Friday, May 30, 2025

Keterlibatan Perempuan dalam Politik Capaian dan Tantangan Era Modern

 

Mahira Maharani - 44223010041 (D-13)

Keterlibatan Perempuan dalam Politik: Capaian dan Tantangan Era Modern

Abstrak

Keterlibatan perempuan dalam politik merupakan salah satu indikator penting dalam menilai kualitas demokrasi dan pencapaian kesetaraan gender di suatu negara. Meskipun berbagai kebijakan afirmatif telah diterapkan di Indonesia, termasuk kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif, keterlibatan perempuan dalam politik masih menghadapi berbagai hambatan. Artikel ini membahas capaian dan tantangan perempuan dalam politik modern, terutama dalam konteks struktural dan kultural yang masih membatasi partisipasi aktif perempuan. Hambatan struktural seperti dominasi laki-laki dalam partai politik dan keterbatasan akses terhadap sumber daya politik, serta hambatan kultural berupa budaya patriarki dan stereotip gender, menjadi tantangan utama yang belum sepenuhnya teratasi. Di sisi lain, strategi pemberdayaan seperti pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, reformasi partai, serta dukungan media dan masyarakat menunjukkan potensi besar dalam memperkuat peran perempuan. Dengan mengadopsi praktik baik dari negara-negara lain seperti Rwanda dan negara-negara Skandinavia, Indonesia dapat membangun sistem politik yang lebih inklusif dan setara gender. Artikel ini menyimpulkan bahwa peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik tidak hanya membutuhkan kebijakan afirmatif, tetapi juga perubahan sistemik yang melibatkan seluruh elemen bangsa.

Kata kunci: Perempuan, Politik, Kesetaraan Gender, Partisipasi Politik, Budaya Patriarki, Kuota Afirmasi, Demokrasi Inklusif

 

Pendahuluan

Keterlibatan perempuan dalam politik merupakan isu penting yang mencerminkan dinamika sosial, budaya, dan demokrasi suatu bangsa. Dalam sejarah panjang dunia politik yang selama ini didominasi oleh laki-laki, perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang politik tidaklah mudah. Mulai dari hak untuk memilih hingga hak untuk dipilih, perempuan menghadapi berbagai hambatan, baik yang bersifat struktural maupun kultural. Namun, seiring dengan berkembangnya kesadaran global terhadap pentingnya kesetaraan gender dan hak asasi manusia, peran perempuan dalam politik mulai mendapatkan perhatian yang lebih serius dari berbagai pihak.

Di tingkat internasional, berbagai konvensi dan deklarasi telah mengakui pentingnya partisipasi perempuan dalam kehidupan politik dan pengambilan keputusan. Salah satu tonggak penting adalah Beijing Platform for Action tahun 1995, yang menekankan perlunya penghapusan hambatan terhadap partisipasi politik perempuan dan mendorong keterlibatan mereka dalam semua level pemerintahan. Begitu pula dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan kelima (kesetaraan gender) dan tujuan keenam belas (lembaga yang inklusif dan partisipatif), yang menargetkan peningkatan representasi perempuan di lembaga politik dan pemerintahan.

Di Indonesia, isu keterlibatan perempuan dalam politik mulai memperoleh ruang lebih besar setelah era reformasi. Berbagai regulasi dibuat untuk memperkuat posisi perempuan dalam sistem politik, termasuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mewajibkan partai untuk mencantumkan minimal 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif. Meskipun demikian, angka partisipasi perempuan secara nyata di legislatif dan eksekutif masih relatif rendah dibandingkan dengan laki-laki. Ini menunjukkan bahwa kebijakan afirmatif saja belum cukup untuk menghapus hambatan yang dihadapi perempuan.

Selain tantangan struktural seperti dominasi partai politik oleh laki-laki dan keterbatasan sumber daya politik yang dimiliki perempuan, hambatan kultural juga masih sangat kuat. Budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat Indonesia seringkali menempatkan perempuan sebagai pihak yang seharusnya lebih fokus pada ranah domestik daripada publik. Stigma, stereotip, serta minimnya dukungan sosial turut menjadi faktor yang mempersempit ruang gerak perempuan dalam berpolitik.

Oleh karena itu, analisis yang komprehensif terhadap capaian perempuan dalam politik serta tantangan yang mereka hadapi menjadi sangat penting. Dengan pemahaman yang mendalam, berbagai pihak – pemerintah, masyarakat sipil, media, hingga institusi pendidikan – dapat mengambil peran strategis dalam mendorong keterlibatan perempuan secara lebih bermakna dalam politik di era modern ini.

