Mahira Maharani - 44223010041 (D-13)
Keterlibatan
Perempuan dalam Politik: Capaian dan Tantangan Era Modern
Abstrak
Keterlibatan
perempuan dalam politik merupakan salah satu indikator penting dalam menilai
kualitas demokrasi dan pencapaian kesetaraan gender di suatu negara. Meskipun
berbagai kebijakan afirmatif telah diterapkan di Indonesia, termasuk kuota 30%
keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif, keterlibatan perempuan
dalam politik masih menghadapi berbagai hambatan. Artikel ini membahas capaian
dan tantangan perempuan dalam politik modern, terutama dalam konteks struktural
dan kultural yang masih membatasi partisipasi aktif perempuan. Hambatan
struktural seperti dominasi laki-laki dalam partai politik dan keterbatasan
akses terhadap sumber daya politik, serta hambatan kultural berupa budaya
patriarki dan stereotip gender, menjadi tantangan utama yang belum sepenuhnya
teratasi. Di sisi lain, strategi pemberdayaan seperti pendidikan politik,
pelatihan kepemimpinan, reformasi partai, serta dukungan media dan masyarakat
menunjukkan potensi besar dalam memperkuat peran perempuan. Dengan mengadopsi
praktik baik dari negara-negara lain seperti Rwanda dan negara-negara
Skandinavia, Indonesia dapat membangun sistem politik yang lebih inklusif dan
setara gender. Artikel ini menyimpulkan bahwa peningkatan keterlibatan
perempuan dalam politik tidak hanya membutuhkan kebijakan afirmatif, tetapi
juga perubahan sistemik yang melibatkan seluruh elemen bangsa.
Kata
kunci: Perempuan, Politik, Kesetaraan Gender, Partisipasi
Politik, Budaya Patriarki, Kuota Afirmasi, Demokrasi Inklusif
Pendahuluan
Keterlibatan
perempuan dalam politik merupakan isu penting yang mencerminkan dinamika
sosial, budaya, dan demokrasi suatu bangsa. Dalam sejarah panjang dunia politik
yang selama ini didominasi oleh laki-laki, perjuangan perempuan untuk
mendapatkan hak-haknya dalam bidang politik tidaklah mudah. Mulai dari hak
untuk memilih hingga hak untuk dipilih, perempuan menghadapi berbagai hambatan,
baik yang bersifat struktural maupun kultural. Namun, seiring dengan
berkembangnya kesadaran global terhadap pentingnya kesetaraan gender dan hak
asasi manusia, peran perempuan dalam politik mulai mendapatkan perhatian yang
lebih serius dari berbagai pihak.
Di
tingkat internasional, berbagai konvensi dan deklarasi telah mengakui
pentingnya partisipasi perempuan dalam kehidupan politik dan pengambilan
keputusan. Salah satu tonggak penting adalah Beijing Platform for Action tahun
1995, yang menekankan perlunya penghapusan hambatan terhadap partisipasi
politik perempuan dan mendorong keterlibatan mereka dalam semua level
pemerintahan. Begitu pula dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),
khususnya tujuan kelima (kesetaraan gender) dan tujuan keenam belas (lembaga
yang inklusif dan partisipatif), yang menargetkan peningkatan representasi
perempuan di lembaga politik dan pemerintahan.
Di
Indonesia, isu keterlibatan perempuan dalam politik mulai memperoleh ruang
lebih besar setelah era reformasi. Berbagai regulasi dibuat untuk memperkuat
posisi perempuan dalam sistem politik, termasuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik yang mewajibkan partai untuk mencantumkan minimal
30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif. Meskipun demikian,
angka partisipasi perempuan secara nyata di legislatif dan eksekutif masih
relatif rendah dibandingkan dengan laki-laki. Ini menunjukkan bahwa kebijakan
afirmatif saja belum cukup untuk menghapus hambatan yang dihadapi perempuan.
