Fathurahman (D46)
Abstrak
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki konsep Wawasan Nusantara sebagai cara pandang bangsa mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam1 penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.2 Kearifan lokal masyarakat adat, termasuk Suku Laut di Kepulauan Riau (Kepri), menyimpan nilai-nilai fundamental yang selaras dan bahkan memperkaya Wawasan Nusantara. Suku Laut, dengan sejarah panjang kehidupan nomaden di perairan, telah mengembangkan serangkaian pengetahuan, praktik, dan norma yang memungkinkan mereka bertahan hidup secara harmonis dengan lingkungan laut. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk kearifan lokal Suku Laut di Kepri dan menganalisis relevansinya dalam konteks Wawasan Nusantara. Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur kualitatif dan analisis deskriptif terhadap berbagai sumber data primer dan sekunder. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa kearifan lokal Suku Laut dalam navigasi, pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan, pengetahuan cuaca dan musim, serta hukum adat laut, secara inheren mencerminkan prinsip-prinsip Wawasan Nusantara seperti kesatuan wilayah laut dan darat, pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, dan penguatan identitas maritim bangsa. Meskipun demikian, eksistensi Suku Laut dan kearifan lokalnya menghadapi berbagai tantangan modern seperti marginalisasi, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan upaya revitalisasi, perlindungan, dan pengintegrasian kearifan lokal Suku Laut ke dalam kebijakan pembangunan nasional sebagai bagian dari penguatan Wawasan Nusantara.
Kata Kunci: Kearifan Lokal, Wawasan Nusantara, Suku Laut, Kepulauan Riau, Budaya Maritim
Pendahuluan
Wawasan Nusantara merupakan konsepsi fundamental bagi bangsa Indonesia yang memandang Nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Konsep ini lahir dari pemahaman mendalam akan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbentang luas, dihubungkan oleh lautan yang menjadi urat nadi kehidupan bangsa. Lautan, dalam Wawasan Nusantara, bukanlah pemisah, melainkan pemersatu pulau-pulau dan perekat keberagaman suku bangsa, budaya, dan adat istiadat yang mendiaminya. Implementasi Wawasan Nusantara menuntut pemahaman dan penghargaan terhadap seluruh potensi bangsa, termasuk kearifan lokal yang telah teruji oleh waktu.
Kearifan lokal merujuk pada sekumpulan pengetahuan, nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat secara turun-temurun sebagai hasil dari interaksi panjang dengan lingkungannya. Kearifan ini berfungsi sebagai panduan dalam bertingkah laku, mengelola sumber daya alam, menyelesaikan konflik, dan menjaga keseimbangan ekosistem serta harmoni sosial. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keragaman budaya, kearifan lokal menjadi aset tak ternilai yang dapat berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan penguatan jati diri bangsa.
Salah satu entitas masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal maritim yang kaya adalah Suku Laut (Orang Laut). Mereka tersebar di perairan Kepulauan Riau (Kepri), Bangka Belitung, hingga pesisir Sumatera bagian timur. Kepulauan Riau, sebagai provinsi dengan dominasi wilayah perairan, menjadi rumah bagi komunitas Suku Laut yang kehidupannya sangat bergantung pada laut. Sejak berabad-abad lalu, Suku Laut telah menjelajahi perairan ini, mengembangkan pengetahuan mendalam tentang navigasi tradisional, pola cuaca, ekosistem laut, serta cara-cara pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kisah hidup mereka adalah cerminan nyata dari adaptasi manusia terhadap lingkungan maritim yang keras namun penuh berkah.
