Friday, May 30, 2025

Hak Memprotes vs Kewajiban Patuh Hukum Di Mana Batasnya

 Hak Memprotes vs Kewajiban Patuh Hukum Di Mana Batasnya


Oleh: Dea Trihapsari (D15)

Abstrak

Ketegangan antara hak untuk memprotes dan kewajiban untuk patuh terhadap hukum merupakan isu mendasar dalam negara hukum yang demokratis. Di satu sisi kebebasan berpendapat termasuk melalui aksi protes merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrument hukum internasional. Di sisi lain ketaatan terhadap hukum dibutuhkan untuk menjaga ketertiban umum dan stabilitas sosial. Artikel ini bertujuan untuk menkaji batas antara pelaksanaan kebebasan berpendapat dengan kewajiban hukum warga negara. Penelitian menunjukkan bahwa kebebasan berekspersi tidak bersifat absolut dan harus dijalankan dalam kerangka hukum yang berlaku. Oleh karena itu penting untuk membangun keseimbangan antara perlindungan hak asasi manusia dan penegakan hukum.

Kata kunci: Hak memprotes, Kewajiban hukum, Kebebasan berpendapat, Negara hukum, Batasan konstitusional.

Pendahuluan

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi yang diakui secara universal. Pengakuan terhadap hak ini telah dimasukkan dalam berbagai instrument hukum internasional. Termasuk deklarasi universal hak asasi manusia dan kovenan internasiona, tentang hak-hak sipil dan politik. Di Indonesia kebebasam berpendapat juga ditegaskan dalam konstitusi negara, khusunya dalam pasal 28 E ayat (3) undang-undang dasar negara republic Indonesia tahun 1945.

Konsep kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia yang universal menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak yang inheren untuk menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan tanpa takut akan penyesoran atau pembalasan. Ini adalah bagian integral dari hak-hak yang dimiliki oleh setiap individu sebaga manusia. Pengakuan atas kebebasan berpendpaat dalam instrument hukum internasional menunjukkan komitmen global untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai demokrasi, kebebasan berekspersi, dan pluralisme dalam masyarakat.

Negara hukum adalah suatu konsep dimana penyelenggaraan kekuasaan pemerintah didasarkan pada hukum yang berlaku bukan atas kehendak pribadi atau kekuasaan semata. Dalam negara hukum kepatuhan terhadap hukum merupakan suatu keharusan bagi setiap warga megara maupun apparat pemerintah. Ini berarti bahwa segala tindakan harus berlandaskan hukan dam tidak boleh bertentangan dengan norma-norma hukum yang telah ditetapkan. Kepatuhan ini mencerminkan adanya kesadaran hukum serta penghormatan terhadap supremasi hukum sehingga tercipta keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tanpa kepatuhan terhadap hukum prinsip negara hukum tidak akan berjalan dengan efektif dan dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan.

Ketegangan sering kali muncul ketika suatu protes dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum karena situasi ini menempatkan kebebasan berekspresi berhdapan langsung dengan kewajiban negara untuk menjaga keamanan dan keteraturan sosial. Di satu sisi demonstrasi dan merupakan hak yang dijamin oleh hukum. Namun ketikam protes dilakukan dengan cara yang mengganggu aktivitas public, merusak fasilitas umm, atau menimbulkan ancaman terhadap keselamtan apparat penegak hukum merasa perlu untuk mengambil tindakan demi menjaga stabilitas. Ketegangan ini menjadi semakin kompleks apabila tindakan aparay dianggap represif atau tidak proporsional sehingga menimbulkan konflik antara warga dan negara, Oleh hak asasi manusia agar protes dapat berlangsung secara damai tanpa mengorbankan ketertiban umum.

Permasalahan

Hak memprotes merupakan bagian daru kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi banyak negara termasuk Indonesia melalui pasal 28E UUD 1945. Hak ini memberikan warga negara kesempatan untuk menyampaikan aspirasi kritik atau ketidakpuasan terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah secara damai. Namun, konstitusi dan hukum positif juga menetapkan Batasan atas pelaksanaan hak ini untuk menjaga ketertiban umum, kemanan nasional serta hak-hak lain. Oleh karena itu meskipun protes adalah hak konstitusional pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku seperti pemberitahuan kepada pihak yang berwenang dan tidak mengganggu ketertiban umum.

