Nama: Hanifa Taufik Al Jufri (44124010066)
Abstrak
Pemilu 2024 menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pasca reformasi. Indonesia selama dua dekade terakhir kerap dipuji sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dan model demokrasi di Asia Tenggara. Namun, Pemilu 2024 menyajikan tantangan baru: polarisasi politik yang akut, peran masif media sosial yang sarat algoritma, serta praktik politik identitas yang kian menonjol. Tulisan ini menelaah apakah demokrasi Indonesia masih pantas menjadi panutan demokrasi di kawasan Asia Tenggara, dengan menganalisis dinamika politik, keterlibatan warga, serta munculnya strategi kampanye baru berbasis budaya populer seperti fenomena “K-Popfikasi” dalam politik. Melalui pendekatan kualitatif dengan studi pustaka dan studi kasus akun X @aniesbubble, artikel ini menilai demokrasi Indonesia secara kritis dan menawarkan rekomendasi strategis.
Kata Kunci
Demokrasi, Pemilu 2024, Asia Tenggara, media sosial, K-popfikasi, governmentality, partisipasi politik digital.
Pendahuluan
Indonesia sering disebut sebagai “mercusuar demokrasi” di Asia Tenggara. Dengan lebih dari 200 juta pemilih dan praktik pemilu langsung sejak 2004, Indonesia dianggap telah melampaui transisi demokrasi menuju konsolidasi. Namun, dalam perjalanannya, demokrasi Indonesia juga menghadapi tantangan berat: politik uang, korupsi, oligarki, hingga manipulasi opini publik melalui media sosial. Pemilu 2024 menjadi cerminan kompleksitas tersebut, terutama dengan munculnya fenomena baru dalam politik digital seperti K-Popfikasi yang membawa budaya populer ke ranah politik.
Pertanyaannya kini, apakah demokrasi Indonesia tahun 2024 masih layak menjadi panutan di Asia Tenggara? Untuk menjawab ini, artikel ini akan mengulas tantangan, peluang, serta dinamika yang membentuk wajah demokrasi Indonesia kontemporer.
Permasalahan
Beberapa permasalahan utama yang menjadi fokus artikel ini antara lain:
-
Menurunnya kualitas demokrasi substantif di tengah rutinitas demokrasi prosedural.
-
Pengaruh media sosial dan algoritma dalam membentuk opini dan partisipasi publik.
-
Kultur politik baru berbasis fandom seperti K-Popfikasi yang menjadikan demokrasi lebih performatif dan estetis ketimbang substantif.
-
Tantangan terhadap integritas kelembagaan dan potensi penyimpangan kekuasaan yang dapat mencederai demokrasi.
-
Bandingkan posisi demokrasi Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang mengalami regresi demokrasi seperti Myanmar, Thailand, atau Kamboja.
Pembahasan
1. Demokrasi Indonesia dalam Lanskap Asia Tenggara
Secara prosedural, Indonesia masih lebih demokratis dibanding negara tetangga seperti Thailand (di bawah rezim militer), Myanmar (dalam cengkeraman junta), atau Vietnam dan Laos (negara satu partai). Namun, dibanding Filipina dan Malaysia yang mulai mengalami kebangkitan oposisi, demokrasi Indonesia menunjukkan stagnasi bahkan kemunduran kualitas.
Banyak indikator seperti Freedom House, The Economist Intelligence Unit, dan V-Dem Institute menurunkan skor demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena kebebasan sipil yang tereduksi dan politisasi aparat negara.
2. Media Sosial dan Governmentality
Berdasarkan skripsi Nadya Astari Suryacahyani (2025), media sosial tidak hanya menjadi ruang partisipasi politik, tetapi juga alat kontrol baru yang bekerja melalui mekanisme algoritmik. Konsep governmentality dari Foucault menjelaskan bagaimana kekuasaan bekerja secara halus melalui internalisasi nilai dan perilaku yang tampak sukarela.
Akun X @aniesbubble menjadi studi kasus menarik. Kampanye politik melalui budaya fandom K-Pop menampilkan wajah baru partisipasi politik: interaktif, emosional, tetapi juga manipulatif. Warganet merasa aktif berpartisipasi, padahal sebenarnya mereka diatur oleh sistem teknologis dan algoritma yang menyaring informasi secara tidak netral.
