Friday, May 30, 2025

Kewajiban Bela Negara Masih Relevankah di Era Damai. (D20)

 Fahlevi Vici Febriyani (D20)


ABSTRAK

Kewajiban bela negara merupakan tanggung jawab setiap warga negara dalam mempertahankan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari berbagai ancaman. Namun, di era damai dan globalisasi saat ini, muncul pertanyaan mengenai relevansi kewajiban bela negara. Penelitian ini mengkaji permasalahan yang menyebabkan berkurangnya pemahaman dan semangat bela negara, serta menguraikan bentuk-bentuk bela negara yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan pendekatan multidimensi, penelitian ini menunjukkan bahwa kewajiban bela negara tetap relevan dan perlu dipahami secara lebih luas, meliputi aspek pendidikan, ekonomi, teknologi, dan sosial budaya. Implementasi bela negara yang adaptif dan kontekstual sangat penting untuk menjaga persatuan dan kedaulatan bangsa menghadapi ancaman modern. Oleh karena itu, peran pemerintah, institusi pendidikan, media, dan masyarakat sangat vital dalam memperkuat kesadaran bela negara di era damai.


KATA KUNCI: Kewajiban bela negara, era damai, nasionalisme, ancaman non-fisik, partisipasi warga negara




PENDAHULUAN


Kewajiban bela negara adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap warga negara untuk mempertahankan kedaulatan, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa dari berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Konsep ini sudah menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah Indonesia sejak masa perjuangan kemerdekaan, di mana seluruh rakyat tergerak untuk melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa. Dalam konteks hukum, kewajiban bela negara tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”


Seiring perkembangan zaman, bentuk ancaman terhadap negara tidak lagi hanya berupa serangan militer secara langsung, tetapi juga muncul ancaman-ancaman baru yang lebih kompleks, seperti ancaman ideologi, terorisme, disinformasi, serangan siber, serta tekanan ekonomi dan budaya asing. Kondisi ini menuntut perubahan cara pandang terhadap konsep bela negara, dari yang dulunya dianggap hanya sebagai tugas fisik militer menjadi tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat dalam menjaga keutuhan bangsa.


Namun demikian, di era damai seperti sekarang, muncul pertanyaan penting di tengah masyarakat dan akademisi: “Masih relevankah kewajiban bela negara di era damai?” Beberapa kalangan beranggapan bahwa kewajiban ini mulai kehilangan maknanya karena tidak ada ancaman militer yang nyata, sedangkan sebagian lain melihat kewajiban bela negara tetap penting sebagai upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Fenomena ini menarik untuk dikaji secara mendalam agar pemahaman terhadap bela negara dapat diperbaharui dan disesuaikan dengan kondisi dan tantangan zaman saat ini.


PERMASALAHAN


Di era damai saat ini, sejumlah permasalahan yang muncul menyebabkan menurunnya efektivitas dan semangat pelaksanaan kewajiban bela negara. Salah satu permasalahan utama adalah kurangnya pemahaman yang komprehensif di masyarakat tentang arti dan makna bela negara yang sesungguhnya. Banyak warga negara, khususnya generasi muda, beranggapan bahwa bela negara identik dengan aktivitas militer atau pelatihan yang bersifat formal dan kaku, seperti wajib militer atau latihan dasar militer. Pemahaman yang sempit ini menyebabkan mereka tidak melihat kaitan antara bela negara dengan kehidupan sehari-hari, sehingga kewajiban ini dirasa kurang relevan (Wahyudi, 2022).


Selain itu, pendidikan bela negara selama ini masih bersifat normatif dan cenderung mengutamakan aspek teori tanpa mengaitkannya dengan realitas kehidupan modern. Materi pembelajaran bela negara belum terintegrasi secara efektif dalam kurikulum pendidikan formal maupun non-formal yang dapat menarik minat peserta didik. Kurangnya inovasi dalam metode pembelajaran, termasuk minimnya pemanfaatan teknologi digital sebagai media edukasi, membuat pembelajaran bela negara kurang berdampak (Nugroho, 2021).


