Fathurahman (D46)
Abstrak
Artikel ini mengkaji peran fundamental Indische Partij (IP) dalam memperkenalkan gagasan nasionalisme non-rasial di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Dibentuk tahun 1912 oleh Tiga Serangkai (E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat), IP secara radikal menentang diskriminasi rasial kolonial dan menawarkan visi kebangsaan "Indier" yang inklusif bagi semua penduduk yang menganggap Hindia sebagai tanah airnya, tanpa membedakan etnis. Menggunakan metode historis kualitatif, artikel ini menganalisis latar belakang, ideologi, perjuangan, tantangan, dan warisan IP. Meski berumur pendek akibat represi kolonial, gagasan nasionalisme non-rasial IP memberikan kontribusi konseptual krusial bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia dan tetap relevan bagi kemajemukan bangsa.
Kata Kunci: Indische Partij, Nasionalisme Non-Rasial, Tiga Serangkai, Hindia Belanda, Kolonialisme, Pergerakan Nasional.
Pendahuluan
Awal abad ke-20 di Hindia Belanda adalah periode krusial bagi lahirnya kesadaran nasional. Kebijakan Politik Etis, walau bertujuan memperbaiki nasib pribumi, ironisnya melahirkan elite terpelajar yang kritis terhadap kolonialisme. Di tengah segregasi rasial, Indische Partij (IP), didirikan pada 25 Desember 1912, tampil sebagai fenomena unik. IP tidak hanya berani menyerukan kemerdekaan, tetapi juga mengusung nasionalisme non-rasial yang progresif, menantang hierarki rasial kolonial. IP memandang semua penduduk Hindia yang loyal pada tanah air ini sebagai satu bangsa "Indier".
Dipimpin "Tiga Serangkai"—Ernest F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara)—IP memiliki visi masa depan Hindia yang merdeka dan adil. Artikel ini bertujuan menganalisis gagasan nasionalisme non-rasial IP, meliputi latar belakang, pemikiran pendiri, substansi konsep, strategi, tantangan, serta warisannya bagi pergerakan nasional Indonesia.
Permasalahan
Studi ini berupaya menjawab beberapa pertanyaan kunci:
1. Bagaimana kondisi sosial-politik Hindia Belanda, khususnya diskriminasi rasial dan dampak Politik Etis, memicu lahirnya Indische Partij dengan platform nasionalisme non-rasial?
2. Bagaimana IP mendefinisikan dan mengartikulasikan konsep "Indier" sebagai identitas kebangsaan inklusif di tengah dominasi wacana rasial kolonial?
3. Apa peran spesifik masing-masing tokoh Tiga Serangkai dalam merumuskan dan memperjuangkan ideologi IP?
4. Strategi apa yang digunakan IP, dan bagaimana respons represif pemerintah kolonial mengakhiri kiprahnya?
5. Sejauh mana gagasan nasionalisme non-rasial IP memengaruhi pergerakan nasional selanjutnya dan relevansinya kini?
Pembahasan
1. Latar Belakang Sosial-Politik Kemunculan IP
Kemunculan Indische Partij tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sistem kolonial yang diterapkan oleh Belanda secara inheren bersifat diskriminatif dan eksploitatif. Masyarakat Hindia Belanda disegmentasi berdasarkan ras, dengan orang Eropa (totok) menempati posisi puncak, diikuti oleh kelompok Indo-Eropa, kemudian "Timur Asing" (Vreemde Oosterlingen) seperti Tionghoa dan Arab, dan di posisi terbawah adalah kaum pribumi (Inlanders). Diskriminasi ini merasuk ke semua aspek kehidupan, mulai dari hukum, pendidikan, pekerjaan, hingga perlakuan sosial.