Kewajiban untuk patuh terhadap hukum diberlakukan sebagai landasan agar kebebasan berpendapat tidak menimbulkan kekacauan sosial. Dalam konteks ini warga negara tetap bebas mengutarakan pendapatnya namun harus melakukannya dengan cara yang sah tidak menghasut kebencian, tidak melakukan kekerasan, dan tidak melanggar hak-hak pihak lain. Batas antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran hukum terletak pada niat, isi, dampak dari ekspresi tersebut. Jika ekspresi menimbulkan kekerasa, menyebarkan kebencian, atau merusak fasilitas umum. Maka hal tersebut bukan lagi bagian dari kebebasan yang dilindungi hukum melainkan bentuk pelanggaran yang dapat dikenai sanksi.

Pembahasan

Kebebasan berpendapat adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencian. Dapat diidentikan dengan istilah kebebasan berekspresi yang terkadang digunakan untuk menunjukan bukan hanya kebebasan berbicara secara lisan akan tetapi pada tindakan pencarian, penerimaan dan bagian dari informasi atau ide apapun yang sedang dipergunakan.

Norma hukum di Indonesia mengakui dan menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dalam UUD 1945 tercantum bahwa setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat termasuk hak untuk mencari informasi, menerima, dan menyebarkan Informasi tersebut dalam berbagai bentuk serat seluran yang tersedia. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” Pada ayat (3) dijelaskan: “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kebebasan berekspresi sebagai hal yang dilindunhi konstitusi maupun dilindungi dalam peraturan perundang-undangan, antara lain:

1.     Undang-undang No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

a.     Pasal 1 ayat (1)

b.     Pasal 2 ayat (1)

c.     Pasal 5

2.     Dalam undang-undang n0 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia

a.     Pasal 23 ayat (2)

3.     Perjanjian antar bangsa mengenai hak-hak sipil dan politik (International covenant on civil and political right/ICCPR) telah diratifikasi Indonesia yakni berlakunya UU No.12 Tahun 2005 pasal 19 ayat (2).

Dengan dijaminnya kebebasan berekspresi dan berpendapat oleh peraturan dan konstitusi tidak serta merta menjadikan masyarakat untuk berkspresi dan berpendapat secara sembarangan.

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang dasar negara republic Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pernyataan ini menegaskan bahwa Indonesia menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai landasan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam negara hukum setiap warga negara termasuk pemerintah wajib mematuhi hukum yang berlaku tanpa terkecuali. Kewajiban patuh hukum ini mencerminkan prinsip keadilan, kesetaraan di hadapan hukum serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Negara hukum juga menghendaki adanya kepastian hukum penegakan hukum yang adil dan lembaga peradialn yang independent. Oleh karena itu sebagai warga negara Indonesia setiap individu memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menaati peraturan perundang-undangan sebagai wujud partisipasi dalam menjaga ketertiban dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kepatuhan terhadap undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan bentuk penghormatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Undang-undang ini memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas baik melalui unjuk rasa. Demonstrasi, pawai maupun mimbar bebas. Sepanjang dilakukan secara tertib, damai, dan tidak melanggar hukum. Kepatuhan terhadap regulasi ini mencakup pelaporan kepada apparat kepolisian sebelum pelaksanaan kegiatan menjaga ketertiban umum serta tidak mengganggu hak orang lain. Dengan menaati ketentuan dalam UU ini masyarakat dapat mengkespresikan aspirasi secara konstruktif tanpa menimbulkan gangguan sosial sehingga tercipta keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan ketertiban umum. Pemerintah dan apparat penegak hukum juga wajib menjamin perlindungan terdahap hak ini selama dilakukan sesuai prosedur dan norma hukum yang berlaku.

Secara konsepsional, setiap orang sejak sebelum kelahirannya memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia.  Kewajiban kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kewajiban untuk menghormati hak-hak orang lain tersebut mengandung arti bahwa setiap warga negara Indonesia dalam melaksanakan hak dan kebebasannya harus memperhatikan hak dan kebebasan orang lain. Adalah tidak mungkin setiap hak dapat dilakukan secara bebas, karena apabila hak tersebut dilakukan secara bebas maka akan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dari orang lainnya. Untuk itu, dibutuhkan suatu organisasi kekuasaan untuk melakukan pengaturan terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan tersebut.

