperti gempa, banjir, atau pandemi, media sosial berperan vital dalam menyatukan warga dalam aksi solidaritas: kampanye donasi online, penyebaran informasi, hingga relawan digital. Ini memperkuat rasa senasib-sepenanggungan.

c. Menumbuhkan Civic Engagement

Melalui media sosial, warga negara bisa terlibat dalam diskusi kebijakan publik, mengkritisi pemerintah secara konstruktif, dan terlibat dalam gerakan sosial seperti kampanye lingkungan, pendidikan, dan hak asasi manusia. Partisipasi ini membentuk kesadaran kolektif sebagai bangsa.

d. Kreativitas Digital yang Menyatukan

Konten kreatif seperti komedi, meme bertema nasional, animasi sejarah, dan video edukatif tentang Pancasila atau kemerdekaan telah memperkuat narasi kebangsaan dengan gaya yang sesuai dengan generasi muda.

4. Ancaman Media Sosial terhadap Persatuan Bangsa

Di sisi lain, media sosial juga membawa risiko serius terhadap integrasi nasional:

a. Hoaks, Disinformasi, dan Ujaran Kebencian

Banyak konten yang menyesatkan beredar tanpa filter. Misalnya, narasi yang menyudutkan kelompok etnis atau agama tertentu, fitnah terhadap tokoh nasional, atau manipulasi sejarah. Ini dapat memicu konflik horizontal.

b. Radikalisasi dan Polarisasi Ideologi

Kelompok radikal sering menggunakan media sosial untuk menyebarkan ideologi ekstrem, baik berbasis agama maupun politik. Polarisasi makin tajam karena algoritma media sosial menciptakan gelembung informasi yang mengisolasi pengguna dari pandangan berbeda.

c. Konflik Identitas dan Sentimen Primordial

Medsos dapat memperkuat fanatisme daerah, etnis, atau agama jika tidak disertai edukasi yang tepat. Konten yang mengagungkan kelompok sendiri dan merendahkan yang lain membahayakan kebhinekaan.

d. Disintegrasi Informasi Antarwilayah

Akses informasi yang tidak merata menyebabkan wilayah terpencil mudah terpapar hoaks, sementara perkotaan cenderung skeptis. Ini menciptakan ketimpangan pemahaman nasional.

5. Studi Kasus: Medsos dan Peristiwa Kebangsaan

a. #PrayForPalestine dan Solidaritas Global

Media sosial menjadi alat ekspresi solidaritas rakyat Indonesia terhadap Palestina. Ribuan konten dikreasikan, mencerminkan bahwa media sosial mampu menjadi alat penyatu rasa kemanusiaan.

b. Pemilu dan Polarisasi Politik

Pada Pemilu 2014 dan 2019, media sosial justru memperuncing perpecahan sosial antara pendukung capres. Muncul istilah "cebong" dan "kampret" yang mengakar hingga ke dunia nyata.

c. Gerakan Anak Muda: Aksi #ReformasiDikorupsi

Media sosial berhasil menghimpun jutaan suara protes terhadap isu-isu hukum dan keadilan. Ini menunjukkan bahwa platform digital bisa menjadi kanal ekspresi kolektif secara damai.

6. Strategi Memperkuat Integrasi Nasional lewat Media Sosial

Agar media sosial dapat memperkuat integrasi nasional, dibutuhkan pendekatan strategis:

a. Literasi Digital sebagai Kebutuhan Dasar

Pemerintah dan masyarakat sipil perlu mengedukasi warga, terutama generasi muda, agar memahami cara kerja algoritma, mengenali hoaks, menghargai keberagaman, dan berpikir kritis terhadap konten digital.

b. Kampanye Nasionalisme Inklusif

Kampanye digital seperti #SayaIndonesia, #MerdekaDalamKeberagaman, atau #PancasilaDigital perlu digaungkan dengan pendekatan visual, bahasa yang ringan, dan kolaborasi lintas platform.

c. Revitalisasi Pendidikan Pancasila

Pendidikan kebangsaan harus diperbarui dengan pendekatan digital, misalnya membuat kanal YouTube atau TikTok edukatif tentang sejarah, nilai-nilai kebhinekaan, dan etika bermedia.

d. Etika Digital dan Penegakan Hukum

Regulasi harus menindak ujaran kebencian dan konten destruktif tanpa membungkam kebebasan berekspresi. Pengawasan terhadap platform digital perlu diperkuat, tapi tetap adil dan transparan.

e. Mendorong Konten Lokal yang Positif

Kreator konten perlu didukung untuk mengangkat cerita daerah yang inspiratif, sejarah lokal, dan praktik toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Konten semacam ini akan memperkuat rasa bangga terhadap ke-Indonesia-an.


