Tuesday, June 17, 2025

Wawasan Nusantara dan Perubahan Iklim: Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil


 Haekal Fahmi D47




Wawasan Nusantara dan Perubahan Iklim: Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil


Abstrak


Perubahan iklim global menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan negara kepulauan seperti Indonesia. Dampak paling serius adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat naiknya permukaan air laut. Dalam konteks geopolitik dan keutuhan wilayah, Wawasan Nusantara menjadi landasan penting untuk mempertahankan kedaulatan serta melindungi masyarakat dan sumber daya di pulau-pulau terluar. Artikel ini mengkaji hubungan antara perubahan iklim dengan potensi hilangnya wilayah kedaulatan serta bagaimana pendekatan Wawasan Nusantara dapat menjadi solusi adaptif dan strategis untuk mempertahankan eksistensi Indonesia sebagai negara kepulauan.


Kata Kunci: Wawasan Nusantara, perubahan iklim, pulau kecil, kedaulatan, adaptasi iklim


Pendahuluan


Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di antara dua samudra dan dua benua. Keberadaan pulau-pulau kecil, terutama yang berada di wilayah perbatasan, memiliki nilai strategis dalam konteks geopolitik dan pertahanan negara. Namun, perubahan iklim global membawa ancaman serius terhadap eksistensi pulau-pulau tersebut. Kenaikan muka air laut, abrasi pantai, dan cuaca ekstrem berpotensi membuat banyak pulau kecil tenggelam, merusak ekosistem, dan memicu hilangnya wilayah kedaulatan.

Di tengah tantangan tersebut, Wawasan Nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya harus menjadi landasan kebijakan untuk menghadapi dampak perubahan iklim secara komprehensif.


Permasalahan


1. Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia?


2. Apa risiko strategis yang timbul akibat tenggelamnya pulau-pulau kecil?


3. Bagaimana penerapan nilai-nilai Wawasan Nusantara dapat membantu menghadapi tantangan ini?


4. Apa saja kebijakan dan langkah konkret yang harus diambil pemerintah dan masyarakat dalam konteks ini?


Pembahasan


1. Perubahan Iklim dan Ancaman terhadap Pulau-Pulau Kecil


Naiknya permukaan air laut sebagai akibat mencairnya es di kutub menyebabkan risiko serius bagi pulau-pulau kecil, terutama yang memiliki ketinggian rendah. Pulau-pulau seperti Pulau Nipah, Pulau Ndana, dan beberapa pulau di Kepulauan Seribu menghadapi risiko tenggelam. Fenomena abrasi dan intrusi air laut semakin memperburuk kondisi ini.


Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), permukaan air laut Indonesia naik rata-rata 4–6 mm per tahun. Dalam 20–30 tahun ke depan, puluhan pulau kecil terancam hilang secara fisik, berdampak langsung pada batas wilayah nasional dan kedaulatan negara.


2. Risiko Geopolitik dan Kehilangan Wilayah Kedaulatan


Pulau-pulau kecil bukan sekadar daratan, melainkan penanda batas wilayah negara. Tenggelamnya pulau dapat mengakibatkan hilangnya zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan menyebabkan konflik batas maritim dengan negara tetangga.

Hal ini diperkuat oleh prinsip hukum laut internasional (UNCLOS 1982) yang menyatakan bahwa pulau yang tidak dapat dihuni atau tak memiliki kehidupan ekonomi permanen tidak dapat dijadikan dasar penetapan ZEE.


Kehilangan pulau juga berarti kehilangan sumber daya alam, baik perikanan, minyak dan gas, maupun potensi pariwisata. Lebih dari itu, penduduk lokal akan mengalami kehilangan identitas, tempat tinggal, dan mata pencaharian.


3. Wawasan Nusantara sebagai Landasan Strategis


Wawasan Nusantara merupakan cara pandang bangsa Indonesia terhadap kesatuan wilayah sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Nilai-nilai utama seperti persatuan, keutuhan, dan solidaritas sangat relevan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.


Penerapan Wawasan Nusantara dalam konteks ini mencakup:

Penguatan pertahanan wilayah perbatasan, termasuk pembangunan pos TNI dan patroli rutin.

Pelestarian lingkungan di wilayah pesisir dan pulau kecil untuk menjaga ekosistem.

Pemberdayaan masyarakat lokal agar tetap memiliki keterikatan dan kemampuan adaptif terhadap perubahan.


Wawasan Nusantara juga menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan wilayah, bukan hanya dari aspek pertahanan, tetapi juga sosial-ekonomi dan budaya.


4. Kebijakan Adaptif dan Kolaboratif


Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis wilayah kepulauan. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil meliputi:

Reklamasi terbatas dan pembangunan tanggul laut di pulau-pulau kritis.

Pemanfaatan teknologi untuk memetakan dan memantau pulau-pulau kecil.

Program relokasi terencana bagi penduduk di pulau yang sangat rentan.

Diplomasi maritim untuk memperkuat klaim batas wilayah berdasarkan bukti historis.


Selain itu, kolaborasi antar-lembaga, pemerintah daerah, LSM, dan masyarakat lokal sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan ketahanan wilayah.


Kesimpulan


Tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat perubahan iklim merupakan ancaman serius terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan Indonesia. Sebagai negara kepulauan, Indonesia harus merespons hal ini secara strategis dan menyeluruh. Wawasan Nusantara menawarkan kerangka berpikir yang inklusif dan terintegrasi untuk menghadapi tantangan ini melalui pendekatan pertahanan, sosial, budaya, dan lingkungan.


Saran


1. Pemerintah perlu mempercepat kebijakan adaptasi perubahan iklim berbasis wilayah kepulauan.


2. Pendekatan Wawasan Nusantara harus diintegrasikan dalam kebijakan lingkungan dan pembangunan pesisir.


3. Masyarakat lokal harus diberdayakan sebagai garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan wilayahnya.


4. Diplomasi maritim perlu diperkuat untuk menjaga legitimasi wilayah NKRI di mata internasional.


Daftar Pustaka

       BMKG. (2023). Laporan Tahunan Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta: BMKG.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2022). Status Pulau Kecil Terluar Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UNCLOS (1982). United Nations Convention on the Law of the Sea.