Kearifan lokal Suku Laut tidak hanya relevan bagi keberlangsungan hidup komunitas mereka sendiri, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas terhadap pemahaman dan penguatan Wawasan Nusantara. Dengan memahami bagaimana Suku Laut memandang dan berinteraksi dengan laut, kita dapat memperoleh perspektif yang lebih kaya mengenai makna laut sebagai ruang hidup, sumber penghidupan, dan elemen penting dalam kesatuan bangsa. Artikel ini bertujuan untuk menggali lebih dalam bentuk-bentuk kearifan lokal Suku Laut di Kepulauan Riau dan menganalisis bagaimana kearifan tersebut bersinergi dan memperkuat esensi Wawasan Nusantara, sekaligus mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam pelestariannya.
Permasalahan
Meskipun kearifan lokal Suku Laut memiliki nilai strategis dan relevansi dengan Wawasan Nusantara, eksistensinya kini menghadapi berbagai tekanan. Modernisasi, perubahan tata ruang pesisir dan laut, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan oleh pihak luar, serta marginalisasi sosial dan ekonomi telah mengancam keberlanjutan budaya dan pengetahuan tradisional Suku Laut. Pengetahuan ini berisiko hilang seiring dengan perubahan gaya hidup generasi muda Suku Laut dan kurangnya upaya dokumentasi serta transmisi pengetahuan secara sistematis. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah:
1. Bentuk-bentuk kearifan lokal apa saja yang dimiliki oleh Suku Laut di Kepulauan Riau dalam mengelola kehidupan dan lingkungannya, khususnya yang berkaitan dengan aspek maritim?
2. Bagaimana relevansi dan kontribusi kearifan lokal Suku Laut di Kepulauan Riau terhadap penguatan konsep dan implementasi Wawasan Nusantara?
3. Apa saja tantangan utama yang dihadapi Suku Laut dalam mempertahankan kearifan lokalnya di tengah arus perubahan zaman dan modernisasi?
4. Upaya strategis apa yang dapat dilakukan untuk melestarikan, merevitalisasi, dan mengintegrasikan kearifan lokal Suku Laut ke dalam kerangka pembangunan nasional yang berlandaskan Wawasan Nusantara?
Pembahasan
1. Bentuk-Bentuk Kearifan Lokal Suku Laut di Kepulauan Riau
Suku Laut, yang juga dikenal dengan berbagai sebutan seperti Orang Sampan, Orang Mantang, atau Orang Barok, memiliki kekayaan kearifan lokal yang terakumulasi dari pengalaman hidup berabad-abad di atas dan di sekitar laut. Kearifan ini mencakup berbagai aspek:
· Pengetahuan Navigasi Tradisional: Jauh sebelum teknologi GPS dikenal, Suku Laut telah mahir berlayar mengandalkan tanda-tanda alam. Mereka membaca posisi bintang (rasi Orion atau Bintang Tiga, Biduk atau Bintang Tujuh), arah angin (Angin Utara, Angin Selatan, Angin Timur, Angin Barat Laut), pola arus laut, warna air laut, keberadaan jenis ikan tertentu, hingga bentuk awan untuk menentukan arah dan memprediksi cuaca. Pengetahuan ini memungkinkan mereka menjelajahi wilayah perairan yang luas, menemukan jalur pelayaran yang aman, dan menentukan lokasi penangkapan ikan yang potensial. Mereka juga mengenali tanda-tanda alam yang mengindikasikan bahaya, seperti badai atau perairan dangkal.
· Pengelolaan Sumber Daya Laut Berkelanjutan: Suku Laut memiliki etika dan aturan tak tertulis dalam memanfaatkan hasil laut. Mereka umumnya menggunakan alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan seperti pancing, bubu (perangkap ikan), atau tombak, yang bersifat selektif dan tidak merusak habitat. Terdapat pemahaman mengenai musim-musim tertentu untuk menangkap jenis biota laut tertentu, sehingga memberi kesempatan bagi biota tersebut untuk bereproduksi. Misalnya, ada larangan menangkap jenis ikan atau biota laut tertentu yang sedang bertelur atau berukuran kecil. Konsep "lubuk larangan" atau daerah konservasi tradisional juga dikenal di beberapa komunitas, di mana penangkapan ikan di area tersebut dibatasi atau dilarang pada periode tertentu untuk menjaga kelestarian stok ikan.
