Wednesday, July 16, 2025

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47

REVIEW MODUL 14

 D02,D04,D10,D12,D15,D23,D24,D26,D28,D30,D35,D47,D50

KUIS 14 (15 JULI 2025) SUSULAN

 D28,D30,D31,D32,D34,D35,D36,D37,D38,D40,D41,D42,D43,D44,D45,D46,D47,D49,D50

KUIS 14 (15 JULI 2025)

D02,D04,D05,D07,D09,D10,D11,D12,D13,D15,D16,D18,D19,D20,D21,D22,D23,D25,D26,D27,

PRESENTASI 15 JULI 2025 (LANJUTAN)

 D09,D13,D17,D22,D45

PRESENTASI 15 JULI 2025

 D05,D09,D13,D16,D17,D21,D22,D31,D37,D41,D42,D44,D45

KUIS 13 (PENGUMPULAN 15 JULI 2025)

 D04,D31,D35,D36,D38,D40,D42,D43,D44,

Monday, July 14, 2025

Pemilu Serentak: Solusi atau Bencana bagi Demokrasi Kita?

Pemilu Serentak: Solusi atau Bencana bagi Demokrasi Kita?

Disusun oleh : Evanjel Joshua D09

Abstrak

Pemilu serentak di Indonesia pertama kali diterapkan pada tahun 2019 sebagai bagian dari upaya efisiensi politik dan penguatan sistem presidensial. Namun, pelaksanaannya menimbulkan berbagai persoalan serius seperti beban kerja penyelenggara yang berlebihan, angka kematian petugas yang tinggi, serta kebingungan pemilih akibat kompleksitas teknis. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis apakah pemilu serentak merupakan solusi efektif untuk memperkuat demokrasi atau justru menjadi bencana tersembunyi dalam sistem demokrasi Indonesia. Dengan pendekatan deskriptif kualitatif, tulisan ini menyajikan data empiris dan pendapat ahli untuk melihat dampak positif dan negatif pemilu serentak.


Kata Kunci: Pemilu Serentak, Demokrasi, Efisiensi Politik, Krisis Penyelenggaraan, Partisipasi Publik


Pendahuluan

Demokrasi Indonesia terus berkembang sejak era reformasi, ditandai dengan pelaksanaan pemilu yang semakin terbuka dan partisipatif. Dalam kerangka memperkuat sistem presidensial, Mahkamah Konstitusi memutuskan agar pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan secara serentak. Tujuannya adalah menciptakan efektivitas pemerintahan dan stabilitas politik. Namun, pelaksanaan pemilu serentak 2019 memunculkan pertanyaan serius: apakah langkah ini benar-benar memperkuat demokrasi, atau justru membahayakan kualitas demokrasi yang kita miliki?


Permasalahan

1. Apakah pemilu serentak memberikan manfaat nyata dalam memperkuat demokrasi di Indonesia?

2. Apa dampak negatif yang muncul akibat penyelenggaraan pemilu serentak secara nasional?

3. Apakah pemilu serentak layak dipertahankan dalam konteks pemilu 2024 dan seterusnya?


Pembahasan

1. Latar Belakang Penerapan Pemilu Serentak

Pemilu serentak dimaksudkan untuk menghindari efek ekor jas (coattail effect) yang terlalu besar terhadap partai tertentu, serta menyederhanakan tahapan pemilu. Konsep ini diadopsi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyarankan agar pemilu dilaksanakan serentak guna memperkuat sistem presidensial.


2. Manfaat Pemilu Serentak

Beberapa manfaat yang diharapkan dari pemilu serentak adalah efisiensi anggaran, penguatan legitimasi politik eksekutif, serta mendorong partai politik lebih selektif dalam mengusung calon. Selain itu, pemilih diharapkan lebih rasional dalam menentukan pilihan karena dapat melihat keterkaitan antara calon legislatif dan calon presiden.


3. Dampak Negatif: Keletihan Demokrasi

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan tantangan besar: pada Pemilu 2019 tercatat lebih dari 800 petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan. Kompleksitas pemungutan dan penghitungan suara dari lima jenis surat suara (DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPD, dan Presiden) menjadi beban yang terlalu berat. Ini menandakan adanya kegagalan dalam aspek manajemen pemilu dan perlindungan terhadap hak penyelenggara.


4. Kebingungan Pemilih dan Kualitas Pilihan

Tingkat kerumitan teknis juga berdampak pada kualitas pilihan pemilih. Banyak dari mereka yang tidak memahami sepenuhnya perbedaan fungsi calon legislatif dan calon presiden. Akibatnya, rasionalitas politik bisa menurun dan partisipasi yang semula bermakna menjadi sekadar formalitas memilih.


Kesimpulan

Pemilu serentak adalah kebijakan ambisius yang memiliki niat baik, namun pelaksanaannya masih jauh dari sempurna. Meskipun memiliki potensi memperkuat sistem presidensial dan efisiensi anggaran, dampak negatifnya sangat serius, mulai dari kelelahan administratif hingga kematian penyelenggara dan kebingungan pemilih.


Saran

1. Pemerintah dan DPR perlu mengevaluasi ulang format pemilu serentak, dengan mempertimbangkan model semi-serentak atau bertahap.

2. KPU harus menyesuaikan desain teknis pemilu agar lebih ramah bagi penyelenggara dan pemilih.

3. Pendidikan politik harus diperkuat menjelang pemilu agar pemilih memahami hak dan kewajibannya secara utuh.


Daftar Pustaka

Mahkamah Konstitusi RI. (2013). *Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Komisi Pemilihan Umum. (2019). Laporan Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.

Haris, S. (2020). Demokrasi dan Pemilu: Dinamika Pemilu Serentak di Indonesia. Jakarta: Puskapol UI.

Tirto.id. (2019). Fakta Tragedi Pemilu 2019 dan Gugurnya Petugas KPPS.


Konflik SARA di Media Sosial Ancaman Nyata bagi Integrasi Bangsa


 Oleh : Okta Salsabila (D04)


ABSTRAK

Konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) di media sosial merupakan ancaman nyata bagi integrasi bangsa Indonesia. Di era digital, media sosial menjadi ruang utama penyebaran informasi, namun juga memudahkan penyebaran narasi kebencian dan isu SARA yang dapat memicu polarisasi, resistensi, bahkan konflik antar kelompok masyarakat. Penyebaran isu SARA di media sosial kerap kali tidak sesuai fakta, sehingga menimbulkan keresahan, ketakutan, dan kesalahpahaman di tengah masyarakat. Dampak negatif dari konflik SARA meliputi terjadinya kekerasan, diskriminasi, disintegrasi bangsa, hingga terhambatnya pembangunan dan rusaknya citra Indonesia di mata dunia. Selain itu, postingan SARA di media sosial dapat merusak hubungan antar individu maupun kelompok, memperkuat segregasi sosial, dan mengancam persatuan nasional. Untuk menghadapi ancaman ini, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan media untuk meningkatkan literasi digital, memperkuat narasi kebangsaan yang inklusif, serta menegakkan hukum terhadap penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Dengan pengelolaan yang bijak, media sosial dapat berperan positif dalam menjaga persatuan dalam keragaman Indonesia.