Badan Informasi Geospasial. (2024). Pemetaan Wilayah Pulau Kecil dan ZEE Indonesia.

Sudibyo, H. (2021). Geopolitik Maritim Indonesia dalam Perspektif Wawasan Nusantara. Jurnal Ketahanan Nasional.

Sistem Pemerintahan di Rusia: Semi-Presidensial dengan Kekuatan Eksekutif

 


Haikal Fahami D47









Sistem Pemerintahan di Rusia: Semi-Presidensial dengan Kekuatan Eksekutif


Abstrak


Sistem pemerintahan Rusia menempati posisi unik dalam lanskap politik dunia. Dikenal sebagai sistem semi-presidensial, Rusia menggabungkan elemen-elemen presidensial dan parlementer dalam struktur pemerintahannya. Namun, dalam praktiknya, sistem ini menunjukkan kecenderungan sentralisasi kekuasaan di tangan presiden, menciptakan dinamika kekuasaan yang kuat dalam cabang eksekutif. Artikel ini mengkaji sistem semi-presidensial Rusia dari perspektif konstitusional, praktik politik, dan perkembangan sejarahnya, serta dampaknya terhadap demokrasi dan tata kelola negara. Dengan analisis mendalam, tulisan ini berusaha menggambarkan bagaimana sistem semi-presidensial di Rusia bekerja dan mengapa kekuasaan eksekutif menjadi dominan.


Kata Kunci: Rusia, semi-presidensial, kekuasaan eksekutif, konstitusi, sistem pemerintahan, demokrasi


Pendahuluan


Sejak runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Federasi Rusia mengalami transformasi politik yang signifikan. Perubahan sistem pemerintahan, dari otoritarianisme komunis menuju demokrasi, diiringi dengan pembentukan konstitusi baru pada tahun 1993. Konstitusi ini memperkenalkan sistem semi-presidensial yang secara teoritis menggabungkan aspek presidensialisme dan parlementarisme. Namun, dalam praktiknya, sistem ini cenderung lebih mendekati presidensialisme yang kuat, dengan dominasi kekuasaan eksekutif, khususnya presiden.


Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Rusia benar-benar menganut sistem semi-presidensial, atau telah berevolusi menjadi sistem pemerintahan yang secara de facto presidensial atau bahkan otoriter? Tulisan ini bertujuan untuk membahas bagaimana sistem semi-presidensial Rusia bekerja, bagaimana kekuasaan dijalankan, dan apa dampaknya terhadap praktik demokrasi dan tata kelola pemerintahan.


Permasalahan


Beberapa permasalahan utama yang akan dibahas dalam artikel ini meliputi:

 1. Bagaimana sistem semi-presidensial Rusia didefinisikan secara konstitusional?

 2. Bagaimana peran presiden dibandingkan dengan perdana menteri dan parlemen dalam praktiknya?

 3. Apa implikasi dari konsentrasi kekuasaan eksekutif terhadap demokrasi dan sistem checks and balances di Rusia?

 4. Apakah sistem ini mencerminkan semi-presidensialisme murni atau bentuk hibrida yang cenderung otoriter?


Pembahasan


1. Definisi dan Karakteristik Sistem Semi-Presidensial


Sistem semi-presidensial adalah sistem pemerintahan yang menggabungkan fitur-fitur dari sistem presidensial dan parlementer. Menurut Maurice Duverger, sistem ini ditandai oleh:

 • Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat,

 • Perdana menteri dan kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen,

 • Kekuasaan eksekutif yang terbagi antara presiden dan perdana menteri.


Dalam sistem ini, presiden memiliki kekuasaan yang signifikan, tetapi tidak sepenuhnya dominan. Keseimbangan antara lembaga eksekutif dan legislatif sangat penting untuk mencegah sentralisasi kekuasaan.


2. Struktur Konstitusional Sistem Pemerintahan Rusia


Konstitusi Federasi Rusia tahun 1993 menetapkan bahwa:

 • Presiden adalah kepala negara dan panglima tertinggi angkatan bersenjata,

 • Presiden dipilih melalui pemilihan umum setiap enam tahun,

 • Perdana Menteri diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Duma (majelis rendah),

 • Pemerintah bertanggung jawab kepada Presiden dan sebagian kepada Duma,

 • Presiden memiliki kewenangan untuk membubarkan Duma dalam kondisi tertentu.


Secara struktur, sistem ini mengindikasikan bentuk semi-presidensialisme, tetapi dengan kekuatan besar yang dikonsentrasikan pada presiden.


3. Kekuatan Eksekutif dalam Praktik


Dalam praktiknya, Presiden Rusia memiliki kontrol yang sangat besar terhadap:

 • Kebijakan luar negeri dan pertahanan nasional

 • Penunjukan dan pemberhentian perdana menteri serta menteri lainnya

 • Mengeluarkan dekrit dan perintah eksekutif yang memiliki kekuatan hukum

 • Mengontrol badan keamanan negara dan struktur kekuasaan vertikal (governor dan pejabat regional)


Selama masa kepemimpinan Vladimir Putin (sejak tahun 2000), terlihat adanya konsolidasi kekuasaan di tangan presiden, termasuk dengan revisi undang-undang untuk memperpanjang masa jabatan, membatasi kekuatan partai oposisi, dan memperkuat lembaga kepresidenan.


4. Hubungan Presiden, Perdana Menteri, dan Parlemen


Perdana Menteri secara konstitusional memimpin pemerintah dan bertanggung jawab atas kebijakan domestik. Namun, presiden tetap berperan sebagai aktor kunci dalam pengambilan keputusan strategis.