Kesimpulan

Media sosial adalah pedang bermata dua dalam konteks integrasi nasional. Ia dapat mempererat semangat kebangsaan melalui edukasi, solidaritas, dan ekspresi budaya, namun juga dapat menjadi pemicu perpecahan jika dipenuhi dengan hoaks, intoleransi, dan ujaran kebencian. Tantangan utama kita hari ini bukan hanya soal teknologi, tetapi soal bagaimana masyarakat Indonesia memaknai ruang digital secara bijak.

Integrasi nasional di era digital hanya mungkin dicapai jika seluruh komponen bangsa—pemerintah, masyarakat, media, institusi pendidikan, dan individu—bekerja sama menjaga ruang digital tetap sehat. Generasi muda sebagai pengguna terbesar media sosial harus dilibatkan secara aktif sebagai agen perubahan dan penjaga semangat kebangsaan di dunia maya.


Saran

  1. Pemerintah perlu menjadikan literasi digital sebagai program nasional, termasuk pelatihan bagi guru dan siswa di seluruh Indonesia.

  2. Komunitas kreator konten perlu didukung dengan insentif untuk menghasilkan konten positif dan inklusif.

  3. Kolaborasi antara lembaga negara, universitas, dan platform media sosial perlu diperkuat untuk mendeteksi dan menghapus konten radikal atau disinformasi.

  4. Masyarakat perlu membangun budaya bermedsos yang sehat: tidak menyebar hoaks, tidak terpancing provokasi, dan memperluas perspektif dari berbagai daerah dan budaya di Indonesia.


Daftar Pustaka

  • Haryatmoko. (2017). Etika Komunikasi. Jakarta: Gramedia.

  • Kominfo RI. (2022). Indeks Literasi Digital Nasional.

  • Nugroho, Y. (2012). Citizens in @ction: Gerakan Sosial di Era Internet. Jakarta: ICT Watch.

  • We Are Social. (2024). Digital Report Indonesia.

  • Wahyudi, R. (2020). “Integrasi Sosial di Era Digital.” Jurnal Komunikasi Nusantara, 12(1).

  • Prasetyo, D. (2023). “Medsos dan Nasionalisme.” Jurnal Politik dan Komunikasi Sosial, 14(2).

  • UNESCO. (2021). Media and Information Literacy Curriculum for Teachers.

Thursday, June 19, 2025

Budaya Hukum Masyarakat Mengapa Masih Banyak Main Hakim Sendiri

Budaya hukum Masyarakat: Mengapa Masih Banyak Main Hakim Sendiri



Oleh : Clarista Anastasya Nafilah (D-35) 

Abstrak

Fenomena main hakim sendiri atau vigilantisme masih menjadi persoalan serius dalam masyarakat Indonesia. Meskipun Indonesia telah lama menegaskan diri sebagai negara hukum, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat kerap mengambil tindakan di luar koridor hukum formal ketika menghadapi pelaku kejahatan.

Relasi Agama dan Negara Di Indonesia

Kuis Modul 11 : Hubungan Negara dan Agama

 

🧠 I. Soal Pilihan Ganda (20 Soal)

(Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!)

  1. Apa arti kata “agama” dalam bahasa Sanskerta?
    A. Keyakinan
    B. Tradisi
    C. Spiritualitas
    D. Kebenaran

Artikel Modul 11 : Agama dan Negara di Indonesia: Menjaga Harmoni dalam Keberagaman

Pendahuluan

“Tidak ada paksaan dalam agama” – sebuah prinsip yang tercantum dalam Al-Qur’an ini mencerminkan semangat kebebasan beragama yang juga dijamin oleh konstitusi Indonesia.