Globalisasi yang pesat membawa arus budaya dan nilai-nilai asing yang masuk tanpa filter ke dalam masyarakat Indonesia. Fenomena ini berpotensi mengikis rasa nasionalisme dan solidaritas sosial. Banyak generasi muda yang cenderung mengadopsi budaya asing secara berlebihan sehingga mengurangi identifikasi mereka terhadap budaya dan nilai-nilai bangsa sendiri. Sikap individualistis dan hedonistik juga semakin marak di kalangan masyarakat, sehingga nilai-nilai kolektivitas dan tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bela negara mulai tergerus (Sukma, 2020).


Permasalahan lain yang signifikan adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap ancaman non-militer yang bersifat modern, seperti serangan siber, penyebaran hoaks, radikalisme digital, serta manipulasi informasi yang dapat memecah belah bangsa. Meskipun ancaman ini sangat berbahaya, namun edukasi dan kampanye tentang ancaman tersebut masih sangat minim dan belum mendapatkan perhatian serius dari banyak kalangan. Akibatnya, masyarakat belum siap secara mental dan intelektual dalam menghadapi tantangan ini (Siregar, 2020).


Terakhir, kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam upaya bela negara juga menjadi permasalahan tersendiri. Banyak individu yang hanya menuntut hak tanpa menjalankan kewajibannya secara seimbang. Sikap apatis dan tidak peduli terhadap isu-isu kebangsaan serta lemahnya kesadaran kolektif terhadap pentingnya mempertahankan kedaulatan dan keutuhan bangsa memperlemah implementasi kewajiban bela negara secara menyeluruh (Wahyudi, 2022).


PEMBAHASAN


Kewajiban bela negara di era modern harus dipahami dalam konteks yang lebih luas dan dinamis. Bela negara bukan hanya soal angkat senjata atau pelatihan militer, melainkan mencakup seluruh tindakan aktif warga negara dalam menjaga kedaulatan, stabilitas, dan persatuan bangsa dari berbagai ancaman, baik fisik maupun non-fisik. Di zaman sekarang, ancaman tidak hanya datang dari agresi militer langsung, melainkan juga berupa serangan siber, penyebaran disinformasi, radikalisme digital, hingga pengaruh budaya asing yang dapat mengikis nilai-nilai kebangsaan. Oleh karena itu, konsep bela negara harus diperluas agar dapat merespons tantangan global yang semakin kompleks dan beragam (Siregar, 2020).


Pendidikan menjadi kunci utama dalam menanamkan kesadaran bela negara. Namun, pendidikan bela negara saat ini masih cenderung bersifat teoritis dan formal, kurang menyentuh aspek aplikatif yang dekat dengan kehidupan sehari-hari generasi muda. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan institusi pendidikan untuk merevitalisasi kurikulum dengan memasukkan nilai-nilai kebangsaan yang terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran serta menggunakan metode pembelajaran yang inovatif dan menarik, seperti pembelajaran berbasis proyek, simulasi, atau pemanfaatan teknologi digital. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya memahami kewajiban bela negara secara teoritis, tetapi juga termotivasi untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata (Kusuma, 2023).


Selain pendidikan, setiap warga negara memiliki peran strategis dalam melaksanakan bela negara sesuai dengan kapasitas dan profesinya. Misalnya, seorang guru yang berdedikasi membentuk karakter generasi muda, seorang pegawai negeri yang bekerja dengan jujur menjaga integritas birokrasi, atau seorang warga yang aktif melestarikan budaya lokal turut berkontribusi dalam menjaga keutuhan dan identitas bangsa. Di era digital, peran warga juga dapat diwujudkan dalam menjaga keamanan informasi dan melawan penyebaran berita palsu melalui literasi digital yang baik. Dengan demikian, bela negara menjadi sikap hidup sehari-hari yang inklusif dan tidak terbatas pada aktivitas militer saja (Kusuma, 2023; Siregar, 2020).