Parlemen (terdiri dari Duma dan Dewan Federasi) memiliki kekuasaan legislatif, namun dibatasi oleh peran dominan presiden, terutama karena:

 • Parlemen memiliki keterbatasan dalam mengontrol kebijakan presiden,

 • Presiden dapat membubarkan Duma jika tidak menyetujui perdana menteri dalam tiga kali pencalonan,

 • Dominasi partai pro-pemerintah (seperti Rusia Bersatu) membuat legislatif cenderung sejalan dengan eksekutif.


5. Dinamika Politik dan Demokrasi di Rusia


Praktik semi-presidensialisme Rusia menunjukkan gejala melemahnya demokrasi:

 • Pemilu yang tidak sepenuhnya bebas dan adil,

 • Kontrol ketat terhadap media,

 • Penekanan terhadap oposisi politik dan aktivis sipil,

 • Perubahan konstitusi untuk memperpanjang kekuasaan presiden.


Ini menunjukkan bahwa sistem semi-presidensial Rusia cenderung menjadi instrumen untuk memperkuat otoritarianisme yang terselubung di balik legalitas formal.


Kesimpulan


Rusia secara formal menganut sistem pemerintahan semi-presidensial. Namun dalam praktiknya, sistem ini memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden. Dengan kekuasaan yang luas, presiden mendominasi peran dalam pemerintahan dan mengurangi efektivitas checks and balances yang seharusnya menjadi karakteristik utama dari sistem semi-presidensial yang sehat.


Konsolidasi kekuasaan, dominasi partai penguasa, kontrol terhadap media, serta revisi undang-undang dan konstitusi menjadi indikator dari pergeseran menuju otoritarianisme. Ini menandakan bahwa sistem semi-presidensial Rusia lebih tepat disebut sebagai semi-presidensialisme yang terkonsentrasi atau otoriter secara institusional.


Saran

 1. Reformasi Konstitusional: Perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap konstitusi untuk memperjelas pembagian kekuasaan dan memperkuat mekanisme checks and balances.

 2. Penguatan Parlemen dan Oposisi: Diperlukan sistem multi-partai yang sehat dan lembaga legislatif yang independen untuk menyeimbangkan kekuasaan eksekutif.

 3. Peningkatan Transparansi dan Demokrasi: Pengawasan publik, media bebas, dan masyarakat sipil harus diperkuat untuk menciptakan pemerintahan yang akuntabel.

 4. Pembatasan Masa Jabatan Presiden: Batas waktu masa jabatan perlu dipertahankan dan diawasi secara ketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.


Daftar Pustaka

 1. Duverger, Maurice. (1980). A New Political System Model: Semi-Presidential Government. European Journal of Political Research.

 2. Constitution of the Russian Federation (1993).

 3. White, Stephen. (2011). Understanding Russian Politics. Cambridge University Press.

 4. Hale, Henry E. (2014). Patronal Politics: Eurasian Regime Dynamics in Comparative Perspective. Cambridge University Press.

 5. Fish, M. Steven. (2005). Democracy Derailed in Russia: The Failure of Open Politics. Cambridge University Press.

 6. Sakwa, Richard. (2008). Russian Politics and Society. Routledge.

 7. Freedom House. (2023). Freedom in the World: Russia.

 8. The Economist Intelligence Unit. (2022). Democracy Index.


Sunday, June 15, 2025

KUIS MODUL 8 (SUSULAN)

SUSULAN:

D06,D10,D14,D20,D21,D24,D35,D36,D40,D41,D42,D44

KUIS M0DUL 9 (13 JUNI 2025) LANJUTAN

D46,D47,D48,D49,D50

KUIS M0DUL 9 (13 JUNI 2025) LANJUTAN

D24,D25,D26,D27,D28,D30,D31,D32,D33,D34,D35,D36,D37,D38,D40,D41,D42,D43,D44,D45,

KUIS M0DUL 9 (13 JUNI 2025)

 

D02,D03,D04,D06,D07,D08,D10,D11,D13,D14,D16,D17,D18,D19,D20,D21,D22,D23,

KUIS M10 KETAHANAN NASIONAL (13 JUNI 2025) LANJUTAN

D46,D47,D48,D49,D50

KUIS M10 KETAHANAN NASIONAL (13 JUNI 2025) LANJUTAN

D24,D25,D26,D27,D28,D30,D31,D32,D33,D34,D35,D36,D37,D38,D40,D41,D42,D43,D44,D45,

KUIS M10 KETAHANAN NASIONAL (13 JUNI 2025)

D02,D03,D04,D05,D06,D07,D08,D09,D10,D11,D13,D14,D16,D17,D18,D19,D20,D21,D22,D23,

Thursday, June 12, 2025

Pelanggaran HAM Masa Lalu Mengapa Penyelesaiannya Terhambat

Nama: Audrey Dolores D.K (D-42) 
NIM: 44324010072

Pelanggaran HAM Masa Lalu Mengapa Penyelesaiannya Terhambat 



Abstrak 
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Indonesia pada masa lalu masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan hingga kini. Berbagai faktor menghambat penegakan hukum dan penyelesaian kasus-kasus tersebut, mulai dari kurangnya kemauan politik, kendala pembuktian, hingga lemahnya kewenangan lembaga penegak HAM. Artikel ini membahas hambatan-hambatan tersebut serta menawarkan saran untuk mengatasi permasalahan dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Kata Kunci
Pelanggaran HAM, penyelesaian HAM, hambatan hukum, politik, Indonesia


Pendahuluan
Indonesia memiliki sejarah panjang pelanggaran HAM berat, seperti peristiwa 1965-1966, Tragedi Talangsari, Kerusuhan Mei 1998, dan lain-lain yang telah diakui oleh Presiden Joko Widodo. Namun, penyelesaian kasus-kasus tersebut masih terhambat dan belum mencapai keadilan yang memadai. Hal ini menjadi beban sosial dan politik yang terus membayangi pembangunan hukum dan demokrasi di Indonesia

Permasalahan
Mengapa pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia belum terselesaikan secara tuntas? Apa saja faktor penghambat utama dalam proses penyelesaian kasus-kasus tersebut? Bagaimana upaya yang dapat dilakukan agar penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat berjalan efektif?