Tuesday, June 17, 2025

Wawasan Nusantara dan Perubahan Iklim: Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil

Oleh : Haekal Fahmi 

Abstrak

Perubahan iklim global menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan negara kepulauan seperti Indonesia. Dampak paling serius adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat naiknya permukaan air laut.

Sistem Pemerintahan di Rusia: Semi-Presidensial dengan Kekuatan Eksekutif

 

Oleh : Haikal Fahami 

Abstrak

Sistem pemerintahan Rusia menempati posisi unik dalam lanskap politik dunia. Dikenal sebagai sistem semi-presidensial, Rusia menggabungkan elemen-elemen presidensial dan parlementer dalam struktur pemerintahannya.

Thursday, June 12, 2025

Pelanggaran HAM Masa Lalu Mengapa Penyelesaiannya Terhambat

Nama: Audrey Dolores D.K (D-42) 
NIM: 44324010072

Pelanggaran HAM Masa Lalu Mengapa Penyelesaiannya Terhambat 



Abstrak 
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Indonesia pada masa lalu masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan hingga kini. Berbagai faktor menghambat penegakan hukum dan penyelesaian kasus-kasus tersebut, mulai dari kurangnya kemauan politik, kendala pembuktian, hingga lemahnya kewenangan lembaga penegak HAM. Artikel ini membahas hambatan-hambatan tersebut serta menawarkan saran untuk mengatasi permasalahan dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Kata Kunci
Pelanggaran HAM, penyelesaian HAM, hambatan hukum, politik, Indonesia


Pendahuluan
Indonesia memiliki sejarah panjang pelanggaran HAM berat, seperti peristiwa 1965-1966, Tragedi Talangsari, Kerusuhan Mei 1998, dan lain-lain yang telah diakui oleh Presiden Joko Widodo. Namun, penyelesaian kasus-kasus tersebut masih terhambat dan belum mencapai keadilan yang memadai. Hal ini menjadi beban sosial dan politik yang terus membayangi pembangunan hukum dan demokrasi di Indonesia

Permasalahan
Mengapa pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia belum terselesaikan secara tuntas? Apa saja faktor penghambat utama dalam proses penyelesaian kasus-kasus tersebut? Bagaimana upaya yang dapat dilakukan agar penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat berjalan efektif?

Pembahasan
Beberapa faktor utama yang menghambat penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia antara lain:
Kurangnya kemauan politik dari pemerintah untuk menjadikan penegakan HAM sebagai agenda prioritas, terutama pada era pemerintahan sebelumnya.
Pragmatisme politik dan negosiasi elit, di mana penyelesaian kasus HAM sering terhambat oleh kepentingan politik elite yang juga terkait dengan pelanggaran HAM.
Lemahnya kewenangan Komnas HAM, yang hanya memiliki fungsi penyelidikan tanpa kewenangan menuntut, sehingga hasil penyelidikan sering ditolak atau dikembalikan oleh Kejaksaan Agung karena dianggap berkas kurang lengkap

Kesimpulan
Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia terhambat oleh kombinasi faktor politik, hukum, dan sosial. Kurangnya kemauan politik, lemahnya instrumen hukum, serta hambatan teknis dalam pembuktian menjadi kendala utama. Pendekatan non-yudisial yang diambil pemerintah belum mampu memberikan keadilan substantif bagi korban.

Saran
Pemerintah perlu meningkatkan kemauan politik dan menjadikan penegakan HAM sebagai agenda prioritas nasional.
Penguatan kewenangan Komnas HAM dan lembaga penegak hukum lain agar dapat melakukan penyelidikan dan penuntutan secara efektif.
Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur hukum untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat.

Daftar Pustaka 
1. Detik News, “12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di RI yang Disebut Jokowi,” 2023.
2. Review UNES, “Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia,” Vol. 6, No. 1, 2023.
3. Kompas.com, “Direktur Imparsial: Ada 5 Faktor Penghambat Penegakan HAM di Indonesia,” 2016.
4. West Science Press, “Aspek Yuridis Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Indonesia,” 2024.
5. PASLA Jambi, “Contoh Kasus Pelanggaran HAM,” 2024.