Salah satu diskursus pembatasan HAM yang seringkali memunculkan perdebatan dari para kalangan ahli adalah terkait persoalan apakah ketentuan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dapat diberlakukan terhadap semua hak yang diatur dalam UUD 1945, termasuk juga terhadap beberapa yang ditentukan “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945?. Haruslah diakui bahwa UUD 1945 sendiri memang tidak secara tegas menjelaskan korelasi antara Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2), sehingga seringkali menimbulkan polemik baik di kalangan ahli maupun hakim konstitusi dalam mekanisme pengujian undang-undang.

Di antaranya tercermin dari Putusan No. 013/PUU-I/2003 tentang pengujian konstitusionalitas pemberlakuan asas retroaktif terhadap terpidana terorisme. Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan pokok permohonan pemohon dan menyatakan bahwa UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional, sehingga oleh karenanya harus dinyatakan dicabut dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh MK adalah bahwa ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud Pasal 28J ayat (2) dikecualikan terhadap hak-hak yang diatur Pasal 28I ayat (1). Dalam pertimbangannya, Mahkamah mengutip pendapat Maria Farida dalam melakukan penafsiran terhadap korelasi antara Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) sebagai berikut;

“Menimbang bahwa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 itu mengukuhkan peraturan perundang-undang sebelumnya dan menempatkan asas a quo dalam tingkatan perundang-undangan yang tertinggi (hogere optrekking) pada tataran hukum konstitusional. Constitutie is the hoogste wet! Negara tidak dapat menegasikan UUD, karena jika demikian halnya, niscaya konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri (de constitutie snijdt zijn eigen viees). Dengan mengacu pendapat ahli Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H, Maka ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berisi kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan terhadap pasal 28I ayat (1), karena adanya anak kalimat (frasa) “dalam keadaan apapun”.

Berangkat dari argumentasi itulah MK kemudian berpendirian bahwa semua hak dapat dibatasi, kecuali dinyatakan sebaliknya dalam UUD 1945. Konstruksi pendirian tersebut sekilas memang tampak meyakinkan dan paling pas jika menggunakan pendekatan gramatikal bahasa terhadap frasa “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” dalam Pasal 28I ayat (1). Akan tetapi, cukup rentan jika diterapkan pada kasus lain yang sejenis. Misalnya, ketentuan pemberlakuan hukum retroaktif terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

Kesimpulan

Hak memprotes dan kewajiban patuh hukum adalah dua pilar penting dalam negara demokrasi yang sehat. Hak untuk menyampaikan pendapat termasuk melalui protes yang dilindungi oleh konstitusi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Namun hak ini bukan tanpa batas harus dijalankan secara damai dan tidak melanggar hukum atau mengganggu keteriban umum.

Sebaliknya kewajiban untuk mematuhi hukum adalah pondasi ketertiban sosial. Namun, hukum yang tidak adil juga dapat dan seharusnya dipertanyakan melalui saluran demokratis termasuk protes. Batas antara keduanya terletak pada cara protes yang dilakukan dengan cara damai, bertanggung jawab, dan tidak merusak hak orang lain maka protes tetap sah secara moral dan hukum.

Daftar Pustaka

Oktaviani, S. (2024). KONSTITUSI DAN KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA: ANALISIS KETERBATASAN DAN PERLINDUNGAN: Kebebasan Perpendapat di Indonesia. Jurnal

Elfudllatsani, B., & Riwanto, A. (2019). Kajian Mengenai Kebebasan Berkumpul dan Berserikat Pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Melalui Organisasi Kemasyarakatan Kaitannya Dengan Teori Kedaulatan Rakyat dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 7(1), 52-61.

Adyaguhyaka, I. B. G., & Hartantien, S. K. (2022). HAK-HAK MASYARAKAT DALAM MENYAMPAIKAN PENDAPAT DAN BEREKSPRESI DI MUKA UMUM TERLINDUNGI OLEH HUKUM. Judiciary (Jurnal Hukum Dan Keadilan), 58-67.

Sarudi, S. (2021). Indonesia Sebagai Negara Hukum. Widya Sandhi, 12(1), 1-12.