Kaum Indo-Eropa, meskipun memiliki darah Eropa, seringkali merasa terpinggirkan. Mereka tidak sepenuhnya diterima oleh golongan Eropa totok, namun juga menjaga jarak dengan kaum pribumi. Banyak di antara mereka yang berpendidikan Barat namun kesulitan mendapatkan posisi setara dengan orang Eropa totok dalam birokrasi kolonial. Kekecewaan inilah yang menjadi salah satu pemicu utama bagi E.F.E. Douwes Dekker, seorang Indo-Eropa, untuk memikirkan sebuah tatanan baru yang lebih adil. Seperti yang diungkapkan oleh Nagazumi (1989), posisi ambigu kaum Indo inilah yang mendorong sebagian dari mereka untuk mencari identitas alternatif di luar kerangka kolonial.
Di sisi lain, Politik Etis yang dicanangkan Ratu Wilhelmina pada tahun 1901, dengan trilogi "Irigasi, Edukasi, Emigrasi," bertujuan memperbaiki kondisi hidup kaum pribumi. Salah satu dampak signifikan dari Politik Etis, khususnya di bidang edukasi, adalah lahirnya sekelompok kecil elite pribumi terpelajar. Mereka mengenyam pendidikan Barat, terpapar ide-ide modern seperti nasionalisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Namun, setelah lulus, mereka juga seringkali menghadapi diskriminasi dalam hal gaji dan jabatan dibandingkan dengan rekan-rekan Eropa mereka. Pengalaman ini menumbuhkan kesadaran kritis terhadap ketidakadilan sistem kolonial. Tokoh-tokoh seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat adalah produk dari sistem pendidikan ini yang kemudian menjadi kritikus vokal terhadap pemerintah kolonial.
Selain itu, perkembangan internasional seperti kemenangan Jepang atas Rusia (1905), kebangkitan nasionalisme di Tiongkok, India, dan Filipina, turut memberikan inspirasi bagi para perintis pergerakan di Hindia Belanda. Kemenangan Jepang, sebuah bangsa Asia, atas kekuatan Eropa, menghancurkan mitos superioritas ras kulit putih dan membangkitkan optimisme akan kemampuan bangsa-bangsa Asia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dalam konteks inilah Indische Partij lahir sebagai respons terhadap ketidakadilan rasial dan sebagai upaya untuk membangun sebuah identitas kebangsaan baru yang melampaui sekat-sekat etnis yang dipaksakan oleh kolonialisme. IP melihat bahwa pembebasan dari kolonialisme hanya dapat dicapai melalui persatuan semua golongan yang tertindas atau merasa Hindia sebagai tanah airnya.
2. Tiga Serangkai dan Visi Nasionalisme Non-Rasial IP
Kekuatan IP terletak pada sinergi Tiga Serangkai:
· E.F.E. Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi): Indo-Eropa, jurnalis, dan konseptor utama ideologi IP. Mengusung "Indisch nationalisme" yang inklusif bagi semua "Indiers" yang menganggap Hindia sebagai tanah air, dengan visi "Hindia untuk Indier" dan kemerdekaan penuh.
· Tjipto Mangoenkoesoemo: Dokter Jawa lulusan STOVIA, kritikus tajam feodalisme dan kolonialisme. Ia menekankan perlunya persatuan luas dan perjuangan politik radikal, serta penghapusan superioritas rasial.
· Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara): Bangsawan Jawa, jurnalis, dan aktivis pendidikan. Terkenal dengan kritik pedasnya "Als ik een Nederlander was." Ia memperkuat dimensi kultural dan pendidikan dalam perjuangan IP.
Ketiganya merumuskan platform politik revolusioner. Visi nasionalisme non-rasial IP bertujuan membangun patriotisme semua "Indiers" terhadap tanah air untuk bekerja sama atas dasar persamaan demi kemajuan dan kemerdekaan. Konsep "Indier" adalah identitas politis-geografis, bukan biologis-etnis, yang menuntut persamaan hak dan kewajiban.