KEBEBASAN BEREKSPRESI DI MEDIA SOSIAL: HAK ATAU ANCAMAN



Oleh : Diesha Febrian kusniadi 











Abstrak

Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrumen hukum internasional. Media sosial kini menjadi ruang utama untuk menyalurkan ekspresi tersebut. Namun, dalam praktiknya, kebebasan ini juga menimbulkan berbagai persoalan seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga perpecahan sosial. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji apakah kebebasan berekspresi di media sosial lebih banyak menjadi hak yang perlu dilindungi, atau justru menjadi ancaman yang perlu dikendalikan. Dengan menelaah data dan teori yang relevan, artikel ini menyimpulkan pentingnya menyeimbangkan antara kebebasan dan tanggung jawab serta peran regulasi dan literasi digital.

Kata kunci : kebebasan berekspresi, media sosial, hoaks, ujaran kebencian, literasi digital, regulasi.

Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi telah menghadirkan media sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Platform seperti Instagram, Twitter (X), TikTok, dan Facebook menjadi ruang terbuka bagi setiap individu untuk menyampaikan pendapat, pandangan, bahkan kritik terhadap isu sosial dan politik. Hal ini mencerminkan praktik nyata dari kebebasan berekspresi.

Namun, kemudahan ini sering kali disalahgunakan. Banyak konten di media sosial tidak lagi bersifat informatif dan membangun, melainkan provokatif, memecah belah, bahkan mengandung ujaran kebencian. Oleh karena itu, muncul pertanyaan penting: apakah kebebasan berekspresi di media sosial masih bisa disebut sebagai hak, atau telah menjadi ancaman?


Permasalahan

Beberapa masalah yang muncul terkait kebebasan berekspresi di media sosial antara lain:

  1. Penyebaran Hoaks (Berita Bohong)
    Banyak pengguna media sosial yang tidak melakukan verifikasi sebelum membagikan informasi. Hal ini menimbulkan keresahan dan menyesatkan publik.
  2. Ujaran Kebencian
    Komentar bernada rasis, diskriminatif, atau menghina sering dijumpai, dan dapat memicu konflik di masyarakat.
  3. Perundungan Siber (Cyberbullying)
    Media sosial menjadi tempat subur bagi perundungan, baik kepada individu maupun kelompok.
  4. Kurangnya Literasi Digital
    Banyak pengguna belum memahami etika digital dan dampak dari unggahan yang mereka sebarkan.
  5. Ketidaksiapan Regulasi
    Penegakan hukum terhadap pelanggaran di media sosial masih lemah dan belum merata.


Pembahasan

1. Kebebasan Berekspresi Sebagai Hak Asasi 
Menurut Pasal 28E UUD 1945 dan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, setiap warga negara berhak menyatakan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Media sosial menjadi alat yang memperluas akses hak ini. Namun, kebebasan ini tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi jika melanggar hak orang lain atau mengancam ketertiban umum.


 2. Manfaat Media Sosial dalam Ekspresi

Media sosial mempermudah masyarakat untuk:

Menyuarakan kritik terhadap pemerintah

Mengadvokasi isu-isu HAM

Menggalang solidaritas (contoh: #BlackLivesMatter, #MeToo)

•Menyebarkan edukasi dan informasi


3. Ancaman di Balik Kebebasan Berekspresi

Kebebasan yang tidak dibarengi tanggung jawab sering melahirkan dampak negatif seperti:

Polarisasi politik

Radikalisasi

Pembunuhan karakter

Disinformasi skala besar

Bahkan, hoaks bisa menimbulkan keresahan nasional, seperti dalam kasus pandemi COVID-19 dan pemilu.

4. Peran Regulasi

Pemerintah Indonesia menerapkan UU ITE untuk mengatur aktivitas daring. Namun, penerapannya masih menimbulkan kontroversi karena dianggap bisa membatasi kebebasan berekspresi. Perlu ada revisi agar UU ITE lebih adil dan melindungi semua pihak.