Mujaddidi, S. (2021). Konstitusionalitas pembatasan hak asasi manusia dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 18(3), 539-561.

Hak Memprotes vs Kewajiban Patuh Hukum Di Mana Batasnya

Abstrak

Ketegangan antara hak untuk memprotes dan kewajiban untuk patuh terhadap hukum merupakan isu mendasar dalam negara hukum yang demokratis. Di satu sisi kebebasan berpendapat termasuk melalui aksi protes merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrument hukum internasional. Di sisi lain ketaatan terhadap hukum dibutuhkan untuk menjaga ketertiban umum dan stabilitas sosial. Artikel ini bertujuan untuk menkaji batas antara pelaksanaan kebebasan berpendapat dengan kewajiban hukum warga negara. Penelitian menunjukkan bahwa kebebasan berekspersi tidak bersifat absolut dan harus dijalankan dalam kerangka hukum yang berlaku. Oleh karena itu penting untuk membangun keseimbangan antara perlindungan hak asasi manusia dan penegakan hukum.

Kata kunci: Hak memprotes, Kewajiban hukum, Kebebasan berpendapat, Negara hukum, Batasan konstitusional.

Pendahuluan

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi yang diakui secara universal. Pengakuan terhadap hak ini telah dimasukkan dalam berbagai instrument hukum internasional. Termasuk deklarasi universal hak asasi manusia dan kovenan internasiona, tentang hak-hak sipil dan politik. Di Indonesia kebebasam berpendapat juga ditegaskan dalam konstitusi negara, khusunya dalam pasal 28 E ayat (3) undang-undang dasar negara republic Indonesia tahun 1945.

Konsep kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia yang universal menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak yang inheren untuk menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan tanpa takut akan penyesoran atau pembalasan. Ini adalah bagian integral dari hak-hak yang dimiliki oleh setiap individu sebaga manusia. Pengakuan atas kebebasan berpendpaat dalam instrument hukum internasional menunjukkan komitmen global untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai demokrasi, kebebasan berekspersi, dan pluralisme dalam masyarakat.

Negara hukum adalah suatu konsep dimana penyelenggaraan kekuasaan pemerintah didasarkan pada hukum yang berlaku bukan atas kehendak pribadi atau kekuasaan semata. Dalam negara hukum kepatuhan terhadap hukum merupakan suatu keharusan bagi setiap warga megara maupun apparat pemerintah. Ini berarti bahwa segala tindakan harus berlandaskan hukan dam tidak boleh bertentangan dengan norma-norma hukum yang telah ditetapkan. Kepatuhan ini mencerminkan adanya kesadaran hukum serta penghormatan terhadap supremasi hukum sehingga tercipta keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tanpa kepatuhan terhadap hukum prinsip negara hukum tidak akan berjalan dengan efektif dan dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan.

Ketegangan sering kali muncul ketika suatu protes dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum karena situasi ini menempatkan kebebasan berekspresi berhdapan langsung dengan kewajiban negara untuk menjaga keamanan dan keteraturan sosial. Di satu sisi demonstrasi dan merupakan hak yang dijamin oleh hukum. Namun ketikam protes dilakukan dengan cara yang mengganggu aktivitas public, merusak fasilitas umm, atau menimbulkan ancaman terhadap keselamtan apparat penegak hukum merasa perlu untuk mengambil tindakan demi menjaga stabilitas. Ketegangan ini menjadi semakin kompleks apabila tindakan aparay dianggap represif atau tidak proporsional sehingga menimbulkan konflik antara warga dan negara, Oleh hak asasi manusia agar protes dapat berlangsung secara damai tanpa mengorbankan ketertiban umum.

Permasalahan

Hak memprotes merupakan bagian daru kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi banyak negara termasuk Indonesia melalui pasal 28E UUD 1945. Hak ini memberikan warga negara kesempatan untuk menyampaikan aspirasi kritik atau ketidakpuasan terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah secara damai. Namun, konstitusi dan hukum positif juga menetapkan Batasan atas pelaksanaan hak ini untuk menjaga ketertiban umum, kemanan nasional serta hak-hak lain. Oleh karena itu meskipun protes adalah hak konstitusional pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku seperti pemberitahuan kepada pihak yang berwenang dan tidak mengganggu ketertiban umum.