Kata Kunci : SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan), Indonesia

 

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara yang kaya akan keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Keanekaragaman yang seharusnya menjadi kekuatan, justru kerap memicu gesekan dan konflik, terutama ketika isu SARA dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya media sosial, telah memberikan ruang baru bagi masyarakat untuk berinteraksi dan berbagi informasi secara cepat dan luas. Namun, kemudahan ini juga membawa dampak negatif, seperti maraknya penyebaran informasi yang mengandung unsur SARA, hoaks, dan ujaran kebencian yang dapat memicu ketegangan hingga perpecahan di tengah masyarakat.

Media sosial sering kali menjadi wadah bagi penyebaran isu SARA yang tidak terverifikasi, sehingga menimbulkan keresahan, prasangka, bahkan konflik di dunia nyata. Kurangnya literasi digital dan pemahaman etika bermedia sosial di kalangan masyarakat multietnis Indonesia memperparah situasi ini, sehingga konflik SARA di media sosial menjadi ancaman nyata bagi integrasi bangsa. Oleh karena itu, penting untuk memahami dinamika konflik SARA di media sosial serta upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampaknya demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia.

 

PERMASALAHAN

Konflik SARA di media sosial menimbulkan berbagai permasalahan yang sangat serius bagi integrasi bangsa Indonesia. Salah satu permasalahan utama adalah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang sering kali mengandung unsur SARA, sehingga memicu prasangka dan permusuhan antar kelompok masyarakat. Selain itu, media sosial juga berpotensi memperkuat polarisasi dan perpecahan sosial, di mana masyarakat terbagi menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan, sehingga mengancam rasa persatuan dan kebersamaan. Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah kurangnya literasi digital di kalangan pengguna media sosial, sehingga banyak orang mudah terprovokasi dan tanpa sadar ikut menyebarkan konten yang bersifat memecah belah. Konflik SARA yang bermula di dunia maya pun dapat meluas ke dunia nyata, menimbulkan kerusuhan dan tindakan kekerasan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Dampak negatif ini juga merusak citra Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi toleransi dan keberagaman, serta mengancam keutuhan bangsa yang selama ini telah dibangun dengan susah payah. Oleh karena itu, permasalahan konflik SARA di media sosial memerlukan perhatian serius dan penanganan yang tepat agar tidak semakin memperburuk kondisi persatuan nasional.

 

PEMBAHASAN

Konflik SARA di media sosial menjadi persoalan yang sangat kompleks dan berpotensi mengancam integrasi bangsa Indonesia. Media sosial, yang sejatinya dapat menjadi sarana komunikasi dan penyebaran informasi positif, sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan konten bernada SARA yang memicu ketegangan dan konflik antar kelompok masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa postingan SARA di media sosial tidak hanya berdampak pada hubungan pertemanan secara virtual, tetapi juga dapat menimbulkan sikap permusuhan dan pemutusan hubungan sosial di dunia nyata. Selain itu, media sosial menjadi arena utama penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang memperkuat polarisasi sosial, sehingga memperlemah persatuan bangsa. Rendahnya literasi digital dan kurangnya pemahaman etika bermedia sosial membuat masyarakat mudah terprovokasi dan ikut menyebarkan konten yang memecah belah. Dalam konteks politik, isu SARA kerap dimanfaatkan untuk memobilisasi massa dan memperkeruh suasana, terutama menjelang pemilu, sehingga menimbulkan konflik horizontal yang membahayakan stabilitas nasional. Oleh karena itu, diperlukan strategi terpadu yang melibatkan pemerintah, tokoh agama, masyarakat, dan pengguna media sosial untuk meningkatkan kesadaran beretika, menegakkan hukum terhadap penyebaran konten provokatif, serta mengedukasi masyarakat agar media sosial dapat berperan sebagai alat pemersatu dalam keberagaman Indonesia. Dengan demikian, pengelolaan media sosial yang bijak menjadi kunci penting dalam menjaga keutuhan dan persatuan bangsa di tengah tantangan konflik SARA.

 

KESIMPULAN

Konflik bernuansa SARA di media sosial merupakan tantangan serius bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, karena media sosial yang seharusnya menjadi sarana komunikasi dan penyebaran informasi positif justru sering disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan konten provokatif yang mengandung unsur SARA. Hal ini memperkuat polarisasi sosial, memicu prasangka dan permusuhan antar kelompok, serta berpotensi meluas ke konflik nyata yang mengancam stabilitas dan keutuhan bangsa. Faktor utama yang memperparah kondisi ini adalah rendahnya literasi digital dan kurangnya pemahaman etika bermedia sosial di kalangan masyarakat multietnis Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan upaya terpadu yang melibatkan pemerintah, tokoh agama, masyarakat, dan pengguna media sosial untuk meningkatkan kesadaran beretika, menegakkan hukum terhadap penyebaran konten provokatif, serta mengedukasi masyarakat agar media sosial dapat berfungsi sebagai alat pemersatu dalam keberagaman Indonesia demi menjaga integrasi dan keutuhan bangsa.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adri, A. (2024, May 7). Keributan di Tangsel dan Isu SARA di Media yang Meresahkan

Warga. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/metro/2024/05/07/keributan-di-tangsel-dan-isu-sara-di-media-yang-meresahkan-warga

Liputan. (2024, December 14). Apa Itu SARA: Pengertian, Jenis, dan Dampaknya Terhadap

Masyarakat. liputan6.com. https://www.liputan6.com/feeds/read/5833892/apa-itu-sara-pengertian-jenis-dan-dampaknya-terhadap-masyarakat

Banua, M. (2023, November 23). Bahaya Politik SARA Terhadap Stabilitas dan Keharmonisan

Masyarakat. Mata Banua Online. https://matabanua.co.id/2023/11/23/bahaya-politik-sara-terhadap-stabilitas-dan-keharmonisan-masyarakat/

Pulau-Pulau yang Hilang: Ancaman Nyata bagi Kedaulatan Indonesia

 

Oleh : Syara Fitria Swambah (D50)


Abstrak

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di sepanjang wilayahnya. Pulau-pulau ini bukan hanya menjadi sumber kekayaan alam dan budaya, tetapi juga sangat menentukan batas kedaulatan wilayah negara. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, fenomena hilangnya pulau-pulau kecil akibat perubahan iklim, abrasi pantai, dan aktivitas manusia semakin meningkat. Hal ini menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan Indonesia karena dapat menyebabkan berkurangnya wilayah daratan dan bergesernya batas laut teritorial. Artikel ini mengkaji penyebab utama hilangnya pulau, dampaknya terhadap kedaulatan negara, serta strategi mitigasi yang harus dilakukan untuk menjaga keutuhan wilayah Indonesia di masa depan.

Kata Kunci

Pulau hilang, kedaulatan Indonesia, perubahan iklim, abrasi pantai, geopolitik, mitigasi wilayah.