5. Pentingnya Literasi Digital

Literasi digital adalah kunci agar pengguna media sosial tidak hanya melek teknologi, tapi juga melek informasi dan etika. Dengan literasi yang baik, masyarakat bisa:

Membedakan fakta dan opini

Menghindari ujaran kebencian

Bertanggung jawab atas konten yang dibagikan


Kesimpulan 

Kebebasan berekspresi di media sosial adalah hak yang sangat penting dalam demokrasi. Namun, jika tidak dibarengi dengan tanggung jawab, hak ini bisa berubah menjadi ancaman yang merusak tatanan sosial. Maka diperlukan keseimbangan antara kebebasan dan regulasi, antara ekspresi dan etika.

Saran

1.Pemerintah:

Perlu membuat regulasi yang lebih adil dan melindungi semua pihak tanpa membungkam suara rakyat.

2.Platform Media Sosial:

Harus lebih aktif dalam menyaring konten negatif dan menyediakan ruang pengaduan yang mudah.

3.Masyarakat:

Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam menggunakan media sosial, serta memperkuat literasi digital sejak dini.

4.Pendidikan:

Sekolah dan kampus harus memasukkan literasi digital dan etika daring dalam kurikulum.

Daftar Pustaka

1. UU Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Kominfo. (2022). Laporan Literasi Digital Nasional.

3. United Nations. (1948). Universal Declaration of Human Rights.

4. Pew Research Center. (2020). Social Media and Free Expression.

5. Vosoughi, S., Roy, D., & Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. Science, 359(6380), 1146–1151.

6. Douek, E. (2021). The Limits of Social Media Regulation. Columbia Journalism Review.

7. CNN Indonesia. (2020). Kasus Hoaks COVID-19 Tertinggi Sepanjang Tahun.











Bhinneka Tunggal Ika vs Hoaks Mempertahankan Persatuan di Tengah Polarisasi

 QEISHA ZULVA (D02)

Abstrak
 
Artikel ini membahas bagaimana semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" menghadapi tantangan dari penyebaran hoaks di era digital, khususnya dalam menjaga persatuan bangsa di tengah polarisasi masyarakat. Hoaks yang tersebar melalui media sosial sering kali mengeksploitasi perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sehingga memicu konflik horizontal dan melemahkan semangat kebangsaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi literatur dari berbagai sumber berita, jurnal, dan dokumen resmi. Hasil analisis menunjukkan bahwa hoaks memiliki dampak signifikan dalam memperparah perpecahan sosial, dan perlunya pendekatan kolaboratif antara pemerintah, media, lembaga pendidikan, serta masyarakat untuk memperkuat literasi digital dan menumbuhkan kembali nilai-nilai persatuan dalam keberagaman. 
Kata Kunci: Bhinneka Tunggal Ika, hoaks, persatuan, polarisasi, literasi digital 

Pendahuluan 
Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu" merupakan inti dari identitas nasional Indonesia yang multikultural. Semboyan ini pertama kali dikenalkan dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular dan kemudian diresmikan sebagai semboyan negara, tertulis pada lambang negara Garuda Pancasila. Nilai yang terkandung dalam semboyan ini adalah pengakuan terhadap keberagaman sebagai bagian dari kekuatan bangsa, bukan sebagai sumber perpecahan. Keberagaman budaya, suku, agama, dan bahasa menjadi ciri khas yang tidak dimiliki oleh banyak negara lain di dunia. Oleh karena itu, menjaga kesatuan dalam keberagaman menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa. Namun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat dalam dua dekade terakhir turut mengubah dinamika sosial masyarakat. Munculnya media sosial memberikan ruang demokratisasi informasi, tetapi juga membuka celah besar bagi penyebaran informasi yang menyesatkan, seperti hoaks dan ujaran kebencian. Hoaks bukan lagi sekadar kesalahan informasi biasa, tetapi menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan politik, ideologi, atau bahkan ekonomi tertentu. Dalam konteks ini, hoaks dapat menjadi senjata yang membelah masyarakat dan merusak fondasi persatuan. Di tengah kondisi tersebut, Indonesia menghadapi tantangan berat dalam menjaga semangat kebangsaan dan identitas kolektif sebagai satu bangsa. Polarisasi yang tajam dalam masyarakat, terutama yang dipicu oleh isu-isu SARA dan politik, telah menimbulkan keterbelahan sosial yang mengkhawatirkan. Polarisasi ini semakin diperkuat oleh algoritma media sosial yang menciptakan ruang gema (echo chamber), di mana orang hanya mendengar informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri dan menolak perspektif lain. Ketika ruang dialog semakin sempit, kepercayaan antarkelompok pun tergerus. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika diuji oleh gempuran hoaks yang berpotensi merusak tatanan sosial bangsa. Selain itu, artikel ini juga akan membahas upaya-upaya strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan generasi muda dalam mempertahankan persatuan nasional di tengah derasnya arus informasi yang tidak terverifikasi. Dengan pendekatan reflektif dan solusi berbasis kebijakan serta partisipasi masyarakat, diharapkan semangat persatuan dapat terus terjaga sebagai fondasi utama keberlangsungan bangsa Indonesia. 