Pembahasan
Beberapa faktor utama yang menghambat penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia antara lain:
Kurangnya kemauan politik dari pemerintah untuk menjadikan penegakan HAM sebagai agenda prioritas, terutama pada era pemerintahan sebelumnya.
Pragmatisme politik dan negosiasi elit, di mana penyelesaian kasus HAM sering terhambat oleh kepentingan politik elite yang juga terkait dengan pelanggaran HAM.
Lemahnya kewenangan Komnas HAM, yang hanya memiliki fungsi penyelidikan tanpa kewenangan menuntut, sehingga hasil penyelidikan sering ditolak atau dikembalikan oleh Kejaksaan Agung karena dianggap berkas kurang lengkap

Kesimpulan
Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia terhambat oleh kombinasi faktor politik, hukum, dan sosial. Kurangnya kemauan politik, lemahnya instrumen hukum, serta hambatan teknis dalam pembuktian menjadi kendala utama. Pendekatan non-yudisial yang diambil pemerintah belum mampu memberikan keadilan substantif bagi korban.

Saran
Pemerintah perlu meningkatkan kemauan politik dan menjadikan penegakan HAM sebagai agenda prioritas nasional.
Penguatan kewenangan Komnas HAM dan lembaga penegak hukum lain agar dapat melakukan penyelidikan dan penuntutan secara efektif.
Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur hukum untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat.

Daftar Pustaka 
1. Detik News, “12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di RI yang Disebut Jokowi,” 2023.
2. Review UNES, “Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia,” Vol. 6, No. 1, 2023.
3. Kompas.com, “Direktur Imparsial: Ada 5 Faktor Penghambat Penegakan HAM di Indonesia,” 2016.
4. West Science Press, “Aspek Yuridis Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Indonesia,” 2024.
5. PASLA Jambi, “Contoh Kasus Pelanggaran HAM,” 2024.

KEBEBASAN BEREKSPRESI DI MEDIA SOSIAL: HAK ATAU ANCAMAN



Oleh : Diesha Febrian kusniadi 











Abstrak

Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrumen hukum internasional. Media sosial kini menjadi ruang utama untuk menyalurkan ekspresi tersebut. Namun, dalam praktiknya, kebebasan ini juga menimbulkan berbagai persoalan seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga perpecahan sosial. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji apakah kebebasan berekspresi di media sosial lebih banyak menjadi hak yang perlu dilindungi, atau justru menjadi ancaman yang perlu dikendalikan. Dengan menelaah data dan teori yang relevan, artikel ini menyimpulkan pentingnya menyeimbangkan antara kebebasan dan tanggung jawab serta peran regulasi dan literasi digital.

Kata kunci : kebebasan berekspresi, media sosial, hoaks, ujaran kebencian, literasi digital, regulasi.

Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi telah menghadirkan media sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Platform seperti Instagram, Twitter (X), TikTok, dan Facebook menjadi ruang terbuka bagi setiap individu untuk menyampaikan pendapat, pandangan, bahkan kritik terhadap isu sosial dan politik. Hal ini mencerminkan praktik nyata dari kebebasan berekspresi.

Namun, kemudahan ini sering kali disalahgunakan. Banyak konten di media sosial tidak lagi bersifat informatif dan membangun, melainkan provokatif, memecah belah, bahkan mengandung ujaran kebencian. Oleh karena itu, muncul pertanyaan penting: apakah kebebasan berekspresi di media sosial masih bisa disebut sebagai hak, atau telah menjadi ancaman?


Permasalahan

Beberapa masalah yang muncul terkait kebebasan berekspresi di media sosial antara lain:

  1. Penyebaran Hoaks (Berita Bohong)
    Banyak pengguna media sosial yang tidak melakukan verifikasi sebelum membagikan informasi. Hal ini menimbulkan keresahan dan menyesatkan publik.
  2. Ujaran Kebencian
    Komentar bernada rasis, diskriminatif, atau menghina sering dijumpai, dan dapat memicu konflik di masyarakat.
  3. Perundungan Siber (Cyberbullying)
    Media sosial menjadi tempat subur bagi perundungan, baik kepada individu maupun kelompok.
  4. Kurangnya Literasi Digital
    Banyak pengguna belum memahami etika digital dan dampak dari unggahan yang mereka sebarkan.
  5. Ketidaksiapan Regulasi
    Penegakan hukum terhadap pelanggaran di media sosial masih lemah dan belum merata.


Pembahasan

1. Kebebasan Berekspresi Sebagai Hak Asasi 
Menurut Pasal 28E UUD 1945 dan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, setiap warga negara berhak menyatakan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Media sosial menjadi alat yang memperluas akses hak ini. Namun, kebebasan ini tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi jika melanggar hak orang lain atau mengancam ketertiban umum.


 2. Manfaat Media Sosial dalam Ekspresi

Media sosial mempermudah masyarakat untuk:

Menyuarakan kritik terhadap pemerintah

Mengadvokasi isu-isu HAM

Menggalang solidaritas (contoh: #BlackLivesMatter, #MeToo)

•Menyebarkan edukasi dan informasi


3. Ancaman di Balik Kebebasan Berekspresi

Kebebasan yang tidak dibarengi tanggung jawab sering melahirkan dampak negatif seperti:

Polarisasi politik

Radikalisasi

Pembunuhan karakter

Disinformasi skala besar

Bahkan, hoaks bisa menimbulkan keresahan nasional, seperti dalam kasus pandemi COVID-19 dan pemilu.

4. Peran Regulasi

Pemerintah Indonesia menerapkan UU ITE untuk mengatur aktivitas daring. Namun, penerapannya masih menimbulkan kontroversi karena dianggap bisa membatasi kebebasan berekspresi. Perlu ada revisi agar UU ITE lebih adil dan melindungi semua pihak.