Kewajiban untuk patuh terhadap hukum diberlakukan sebagai landasan agar kebebasan berpendapat tidak menimbulkan kekacauan sosial. Dalam konteks ini warga negara tetap bebas mengutarakan pendapatnya namun harus melakukannya dengan cara yang sah tidak menghasut kebencian, tidak melakukan kekerasan, dan tidak melanggar hak-hak pihak lain. Batas antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran hukum terletak pada niat, isi, dampak dari ekspresi tersebut. Jika ekspresi menimbulkan kekerasa, menyebarkan kebencian, atau merusak fasilitas umum. Maka hal tersebut bukan lagi bagian dari kebebasan yang dilindungi hukum melainkan bentuk pelanggaran yang dapat dikenai sanksi.

Pembahasan

Kebebasan berpendapat adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencian. Dapat diidentikan dengan istilah kebebasan berekspresi yang terkadang digunakan untuk menunjukan bukan hanya kebebasan berbicara secara lisan akan tetapi pada tindakan pencarian, penerimaan dan bagian dari informasi atau ide apapun yang sedang dipergunakan.

Norma hukum di Indonesia mengakui dan menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dalam UUD 1945 tercantum bahwa setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat termasuk hak untuk mencari informasi, menerima, dan menyebarkan Informasi tersebut dalam berbagai bentuk serat seluran yang tersedia. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” Pada ayat (3) dijelaskan: “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kebebasan berekspresi sebagai hal yang dilindunhi konstitusi maupun dilindungi dalam peraturan perundang-undangan, antara lain:

1.     Undang-undang No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

a.     Pasal 1 ayat (1)

b.     Pasal 2 ayat (1)

c.     Pasal 5

2.     Dalam undang-undang n0 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia

a.     Pasal 23 ayat (2)

3.     Perjanjian antar bangsa mengenai hak-hak sipil dan politik (International covenant on civil and political right/ICCPR) telah diratifikasi Indonesia yakni berlakunya UU No.12 Tahun 2005 pasal 19 ayat (2).

Dengan dijaminnya kebebasan berekspresi dan berpendapat oleh peraturan dan konstitusi tidak serta merta menjadikan masyarakat untuk berkspresi dan berpendapat secara sembarangan.

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang dasar negara republic Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pernyataan ini menegaskan bahwa Indonesia menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai landasan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam negara hukum setiap warga negara termasuk pemerintah wajib mematuhi hukum yang berlaku tanpa terkecuali. Kewajiban patuh hukum ini mencerminkan prinsip keadilan, kesetaraan di hadapan hukum serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Negara hukum juga menghendaki adanya kepastian hukum penegakan hukum yang adil dan lembaga peradialn yang independent. Oleh karena itu sebagai warga negara Indonesia setiap individu memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menaati peraturan perundang-undangan sebagai wujud partisipasi dalam menjaga ketertiban dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kepatuhan terhadap undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan bentuk penghormatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Undang-undang ini memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas baik melalui unjuk rasa. Demonstrasi, pawai maupun mimbar bebas. Sepanjang dilakukan secara tertib, damai, dan tidak melanggar hukum. Kepatuhan terhadap regulasi ini mencakup pelaporan kepada apparat kepolisian sebelum pelaksanaan kegiatan menjaga ketertiban umum serta tidak mengganggu hak orang lain. Dengan menaati ketentuan dalam UU ini masyarakat dapat mengkespresikan aspirasi secara konstruktif tanpa menimbulkan gangguan sosial sehingga tercipta keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan ketertiban umum. Pemerintah dan apparat penegak hukum juga wajib menjamin perlindungan terdahap hak ini selama dilakukan sesuai prosedur dan norma hukum yang berlaku.

Secara konsepsional, setiap orang sejak sebelum kelahirannya memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia.  Kewajiban kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kewajiban untuk menghormati hak-hak orang lain tersebut mengandung arti bahwa setiap warga negara Indonesia dalam melaksanakan hak dan kebebasannya harus memperhatikan hak dan kebebasan orang lain. Adalah tidak mungkin setiap hak dapat dilakukan secara bebas, karena apabila hak tersebut dilakukan secara bebas maka akan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dari orang lainnya. Untuk itu, dibutuhkan suatu organisasi kekuasaan untuk melakukan pengaturan terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan tersebut.