 

Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau resmi mencapai lebih dari 17.000. Keberadaan pulau-pulau ini sangat krusial dalam menentukan batas wilayah maritim negara, sekaligus sebagai aset strategis dalam menjaga kedaulatan nasional. Pulau-pulau ini juga menyimpan beragam kekayaan alam dan budaya, serta menjadi tempat tinggal masyarakat pesisir.

Namun, belakangan ini, sejumlah pulau kecil mulai mengalami penyusutan hingga hilang sama sekali. Fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor, terutama perubahan iklim global yang menyebabkan naiknya permukaan air laut, abrasi pantai yang mengikis daratan, dan aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan seperti reklamasi ilegal dan penambangan pasir. Hilangnya pulau-pulau kecil ini bukan hanya berdampak pada kerugian ekologis dan sosial, tetapi juga menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan wilayah negara.

Hilangnya sebuah pulau dapat berimbas pada perubahan batas laut teritorial Indonesia, yang secara langsung memengaruhi hak pengelolaan sumber daya alam dan aspek keamanan nasional. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk memahami fenomena ini, mengkaji dampak yang mungkin timbul, serta mengimplementasikan langkah-langkah mitigasi yang tepat.

 

Permasalahan

Fenomena hilangnya pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia menimbulkan beberapa permasalahan penting yang harus segera diantisipasi. Permasalahan utama yang menjadi fokus dalam artikel ini meliputi:

1. Penyebab Hilangnya Pulau-Pulau Kecil: Apa saja faktor utama yang menyebabkan pulau-pulau kecil hilang? Apakah faktor alam, aktivitas manusia, atau kombinasi keduanya?

2. Dampak Hilangnya Pulau terhadap Kedaulatan dan Batas Wilayah: Bagaimana hilangnya pulau-pulau kecil berpengaruh terhadap batas wilayah laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia? Apakah ini mengancam kedaulatan nasional?

3. Upaya Mitigasi dan Strategi Perlindungan: Langkah-langkah apa yang sudah dan perlu dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencegah atau meminimalkan hilangnya pulau?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan dan tindakan yang efektif dalam menjaga integritas wilayah negara.

 

Pembahasan

1. Penyebab Hilangnya Pulau-Pulau Kecil di Indonesia

Indonesia menghadapi sejumlah faktor yang menyebabkan hilangnya pulau-pulau kecil, antara lain:

a. Perubahan Iklim dan Naiknya Permukaan Laut

Pemanasan global yang terjadi akibat peningkatan gas rumah kaca telah menyebabkan pencairan es di Kutub Utara dan Selatan, yang berakibat pada naiknya permukaan air laut secara global. Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), rata-rata kenaikan permukaan laut di wilayah Indonesia mencapai sekitar 3-5 mm per tahun. Pulau-pulau kecil yang memiliki ketinggian permukaan yang rendah sangat rentan terhadap genangan air, abrasi, dan bahkan tenggelam.

b. Abrasi dan Erosi Pantai

Gelombang laut, angin, dan aktivitas cuaca ekstrem menyebabkan abrasi pantai yang berkelanjutan. Abrasi ini secara perlahan mengikis garis pantai dan daratan pulau-pulau kecil, mempersempit wilayah daratan dan menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir. Abrasi yang tinggi di sejumlah pulau di Kepulauan Riau, Maluku, dan Papua telah menyebabkan beberapa pulau hilang atau mengalami penyusutan signifikan.

c. Aktivitas Manusia

Reklamasi pantai yang tidak terkontrol, penambangan pasir laut, dan pembangunan infrastruktur yang berlebihan menjadi faktor tambahan yang mempercepat hilangnya pulau. Aktivitas ini mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir, merusak mangrove dan terumbu karang yang berfungsi sebagai pelindung alami pulau dari abrasi.

d. Degradasi Ekosistem Pesisir

Kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, dan vegetasi pantai memperlemah perlindungan alami pulau dari gelombang laut dan badai. Mangrove dan terumbu karang berperan sebagai penyerap energi gelombang dan penahan sedimentasi. Jika ekosistem ini rusak, pulau akan lebih rentan mengalami erosi dan kerusakan fisik.

2. Dampak Hilangnya Pulau terhadap Kedaulatan Indonesia

a. Perubahan Batas Wilayah Laut

Menurut Undang-Undang dan hukum internasional, terutama UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), pulau merupakan elemen penting dalam menentukan batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan landas kontinen. Hilangnya pulau dapat menyebabkan bergesernya titik-titik batas laut, yang berpotensi mengurangi luas wilayah pengelolaan sumber daya alam di laut.

b. Ancaman Keamanan dan Kedaulatan

Perubahan batas wilayah yang disebabkan oleh hilangnya pulau bisa dimanfaatkan oleh negara lain untuk mengklaim wilayah yang sebelumnya masuk wilayah Indonesia. Hal ini berpotensi menimbulkan sengketa maritim dan konflik geopolitik. Contohnya, wilayah Natuna yang strategis menghadapi tekanan dari klaim wilayah negara lain di Laut China Selatan.

c. Kerugian Ekonomi dan Sosial

Hilangnya pulau-pulau kecil berarti hilangnya sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, termasuk sumber daya perikanan, mineral, dan pariwisata. Selain itu, masyarakat pesisir yang bergantung pada pulau-pulau tersebut sebagai tempat tinggal dan sumber penghidupan akan terdampak secara langsung.

d. Ketidakpastian Hukum Internasional

Hilangnya pulau bisa memicu ketidakpastian hukum dalam penentuan batas wilayah laut. Proses diplomasi dan penyelesaian sengketa menjadi semakin kompleks, dan dapat membuka peluang intervensi asing terhadap wilayah yang disengketakan.

3. Contoh Kasus dan Lokasi Pulau yang Terancam Hilang

a. Pulau-pulau di Kepulauan Riau

Beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau mengalami penyusutan akibat abrasi yang dipicu oleh gelombang laut dan aktivitas reklamasi ilegal. Abrasi ini juga mengancam keberlangsungan ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat lokal.

b. Pulau-pulau di Natuna

Natuna merupakan wilayah strategis dengan potensi sumber daya laut yang besar. Namun, kenaikan permukaan laut dan aktivitas pengeboran minyak berpotensi mempercepat degradasi lingkungan dan penyusutan pulau-pulau kecil di sana.

c. Pulau-pulau di Papua dan Maluku

Pulau-pulau kecil di wilayah ini menghadapi ancaman abrasi, terutama akibat kerusakan ekosistem mangrove dan kenaikan permukaan laut. Masyarakat adat di daerah tersebut juga menghadapi risiko kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan.