5. Pentingnya Literasi Digital

Literasi digital adalah kunci agar pengguna media sosial tidak hanya melek teknologi, tapi juga melek informasi dan etika. Dengan literasi yang baik, masyarakat bisa:

Membedakan fakta dan opini

Menghindari ujaran kebencian

Bertanggung jawab atas konten yang dibagikan


Kesimpulan 

Kebebasan berekspresi di media sosial adalah hak yang sangat penting dalam demokrasi. Namun, jika tidak dibarengi dengan tanggung jawab, hak ini bisa berubah menjadi ancaman yang merusak tatanan sosial. Maka diperlukan keseimbangan antara kebebasan dan regulasi, antara ekspresi dan etika.

Saran

1.Pemerintah:

Perlu membuat regulasi yang lebih adil dan melindungi semua pihak tanpa membungkam suara rakyat.

2.Platform Media Sosial:

Harus lebih aktif dalam menyaring konten negatif dan menyediakan ruang pengaduan yang mudah.

3.Masyarakat:

Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam menggunakan media sosial, serta memperkuat literasi digital sejak dini.

4.Pendidikan:

Sekolah dan kampus harus memasukkan literasi digital dan etika daring dalam kurikulum.

Daftar Pustaka

1. UU Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Kominfo. (2022). Laporan Literasi Digital Nasional.

3. United Nations. (1948). Universal Declaration of Human Rights.

4. Pew Research Center. (2020). Social Media and Free Expression.

5. Vosoughi, S., Roy, D., & Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. Science, 359(6380), 1146–1151.

6. Douek, E. (2021). The Limits of Social Media Regulation. Columbia Journalism Review.

7. CNN Indonesia. (2020). Kasus Hoaks COVID-19 Tertinggi Sepanjang Tahun.











Bhinneka Tunggal Ika vs Hoaks Mempertahankan Persatuan di Tengah Polarisasi

 QEISHA ZULVA (D02)

Abstrak
 
Artikel ini membahas bagaimana semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" menghadapi tantangan dari penyebaran hoaks di era digital, khususnya dalam menjaga persatuan bangsa di tengah polarisasi masyarakat. Hoaks yang tersebar melalui media sosial sering kali mengeksploitasi perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sehingga memicu konflik horizontal dan melemahkan semangat kebangsaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi literatur dari berbagai sumber berita, jurnal, dan dokumen resmi. Hasil analisis menunjukkan bahwa hoaks memiliki dampak signifikan dalam memperparah perpecahan sosial, dan perlunya pendekatan kolaboratif antara pemerintah, media, lembaga pendidikan, serta masyarakat untuk memperkuat literasi digital dan menumbuhkan kembali nilai-nilai persatuan dalam keberagaman. 
Kata Kunci: Bhinneka Tunggal Ika, hoaks, persatuan, polarisasi, literasi digital 

Pendahuluan 
Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu" merupakan inti dari identitas nasional Indonesia yang multikultural. Semboyan ini pertama kali dikenalkan dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular dan kemudian diresmikan sebagai semboyan negara, tertulis pada lambang negara Garuda Pancasila. Nilai yang terkandung dalam semboyan ini adalah pengakuan terhadap keberagaman sebagai bagian dari kekuatan bangsa, bukan sebagai sumber perpecahan. Keberagaman budaya, suku, agama, dan bahasa menjadi ciri khas yang tidak dimiliki oleh banyak negara lain di dunia. Oleh karena itu, menjaga kesatuan dalam keberagaman menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa. Namun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat dalam dua dekade terakhir turut mengubah dinamika sosial masyarakat. Munculnya media sosial memberikan ruang demokratisasi informasi, tetapi juga membuka celah besar bagi penyebaran informasi yang menyesatkan, seperti hoaks dan ujaran kebencian. Hoaks bukan lagi sekadar kesalahan informasi biasa, tetapi menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan politik, ideologi, atau bahkan ekonomi tertentu. Dalam konteks ini, hoaks dapat menjadi senjata yang membelah masyarakat dan merusak fondasi persatuan. Di tengah kondisi tersebut, Indonesia menghadapi tantangan berat dalam menjaga semangat kebangsaan dan identitas kolektif sebagai satu bangsa. Polarisasi yang tajam dalam masyarakat, terutama yang dipicu oleh isu-isu SARA dan politik, telah menimbulkan keterbelahan sosial yang mengkhawatirkan. Polarisasi ini semakin diperkuat oleh algoritma media sosial yang menciptakan ruang gema (echo chamber), di mana orang hanya mendengar informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri dan menolak perspektif lain. Ketika ruang dialog semakin sempit, kepercayaan antarkelompok pun tergerus. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika diuji oleh gempuran hoaks yang berpotensi merusak tatanan sosial bangsa. Selain itu, artikel ini juga akan membahas upaya-upaya strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan generasi muda dalam mempertahankan persatuan nasional di tengah derasnya arus informasi yang tidak terverifikasi. Dengan pendekatan reflektif dan solusi berbasis kebijakan serta partisipasi masyarakat, diharapkan semangat persatuan dapat terus terjaga sebagai fondasi utama keberlangsungan bangsa Indonesia. 

Permasalahan 
1. Bagaimana hoaks memengaruhi persatuan bangsa Indonesia? 
2. Apa saja faktor yang memperparah penyebaran hoaks dan polarisasi sosial? 
3. Bagaimana relevansi nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam menghadapi ancaman tersebut? 
4. Apa langkah strategis yang dapat diambil untuk mempertahankan persatuan? 

Pembahasan 

1. Penyebaran Hoaks di Era Digital 
Hoaks didefinisikan sebagai informasi yang direkayasa untuk menyesatkan, yang sengaja disebarkan untuk mempengaruhi opini publik. Di Indonesia, platform media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, dan TikTok menjadi medium utama penyebaran hoaks. Banyak di antaranya bersifat provokatif dan menyerang identitas tertentu, seperti agama, etnis, atau pilihan politik. 
Menurut laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sepanjang tahun 2023 terdapat lebih dari 11.000 konten hoaks yang teridentifikasi. Angka ini meningkat pesat menjelang tahun politik. Beberapa contoh hoaks bahkan memicu keresahan sosial, seperti isu penculikan anak, kebijakan pemerintah palsu, dan fitnah terhadap tokoh-tokoh masyarakat. Dalam beberapa kasus, hoaks menyebabkan kekerasan massa dan persekusi terhadap individu yang dianggap berbeda. 