 

Permasalahan

Meskipun keterlibatan perempuan dalam politik telah mengalami peningkatan, baik dari segi kuantitas maupun pengakuan formal melalui kebijakan afirmatif, pada kenyataannya masih banyak hambatan yang menghalangi partisipasi perempuan secara penuh dan bermakna. Salah satu permasalahan utama adalah ketimpangan representasi antara laki-laki dan perempuan di lembaga legislatif maupun eksekutif. Kuota 30% yang telah ditetapkan melalui regulasi politik seringkali hanya dipenuhi secara administratif, tanpa menjamin peran substantif perempuan dalam proses pengambilan keputusan politik.

Selain itu, budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat Indonesia juga menjadi permasalahan serius. Perempuan masih sering dianggap tidak pantas memegang posisi kepemimpinan karena stereotip yang melekat, seperti dianggap terlalu emosional, kurang tegas, atau terlalu terbebani dengan tanggung jawab domestik. Persepsi-persepsi ini menghambat perempuan untuk bersaing secara adil dalam kontestasi politik.

Keterbatasan akses terhadap pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, serta minimnya dukungan jaringan dan sumber daya politik, termasuk pendanaan kampanye, menjadi kendala teknis lainnya yang sering dihadapi perempuan. Tidak sedikit perempuan yang akhirnya hanya dijadikan “pelengkap kuota” oleh partai politik tanpa diberikan ruang yang cukup untuk berkembang atau mengemukakan pendapat.

Dengan demikian, permasalahan keterlibatan perempuan dalam politik bukan hanya soal jumlah, tetapi juga menyangkut kualitas keterlibatan dan akses terhadap struktur kekuasaan politik yang adil dan setara. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mencari solusi yang komprehensif.

 

Pembahasan

A. Peningkatan Keterlibatan Perempuan: Indikator Kemajuan Demokrasi

Keterlibatan perempuan dalam politik seringkali dijadikan tolok ukur penting dalam menilai tingkat demokratisasi suatu negara. Semakin besar partisipasi perempuan, baik sebagai pemilih maupun sebagai aktor politik, semakin inklusif pula sistem politik yang dijalankan. Dalam konteks Indonesia, reformasi politik pasca-1998 membuka peluang lebih besar bagi perempuan untuk terlibat dalam arena politik formal. Salah satu bentuk afirmasi nyata adalah diberlakukannya kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Meski begitu, keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia masih berada di bawah angka ideal. Pada Pemilu 2019, jumlah anggota DPR perempuan tercatat sebanyak 120 orang dari 575 kursi atau sekitar 20,9%. Meskipun meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya, angka ini masih jauh dari target 30% yang dicanangkan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan afirmatif belum sepenuhnya efektif jika tidak diikuti dengan upaya struktural dan kultural yang lebih menyeluruh.


B. Hambatan Struktural: Akses dan Kesempatan yang Tidak Setara

Hambatan terbesar perempuan dalam politik seringkali bersifat struktural. Struktur partai politik di Indonesia masih didominasi oleh laki-laki, baik dalam pengambilan keputusan, strategi pencalonan, maupun pembagian sumber daya. Dalam banyak kasus, partai lebih memilih kandidat laki-laki karena dianggap lebih kompeten dan berpengalaman. Perempuan seringkali tidak mendapatkan posisi strategis dalam partai, sehingga sulit bagi mereka untuk bersaing dalam pemilu.

Selain itu, pendanaan politik juga menjadi hambatan utama. Kampanye politik membutuhkan dana besar, dan perempuan umumnya memiliki akses yang lebih rendah terhadap sumber daya ekonomi dibandingkan laki-laki. Minimnya dukungan finansial menghambat kemampuan perempuan untuk menjalankan kampanye politik yang efektif. Akibatnya, meskipun masuk dalam daftar calon legislatif, banyak perempuan yang gagal memperoleh kursi karena kalah bersaing dari sisi logistik dan promosi.


C. Hambatan Kultural: Budaya Patriarki dan Stereotip Gender

Di luar hambatan struktural, hambatan kultural juga memainkan peran besar dalam membatasi partisipasi politik perempuan. Masyarakat Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkal yang menempatkan perempuan di posisi subordinat. Perempuan dianggap lebih cocok mengurus rumah tangga dan anak, sementara laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan pencari nafkah utama. Pandangan ini menciptakan stigma negatif terhadap perempuan yang terjun ke dunia politik.

Selain itu, perempuan politisi seringkali dihadapkan pada tuntutan ganda. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menjalankan peran domestik sebagai istri dan ibu, namun di sisi lain mereka harus bersaing keras di arena politik yang keras dan kompetitif. Ketidakseimbangan peran ini membuat banyak perempuan enggan atau kesulitan untuk aktif secara penuh dalam politik.

Media massa juga turut memperkuat hambatan kultural ini. Alih-alih menyoroti gagasan dan kebijakan yang diusung, media lebih sering mengangkat aspek personal seperti penampilan, status perkawinan, atau kehidupan rumah tangga perempuan politisi. Hal ini memperkuat stereotip dan mengalihkan perhatian publik dari substansi politik ke hal-hal yang bersifat superfisial.