3. Substansi dan Artikulasi Nasionalisme Non-Rasial IP
Nasionalisme non-rasial yang diusung Indische Partij merupakan sebuah terobosan ideologis yang signifikan. Substansinya dapat diuraikan dalam beberapa poin penting:
· Penolakan terhadap Superioritas Ras dan Diskriminasi: Inti dari gagasan IP adalah penolakan tegas terhadap doktrin superioritas ras Eropa yang menjadi landasan legitimasi kekuasaan kolonial. IP memperjuangkan penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan warna kulit, asal-usul, atau agama. Mereka menuntut perlakuan yang sama di depan hukum, dalam pemerintahan, pendidikan, dan kesempatan ekonomi bagi semua penduduk Hindia. Tjipto Mangoenkoesoemo, misalnya, seringkali mengkritik bagaimana dokter pribumi mendapatkan gaji yang jauh lebih rendah dibandingkan dokter Belanda meskipun memiliki kualifikasi yang sama.
· Konsep "Indier" sebagai Identitas Kebangsaan Inklusif: IP memperkenalkan dan mempopulerkan istilah "Indier" sebagai identitas nasional yang baru. "Indier" adalah semua orang yang lahir, tinggal, bekerja, dan setia kepada Hindia sebagai tanah airnya (het vaderland). Ini mencakup pribumi dari berbagai suku bangsa, kaum Indo-Eropa, Tionghoa peranakan, Arab, dan kelompok lain yang bersedia berasimilasi dan berkontribusi bagi kemajuan Hindia. Dengan demikian, IP berusaha menciptakan sebuah "melting pot" di mana loyalitas kepada tanah air Hindia mengalahkan sentimen etnis atau rasial.
· Tujuan Kemerdekaan Hindia ("Indië Los van Holland"): IP adalah organisasi politik pertama yang secara terbuka dan tegas mencantumkan kemerdekaan Hindia dari penjajahan Belanda sebagai tujuan utamanya. Slogan "Indië los van Holland" (Hindia lepas dari Belanda) menjadi seruan yang sangat radikal pada masanya. Kemerdekaan ini dipandang sebagai prasyarat untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan setara bagi semua "Indier".
· Kerja Sama Lintas Etnis: IP mendorong kerja sama dan solidaritas antara berbagai kelompok etnis di Hindia. Mereka menyadari bahwa perpecahan berdasarkan ras adalah strategi kolonial ("divide et impera") untuk melanggengkan kekuasaannya. Hanya dengan bersatu, kaum "Indier" dapat menghadapi kekuatan kolonial.
Artikulasi gagasan ini dilakukan melalui berbagai cara. Surat kabar De Expres, yang dipimpin oleh Douwes Dekker, menjadi corong utama IP. Melalui artikel-artikel tajam, analisis politik, dan propaganda, De Expres menyebarkan ide-ide IP ke khalayak luas, terutama kaum terpelajar di perkotaan. Selain itu, IP juga mengadakan rapat-rapat umum (vergaderingen) di berbagai kota seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan Batavia. Dalam rapat-rapat ini, para pemimpin IP berpidato dengan berapi-api, membangkitkan kesadaran politik dan semangat perlawanan. Anggaran dasar dan program partai juga secara jelas merumuskan prinsip-prinsip nasionalisme non-rasial dan tuntutan kemerdekaan.
Meskipun demikian, upaya IP untuk merangkul semua golongan tidak selalu berjalan mulus. Sebagian kaum Indo-Eropa masih enggan melepaskan privilese mereka dan lebih memilih loyal kepada pemerintah kolonial. Demikian pula, tidak semua kaum pribumi atau Tionghoa langsung menerima gagasan "Indier" karena kuatnya identitas etnis masing-masing dan kecurigaan antar kelompok yang juga diwariskan oleh sistem kolonial.
4. Strategi, Tantangan, dan Represi Pemerintah Kolonial
Untuk mencapai tujuannya, Indische Partij menerapkan beberapa strategi:
· Propaganda dan Jurnalisme: Media massa, terutama surat kabar De Expres, menjadi alat perjuangan utama. Tulisan-tulisan Douwes Dekker, Tjipto, dan Soewardi, serta kontributor lainnya, secara konsisten mengkritik kebijakan kolonial, mengekspos ketidakadilan, dan menyebarkan gagasan nasionalisme "Indier" serta tuntutan kemerdekaan.