Selain
tantangan struktural seperti dominasi partai politik oleh laki-laki dan
keterbatasan sumber daya politik yang dimiliki perempuan, hambatan kultural
juga masih sangat kuat. Budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat
Indonesia seringkali menempatkan perempuan sebagai pihak yang seharusnya lebih
fokus pada ranah domestik daripada publik. Stigma, stereotip, serta minimnya
dukungan sosial turut menjadi faktor yang mempersempit ruang gerak perempuan
dalam berpolitik.
Oleh
karena itu, analisis yang komprehensif terhadap capaian perempuan dalam politik
serta tantangan yang mereka hadapi menjadi sangat penting. Dengan pemahaman
yang mendalam, berbagai pihak – pemerintah, masyarakat sipil, media, hingga
institusi pendidikan – dapat mengambil peran strategis dalam mendorong
keterlibatan perempuan secara lebih bermakna dalam politik di era modern ini.
Permasalahan
Meskipun
keterlibatan perempuan dalam politik telah mengalami peningkatan, baik dari
segi kuantitas maupun pengakuan formal melalui kebijakan afirmatif, pada
kenyataannya masih banyak hambatan yang menghalangi partisipasi perempuan
secara penuh dan bermakna. Salah satu permasalahan utama adalah ketimpangan
representasi antara laki-laki dan perempuan di lembaga legislatif maupun
eksekutif. Kuota 30% yang telah ditetapkan melalui regulasi politik seringkali
hanya dipenuhi secara administratif, tanpa menjamin peran substantif perempuan
dalam proses pengambilan keputusan politik.
Selain
itu, budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat Indonesia juga
menjadi permasalahan serius. Perempuan masih sering dianggap tidak pantas
memegang posisi kepemimpinan karena stereotip yang melekat, seperti dianggap
terlalu emosional, kurang tegas, atau terlalu terbebani dengan tanggung jawab
domestik. Persepsi-persepsi ini menghambat perempuan untuk bersaing secara adil
dalam kontestasi politik.
Keterbatasan
akses terhadap pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, serta minimnya
dukungan jaringan dan sumber daya politik, termasuk pendanaan kampanye, menjadi
kendala teknis lainnya yang sering dihadapi perempuan. Tidak sedikit perempuan
yang akhirnya hanya dijadikan “pelengkap kuota” oleh partai politik tanpa
diberikan ruang yang cukup untuk berkembang atau mengemukakan pendapat.
Dengan
demikian, permasalahan keterlibatan perempuan dalam politik bukan hanya soal
jumlah, tetapi juga menyangkut kualitas keterlibatan dan akses terhadap
struktur kekuasaan politik yang adil dan setara. Hal ini perlu dikaji lebih
lanjut untuk mencari solusi yang komprehensif.
Pembahasan
A.
Peningkatan Keterlibatan Perempuan: Indikator Kemajuan Demokrasi
Keterlibatan
perempuan dalam politik seringkali dijadikan tolok ukur penting dalam menilai
tingkat demokratisasi suatu negara. Semakin besar partisipasi perempuan, baik
sebagai pemilih maupun sebagai aktor politik, semakin inklusif pula sistem
politik yang dijalankan. Dalam konteks Indonesia, reformasi politik pasca-1998
membuka peluang lebih besar bagi perempuan untuk terlibat dalam arena politik
formal. Salah satu bentuk afirmasi nyata adalah diberlakukannya kuota 30%
keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik serta Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Meski
begitu, keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia masih berada di bawah
angka ideal. Pada Pemilu 2019, jumlah anggota DPR perempuan tercatat sebanyak
120 orang dari 575 kursi atau sekitar 20,9%. Meskipun meningkat dibandingkan
pemilu sebelumnya, angka ini masih jauh dari target 30% yang dicanangkan. Hal
ini menunjukkan bahwa kebijakan afirmatif belum sepenuhnya efektif jika tidak
diikuti dengan upaya struktural dan kultural yang lebih menyeluruh.