Peran media massa dan teknologi komunikasi juga sangat penting dalam memperkuat semangat bela negara. Media sosial, televisi, radio, dan platform digital lainnya dapat digunakan sebagai sarana edukasi dan kampanye nasionalisme yang kreatif dan relevan bagi masyarakat, terutama generasi milenial dan Z. Melalui konten-konten yang menarik seperti video pendek, game edukatif, dan cerita sejarah perjuangan bangsa, nilai-nilai kebangsaan dapat disampaikan secara lebih efektif. Di sisi lain, literasi digital perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat menyaring informasi dengan bijak dan tidak mudah terprovokasi oleh hoaks atau propaganda yang berpotensi memecah belah bangsa (Rahmat, 2022).


Jika kewajiban bela negara diabaikan, implikasinya sangat berbahaya bagi ketahanan nasional. Lemahnya kesadaran bela negara dapat menyebabkan tergerusnya nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme, yang pada akhirnya menimbulkan keretakan sosial, konflik internal, dan memudahkan masuknya pengaruh negatif dari luar. Disintegrasi bangsa menjadi ancaman nyata jika persatuan dan kesatuan tidak dijaga secara konsisten. Oleh karena itu, penguatan bela negara merupakan upaya strategis untuk menjaga eksistensi dan kedaulatan bangsa dalam menghadapi tantangan yang terus berkembang (Sukma, 2020).


Secara keseluruhan, kewajiban bela negara tetap relevan bahkan semakin penting di era damai ini. Bentuk dan cara pelaksanaannya memang harus disesuaikan dengan konteks zaman yang berubah, tetapi semangat dan tujuan utamanya adalah menjaga bangsa tetap bersatu dan kuat menghadapi berbagai ancaman. Peran pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan seluruh lapisan masyarakat menjadi sangat penting dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya bela negara yang modern, adaptif, dan inklusif.


Kesimpulan


Kewajiban bela negara tetap relevan, bahkan semakin penting di era damai. Ancaman terhadap bangsa tidak lagi hanya berupa perang fisik, melainkan berkembang menjadi ancaman ideologis, budaya, ekonomi, dan teknologi. Oleh karena itu, konsep bela negara perlu dipahami secara lebih luas dan diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan mengedepankan kontribusi aktif dalam menjaga stabilitas nasional, bela negara dapat menjadi kekuatan kolektif untuk mempertahankan identitas dan kedaulatan bangsa di tengah dinamika global.


Saran


Agar semangat bela negara tidak luntur, diperlukan pendekatan yang adaptif dan kontekstual. Pemerintah perlu memperkuat pendidikan bela negara yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila dan karakter kebangsaan. Selain itu, media massa dan media sosial perlu dilibatkan dalam kampanye bela negara yang lebih kreatif dan relevan bagi generasi muda. Di sisi lain, setiap individu harus menyadari bahwa membela negara tidak harus dilakukan dengan senjata, melainkan melalui tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan profesi dan peran sosialnya masing-masing.


DAFTAR PUSTAKA


Kusuma, R. A. (2023). Pendidikan Bela Negara dan Tantangan Era Global. Yogyakarta: Pilar Nusantara Press.


Nugroho, H. (2021). Globalisasi dan Nasionalisme di Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.


Rahmat, M. (2022). Literasi Digital dan Penguatan Ideologi Pancasila. Bandung: Literindo.


Siregar, F. (2020). Ancaman Siber dan Urgensi Ketahanan Nasional. Surabaya: Lintas Informasi.


Sukma, R. (2020). Relevansi Bela Negara di Era Modern. Jurnal Ketahanan Nasional, 25(1), 45–58.


Wahyudi, A. (2022). Krisis Nasionalisme Generasi Z? Jakarta: Forum Kajian Kebangsaan.


D33 SISTEM PERADILAN ANAK SUDAHKAN RAMAH GENERASI MUDA

 

Abstrak
Sistem peradilan pidana anak di Indonesia mengalami reformasi signifikan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Undang-undang ini menekankan pendekatan restoratif dan diversi sebagai strategi utama untuk melindungi hak anak dalam proses hukum. Namun, dalam praktiknya, masih ditemukan tantangan besar, termasuk diskriminasi, kurangnya fasilitas ramah anak, serta stigma sosial terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana sistem ini telah ramah terhadap generasi muda, mengulas pelaksanaan UU SPPA, serta memberikan saran konkret untuk perbaikan. Pendekatan kualitatif digunakan melalui studi literatur dan telaah kasus.