· Pengetahuan Ekologi Laut dan Cuaca (Ilmu Falak Laut): Mereka memiliki pemahaman mendalam tentang siklus pasang surut, kalender musim berdasarkan pergerakan angin (musim utara yang biasanya ombak besar dan musim selatan yang lebih tenang), serta perilaku berbagai jenis biota laut. Pengetahuan ini penting untuk menentukan waktu terbaik melaut, jenis tangkapan yang bisa diperoleh, dan keamanan pelayaran. Mereka mampu membedakan jenis-jenis terumbu karang, padang lamun, dan hutan bakau sebagai ekosistem penting yang saling terkait.
· Teknologi Pembuatan Perahu dan Peralatan Tradisional: Perahu (sampan atau kajang) adalah rumah sekaligus alat utama Suku Laut. Mereka memiliki keahlian turun-temurun dalam memilih jenis kayu yang tepat, merancang konstruksi perahu yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perairan, serta merawatnya. Selain perahu, mereka juga terampil membuat alat tangkap sendiri dari bahan-bahan alam yang tersedia.
· Hukum Adat dan Sistem Sosial: Meskipun hidup nomaden, Suku Laut memiliki struktur sosial dan hukum adat yang mengatur kehidupan bersama. Ada pemimpin adat (Batin atau * Penghulu*) yang dihormati dan berperan dalam menyelesaikan perselisihan, memimpin ritual adat, dan menjaga norma-norma komunitas. Hukum adat ini seringkali berkaitan dengan pembagian wilayah tangkap, pengelolaan sumber daya bersama, dan sanksi terhadap pelanggaran. Solidaritas dan gotong royong menjadi nilai penting dalam komunitas mereka.
· Pengobatan Tradisional: Suku Laut memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan laut (seperti rumput laut jenis tertentu) dan biota laut lainnya untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini diwariskan secara lisan dan merupakan bagian dari upaya mereka menjaga kesehatan di tengah keterbatasan akses terhadap layanan medis modern.
· Seni dan Tradisi Lisan: Meskipun tidak banyak terdokumentasi, Suku Laut memiliki tradisi lisan berupa cerita rakyat, mitos-mitos tentang laut, dan nyanyian-nyanyian yang mencerminkan pandangan hidup dan hubungan mereka dengan alam semesta. Ritual-ritual adat tertentu, seperti upacara menolak bala di laut atau syukuran atas hasil tangkapan, juga merupakan bagian dari kearifan lokal mereka.
2. Relevansi Kearifan Lokal Suku Laut dengan Wawasan Nusantara
Kearifan lokal Suku Laut memiliki keterkaitan yang erat dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman serta implementasi Wawasan Nusantara:
· Manifestasi Kesatuan Ruang Laut (Laut sebagai Pemersatu): Cara hidup Suku Laut yang menjadikan laut sebagai ruang hidup utama, bukan sebagai pemisah antar daratan, adalah cerminan langsung dari salah satu pilar Wawasan Nusantara. Bagi mereka, selat, teluk, dan gugusan pulau adalah satu kesatuan wilayah jelajah dan penghidupan. Pemahaman mereka atas konektivitas antar wilayah perairan ini memperkuat gagasan bahwa laut adalah jembatan yang menyatukan.
· Implementasi Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Bijaksana dan Berkelanjutan: Prinsip keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya laut yang dipegang teguh oleh Suku Laut sangat sejalan dengan aspek ekonomi dan ekologi dalam Wawasan Nusantara. Pengetahuan mereka tentang musim ikan, daerah pemijahan, dan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan adalah praktik nyata dari pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab, yang bertujuan untuk kesejahteraan jangka panjang, bukan eksploitasi sesaat. Ini relevan dengan upaya Indonesia menjaga kedaulatan pangan dari laut dan kelestarian ekosistem maritimnya.