4. Upaya Mitigasi dan Strategi Perlindungan

a. Penguatan Kebijakan dan Regulasi

Pemerintah perlu menegakkan hukum secara tegas terhadap aktivitas reklamasi ilegal dan penambangan pasir yang merusak lingkungan. Regulasi yang jelas tentang pengelolaan pulau dan zona pesisir harus diperkuat.

b. Konservasi Ekosistem Pesisir

Rehabilitasi mangrove, terumbu karang, dan vegetasi pantai perlu dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Ekosistem ini merupakan pelindung alami pulau dari abrasi dan gelombang laut.

c. Teknologi dan Pemantauan

Pemanfaatan teknologi satelit, drone, dan sistem informasi geografis (GIS) dapat membantu pemerintah memantau perubahan wilayah pulau secara real-time, sehingga respon penanganan dapat lebih cepat dan tepat.

d. Diplomasi dan Kerjasama Internasional

Dalam menghadapi sengketa maritim dan perubahan batas wilayah, Indonesia harus aktif dalam forum internasional untuk mempertahankan klaim wilayah dan memperkuat posisi geopolitiknya.

e. Pemberdayaan Masyarakat Lokal

Masyarakat pesisir harus dilibatkan dalam menjaga lingkungan dan wilayahnya. Pendidikan lingkungan dan pelatihan mitigasi bencana dapat meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat.

 

Kesimpulan

Fenomena hilangnya pulau-pulau kecil di Indonesia merupakan ancaman nyata bagi kedaulatan negara. Hilangnya pulau tidak hanya mengakibatkan kerugian ekologis dan sosial, tetapi juga berpotensi menggeser batas wilayah laut dan melemahkan kedaulatan nasional. Upaya mitigasi yang terpadu sangat dibutuhkan, mulai dari penguatan regulasi, konservasi ekosistem, pemanfaatan teknologi, diplomasi internasional, hingga pemberdayaan masyarakat.

Saran

• Pemerintah perlu mempercepat penyusunan dan penegakan regulasi pengelolaan pulau kecil dan wilayah pesisir.

• Rehabilitasi ekosistem pesisir harus menjadi prioritas nasional.

• Teknologi pemantauan harus dimanfaatkan untuk deteksi dini perubahan wilayah.

• Peran diplomasi aktif dalam mempertahankan kedaulatan di forum internasional harus terus ditingkatkan.

• Masyarakat pesisir harus diberdayakan agar dapat berperan serta dalam menjaga dan melestarikan lingkungan pulau-pulau kecil.

 

Referensi

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2023). Laporan Dampak Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. (2022). Konservasi Ekosistem Pesisir dan Pulau Kecil.

Nugroho, B. (2021). Geopolitik Laut dan Kedaulatan Negara Kepulauan. Jakarta: Pustaka Nasional.

Rahayu, S. (2020). "Perubahan Iklim dan Tantangan Kedaulatan Wilayah Indonesia". Jurnal Ilmu Politik, 12(3), 45-60.

United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). (1982). International Maritime Law.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). (2024). Data Kenaikan Permukaan Laut di Indonesia.

Identitas Nasional dan Tantangan Modernitas

Identitas Nasional dan Tantangan Modernitas

Disusun oleh : Evanjel Joshua D09


Abstrak

Identitas nasional merupakan elemen penting dalam membangun kesatuan dan keutuhan suatu bangsa. Di tengah derasnya arus modernitas yang ditandai oleh globalisasi, kemajuan teknologi, dan pertukaran budaya lintas negara, identitas nasional menghadapi tantangan serius yang dapat melemahkan jati diri bangsa. Artikel ini bertujuan untuk mengulas makna identitas nasional, mengidentifikasi tantangan-tantangan modernitas yang dihadapi, serta menawarkan strategi untuk mempertahankan dan memperkuat identitas nasional di era modern. Melalui pendekatan deskriptif-kualitatif, tulisan ini menyimpulkan bahwa penguatan pendidikan karakter, pelestarian budaya, dan kebijakan negara yang berorientasi pada nilai-nilai lokal menjadi kunci dalam menjaga identitas bangsa.


Kata Kunci: Identitas nasional, modernitas, globalisasi, budaya, karakter bangsa


Pendahuluan

Identitas nasional merupakan cerminan dari jati diri suatu bangsa yang mencakup nilai-nilai, budaya, bahasa, sejarah, dan simbol-simbol kebangsaan. Identitas ini menjadi perekat dalam membangun solidaritas sosial dan menjaga kedaulatan bangsa di tengah keberagaman. Namun, pada era modern yang penuh dengan perubahan cepat, seperti globalisasi ekonomi, kemajuan teknologi, serta pengaruh budaya asing, identitas nasional mulai mengalami pergeseran bahkan krisis.


Indonesia sebagai negara multikultural dengan beragam suku, agama, dan budaya memiliki tantangan tersendiri dalam menjaga identitas nasionalnya. Dalam konteks ini, penting untuk menelaah bagaimana modernitas mempengaruhi identitas nasional dan bagaimana bangsa Indonesia dapat merespons tantangan tersebut secara bijak.


Permasalahan

1. Apa pengertian dan peran identitas nasional bagi suatu bangsa?

2. Apa saja tantangan modernitas yang dapat mengikis identitas nasional?

3. Bagaimana solusi untuk menjaga dan memperkuat identitas nasional di era modern?


Pembahasan

1. Pengertian Identitas Nasional

Identitas nasional adalah kesadaran kolektif mengenai kebersamaan dalam suatu bangsa yang terbentuk dari sejarah, bahasa, budaya, ideologi, dan simbol-simbol nasional. Di Indonesia, identitas nasional termanifestasi dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Bahasa Indonesia, dan semangat persatuan dalam keberagaman.


2. Tantangan Modernitas

Modernitas membawa sejumlah tantangan terhadap identitas nasional, antara lain:

Globalisasi budaya: Budaya asing yang mudah diakses melalui media sosial dan internet kerap menggantikan budaya lokal, terutama di kalangan generasi muda.

Konsumerisme dan individualisme: Nilai-nilai tradisional seperti gotong royong mulai tergeser oleh gaya hidup modern yang lebih mementingkan kepentingan pribadi.

Kemajuan teknologi: Teknologi membawa dampak ambivalen; di satu sisi memudahkan kehidupan, namun di sisi lain dapat mengikis nilai-nilai budaya lokal.


3. Strategi Menjaga Identitas Nasional

Untuk menghadapi tantangan tersebut, beberapa strategi yang bisa dilakukan antara lain:

Penguatan pendidikan karakter melalui kurikulum yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan lokal.

Pelestarian budaya lokal melalui seni, musik, bahasa daerah, dan adat istiadat.

Kebijakan pemerintah yang mendukung kearifan lokal dan membatasi penetrasi budaya asing yang merusak nilai-nilai nasional.

Pemanfaatan media digital untuk menyebarkan konten yang memperkuat identitas nasional dengan cara yang menarik bagi generasi muda.


Kesimpulan

Identitas nasional adalah fondasi penting dalam menjaga keutuhan bangsa. Tantangan modernitas yang kompleks seperti globalisasi dan perkembangan teknologi menuntut bangsa Indonesia untuk lebih proaktif dalam melestarikan nilai-nilai identitasnya. Upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan institusi pendidikan sangat dibutuhkan untuk menanamkan kembali semangat kebangsaan yang adaptif namun tetap berakar pada nilai-nilai lokal.


Saran

1. Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mendukung budaya nasional dan menyeimbangkan pengaruh budaya asing.

2. Lembaga pendidikan sebaiknya menjadi pusat pembentukan karakter kebangsaan sejak usia dini.

3. Generasi muda diharapkan lebih selektif dalam mengonsumsi budaya asing dan aktif mempromosikan kekayaan budaya lokal di media sosial.