3. K-Popfikasi Politik: Partisipasi atau Komodifikasi?
K-Popfikasi dalam politik, sebagaimana dijelaskan dalam skripsi Nadya, mengacu pada adopsi budaya fandom dalam strategi kampanye politik. Ini menciptakan pengalaman politik yang bersifat afektif, estetis, dan menyenangkan bagi anak muda. Namun, partisipasi ini belum tentu berdasar pada kesadaran politik substantif. Ia lebih menekankan kedekatan emosional daripada kebijakan atau program kerja.
Ini menciptakan apa yang disebut sebagai participatory spectacle masyarakat seolah terlibat, namun sebenarnya menjadi objek kampanye yang dikomodifikasi.
4. Tantangan Etika dan Integritas Demokrasi
Dalam buku Bunga Rampai Komisi Yudisial (2023), dijelaskan bahwa krisis integritas lembaga hukum menjadi ancaman besar bagi demokrasi. OTT oleh KPK terhadap hakim dan pejabat tinggi peradilan menunjukkan bahwa demokrasi formal bisa dirusak dari dalam. Integritas aparatur negara menjadi prasyarat utama tegaknya demokrasi.
Tanpa integritas, demokrasi mudah terjerumus dalam korupsi institusional dan delegitimasi publik. Maka dari itu, integritas bukan hanya soal individu, tetapi ekosistem nilai dan struktur pengawasan.
5. Demokrasi Performa vs Demokrasi Substansi
Indonesia tampak semakin terjebak dalam demokrasi performatif di mana pertunjukan lebih penting daripada isi. Kampanye ala influencer, visualisasi tokoh seperti idola K-Pop, dan dominasi wacana politik di media sosial menciptakan ruang partisipasi yang lebih mementingkan "likes" daripada gagasan.
Hal ini memperlemah basis rasional dan ideologis demokrasi, dan memperkuat populisme estetik yang berbahaya dalam jangka panjang. Demokrasi menjadi panggung, bukan forum deliberatif.
Kesimpulan
Indonesia pada 2024 masih unggul secara prosedural dibanding negara Asia Tenggara lainnya. Namun, dari segi kualitas, demokrasi Indonesia menunjukkan gejala penurunan. Fenomena politik digital berbasis algoritma dan budaya populer seperti K-Popfikasi menawarkan peluang sekaligus ancaman.
Media sosial memang membuka ruang ekspresi dan partisipasi, tetapi juga menjadi alat kontrol dan distraksi. Tanpa penguatan integritas lembaga, pendidikan politik warga, dan reformasi struktural, demokrasi Indonesia terancam menjadi demokrasi ilusi tampak bebas, tetapi dikendalikan.
Indonesia bisa tetap menjadi role model demokrasi di Asia Tenggara, tetapi hanya jika demokrasi substantif dikembalikan sebagai ruh utama bukan sekadar prosedur dan pertunjukan.
Saran
-
Pendidikan politik digital harus diperkuat, terutama di kalangan muda, agar partisipasi politik tidak bersifat superfisial.
-
Pengawasan terhadap algoritma media sosial harus ditingkatkan, termasuk transparansi dan regulasi platform digital.
-
Etika dan integritas lembaga demokrasi harus ditegakkan melalui reformasi peradilan dan penguatan lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial.
-
Partai politik dan kandidat harus kembali menekankan narasi program dan ide, bukan sekadar gimmick media sosial.
-
Kolaborasi regional dengan negara Asia Tenggara lain untuk berbagi praktik demokrasi yang sehat dan adaptif.
Daftar Pustaka
-
Suryacahyani, N. A. (2025). Governmentality Partisipasi Politik di Media Sosial: K-Popfikasi Kampanye Anies Baswedan dalam Akun X @aniesbubble. Skripsi, Universitas Islam Indonesia.
-
Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2023). Bunga Rampai: Penegakan dan Penguatan Integritas Peradilan.
-
Barry, A. (2001). Political Machines: Governing a Technological Society. Routledge.
-
Bollmer, G. (2016). Inhuman Networks: Social Media and the Archaeology of Connection. Bloomsbury.
-
Freedom House. (2024). Freedom in the World: Indonesia.
-
V-Dem Institute. (2024). Democracy Report.
-
Putri, D. & Nugroho, A. (2024). "K-Popfikasi dalam Politik: Studi Fenomena Akun @aniesbubble", Briefer.id.
-
Storyteller. (2024). “K-Popfication: When Politics Meets Fandom”, Media Stories Briefer.
No comments:
Post a Comment