Permasalahan 
1. Bagaimana hoaks memengaruhi persatuan bangsa Indonesia? 
2. Apa saja faktor yang memperparah penyebaran hoaks dan polarisasi sosial? 
3. Bagaimana relevansi nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam menghadapi ancaman tersebut? 
4. Apa langkah strategis yang dapat diambil untuk mempertahankan persatuan? 

Pembahasan 

1. Penyebaran Hoaks di Era Digital 
Hoaks didefinisikan sebagai informasi yang direkayasa untuk menyesatkan, yang sengaja disebarkan untuk mempengaruhi opini publik. Di Indonesia, platform media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, dan TikTok menjadi medium utama penyebaran hoaks. Banyak di antaranya bersifat provokatif dan menyerang identitas tertentu, seperti agama, etnis, atau pilihan politik. 
Menurut laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sepanjang tahun 2023 terdapat lebih dari 11.000 konten hoaks yang teridentifikasi. Angka ini meningkat pesat menjelang tahun politik. Beberapa contoh hoaks bahkan memicu keresahan sosial, seperti isu penculikan anak, kebijakan pemerintah palsu, dan fitnah terhadap tokoh-tokoh masyarakat. Dalam beberapa kasus, hoaks menyebabkan kekerasan massa dan persekusi terhadap individu yang dianggap berbeda. 

2. Polarisasi Sosial dan Politik 
Polarisasi adalah pembelahan tajam dalam masyarakat yang membuat dua kelompok atau lebih menjadi semakin ekstrem dan sulit untuk saling berdialog. Polarisasi politik di Indonesia telah tampak jelas sejak pemilihan umum 2014 dan 2019, di mana masyarakat terbagi dalam dua kutub dengan loyalitas tinggi. Polarisasi ini diperparah oleh algoritma media sosial yang menyajikan informasi sesuai preferensi pengguna (filter bubble), memperkuat bias dan mempersempit pandangan. 
Fenomena echo chamber membuat masyarakat hanya terpapar pada pendapat yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Hal ini memperbesar kemungkinan masyarakat menolak informasi lain, sekalipun benar. Hoaks yang disesuaikan dengan narasi kelompok tertentu pun cepat diterima tanpa verifikasi. Polarisasi yang tajam ini mengikis ruang dialog yang sehat, memperlemah solidaritas nasional, dan memicu konflik di ruang publik. 

3. Relevansi Nilai Bhinneka Tunggal Ika 
Dalam situasi krisis akibat hoaks dan polarisasi, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika menjadi kompas moral yang penting. Semboyan ini bukan hanya jargon, melainkan filosofi yang hidup dalam sejarah bangsa Indonesia. Keberagaman suku, agama, ras, dan budaya seharusnya menjadi kekuatan yang merekatkan, bukan memecah belah. 
Sayangnya, nilai ini mulai terpinggirkan dalam wacana publik, terutama di media sosial yang lebih banyak menampilkan narasi perbedaan dan konflik. Oleh karena itu, nilai Bhinneka Tunggal Ika harus dihidupkan kembali dalam berbagai sektor: pendidikan, media, seni, dan pemerintahan. Pendidikan karakter berbasis toleransi, pelibatan tokoh lintas agama dan adat dalam kampanye kebangsaan, serta pemanfaatan media untuk menyebarkan narasi persatuan menjadi strategi penting. 
Penting juga membangun kembali narasi kebangsaan berbasis gotong royong dan rasa senasib sepenanggungan. Kebhinekaan bukan hambatan, tapi pondasi integrasi nasional yang harus dijaga melalui dialog, empati, dan kolaborasi lintas kelompok. 