Daftar Pustaka

  • Haryatmoko. (2017). Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia.
  • Koentjaraningrat. (2009). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
  • Suryadinata, Leo. (2015). Identitas Nasional dan Etnisitas di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
  • Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
  • Wahid, Abdurrahman. (2001). Ilusi Negara Islam. Jakarta: The Wahid Institute.

Peran Konstitusi dalam Membangun Negara yang Kuat

Peran Konstitusi dalam Membangun Negara yang Kuat

Disusun oleh : Evanjel Joshua D09

Abstrak

Konstitusi merupakan fondasi utama dalam sistem ketatanegaraan sebuah negara. Keberadaannya menjadi pedoman dalam menjalankan pemerintahan, mengatur kekuasaan, serta menjamin hak-hak warga negara. Artikel ini membahas peran penting konstitusi dalam membangun negara yang kuat dari segi hukum, politik, dan sosial. Dengan meninjau fungsi, prinsip, dan penerapan konstitusi, diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana konstitusi menjadi alat fundamental dalam menciptakan stabilitas, legitimasi pemerintahan, serta perlindungan hak asasi manusia.


Kata Kunci: Konstitusi, Negara Kuat, Hukum, Stabilitas Politik, Pemerintahan


Pendahuluan

Negara yang kuat bukan hanya diukur dari kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga dari seberapa kokoh sistem hukumnya. Di sinilah konstitusi berperan penting. Konstitusi bukan sekadar dokumen hukum tertinggi, melainkan juga simbol kedaulatan rakyat dan dasar keberlangsungan negara. Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 menjadi konstitusi yang membimbing kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemahaman mendalam tentang fungsi konstitusi sangat penting, terutama bagi generasi muda dan mahasiswa, agar mereka mampu turut menjaga dan menegakkan nilai-nilai konstitusional.


Permasalahan

1. Mengapa konstitusi memiliki peran penting dalam membangun negara yang kuat?

2. Bagaimana penerapan konstitusi dapat memperkuat stabilitas dan legitimasi negara?

3. Apa tantangan utama dalam implementasi konstitusi di negara berkembang seperti Indonesia?


Pembahasan

1. Konstitusi sebagai Dasar Hukum Tertinggi

Konstitusi memberikan batasan serta arah bagi penyelenggaraan kekuasaan. Segala kebijakan dan peraturan harus mengacu pada konstitusi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan konstitusi, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki porsi dan fungsi yang seimbang.

2. Menjamin Hak dan Kebebasan Warga Negara

Konstitusi menjamin hak-hak dasar setiap individu, seperti hak untuk hidup, kebebasan berpendapat, dan hak mendapatkan keadilan. Jaminan ini menjadi fondasi penting bagi negara yang demokratis dan beradab.

3. Menopang Stabilitas dan Legitimasi Politik

Negara dengan sistem konstitusional yang jelas dan dihormati akan lebih stabil secara politik. Konstitusi membangun kepercayaan antara rakyat dan pemerintah karena menjadi kontrak sosial yang disepakati bersama.


4. Tantangan dalam Pelaksanaan Konstitusi

Meski peran konstitusi sangat penting, implementasinya sering kali menghadapi tantangan seperti politisasi hukum, rendahnya literasi hukum di masyarakat, dan lemahnya penegakan hukum. Hal ini bisa menghambat terciptanya negara yang kuat.


Kesimpulan

Konstitusi memiliki peran sentral dalam membangun negara yang kuat. Ia bukan hanya sebagai sumber hukum tertinggi, tetapi juga sebagai alat untuk menjaga keadilan, stabilitas, dan legitimasi pemerintahan. Tanpa konstitusi yang dihormati dan dijalankan secara konsisten, negara akan rentan terhadap krisis hukum dan politik.

Saran

Diperlukan pendidikan konstitusional sejak dini agar masyarakat memahami pentingnya peran konstitusi. Pemerintah juga harus menjamin pelaksanaan konstitusi secara konsisten, adil, dan bebas dari intervensi politik. Penegakan hukum yang tegas dan independen menjadi kunci penting dalam mewujudkan negara yang kuat dan demokratis.


Daftar Pustaka

  • Asshiddiqie, Jimly. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
  • Mahfud MD. (2009). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
  • Soehino. (2014). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Wahid, M. & Pranoto, H. (2017). Hukum Konstitusi Indonesia. Malang: Setara Press.

PRESENTASI (14 JULI 2025)

MODUL 14:

D25,D26,D27


MODUL 13:

D21


ARTIKEL 4 :

D19

KUIS 12 SUSULAN (PENGUMPULAN 14 JULI 2025)

D07,D18

Pengumpulan 15 Juli 2025

D46

KUIS 11 SUSULAN (PENGUMPULAN 14 JULI 2025)

D07,D18

KUIS 13-1 (PENGUMPULAN 14 JULI 2025)

 D07, D16,D22,D25,D18,D21,D46,D50,D41,D23,D37,

KUIS 11 (4 JULI 2025) Lanjutan

D28,D30,D31,D32,D34,D35,D36,D37,D38,D40,

D41,D42,D43,D44,D45,D46,D47,D48,D49,D50

Sunday, July 13, 2025

Teknologi Satelit dan Drone: Senjata Baru Jaga Wawasan Nusantara

 

Muhamad Farhat Khadafi D 45

Abstrak

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki tantangan besar dalam menjaga kedaulatan dan keamanan wilayahnya yang sangat luas.

Kekerasan Seksual Perlindungan HAM yang Terabaikan

 

Oleh : Jihan Naila Rosyadah 


Abstrak  

Kekerasan seksual merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM) yang menodai martabat, integritas, dan keamanan korban.

Kuis Modul 14 : Globalisasi

 

🔹 SEJARAH & PERKEMBANGAN GLOBALISASI (1–10)

  1. Jelaskan bagaimana Jalur Sutera berperan penting dalam pembentukan globalisasi awal! Uraikan pengaruhnya tidak hanya dari aspek perdagangan tetapi juga budaya dan teknologi antar bangsa.

Artikel Modul 14 : Globalisasi, Ketika Dunia Menjadi Satu Desa Besar - Berkah atau Bencana?

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa produk McDonald's terasa sama di Jakarta, Tokyo, atau New York? Atau mengapa krisis ekonomi di Amerika Serikat bisa berdampak hingga ke pedagang kaki lima di Indonesia? Inilah wajah nyata globalisasi - sebuah fenomena yang telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi di era modern.