· Penguatan Identitas Maritim Bangsa: Budaya maritim Suku Laut, dengan segala pengetahuan dan praktiknya, adalah bagian integral dari identitas Indonesia sebagai negara maritim. Mengenali, menghargai, dan melestarikan budaya Suku Laut berarti memperkaya khazanah budaya maritim nasional. Kisah dan kearifan mereka dapat menjadi inspirasi dan materi edukasi untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap laut dan semangat bahari, yang merupakan esensi dari jiwa Wawasan Nusantara.
· Kontribusi terhadap Keamanan dan Kedaulatan Maritim (Aspek Pertahanan Keamanan): Meskipun secara tidak langsung, pengetahuan Suku Laut tentang alur pelayaran tradisional, kondisi oseanografi lokal, dan pengenalan terhadap wilayah perairan Kepulauan Riau dapat menjadi aset informasi yang berguna. Kehadiran mereka di wilayah-wilayah terdepan dan perbatasan secara historis juga turut menjaga eksistensi dan pengawasan informal terhadap perairan tersebut. Pemahaman mereka tentang "batas-batas" wilayah adat laut juga dapat memberikan perspektif dalam pengelolaan wilayah maritim.
· Harmoni Sosial dan Keberagaman Budaya: Sistem sosial dan hukum adat Suku Laut yang menekankan harmoni, gotong royong, dan penyelesaian konflik secara damai mencerminkan aspek sosial budaya Wawasan Nusantara yang menghargai keberagaman dalam bingkai persatuan. Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat seperti Suku Laut adalah wujud nyata dari implementasi Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks maritim.
3. Tantangan dalam Pelestarian Kearifan Lokal Suku Laut
Eksistensi kearifan lokal Suku Laut saat ini tidak lepas dari berbagai tantangan berat:
· Marginalisasi dan Perubahan Sosial-Ekonomi: Banyak komunitas Suku Laut yang terpinggirkan secara sosial, ekonomi, dan politik. Akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur dasar seringkali terbatas. Program-program pembangunan yang tidak partisipatif dan cenderung menyeragamkan (misalnya, program pemukiman kembali di darat tanpa mempertimbangkan budaya laut mereka) dapat merusak tatanan sosial dan basis pengetahuan tradisional mereka. Generasi muda Suku Laut, karena tuntutan ekonomi atau paparan budaya luar, mungkin kurang tertarik untuk mewarisi cara hidup tradisional.
· Degradasi Lingkungan Laut: Pencemaran laut akibat limbah industri dan domestik, kerusakan terumbu karang akibat praktik penangkapan ikan destruktif (bom, potasium), ekspansi perkebunan sawit hingga ke pesisir yang menyebabkan sedimentasi, dan lalu lintas kapal yang padat telah merusak ekosistem laut yang menjadi sandaran hidup Suku Laut. Sumber daya ikan menurun, wilayah tangkap semakin sempit, yang berdampak langsung pada keberlanjutan kearifan mereka.
· Konflik Tata Ruang dan Akses: Kebijakan tata ruang laut dan pesisir seringkali tidak mengakomodasi hak-hak tradisional Suku Laut atas wilayah jelajah dan sumber daya mereka. Tumpang tindih klaim dengan konsesi pertambangan, pariwisata skala besar, atau kawasan industri seringkali menempatkan Suku Laut pada posisi yang lemah.
· Perubahan Iklim: Kenaikan permukaan air laut, perubahan pola cuaca yang semakin ekstrem, dan peningkatan suhu air laut berdampak pada ekosistem laut dan praktik tradisional Suku Laut. Pengetahuan tradisional tentang prediksi cuaca mungkin menjadi kurang relevan karena ketidakpastian iklim yang meningkat.