B.
Hambatan Struktural: Akses dan Kesempatan yang Tidak Setara
Hambatan
terbesar perempuan dalam politik seringkali bersifat struktural. Struktur
partai politik di Indonesia masih didominasi oleh laki-laki, baik dalam
pengambilan keputusan, strategi pencalonan, maupun pembagian sumber daya. Dalam
banyak kasus, partai lebih memilih kandidat laki-laki karena dianggap lebih
kompeten dan berpengalaman. Perempuan seringkali tidak mendapatkan posisi
strategis dalam partai, sehingga sulit bagi mereka untuk bersaing dalam pemilu.
Selain
itu, pendanaan politik juga menjadi hambatan utama. Kampanye politik
membutuhkan dana besar, dan perempuan umumnya memiliki akses yang lebih rendah
terhadap sumber daya ekonomi dibandingkan laki-laki. Minimnya dukungan
finansial menghambat kemampuan perempuan untuk menjalankan kampanye politik
yang efektif. Akibatnya, meskipun masuk dalam daftar calon legislatif, banyak
perempuan yang gagal memperoleh kursi karena kalah bersaing dari sisi logistik
dan promosi.
C.
Hambatan Kultural: Budaya Patriarki dan Stereotip Gender
Di
luar hambatan struktural, hambatan kultural juga memainkan peran besar dalam
membatasi partisipasi politik perempuan. Masyarakat Indonesia masih sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkal yang menempatkan perempuan di posisi
subordinat. Perempuan dianggap lebih cocok mengurus rumah tangga dan anak,
sementara laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan pencari nafkah utama.
Pandangan ini menciptakan stigma negatif terhadap perempuan yang terjun ke
dunia politik.
Selain
itu, perempuan politisi seringkali dihadapkan pada tuntutan ganda. Di satu
sisi, mereka dituntut untuk menjalankan peran domestik sebagai istri dan ibu,
namun di sisi lain mereka harus bersaing keras di arena politik yang keras dan
kompetitif. Ketidakseimbangan peran ini membuat banyak perempuan enggan atau
kesulitan untuk aktif secara penuh dalam politik.
Media
massa juga turut memperkuat hambatan kultural ini. Alih-alih menyoroti gagasan
dan kebijakan yang diusung, media lebih sering mengangkat aspek personal
seperti penampilan, status perkawinan, atau kehidupan rumah tangga perempuan
politisi. Hal ini memperkuat stereotip dan mengalihkan perhatian publik dari
substansi politik ke hal-hal yang bersifat superfisial.
D.
Strategi dan Upaya Mengatasi Tantangan
Mengatasi
tantangan-tantangan tersebut memerlukan pendekatan multidimensi yang melibatkan
pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, media, dan lembaga pendidikan.
Pertama, perlu adanya penguatan terhadap implementasi kebijakan afirmatif.
Kuota keterwakilan perempuan tidak boleh hanya menjadi syarat administratif,
melainkan harus diterjemahkan dalam bentuk pemberdayaan dan pembinaan politik
yang berkelanjutan. Partai politik perlu diberikan insentif untuk benar-benar
memfasilitasi kaderisasi dan pelatihan kepemimpinan bagi perempuan.
Kedua,
penting untuk memperluas akses pendidikan politik dan pelatihan kepemimpinan
perempuan. Banyak perempuan potensial yang belum memiliki pengalaman atau
keterampilan politik karena minimnya pelatihan yang tersedia. Lembaga swadaya
masyarakat (LSM), organisasi perempuan, dan lembaga pendidikan dapat mengambil
peran penting dalam menyediakan pelatihan ini secara inklusif dan merata di
berbagai daerah.