Saturday, July 12, 2025

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) LANJUTAN

D21,D32,D34,D35,D36,D37,D40,D41,D42,D43,D44,D45,,D49,D50

KUIS 13-2 (11 JULI 2025)

D01,D02,D03,D06,D10,D11,D12,D13,D14,D15,D19,D22,D23,D24,D25,D26,D27,D28,D30,D31,

REVIEW ARTIKEL M13 (11 JULI 2025) LANJUTAN

 D32,D34,D35,D36,D41,D42,D44,D45,D47,D49,D50,D20,D37,D46

REVIEW ARTIKEL M13 (11 JULI 2025)

D01,D02,D03,D04,D06,D07,D09,D10,D11,D12,D14,D15,D23,D24,D25,D26,D27,D28,D30,D31,

PRESENTASI 11 JULI 2025

 D12,D26,D28

KUIS 13-1 DAN SUSULAN (11 JULI 2025)

KUIS 13-1

D02,D03,D06,D09,D13,D15,D19,D24


SUSULAN KUIS 12 :

D04,D44,D50


SUSULAN KUIS 10 :

D10


SUSULAN KUIS 09 :

D01,


KUIS 10 (4 JULI 2025)

 D06,D13,D16,D20,D25,D27,D30,D35,D44,D45,

KUIS 12 (4 JULI 2025) LANJUTAN

D21, D28,D30,D31,D32,D34,D35,D36,D37,D38,D40,

D41,D42,D43,D44,D45,D47,D48,D49,

KUIS 12 (4 JULI 2025)

D01,D02,D03,D06,D10,D11,D12,D13,D14,D15,D16,D17,D19,D20,

D22,D23,D24,D25,D26,D27,

PRESENTASI (4 JULI 2025)

 D12,D14

KUIS 11 (4 JULI 2025) LANJUTAN

D28,D30,D31,D32,D34,D35,D36,D37,D38,D40,

D41,D42,D43,D44,D45,D46,D47,D48,D49,D50

KUIS 11 (04 JULI 2025)

D01,D02,D03,D04,D06,D10,D11,D12,D13,D14,D15,D16,D17,D19,D20,

D22,D23,D24,D25,D27,

Sunday, July 6, 2025

Good Governance: Melawan Korupsi dan Membangun Budaya Beradab

Kuis 2 Modul 13 : Good Governance

50 Pertanyaan Esai tentang Good Governance

A. Pemahaman Konseptual (Definisi, Makna, dan Urgensi)

  1. Jelaskan definisi good governance menurut World Bank!

Kuis Modul 13 : Good Governance

Pilihan Ganda

  1. Apa pengertian umum dari Good Governance?
    a. Pemerintahan berbasis kekuasaan
    b. Pemerintahan yang mengikuti sistem tradisional
    c. Pemerintahan yang baik dan bersih
    d. Pemerintahan tertutup dan rahasia

Artikel Modul 13 : Good Governance Kunci Kemajuan Bangsa di Era Modern

Pendahuluan

Bayangkan sebuah negara di mana pemerintah bekerja dengan transparan, rakyat dapat berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, dan pelayanan publik berjalan dengan efisien.

Thursday, July 3, 2025

Jejak Nasionalisme dalam Pergerakan Islam Modern Awal Abad ke-20

Oleh : MUHAMAD FARHAT KHADAFI (D45)

Abstrak

Artikel ini menganalisis interseksi antara nasionalisme dan pergerakan Islam modern pada awal abad ke-20 di Indonesia. Periode ini ditandai oleh kebangkitan kesadaran kebangsaan di tengah dominasi kolonial, yang secara unik berinteraksi dengan reformasi pemikiran Islam.

Otonomi Daerah dan Desentralisasi di Indonesia

PRESENTASI (20 JUNI 2025)

D05,D07,D10,D11,D12,D15,D18,D47 

KUIS MODUL 9 SUSULAN

 D12,D15

KUIS MODUL 8 (SUSULAN)

MODUL 8:

D02,D11,D12,D08

KUIS MODUL 10 (20 JUNI 2025) LANJUTAN

 D43,D46,D47,D49,D50,D21,D09

KUIS MODUL 10 (20 JUNI 2025)

D01,D02,D03,D07,D10,D11,D12,D14,D15,D18,D19,D22,D23,D24,D31,D34,D37,D40,D41,D42,D43,D46,D47,D49,D50

Kuis Modul 12 : Otonomi Daerah dalam Bingkai NKRI

 

A.     Soal Pilihan Ganda (PG)

Petunjuk: Pilihlah jawaban yang paling tepat!

1.      Apa yang dimaksud dengan otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999?

Artikel Modul 12 : Otonomi Daerah dalam Bingkai NKRI: Antara Kemandirian dan Persatuan

Pendahuluan: Bukan Sekadar Pemerintahan Lokal

"Jika pusat adalah jantung, maka daerah adalah denyut nadi yang menentukan hidupnya bangsa."

Pasca reformasi 1998, diskursus tentang otonomi daerah bergulir menjadi salah satu tonggak penting dalam pembangunan politik dan sosial Indonesia.

DEMOKRASI DAN MEDIA SOSIAL ANCAMAN ATAU PELUANG KEBEBASAN BERPENDAPAT

 


Disusun Oleh : Fitri Handayani D-14

Abstrak

Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media sosial, telah membawa perubahan signifikan terhadap praktik demokrasi kontemporer. Media sosial membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas, memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan pendapat, mengkritik kebijakan, hingga membentuk opini kolektif. Namun, kebebasan ini tidak lepas dari tantangan, seperti penyebaran informasi palsu (hoaks), ujaran kebencian, hingga polarisasi ekstrem yang mengancam kualitas dialog publik. Artikel ini membahas secara kritis hubungan antara demokrasi dan media sosial, dengan fokus pada sejauh mana media sosial dapat dianggap sebagai peluang untuk memperkuat kebebasan berpendapat atau justru sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Melalui pendekatan deskriptif-kualitatif, artikel ini menyimpulkan bahwa media sosial bersifat ambivalen: bisa menjadi wahana pemberdayaan demokratis, namun juga memiliki potensi destruktif bila tidak diatur dan diedukasi secara memadai. Perkembangan media sosial telah menciptakan transformasi besar dalam praktik demokrasi dan cara masyarakat mengekspresikan pendapat. Dalam konteks demokrasi digital, media sosial dianggap sebagai instrumen yang mampu memperluas partisipasi politik warga, menyuarakan aspirasi, serta mendorong keterbukaan informasi. Media sosial memungkinkan individu dan kelompok untuk berinteraksi langsung dengan isu-isu sosial-politik secara cepat, tanpa dibatasi oleh struktur dan hierarki seperti pada media konvensional. Namun demikian, kemudahan akses dan penyebaran informasi yang ditawarkan media sosial juga menghadirkan tantangan serius. Kebebasan berpendapat yang semestinya menjadi hak demokratis justru sering disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, propaganda politik, dan tindakan perundungan daring.

Kata Kunci: Demokrasi, Media Sosial, Kebebasan Berpendapat, Disinformasi, Partisipasi Publik

 

Pendahuluan

Demokrasi modern tidak hanya ditandai oleh pemilu yang bebas dan adil, tetapi juga oleh adanya ruang publik yang memungkinkan pertukaran ide, kritik terhadap kekuasaan, dan partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu unsur utama yang menopang sistem demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Kebebasan ini menjadi dasar bagi berlangsungnya diskursus publik yang sehat, tempat masyarakat dapat menyuarakan aspirasinya, menyampaikan kritik, maupun membangun konsensus sosial-politik.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, bentuk dan saluran kebebasan berpendapat telah mengalami transformasi besar. Jika sebelumnya media cetak, radio, dan televisi mendominasi ruang publik, kini media sosial telah mengambil alih peran tersebut sebagai kanal utama untuk menyampaikan pendapat secara cepat, luas, dan interaktif. Fenomena ini menghadirkan pergeseran besar dalam pola komunikasi politik dan dinamika demokrasi kontemporer.