2. Polarisasi Sosial dan Politik 
Polarisasi adalah pembelahan tajam dalam masyarakat yang membuat dua kelompok atau lebih menjadi semakin ekstrem dan sulit untuk saling berdialog. Polarisasi politik di Indonesia telah tampak jelas sejak pemilihan umum 2014 dan 2019, di mana masyarakat terbagi dalam dua kutub dengan loyalitas tinggi. Polarisasi ini diperparah oleh algoritma media sosial yang menyajikan informasi sesuai preferensi pengguna (filter bubble), memperkuat bias dan mempersempit pandangan. 
Fenomena echo chamber membuat masyarakat hanya terpapar pada pendapat yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Hal ini memperbesar kemungkinan masyarakat menolak informasi lain, sekalipun benar. Hoaks yang disesuaikan dengan narasi kelompok tertentu pun cepat diterima tanpa verifikasi. Polarisasi yang tajam ini mengikis ruang dialog yang sehat, memperlemah solidaritas nasional, dan memicu konflik di ruang publik. 

3. Relevansi Nilai Bhinneka Tunggal Ika 
Dalam situasi krisis akibat hoaks dan polarisasi, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika menjadi kompas moral yang penting. Semboyan ini bukan hanya jargon, melainkan filosofi yang hidup dalam sejarah bangsa Indonesia. Keberagaman suku, agama, ras, dan budaya seharusnya menjadi kekuatan yang merekatkan, bukan memecah belah. 
Sayangnya, nilai ini mulai terpinggirkan dalam wacana publik, terutama di media sosial yang lebih banyak menampilkan narasi perbedaan dan konflik. Oleh karena itu, nilai Bhinneka Tunggal Ika harus dihidupkan kembali dalam berbagai sektor: pendidikan, media, seni, dan pemerintahan. Pendidikan karakter berbasis toleransi, pelibatan tokoh lintas agama dan adat dalam kampanye kebangsaan, serta pemanfaatan media untuk menyebarkan narasi persatuan menjadi strategi penting. 
Penting juga membangun kembali narasi kebangsaan berbasis gotong royong dan rasa senasib sepenanggungan. Kebhinekaan bukan hambatan, tapi pondasi integrasi nasional yang harus dijaga melalui dialog, empati, dan kolaborasi lintas kelompok. 

4. Strategi Menjaga Persatuan 
Untuk memperkuat persatuan di tengah ancaman hoaks dan polarisasi, diperlukan upaya sistemik yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Beberapa strategi antara lain:
a. Peningkatan Literasi Digital 
Masyarakat perlu dibekali kemampuan mengenali hoaks, memahami proses verifikasi informasi, serta mampu berpikir kritis terhadap narasi provokatif. Pemerintah bersama lembaga swadaya masyarakat dan platform digital harus menginisiasi program literasi digital secara masif, terutama di kalangan pelajar dan warga desa. 

b. Kolaborasi Antar Lembaga 
Pemerintah, tokoh agama, akademisi, media massa, dan komunitas lokal harus membangun kerja sama untuk menyuarakan pentingnya persatuan dan menangkal disinformasi. Kampanye nasional yang menyentuh hati dan relevan dengan realitas masyarakat perlu digalakkan. 

c. Regulasi dan Penegakan Hukum 
UU ITE dan regulasi lainnya harus ditegakkan secara adil dan konsisten terhadap pelaku penyebaran hoaks. Namun, penegakan hukum juga harus mengedepankan edukasi, bukan semata-mata represif, agar menciptakan efek jera sekaligus kesadaran hukum. 

d. Penguatan Identitas Nasional 
Identitas nasional harus dipupuk melalui pengenalan sejarah bangsa, budaya lokal, dan nilai-nilai luhur Pancasila. Media dan institusi pendidikan dapat memproduksi konten positif yang membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. 

e. Revitalisasi Ruang Publik 
Ruang-ruang diskusi yang aman dan inklusif perlu dibuka kembali, baik secara daring maupun luring. Forum dialog antaragama, diskusi lintas etnis, serta kegiatan seni budaya yang melibatkan berbagai golongan dapat menjadi wadah memperkuat kepercayaan antarwarga. 

f. Peran Generasi Muda 
Generasi muda adalah garda terdepan dalam menjaga persatuan. Dengan kreativitas dan kecakapan teknologi yang mereka miliki, anak muda dapat menjadi agen perubahan dalam menyebarkan narasi persatuan dan melawan hoaks. 

Kesimpulan dan Saran 
Hoaks adalah ancaman nyata terhadap persatuan bangsa, terutama ketika digunakan sebagai alat untuk memecah belah masyarakat. Di tengah meningkatnya polarisasi, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika harus kembali dikuatkan sebagai pedoman hidup bersama. Solusi jangka panjang memerlukan pendekatan multidimensional: pendidikan, regulasi, penguatan komunitas, dan kolaborasi lintas sektor. Indonesia sebagai negara majemuk hanya dapat bertahan jika setiap warga negara merasa menjadi bagian dari satu bangsa yang utuh meski berbeda latar belakang. 
Sebagai saran, pemerintah perlu meningkatkan sinergi antarlembaga dalam memerangi hoaks. Pendidikan kebangsaan perlu diperkuat, dan ruang-ruang publik harus kembali difungsikan sebagai arena dialog, bukan hanya kompetisi. Generasi muda juga harus dilibatkan secara aktif dalam merumuskan solusi kekinian dengan pendekatan kreatif dan digital. 