Salah satu diskursus pembatasan HAM yang seringkali memunculkan perdebatan dari para kalangan ahli adalah terkait persoalan apakah ketentuan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dapat diberlakukan terhadap semua hak yang diatur dalam UUD 1945, termasuk juga terhadap beberapa yang ditentukan “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945?. Haruslah diakui bahwa UUD 1945 sendiri memang tidak secara tegas menjelaskan korelasi antara Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2), sehingga seringkali menimbulkan polemik baik di kalangan ahli maupun hakim konstitusi dalam mekanisme pengujian undang-undang.

Di antaranya tercermin dari Putusan No. 013/PUU-I/2003 tentang pengujian konstitusionalitas pemberlakuan asas retroaktif terhadap terpidana terorisme. Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan pokok permohonan pemohon dan menyatakan bahwa UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional, sehingga oleh karenanya harus dinyatakan dicabut dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh MK adalah bahwa ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud Pasal 28J ayat (2) dikecualikan terhadap hak-hak yang diatur Pasal 28I ayat (1). Dalam pertimbangannya, Mahkamah mengutip pendapat Maria Farida dalam melakukan penafsiran terhadap korelasi antara Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) sebagai berikut;

“Menimbang bahwa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 itu mengukuhkan peraturan perundang-undang sebelumnya dan menempatkan asas a quo dalam tingkatan perundang-undangan yang tertinggi (hogere optrekking) pada tataran hukum konstitusional. Constitutie is the hoogste wet! Negara tidak dapat menegasikan UUD, karena jika demikian halnya, niscaya konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri (de constitutie snijdt zijn eigen viees). Dengan mengacu pendapat ahli Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H, Maka ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berisi kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan terhadap pasal 28I ayat (1), karena adanya anak kalimat (frasa) “dalam keadaan apapun”.

Berangkat dari argumentasi itulah MK kemudian berpendirian bahwa semua hak dapat dibatasi, kecuali dinyatakan sebaliknya dalam UUD 1945. Konstruksi pendirian tersebut sekilas memang tampak meyakinkan dan paling pas jika menggunakan pendekatan gramatikal bahasa terhadap frasa “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” dalam Pasal 28I ayat (1). Akan tetapi, cukup rentan jika diterapkan pada kasus lain yang sejenis. Misalnya, ketentuan pemberlakuan hukum retroaktif terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

Kesimpulan

Hak memprotes dan kewajiban patuh hukum adalah dua pilar penting dalam negara demokrasi yang sehat. Hak untuk menyampaikan pendapat termasuk melalui protes yang dilindungi oleh konstitusi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Namun hak ini bukan tanpa batas harus dijalankan secara damai dan tidak melanggar hukum atau mengganggu keteriban umum.

Sebaliknya kewajiban untuk mematuhi hukum adalah pondasi ketertiban sosial. Namun, hukum yang tidak adil juga dapat dan seharusnya dipertanyakan melalui saluran demokratis termasuk protes. Batas antara keduanya terletak pada cara protes yang dilakukan dengan cara damai, bertanggung jawab, dan tidak merusak hak orang lain maka protes tetap sah secara moral dan hukum.

Daftar Pustaka

Oktaviani, S. (2024). KONSTITUSI DAN KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA: ANALISIS KETERBATASAN DAN PERLINDUNGAN: Kebebasan Perpendapat di Indonesia. Jurnal

Elfudllatsani, B., & Riwanto, A. (2019). Kajian Mengenai Kebebasan Berkumpul dan Berserikat Pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Melalui Organisasi Kemasyarakatan Kaitannya Dengan Teori Kedaulatan Rakyat dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 7(1), 52-61.

Adyaguhyaka, I. B. G., & Hartantien, S. K. (2022). HAK-HAK MASYARAKAT DALAM MENYAMPAIKAN PENDAPAT DAN BEREKSPRESI DI MUKA UMUM TERLINDUNGI OLEH HUKUM. Judiciary (Jurnal Hukum Dan Keadilan), 58-67.

Sarudi, S. (2021). Indonesia Sebagai Negara Hukum. Widya Sandhi, 12(1), 1-12.

Mujaddidi, S. (2021). Konstitusionalitas pembatasan hak asasi manusia dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 18(3), 539-561.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47