Ketiga,
dukungan sosial dan budaya perlu diperkuat. Masyarakat harus didorong untuk
menerima dan mendukung perempuan dalam peran kepemimpinan. Ini bisa dilakukan
melalui kampanye kesadaran publik, pendidikan gender di sekolah, serta
pelibatan tokoh agama dan adat dalam menyuarakan pentingnya kesetaraan. Peran
keluarga juga sangat vital; dukungan dari pasangan dan keluarga besar dapat
memberikan kepercayaan diri bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam politik.
Keempat,
media massa perlu menjalankan peran edukatif. Alih-alih memperkuat stereotip,
media dapat menjadi alat advokasi untuk menyoroti keberhasilan perempuan dalam
politik, mengangkat isu-isu yang mereka perjuangkan, dan mengedukasi masyarakat
tentang pentingnya kesetaraan gender dalam kepemimpinan.
E.
Belajar dari Praktik Baik Negara Lain
Beberapa
negara telah berhasil meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik melalui
strategi yang inovatif dan konsisten. Rwanda, misalnya, menjadi negara dengan
persentase keterwakilan perempuan tertinggi di parlemen dunia, mencapai lebih
dari 60%. Hal ini dicapai melalui sistem kuota yang ketat dan komitmen politik
yang kuat terhadap kesetaraan gender. Negara-negara Skandinavia seperti Swedia,
Norwegia, dan Finlandia juga dikenal memiliki sistem politik yang sangat
inklusif terhadap perempuan.
Praktik
baik dari negara-negara tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam
politik bukan hanya masalah kuota, melainkan hasil dari perubahan sistemik yang
menyeluruh, mulai dari kebijakan publik, struktur partai, sistem pendidikan,
hingga budaya masyarakat yang mendukung perempuan sebagai pemimpin.
Kesimpulan
Keterlibatan
perempuan dalam politik merupakan salah satu indikator utama kemajuan demokrasi
dan kesetaraan gender di suatu negara. Di Indonesia, berbagai regulasi dan
kebijakan afirmatif seperti kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon
legislatif telah menunjukkan niat baik negara dalam membuka ruang politik bagi
perempuan. Namun, meskipun keterlibatan perempuan dalam politik mengalami
peningkatan secara kuantitatif, masih terdapat tantangan besar dari segi
kualitas dan substansi keterlibatan tersebut.
Hambatan
struktural berupa dominasi laki-laki dalam partai politik dan terbatasnya akses
perempuan terhadap sumber daya politik, serta hambatan kultural seperti budaya
patriarki, stereotip gender, dan tuntutan ganda peran domestik, masih menjadi
penghalang serius bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dan setara dalam
dunia politik. Media massa pun turut memperkuat hambatan ini melalui
representasi yang kurang adil terhadap politisi perempuan.
Meski
demikian, terdapat strategi dan peluang untuk memperkuat peran politik
perempuan. Pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, reformasi internal
partai, peran media, dan dukungan masyarakat dapat menjadi kunci dalam
mendorong keterlibatan perempuan yang lebih bermakna. Belajar dari praktik baik
negara lain seperti Rwanda dan negara-negara Skandinavia, Indonesia dapat
mencontoh bagaimana perubahan sistemik yang menyeluruh mampu menciptakan ruang
politik yang lebih setara dan inklusif bagi perempuan.
Saran
Untuk
mendorong keterlibatan perempuan dalam politik secara lebih bermakna,
diperlukan komitmen bersama dari pemerintah, partai politik, media, dan
masyarakat. Kebijakan afirmatif harus diimplementasikan secara nyata, bukan
sekadar formalitas. Partai perlu memberi ruang strategis dan pelatihan bagi
kader perempuan, sementara akses terhadap pendidikan politik juga perlu
diperluas. Selain itu, perubahan budaya melalui edukasi dan kampanye publik
penting untuk menghapus stereotip gender. Media juga diharapkan menyajikan
pemberitaan yang adil dan substansial. Dengan dukungan berbagai pihak,
keterlibatan perempuan dalam politik dapat meningkat baik secara kuantitas
maupun kualitas.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.