· Kurangnya Dokumentasi dan Transmisi Pengetahuan: Sebagian besar kearifan lokal Suku Laut diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Kurangnya upaya dokumentasi yang sistematis dan formal, serta terputusnya rantai transmisi pengetahuan kepada generasi muda, menyebabkan risiko hilangnya kearifan ini secara permanen.
· Dominasi Teknologi Modern: Meskipun teknologi modern seperti GPS dan mesin tempel dapat membantu, ketergantungan berlebihan tanpa diimbangi pemeliharaan pengetahuan tradisional dapat mengikis kearifan navigasi dan pemahaman alamiah mereka.
4. Upaya Strategis Pelestarian, Revitalisasi, dan Integrasi Kearifan Lokal Suku Laut
Untuk menjaga agar kearifan lokal Suku Laut tidak punah dan dapat terus berkontribusi pada Wawasan Nusantara, diperlukan langkah-langkah strategis:
· Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat: Pemerintah perlu secara hukum mengakui keberadaan Suku Laut beserta hak-hak tradisional mereka atas wilayah dan sumber daya laut. Ini termasuk hak untuk mengelola wilayah adatnya sesuai dengan kearifan lokal yang mereka miliki, selama tidak bertentangan dengan prinsip konservasi yang lebih luas.
· Pemberdayaan Komunitas Suku Laut: Program pemberdayaan harus dirancang secara partisipatif, dengan melibatkan Suku Laut sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Pemberdayaan ini mencakup peningkatan kapasitas di bidang ekonomi (misalnya, pengembangan produk perikanan bernilai tambah, ekowisata berbasis budaya), pendidikan yang relevan dengan konteks budaya mereka, dan akses terhadap layanan kesehatan.
· Dokumentasi dan Revitalisasi Kearifan Lokal: Perlu dilakukan upaya sistematis untuk mendokumentasikan kearifan lokal Suku Laut dalam berbagai bentuk (tulisan, audio, video). Selanjutnya, program revitalisasi budaya, termasuk bahasa, ritual adat, dan praktik-praktik tradisional, perlu didukung. Melibatkan generasi muda Suku Laut secara aktif dalam proses ini sangat krusial.
· Integrasi Kearifan Lokal dalam Pendidikan Formal dan Informal: Pengetahuan maritim tradisional Suku Laut dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah di Kepulauan Riau. Selain itu, pendidikan informal berbasis komunitas dapat menjadi sarana efektif untuk transmisi pengetahuan antar generasi.
· Pengembangan Kebijakan Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan: Kebijakan pembangunan di wilayah pesisir dan laut harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis terhadap komunitas Suku Laut. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) harus diterapkan dalam setiap proyek pembangunan yang berpotensi mempengaruhi kehidupan mereka. Kearifan lokal Suku Laut dalam pengelolaan sumber daya dapat diadopsi atau diadaptasi dalam penyusunan rencana pengelolaan sumber daya laut daerah.
· Kolaborasi Multi-Pihak: Pelestarian kearifan lokal Suku Laut membutuhkan kerja sama antara pemerintah (pusat dan daerah), akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas Suku Laut itu sendiri. Penelitian lebih lanjut mengenai berbagai aspek kearifan lokal Suku Laut juga perlu didorong.
· Pemanfaatan Teknologi Secara Bijak: Teknologi dapat digunakan untuk mendukung pelestarian, misalnya untuk pemetaan partisipatif wilayah adat, dokumentasi digital, atau pemasaran produk lokal. Namun, penggunaannya harus tetap menghargai dan tidak menggantikan pengetahuan tradisional.
Kesimpulan
Kearifan lokal Suku Laut di Kepulauan Riau merupakan aset budaya dan pengetahuan yang tak ternilai harganya. Bentuk-bentuk kearifan mereka dalam navigasi, pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan, pemahaman ekologi dan cuaca, serta sistem sosial adat, secara substantif mencerminkan dan memperkaya nilai-nilai Wawasan Nusantara. Laut bagi Suku Laut adalah ruang hidup, identitas, dan sumber penghidupan yang menyatu, selaras dengan pandangan Wawasan Nusantara yang melihat laut sebagai pemersatu bangsa dan wilayah. Praktik-praktik berkelanjutan mereka adalah contoh nyata bagaimana manusia dapat hidup harmonis dengan alam, sebuah prinsip yang esensial bagi ketahanan ekologi dan ekonomi bangsa maritim seperti Indonesia.