Daftar Pustaka 
• Kominfo. (2023). Laporan Tahunan Penanganan Hoaks di Indonesia. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika. 
• Wahid Foundation. (2022). Toleransi dan Keberagaman di Indonesia: Laporan Survei Nasional. 
• BNPT. (2020). Strategi Nasional Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. 
• Kemenko PMK. (2021). Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Intoleransi dan Disinformasi. Jakarta: Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. 
• Yuliana, D. (2021). “Hoaks dan Tantangan Integrasi Bangsa di Era Digital.” Jurnal Komunikasi dan Budaya, Vol. 13(2), 45–60. 
• BPS. (2022). Statistik Keberagaman Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
• LIPI. (2020). Media Sosial, Polarisasi Politik, dan Tantangan Persatuan Bangsa. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. • Kurniawati, R. (2023). "Membangun Literasi Digital untuk Menangkal Disinformasi." Jurnal Pustaka Komunikasi, Vol. 10(1), 12–24.

Hak Anak Jalanan: Pendidikan vs Eksploitasi

Hak Anak Jalanan: Pendidikan vs Eksploitasi

Abstrak

Fenomena anak jalanan di Indonesia merupakan masalah sosial yang kompleks dan multidimensi. Anak-anak ini kerap menghadapi dilema antara hak memperoleh pendidikan dan realitas eksploitasi ekonomi yang menjerat mereka di jalanan. Artikel ini membahas secara komprehensif tentang hak anak jalanan atas pendidikan, bentuk-bentuk eksploitasi yang mereka alami, serta analisis kebijakan dan upaya perlindungan yang telah dilakukan negara. Melalui kajian literatur, data lapangan, dan analisis kebijakan, artikel ini menyoroti pentingnya pendidikan sebagai upaya memutus rantai kemiskinan dan marginalisasi anak jalanan, serta urgensi reformulasi kebijakan dan sinergi lintas sektor dalam pemenuhan hak-hak dasar mereka.

Kata Kunci: anak jalanan, hak anak, pendidikan, eksploitasi, kebijakan, perlindungan


Pendahuluan

Anak adalah generasi penerus bangsa yang memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara, keluarga, dan masyarakat. Salah satu hak fundamental tersebut adalah hak atas pendidikan yang layak. Namun, di Indonesia, ribuan anak masih hidup dan bekerja di jalanan, menghadapi risiko eksploitasi, kekerasan, dan kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Fenomena anak jalanan bukan hanya cerminan kemiskinan struktural, tetapi juga kegagalan sistemik dalam perlindungan hak anak.

Menurut data Kementerian Sosial RI, pada tahun 2023 terdapat lebih dari 16.000 anak jalanan tersebar di berbagai kota besar. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat rentan, tidak memiliki akses memadai terhadap pendidikan formal, dan kerap menjadi korban eksploitasi ekonomi maupun kekerasan fisik dan psikis. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana negara dan masyarakat dapat memastikan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan di tengah realitas eksploitasi yang mereka hadapi?


Permasalahan

Permasalahan utama yang dihadapi anak jalanan dalam memperoleh hak pendidikan adalah:

  • Kemiskinan dan Keterbatasan Ekonomi: Anak jalanan seringkali dipaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, sehingga waktu dan kesempatan untuk bersekolah menjadi sangat terbatas.

  • Eksploitasi Anak: Banyak anak jalanan yang menjadi korban eksploitasi ekonomi oleh orang dewasa, bahkan oleh orang tua sendiri, baik sebagai pengemis, pengamen, penjual asongan, hingga pekerja seks.

  • Akses Pendidikan yang Terbatas: Sekolah formal kurang ramah terhadap kondisi anak jalanan, baik dari segi waktu, biaya, maupun kurikulum. Program pendidikan nonformal dan komunitas masih belum merata dan berkelanjutan.

  • Kurangnya Perlindungan Hukum dan Sosial: Implementasi perlindungan anak jalanan dalam hukum nasional masih lemah, dengan sinergi antar lembaga yang belum optimal dan keterbatasan sumber daya.

  • Stigma dan Diskriminasi: Anak jalanan kerap mengalami stigma negatif dari masyarakat dan institusi pendidikan, sehingga semakin terpinggirkan.


Pembahasan

1. Hak Anak Jalanan atas Pendidikan

Konstitusi Negara Republik Indonesia (UUD 1945) secara tegas menjamin hak setiap anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat (2)). Pasal 34 ayat (1) juga menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak memperkuat hak anak untuk memperoleh perlindungan dari eksploitasi dan kekerasan, serta hak atas pendidikan.

Namun, dalam praktiknya, hak-hak tersebut seringkali tidak terpenuhi bagi anak jalanan. Banyak dari mereka yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah atau terpaksa putus sekolah karena tekanan ekonomi dan tuntutan hidup di jalanan. Pendidikan menjadi kebutuhan sekunder yang dikorbankan demi bertahan hidup.

2. Bentuk dan Faktor Eksploitasi Anak Jalanan

Eksploitasi anak jalanan di Indonesia umumnya berbentuk:

  • Eksploitasi Ekonomi: Anak dipaksa bekerja, mengemis, mengamen, atau berjualan oleh orang dewasa, seringkali oleh keluarga sendiri, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

  • Eksploitasi Seksual: Sebagian anak jalanan menjadi korban perdagangan anak dan eksploitasi seksual, terutama anak perempuan.

  • Eksploitasi Psikologis dan Sosial: Anak jalanan sering mengalami tekanan, intimidasi, dan kekerasan baik dari orang tua, preman, maupun aparat, yang berdampak pada kesehatan mental dan perilaku mereka.

Faktor utama yang mendorong eksploitasi anak jalanan adalah kemiskinan, pengangguran, rendahnya pendidikan orang tua, dan ketidakpahaman akan pentingnya pendidikan. Selain itu, budaya kerja usia dini dan lemahnya penegakan hukum turut memperparah situasi.