4. Strategi Menjaga Persatuan 
Untuk memperkuat persatuan di tengah ancaman hoaks dan polarisasi, diperlukan upaya sistemik yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Beberapa strategi antara lain:
a. Peningkatan Literasi Digital 
Masyarakat perlu dibekali kemampuan mengenali hoaks, memahami proses verifikasi informasi, serta mampu berpikir kritis terhadap narasi provokatif. Pemerintah bersama lembaga swadaya masyarakat dan platform digital harus menginisiasi program literasi digital secara masif, terutama di kalangan pelajar dan warga desa. 

b. Kolaborasi Antar Lembaga 
Pemerintah, tokoh agama, akademisi, media massa, dan komunitas lokal harus membangun kerja sama untuk menyuarakan pentingnya persatuan dan menangkal disinformasi. Kampanye nasional yang menyentuh hati dan relevan dengan realitas masyarakat perlu digalakkan. 

c. Regulasi dan Penegakan Hukum 
UU ITE dan regulasi lainnya harus ditegakkan secara adil dan konsisten terhadap pelaku penyebaran hoaks. Namun, penegakan hukum juga harus mengedepankan edukasi, bukan semata-mata represif, agar menciptakan efek jera sekaligus kesadaran hukum. 

d. Penguatan Identitas Nasional 
Identitas nasional harus dipupuk melalui pengenalan sejarah bangsa, budaya lokal, dan nilai-nilai luhur Pancasila. Media dan institusi pendidikan dapat memproduksi konten positif yang membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. 

e. Revitalisasi Ruang Publik 
Ruang-ruang diskusi yang aman dan inklusif perlu dibuka kembali, baik secara daring maupun luring. Forum dialog antaragama, diskusi lintas etnis, serta kegiatan seni budaya yang melibatkan berbagai golongan dapat menjadi wadah memperkuat kepercayaan antarwarga. 

f. Peran Generasi Muda 
Generasi muda adalah garda terdepan dalam menjaga persatuan. Dengan kreativitas dan kecakapan teknologi yang mereka miliki, anak muda dapat menjadi agen perubahan dalam menyebarkan narasi persatuan dan melawan hoaks. 

Kesimpulan dan Saran 
Hoaks adalah ancaman nyata terhadap persatuan bangsa, terutama ketika digunakan sebagai alat untuk memecah belah masyarakat. Di tengah meningkatnya polarisasi, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika harus kembali dikuatkan sebagai pedoman hidup bersama. Solusi jangka panjang memerlukan pendekatan multidimensional: pendidikan, regulasi, penguatan komunitas, dan kolaborasi lintas sektor. Indonesia sebagai negara majemuk hanya dapat bertahan jika setiap warga negara merasa menjadi bagian dari satu bangsa yang utuh meski berbeda latar belakang. 
Sebagai saran, pemerintah perlu meningkatkan sinergi antarlembaga dalam memerangi hoaks. Pendidikan kebangsaan perlu diperkuat, dan ruang-ruang publik harus kembali difungsikan sebagai arena dialog, bukan hanya kompetisi. Generasi muda juga harus dilibatkan secara aktif dalam merumuskan solusi kekinian dengan pendekatan kreatif dan digital. 

Daftar Pustaka 
• Kominfo. (2023). Laporan Tahunan Penanganan Hoaks di Indonesia. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika. 
• Wahid Foundation. (2022). Toleransi dan Keberagaman di Indonesia: Laporan Survei Nasional. 
• BNPT. (2020). Strategi Nasional Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. 
• Kemenko PMK. (2021). Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Intoleransi dan Disinformasi. Jakarta: Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. 
• Yuliana, D. (2021). “Hoaks dan Tantangan Integrasi Bangsa di Era Digital.” Jurnal Komunikasi dan Budaya, Vol. 13(2), 45–60. 
• BPS. (2022). Statistik Keberagaman Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
• LIPI. (2020). Media Sosial, Polarisasi Politik, dan Tantangan Persatuan Bangsa. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. • Kurniawati, R. (2023). "Membangun Literasi Digital untuk Menangkal Disinformasi." Jurnal Pustaka Komunikasi, Vol. 10(1), 12–24.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47