Namun, kearifan ini menghadapi ancaman serius akibat berbagai faktor seperti marginalisasi, degradasi lingkungan, dan tekanan modernisasi. Hilangnya kearifan lokal Suku Laut bukan hanya kerugian bagi komunitas mereka, tetapi juga kerugian bagi bangsa Indonesia dalam memahami dan mengimplementasikan Wawasan Nusantara secara utuh, khususnya dalam dimensi maritim. Oleh karena itu, pengakuan, perlindungan, revitalisasi, dan integrasi kearifan lokal Suku Laut ke dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sebuah keniscayaan.
Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, beberapa saran dapat diajukan:
1. Pemerintah Pusat dan Daerah: Perlu segera merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan afirmatif yang secara eksplisit mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat Suku Laut, termasuk hak atas wilayah kelola tradisional mereka. Pemerintah daerah Kepulauan Riau dapat mempelopori penyusunan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Suku Laut.
2. Lembaga Pendidikan dan Penelitian: Perguruan tinggi dan lembaga penelitian didorong untuk melakukan kajian mendalam dan berkelanjutan mengenai berbagai aspek kearifan lokal Suku Laut, serta membantu dalam proses dokumentasi dan revitalisasi. Hasil penelitian harus disebarluaskan dan diupayakan untuk menjadi masukan bagi kebijakan.
3. Masyarakat Umum dan Media: Perlu ditingkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat luas terhadap keberadaan dan kontribusi Suku Laut. Media massa memiliki peran strategis dalam menyuarakan aspirasi Suku Laut dan mempromosikan kekayaan budaya maritim mereka secara positif dan konstruktif.
4. Komunitas Suku Laut: Diharapkan dapat terus memperkuat organisasi adat, melakukan regenerasi kepemimpinan, dan aktif terlibat dalam upaya pelestarian budaya serta advokasi hak-hak mereka, seraya terbuka secara selektif terhadap inovasi yang dapat meningkatkan kesejahteraan tanpa mengorbankan identitas.
5. Sinergi Program: Program-program pelestarian kearifan lokal dan pemberdayaan Suku Laut hendaknya disinergikan dengan program penguatan Wawasan Nusantara dan pembangunan kemaritiman nasional, sehingga tercipta dampak yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
· Adrianto, L. (2012). Pengantar Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB.
· Amal, I. (2007). Kepulauan Riau dalam Dinamika Sejarah Maritim Asia Tenggara. Ombak.
· Arifin, Z. (2015). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir. Jurnal Sosiologi Pedesaan.
· Chou, C. (2003). Indonesian Sea Nomads: Money, Magic, and Fear of the Orang Suku Laut. RoutledgeCurzon.
· Dahuri, R. (2003). Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.
· Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas RI). (2019). Modul Wawasan Nusantara.
· Nontji, A. (2007). Laut Nusantara. Djambatan.
· Sather, C. (1997). The Bajau Laut: Adaptation, History, and Fate in a Maritime Fishing Society of South-Eastern Sabah. Oxford University Press.3
· Suparlan, P. (1995). Orang Laut: Komuniti Terpinggir di Kepulauan Riau. Yayasan Obor Indonesia.
· Surya, B. (Ed.). (2018). Antropologi Maritim: Konsep dan Aplikasi dalam Pembangunan. Deepublish.
· Yayasan Pesisir Lestari. (Berbagai Publikasi dan Laporan Lapangan terkait Suku Laut dan Konservasi Pesisir).
No comments:
Post a Comment