· Rapat Umum dan Mobilisasi Massa: IP aktif mengadakan pertemuan publik untuk menyampaikan pidato, berdiskusi, dan merekrut anggota. Mereka berusaha menjangkau berbagai lapisan masyarakat, meskipun basis utamanya tetaplah kaum terpelajar dan mereka yang merasakan langsung diskriminasi rasial.
· Pendidikan Politik: Meskipun tidak secara formal mendirikan sekolah selama masa aktifnya yang singkat, IP berusaha menanamkan kesadaran politik dan nasionalisme melalui ceramah dan tulisan. Semangat ini kemudian dilanjutkan oleh Soewardi Soerjaningrat melalui Taman Siswa.
· Upaya Membangun Koalisi: IP mencoba merangkul berbagai organisasi dan individu dari latar belakang etnis yang berbeda untuk bergabung dalam barisan perjuangan.
Namun, perjuangan IP menghadapi tantangan besar, baik internal maupun eksternal:
· Tantangan Internal:
o Heterogenitas Anggota: Merangkul berbagai kelompok etnis dengan kepentingan yang terkadang berbeda tidaklah mudah. Membangun kepercayaan dan solidaritas yang solid membutuhkan waktu dan upaya ekstra.
o Keterbatasan Sumber Daya: Sebagai partai baru yang non-kooperatif, IP memiliki keterbatasan dana dan infrastruktur organisasi dibandingkan partai atau kelompok yang didukung pemerintah.
· Tantangan Eksternal (Represi Pemerintah Kolonial):
o Pengawasan Ketat: Sejak awal, pemerintah kolonial Hindia Belanda memandang IP sebagai ancaman serius karena radikalismenya dan tuntutan kemerdekaannya. Aktivitas para pemimpinnya diawasi secara ketat oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID), dinas intelijen politik kolonial.
o Penolakan Status Badan Hukum: Permohonan IP untuk mendapatkan status badan hukum (rechtspersoon) ditolak oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan resmi penolakan adalah karena IP dianggap bersifat politik radikal dan dapat mengganggu ketertiban umum. Tanpa status badan hukum, ruang gerak IP menjadi sangat terbatas.
o Penangkapan dan Pengasingan Tiga Serangkai: Puncak represi terjadi setelah publikasi tulisan Soewardi Soerjaningrat, "Als ik een Nederlander was," pada pertengahan 1913. Tulisan ini dianggap sangat menghina Ratu dan pemerintah Belanda. Akibatnya, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (yang juga menulis pembelaan untuk Soewardi) ditangkap. Douwes Dekker, yang membela kedua rekannya melalui De Expres, juga turut ditangkap. Pada Agustus 1913, ketiganya dijatuhi hukuman pengasingan (internering). Awalnya mereka meminta diasingkan ke Belanda, dan permintaan ini dikabulkan. Pengasingan Tiga Serangkai secara efektif memenggal kepemimpinan IP.
o Pembubaran Indische Partij: Dengan diasingkannya para pemimpin kunci dan ditolaknya status badan hukum, Indische Partij secara de facto lumpuh dan akhirnya dinyatakan sebagai organisasi terlarang pada 4 Maret 1913 oleh pemerintah kolonial. Banyak anggotanya kemudian bergabung dengan organisasi lain atau membentuk perkumpulan baru yang kurang radikal seperti Insulinde.
Usia Indische Partij sangat singkat, hanya sekitar satu tahun (Desember 1912 – Maret 1913 secara efektif). Namun, represi yang begitu cepat dan keras dari pemerintah kolonial justru menunjukkan betapa berbahayanya gagasan yang diusung IP bagi kelangsungan sistem penjajahan.
5. Warisan dan Relevansi Gagasan Nasionalisme Non-Rasial
Meskipun Indische Partij sebagai organisasi politik berumur pendek, warisan pemikirannya, terutama gagasan nasionalisme non-rasial, memiliki dampak jangka panjang dan relevansi yang signifikan:
· Peletak Dasar Nasionalisme Inklusif: Konsep "Indier" menawarkan visi kebangsaan melampaui etnis, meletakkan dasar wacana inklusivitas.