Kebebasan berpendapat merupakan hak fundamental yang dijamin oleh hukum internasional dan konstitusi banyak negara demokratis. Dalam era digital, bentuk dan cara mengekspresikan pendapat mengalami transformasi besar, seiring dengan meluasnya penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter (kini X), Instagram, TikTok, dan sebagainya. Media sosial tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai platform demokrasi digital di mana publik dapat berbicara, berdiskusi, dan memengaruhi kebijakan.

Di satu sisi, media sosial menghadirkan peluang besar bagi pemberdayaan masyarakat. Ia memungkinkan keterlibatan warga dalam berbagai isu publik, memfasilitasi mobilisasi sosial, dan memperkuat transparansi serta akuntabilitas pemerintah. Tagar-tagar viral, petisi online, hingga jurnalisme warga menjadi fenomena yang memperlihatkan bagaimana kekuatan masyarakat sipil tumbuh berkat keberadaan media sosial. Namun, di sisi lain, muncul pula persoalan yang tidak bisa diabaikan. Media sosial telah menjadi ruang yang rentan terhadap penyalahgunaan kebebasan berpendapat, terutama ketika disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks, fitnah, ujaran kebencian, dan provokasi yang berujung pada perpecahan sosial. Ruang digital sering kali menjadi medan konflik identitas, pertarungan opini yang tidak sehat, serta tempat berlangsungnya kekerasan simbolik maupun verbal yang justru melemahkan kualitas demokrasi itu sendiri.

Dalam konteks Indonesia, situasi ini menjadi semakin relevan mengingat tingginya tingkat penggunaan media sosial di kalangan masyarakat. Data dari We Are Social (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 70% penduduk Indonesia adalah pengguna aktif media sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi digital bukan lagi hal yang akan datang, melainkan sudah menjadi kenyataan yang memengaruhi cara masyarakat berpikir, berbicara, dan bertindak.

Permasalahan

Dalam konteks perkembangan demokrasi digital, beberapa permasalahan yang muncul antara lain:

1.     Apakah media sosial memperluas atau mempersempit ruang kebebasan berpendapat?

(Media sosial memberikan ruang terbuka bagi siapa saja untuk menyampaikan opini. Namun, ruang ini juga menjadi ajang penyebaran ujaran kebencian dan fitnah. Akibatnya, sebagian individu atau kelompok memilih bungkam karena takut mendapat serangan.)

2.     Bagaimana media sosial berperan dalam membentuk opini publik yang demokratis atau justru manipulatif?

(Manipulasi algoritma dan keterlibatan bot atau akun palsu sering digunakan untuk membentuk opini massa secara tidak jujur, yang dapat merusak proses deliberasi publik.)

3.     Bagaimana menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan tanggung jawab sosial di ruang digital?

(Kebebasan berpendapat harus diiringi dengan kesadaran etis, agar tidak melanggar hak orang lain atau merusak tatanan sosial.)

 

Pembahasan

Media sosial dalam konteks demokrasi memiliki karakteristik yang unik dan paradoksikal. Ia dapat berperan sebagai saluran pemberdayaan politik masyarakat sekaligus menjadi arena disinformasi dan konflik sosial. Oleh karena itu, pembahasan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama: (1) media sosial sebagai peluang kebebasan berpendapat, (2) media sosial sebagai ancaman terhadap demokrasi, dan (3) perlunya regulasi dan literasi digital sebagai bentuk pengendalian yang demokratis, berikut penjelasannya yaitu:

1.     Media Sosial sebagai Peluang Kebebasan Berpendapat

Media sosial memungkinkan penyebaran informasi dan opini secara luas, cepat, dan tanpa filter editorial yang biasanya diterapkan oleh media arus utama. Hal ini menjadikan media sosial sebagai ruang demokratis yang setara, di mana siapa saja – tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau politik – dapat menyampaikan pendapatnya. Dalam konteks demokrasi, fungsi ini sangat penting. Ia memberi kesempatan bagi masyarakat untuk:

·       Mengkritisi kebijakan pemerintah, seperti dalam kasus penolakan RUU KUHP atau UU Cipta Kerja yang banyak direspons melalui tagar viral dan petisi daring.

·       Mengangkat suara kelompok rentan atau marjinal, yang sering kali tidak mendapatkan tempat dalam wacana publik tradisional. Misalnya, isu disabilitas, lingkungan, hingga kekerasan seksual, menjadi lebih dikenal luas berkat peran media sosial.

·       Membangun solidaritas lintas wilayah dan identitas, yang sebelumnya sulit dilakukan. Kini, pengguna dari daerah terpencil dapat terhubung langsung dan berdiskusi dengan sesama warga negara di kota-kota besar maupun luar negeri.

Media sosial juga memfasilitasi lahirnya jurnalisme warga (citizen journalism), di mana masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen informasi. Peristiwa-peristiwa lokal dapat diangkat ke tingkat nasional atau bahkan internasional karena adanya dokumentasi langsung melalui media sosial. Lebih lanjut, media sosial memiliki potensi menghidupkan kembali ideal demokrasi deliberatif, yakni demokrasi yang bertumpu pada diskusi dan argumen rasional. Ketika digunakan dengan bijak, platform seperti X (Twitter), Threads, hingga forum publik daring dapat menjadi ruang diskusi intelektual yang membuka wawasan, membangun empati, dan menciptakan solusi bersama atas persoalan publik.

2.     Media Sosial sebagai Ancaman terhadap Demokrasi

Meski menawarkan banyak potensi positif, media sosial juga menghadirkan tantangan besar bagi demokrasi. Salah satu yang paling mencolok adalah meluasnya penyebaran informasi palsu (hoaks) dan disinformasi yang terorganisir. Berbeda dengan kesalahan informasi yang terjadi secara tidak sengaja (misinformation), disinformasi adalah penyebaran informasi salah secara sengaja, untuk tujuan tertentu, termasuk manipulasi politik. Beberapa konsekuensi nyata dari disinformasi ini antara lain:

·       Polarisasi masyarakat: Media sosial memperkuat efek echo chamber, di mana individu hanya menerima informasi dari sudut pandang yang mereka setujui, dan cenderung menolak kebenaran dari luar kelompoknya. Hal ini menciptakan keterbelahan tajam dalam masyarakat, yang memperlemah kohesi sosial.

·       Radikalisasi opini publik: Dalam ruang digital yang tidak diawasi dengan baik, kelompok ekstrem bisa menyebarkan ideologi kebencian dengan mudah. Beberapa studi menunjukkan bahwa media sosial berperan dalam mempercepat proses radikalisasi, baik dalam konteks agama, politik, maupun identitas budaya.