3. Dampak Eksploitasi terhadap Anak Jalanan

Eksploitasi memiliki dampak multidimensi terhadap anak jalanan, antara lain:

  • Kerugian Fisik dan Psikologis: Anak jalanan rentan mengalami kecelakaan, penyakit, kekerasan, dan gangguan mental akibat tekanan hidup di jalanan.

  • Kehilangan Hak Pendidikan: Waktu dan tenaga anak habis untuk bekerja, sehingga tidak dapat mengikuti pendidikan formal atau informal secara optimal.

  • Siklus Kemiskinan dan Marginalisasi: Anak jalanan yang tidak mendapatkan pendidikan akan kesulitan memperoleh pekerjaan layak di masa depan, sehingga berisiko terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan marginalisasi sosiaL.

  • Penyimpangan Sosial dan Kriminalitas: Tekanan hidup dan kurangnya pengawasan membuat anak jalanan rentan terlibat dalam pergaulan bebas, tindak kriminal, dan penyalahgunaan narkoba.

4. Kebijakan dan Upaya Perlindungan Anak Jalanan

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk melindungi hak anak jalanan, antara lain:

  • Kebijakan Pendidikan Layanan Khusus: Program pendidikan nonformal dan komunitas, seperti Rumah Singgah, Pendidikan Kesetaraan, dan pelatihan keterampilan, bertujuan menjangkau anak jalanan yang tidak dapat mengakses sekolah formal.

  • Rehabilitasi Sosial dan Reintegrasi: Program Dinas Sosial dan LSM untuk rehabilitasi, pemberdayaan, dan reintegrasi anak jalanan ke keluarga dan masyarakat.

  • Perlindungan Hukum: UU Perlindungan Anak dan peraturan daerah mengatur larangan eksploitasi anak serta sanksi bagi pelaku eksploitasi.

Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi banyak kendala, seperti keterbatasan anggaran, kurangnya koordinasi antar lembaga, dan minimnya kesadaran masyarakat. Banyak program yang bersifat sporadis dan tidak berkelanjutan, sehingga belum mampu menyelesaikan akar permasalahan secara tuntas.

5. Tantangan dan Solusi

Beberapa tantangan utama dalam pemenuhan hak pendidikan anak jalanan adalah:

  • Akses dan Kualitas Pendidikan: Sekolah formal kurang fleksibel dalam menerima anak jalanan. Diperlukan pendidikan alternatif yang inklusif, fleksibel, dan berbasis komunitas

  • Pemberdayaan Ekonomi Keluarga: Upaya pengentasan kemiskinan keluarga anak jalanan melalui pelatihan, bantuan modal, dan pemberdayaan ekonomi sangat penting untuk mengurangi ketergantungan anak pada pekerjaan jalanan

  • Peran Masyarakat dan LSM: Sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan LSM perlu diperkuat dalam penjangkauan, pendampingan, dan advokasi hak anak jalanan

  • Penegakan Hukum: Penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi anak harus dilakukan secara tegas dan konsisten, termasuk edukasi kepada orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan anak


Kesimpulan

Hak anak jalanan atas pendidikan adalah hak asasi yang dijamin konstitusi dan hukum nasional, namun masih jauh dari realisasi di lapangan. Eksploitasi ekonomi dan sosial menjadi penghalang utama bagi anak jalanan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Kebijakan dan program pemerintah telah ada, namun implementasinya masih lemah dan belum menyentuh akar masalah. Diperlukan reformulasi kebijakan yang lebih komprehensif, sinergi lintas sektor, serta pemberdayaan ekonomi keluarga untuk memastikan setiap anak jalanan dapat menikmati hak-haknya, terutama hak atas pendidikan.


Saran

  1. Pemerintah perlu memperluas dan memperkuat program pendidikan nonformal dan berbasis komunitas yang ramah anak jalanan, serta memastikan keberlanjutan dan kualitas program tersebut.

  2. Penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi anak harus dilakukan secara tegas, disertai edukasi kepada keluarga tentang pentingnya pendidikan.

  3. Pemberdayaan ekonomi keluarga anak jalanan harus menjadi prioritas dalam kebijakan pengentasan kemiskinan.

  4. Sinergi lintas sektor antara pemerintah, LSM, dunia usaha, dan masyarakat perlu diperkuat dalam upaya perlindungan dan pemberdayaan anak jalanan.

  5. Pendidikan dan advokasi tentang hak anak harus terus digalakkan untuk mengubah paradigma masyarakat dan keluarga terhadap pendidikan anak jalanan.


Daftar Pustaka

  1. Eka Yulia Solekhah, Mari Esterilita, Hastin Trustisari. (2024). "Analisis Sistem Kebijakan Pendidikan Anak Jalanan di Beberapa Wilayah Daerah di Indonesia." Kultura: Jurnal Ilmu Hukum, Sosial, Dan Humaniora, 2(7), 301–307.

  2. Isti Rochatun, Suprayogi, Hamonangan Sigalingging. (2021). "Eksploitasi Anak Jalanan Sebagai Pengemis di Kawasan Simpang Lima Semarang." Unnes Civic Education Journal.

  3. Niki Syahirania. (2025). "Perlindungan Hak Anak Jalanan Dalam Perspektif Hukum Tata Negara." kumparan.com.

  4. Galuh S. Kwan. (2024). "Pemenuhan Hak Anak Jalanan dalam Memperoleh Pendidikan." kumparan.com.

  5. Jamaludin. (2014). "Eksploitasi Anak Jalanan." Sociologique, Jurnal S-1 Ilmu Sosiologi, Universitas Tanjungpura.

  6. Dinas Sosial Provinsi Lampung. (2020). "Eksploitasi Anak Jalanan oleh Keluarga (Studi Kasus di Lampu Merah Way Halim Kota Bandar Lampung)."

  7. Moch. Yunus. (2011). "Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan HAM." Al-Mawarid, Vol. XI, No. 2.



    Wawasan Nusantara dan Perubahan Iklim: Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil

     Haekal Fahmi D47 Wawasan Nusantara dan Perubahan Iklim: Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil Abstrak Perubahan iklim global menjadi ancaman nyata...