· Inspirasi Gerakan Selanjutnya: Keberanian IP dan Tiga Serangkai menginspirasi aktivis pergerakan berikutnya.
· Pengaruh pada Konsep Kewarganegaraan: Semangat inklusivitas IP teresonansi dalam perumusan konsep kewarganegaraan Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
· Relevansi Kontemporer: Gagasan nasionalisme non-rasial IP tetap relevan di tengah tantangan politik identitas dan SARA, mengingatkan pentingnya persatuan berbasis kesetaraan dan cinta tanah air.
· Pendidikan Karakter: Kisah IP mengajarkan keberanian, idealisme, dan pentingnya pemikiran kritis.
Namun, implementasi nasionalisme non-rasial selalu menghadapi tantangan, dan perdebatan tentang identitas nasional terus berlangsung.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
ndische Partij, meskipun hanya berusia sangat singkat dalam panggung sejarah pergerakan nasional Hindia Belanda, menduduki posisi yang unik dan fundamental. Didirikan oleh Tiga Serangkai—E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat—IP menjadi organisasi politik pertama yang secara radikal dan terbuka menyuarakan tuntutan kemerdekaan Hindia dari penjajahan Belanda. Lebih dari itu, kontribusi terpenting IP adalah peletakan dasar gagasan nasionalisme non-rasial. Melalui konsep "Indier," IP menawarkan sebuah visi kebangsaan yang inklusif, merangkul semua individu yang menganggap Hindia sebagai tanah airnya, tanpa memandang asal-usul etnis atau ras.
Gagasan ini merupakan antitesis langsung terhadap sistem kolonial yang bertumpu pada segregasi dan diskriminasi rasial. IP berjuang untuk persamaan hak, penghapusan diskriminasi, dan persatuan seluruh penduduk Hindia untuk mencapai kemerdekaan. Strategi perjuangan melalui media massa seperti De Expres dan rapat-rapat umum berhasil menyebarkan ide-ide progresif ini, meskipun akhirnya harus menghadapi represi keras dari pemerintah kolonial yang berujung pada penolakan status badan hukum, penangkapan, pengasingan Tiga Serangkai, dan pembubaran partai.
Walaupun gagal mencapai tujuan jangka pendeknya, warisan ideologis Indische Partij sangat signifikan. Gagasan nasionalisme non-rasialnya memberikan sumbangsih konseptual bagi perkembangan wacana kebangsaan Indonesia, menginspirasi generasi pejuang kemerdekaan berikutnya, dan tetap relevan dalam upaya membangun Indonesia yang bersatu dalam keragaman. IP menunjukkan bahwa fondasi sebuah bangsa dapat dibangun di atas prinsip kesetaraan dan kecintaan bersama terhadap tanah air, melampaui batas-batas primordial.
Saran
1. Untuk Penelitian Lanjut: Kaji lebih dalam respons berbagai etnis terhadap konsep "Indier," lakukan analisis komparatif dengan nasionalisme gerakan lain, dan teliti dampak pengasingan pada evolusi pemikiran Tiga Serangkai.
2. Untuk Pendidikan Sejarah: Beri porsi proporsional pada IP dalam kurikulum, tekankan inklusivitas dan anti-diskriminasi, serta jadikan kisah Tiga Serangkai teladan karakter bangsa.
3. Untuk Konteks Kebangsaan Kontemporer: Refleksikan dan revitalisasi semangat nasionalisme inklusif IP untuk menghadapi tantangan politik identitas dan diskriminasi, serta tegakkan prinsip non-rasial dalam kebijakan publik.
Memaknai kembali sejarah IP dapat memperkuat fondasi kebangsaan Indonesia yang majemuk dan berkeadilan.
Daftar Pustaka
· Abdullah, Taufik. (1987). Sejarah Lokal di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
· Akira, Nagazumi. (1989). The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of Budi Utomo, 1908-1918. Institute of Developing Economies.
· Ingleson, John. (1979). Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934. Heinemann Educational Books (Asia).
· Kartodirdjo, Sartono. (1993). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2.1 PT Gramedia Pustaka Utama.
No comments:
Post a Comment