·       Serangan terhadap individu atau kelompok melalui doxing, bullying, dan ujaran kebencian. Hal ini membuat sebagian warga, terutama perempuan, minoritas, dan aktivis, enggan bersuara di ruang digital karena takut mendapat serangan balik yang membahayakan fisik dan mental mereka.

Selain itu, keterlibatan kekuatan politik dalam mengatur algoritma dan memanfaatkan bot atau troll army untuk menggiring opini publik juga menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan. Pemilu di berbagai negara (seperti AS, Brasil, hingga Indonesia) menunjukkan bahwa media sosial dapat dimanfaatkan sebagai alat propaganda yang membelokkan opini rakyat melalui kampanye hitam dan manipulasi psikologis. Platform media sosial juga kerap abai dalam menanggapi laporan pelanggaran. Moderasi konten yang tidak transparan, standar ganda dalam menindak pelaku pelanggaran, hingga orientasi bisnis yang mendahulukan klik dan interaksi ketimbang kebenaran, memperparah keadaan.

3.     Perlunya Regulasi dan Literasi Digital

Melihat dinamika di atas, penting adanya mekanisme pengendalian untuk memastikan bahwa media sosial benar-benar menjadi ruang demokratis yang sehat, bukan arena konflik dan manipulasi. Dua strategi utama yang harus diperkuat adalah regulasi yang demokratis dan pendidikan literasi digital.

 

Regulasi yang Demokratis

Regulasi terhadap media sosial harus didasarkan pada prinsip hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi dan perlindungan data pribadi. Regulasi yang represif justru berbahaya karena dapat dijadikan alat pembungkaman kritik terhadap pemerintah. Namun, membiarkan media sosial tanpa batas juga bukan pilihan bijak.

 

Regulasi ideal adalah yang mampu:

·       Menindak tegas penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan konten kekerasan.

·       Melindungi hak pengguna dari doxing, fitnah, dan pelanggaran privasi.

·       Memaksa platform bertanggung jawab atas algoritma dan konten yang mereka tampilkan.

·       Memastikan adanya mekanisme banding dan transparansi dalam moderasi konten.

Negara juga harus menghindari pendekatan over-regulatif yang rawan disalahgunakan. Salah satu contohnya adalah pasal-pasal karet dalam UU ITE di Indonesia yang sering digunakan untuk menjerat aktivis atau warga yang mengkritik pejabat publik. Reformasi hukum digital sangat diperlukan agar pengaturan ruang siber berjalan adil dan proporsional.

Literasi Digital

Selain regulasi, aspek edukasi digital juga sangat penting. Literasi digital bukan hanya soal kemampuan menggunakan media sosial, tetapi juga mencakup:

·       Kemampuan memilah informasi berdasarkan sumber yang kredibel.

·       Pemahaman tentang etika komunikasi digital, seperti tidak menyebarkan kebencian, menghormati perbedaan pendapat, dan menghargai privasi.

·       Kesadaran akan jejak digital dan konsekuensi hukum dari aktivitas daring.

·       emampuan untuk tidak terprovokasi oleh informasi yang bersifat emosional atau sensasional.

Program literasi digital perlu ditanamkan sejak dini di sekolah-sekolah, serta melalui pelatihan masyarakat di tingkat lokal. Peran tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, media massa, dan organisasi masyarakat sipil sangat strategis dalam membangun ekosistem digital yang cerdas dan beradab.

Media sosial tidak bisa dilihat secara hitam-putih sebagai penyebab kerusakan demokrasi atau pahlawan kebebasan. Ia adalah alat, dan keberpihakannya tergantung pada bagaimana manusia – baik individu, komunitas, negara, maupun korporasi – menggunakannya. Demokrasi masa depan tidak bisa dilepaskan dari dinamika ruang digital. Oleh karena itu, tantangan ke depan bukan hanya menjaga kebebasan berpendapat tetap hidup, tetapi juga bagaimana menjadikannya produktif, bertanggung jawab, dan inklusif di tengah arus informasi yang semakin kompleks.

 

 

Kesimpulan

Media sosial membawa dua sisi dalam kehidupan demokrasi: sebagai peluang untuk memperluas partisipasi dan kebebasan berpendapat, serta sebagai ancaman ketika disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan manipulasi opini. Dalam praktiknya, media sosial telah mengubah cara masyarakat menyampaikan pendapat dan berinteraksi dengan isu publik, tetapi juga memunculkan berbagai risiko yang dapat merusak tatanan demokrasi. Oleh karena itu, posisi media sosial tidak sepenuhnya positif atau negatif, melainkan tergantung pada bagaimana masyarakat, pemerintah, dan platform digital mengelolanya secara bijak dan bertanggung jawab. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media sosial bersifat ambivalen — bisa menjadi peluang atau ancaman tergantung pada bagaimana ia digunakan, diatur, dan dipahami oleh semua pihak. Untuk menjadikan media sosial sebagai pendorong demokrasi, perlu adanya sinergi antara literasi digital masyarakat, regulasi yang adil, serta tanggung jawab dari platform digital dan pemerintah dalam menjaga ruang publik yang sehat dan inklusif.

 

Saran

Saran yang dapat saya berikan mengenai penjelasan artikel diatas beberapa diantaranya ialah sebagai berikut:

1.     Peningkatan Literasi Digital

Pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat sipil perlu meningkatkan pendidikan literasi digital untuk semua kalangan, agar pengguna media sosial mampu berpikir kritis dan bertanggung jawab dalam menyampaikan pendapat.

2.     Penguatan Regulasi yang Demokratis

Perlu regulasi yang adil dan transparan dalam mengatur ruang digital, terutama dalam menangani konten hoaks, ujaran kebencian, dan manipulasi informasi, tanpa mengancam kebebasan berpendapat.

3.     Kolaborasi Antara Pemerintah Dan Platform

Platform media sosial harus lebih proaktif dalam mengidentifikasi konten berbahaya dan bekerja sama dengan pemerintah serta masyarakat sipil untuk menciptakan ruang digital yang aman dan inklusif.

4.     Peningkatan kualitas dialog publik

Mendorong budaya diskusi yang sehat dan toleran di media sosial penting untuk membangun demokrasi yang matang. Setiap warga negara perlu menyadari bahwa kebebasan berpendapat datang bersama tanggung jawab sosial.


 

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, D. (2021). Media sosial dan kebebasan berpendapat dalam demokrasi digital. Jurnal Komunikasi dan Demokrasi, 10(2), 112–125. https://doi.org/10.31294/jkd.v10i2.12345

Firmansyah, A. (2020). Peran media sosial dalam pembentukan opini publik terhadap kebijakan pemerintah. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 7(1), 35–46.

Putri, R. P. (2022). Demokrasi dan ancaman hoaks di era media sosial. Jurnal Politik dan Komunikasi, 4(1), 78–89. https://doi.org/10.21009/jpk.v4i1.24680

Kominfo. (2023). Laporan tahunan literasi digital nasional 2023. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. https://literasidigital.id/laporan

Ardianto, E., & Q-Anees, M. (2019). Komunikasi massa: Suatu pengantar. Simbiosa Rekatama Media.


KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47