D. Strategi dan Upaya Mengatasi Tantangan

Mengatasi tantangan-tantangan tersebut memerlukan pendekatan multidimensi yang melibatkan pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, media, dan lembaga pendidikan. Pertama, perlu adanya penguatan terhadap implementasi kebijakan afirmatif. Kuota keterwakilan perempuan tidak boleh hanya menjadi syarat administratif, melainkan harus diterjemahkan dalam bentuk pemberdayaan dan pembinaan politik yang berkelanjutan. Partai politik perlu diberikan insentif untuk benar-benar memfasilitasi kaderisasi dan pelatihan kepemimpinan bagi perempuan.

Kedua, penting untuk memperluas akses pendidikan politik dan pelatihan kepemimpinan perempuan. Banyak perempuan potensial yang belum memiliki pengalaman atau keterampilan politik karena minimnya pelatihan yang tersedia. Lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi perempuan, dan lembaga pendidikan dapat mengambil peran penting dalam menyediakan pelatihan ini secara inklusif dan merata di berbagai daerah.

Ketiga, dukungan sosial dan budaya perlu diperkuat. Masyarakat harus didorong untuk menerima dan mendukung perempuan dalam peran kepemimpinan. Ini bisa dilakukan melalui kampanye kesadaran publik, pendidikan gender di sekolah, serta pelibatan tokoh agama dan adat dalam menyuarakan pentingnya kesetaraan. Peran keluarga juga sangat vital; dukungan dari pasangan dan keluarga besar dapat memberikan kepercayaan diri bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam politik.

Keempat, media massa perlu menjalankan peran edukatif. Alih-alih memperkuat stereotip, media dapat menjadi alat advokasi untuk menyoroti keberhasilan perempuan dalam politik, mengangkat isu-isu yang mereka perjuangkan, dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender dalam kepemimpinan.


E. Belajar dari Praktik Baik Negara Lain

Beberapa negara telah berhasil meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik melalui strategi yang inovatif dan konsisten. Rwanda, misalnya, menjadi negara dengan persentase keterwakilan perempuan tertinggi di parlemen dunia, mencapai lebih dari 60%. Hal ini dicapai melalui sistem kuota yang ketat dan komitmen politik yang kuat terhadap kesetaraan gender. Negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, dan Finlandia juga dikenal memiliki sistem politik yang sangat inklusif terhadap perempuan.

Praktik baik dari negara-negara tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik bukan hanya masalah kuota, melainkan hasil dari perubahan sistemik yang menyeluruh, mulai dari kebijakan publik, struktur partai, sistem pendidikan, hingga budaya masyarakat yang mendukung perempuan sebagai pemimpin.

 

Kesimpulan

Keterlibatan perempuan dalam politik merupakan salah satu indikator utama kemajuan demokrasi dan kesetaraan gender di suatu negara. Di Indonesia, berbagai regulasi dan kebijakan afirmatif seperti kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif telah menunjukkan niat baik negara dalam membuka ruang politik bagi perempuan. Namun, meskipun keterlibatan perempuan dalam politik mengalami peningkatan secara kuantitatif, masih terdapat tantangan besar dari segi kualitas dan substansi keterlibatan tersebut.

Hambatan struktural berupa dominasi laki-laki dalam partai politik dan terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya politik, serta hambatan kultural seperti budaya patriarki, stereotip gender, dan tuntutan ganda peran domestik, masih menjadi penghalang serius bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dan setara dalam dunia politik. Media massa pun turut memperkuat hambatan ini melalui representasi yang kurang adil terhadap politisi perempuan.

Meski demikian, terdapat strategi dan peluang untuk memperkuat peran politik perempuan. Pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, reformasi internal partai, peran media, dan dukungan masyarakat dapat menjadi kunci dalam mendorong keterlibatan perempuan yang lebih bermakna. Belajar dari praktik baik negara lain seperti Rwanda dan negara-negara Skandinavia, Indonesia dapat mencontoh bagaimana perubahan sistemik yang menyeluruh mampu menciptakan ruang politik yang lebih setara dan inklusif bagi perempuan.

 

Saran

Untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam politik secara lebih bermakna, diperlukan komitmen bersama dari pemerintah, partai politik, media, dan masyarakat. Kebijakan afirmatif harus diimplementasikan secara nyata, bukan sekadar formalitas. Partai perlu memberi ruang strategis dan pelatihan bagi kader perempuan, sementara akses terhadap pendidikan politik juga perlu diperluas. Selain itu, perubahan budaya melalui edukasi dan kampanye publik penting untuk menghapus stereotip gender. Media juga diharapkan menyajikan pemberitaan yang adil dan substansial. Dengan dukungan berbagai pihak, keterlibatan perempuan dalam politik dapat meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas.


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47