Kata Kunci: peradilan anak, ramah anak, diversi, UU SPPA, keadilan restoratif

Pendahuluan
Anak-anak adalah masa depan bangsa dan berhak atas perlindungan hukum yang adil dan manusiawi. Namun, ketika mereka berhadapan dengan hukum, sering kali perlakuan yang diterima tidak mencerminkan pendekatan yang sesuai dengan usia dan kondisi psikologis mereka. Seiring perkembangan sistem hukum di Indonesia, muncul dorongan untuk membentuk sistem peradilan pidana anak yang lebih ramah terhadap perkembangan dan masa depan anak.

Salah satu tonggak penting adalah lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang menggantikan pendekatan represif dengan pendekatan restoratif. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk menjamin hak-hak anak, menghindari pemenjaraan sebagai hukuman utama, serta mengedepankan prinsip diversi sejak tahap penyidikan.

Permasalahan
Walaupun secara normatif sistem hukum anak telah mengalami reformasi, namun sejumlah persoalan tetap menjadi penghambat terciptanya sistem yang benar-benar ramah anak:

Diskriminasi dalam Penegakan Hukum
Masih ditemukan perlakuan berbeda antara anak dari keluarga miskin dan kaya dalam proses hukum, termasuk dalam hal akses bantuan hukum.

Kurangnya Sarana dan Prasarana Ramah Anak
Fasilitas seperti ruang tahanan khusus anak, ruang pemeriksaan, dan layanan psikososial sering kali tidak tersedia atau belum memenuhi standar yang ditetapkan.

Minimnya Pemahaman Aparat Penegak Hukum
Banyak aparat penegak hukum, termasuk polisi dan jaksa, belum sepenuhnya memahami konsep keadilan restoratif dan diversi.

Stigma Sosial terhadap Anak yang Pernah Berhadapan dengan Hukum
Anak yang sudah menyelesaikan proses hukum masih menghadapi stigma dari masyarakat yang berdampak negatif terhadap reintegrasi sosial mereka.

Pembahasan
1. Dasar Hukum dan Prinsip SPPA
UU SPPA menegaskan bahwa pendekatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) harus bersifat restoratif, bukan semata-mata retributif. Prinsip utama UU ini antara lain:

Diversi: penyelesaian di luar proses peradilan

Non-pemenjaraan sebagai langkah terakhir

Perlakuan manusiawi dan adil terhadap anak

2. Diversi sebagai Alternatif Pemidanaan
Diversi merupakan upaya penyelesaian perkara anak di luar proses peradilan formal, yang melibatkan korban, pelaku, keluarga, dan pihak terkait. Diversi dapat dilakukan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Namun, tantangan utama dalam penerapan diversi adalah:

Belum semua aparat memahami atau mendukung diversi

Kurangnya fasilitator yang kompeten

Tidak semua kasus memenuhi syarat diversi (misalnya kejahatan berat)

3. Kelembagaan dan Peran Lembaga Perlindungan Anak
Banyak lembaga seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) belum memenuhi standar internasional. Perlu ada sinergi antar lembaga seperti Komnas Perlindungan Anak, Bapas, dan LPKA dalam pemulihan anak.

4. Implementasi Nyata di Berbagai Daerah
Implementasi sistem ini bervariasi antar daerah. Di kota-kota besar, penerapan diversi lebih lancar karena tersedianya sumber daya. Sebaliknya, di daerah terpencil, sering kali anak langsung ditahan tanpa alternatif.

Contoh kasus positif:

Diversi di Yogyakarta: keberhasilan mengembalikan anak ke lingkungan sosial tanpa stigma
Contoh kasus negatif:

Penahanan anak di Papua tanpa pendamping hukum

5. Keterlibatan Masyarakat dan Sekolah
Sekolah dan masyarakat memegang peran penting dalam reintegrasi anak pasca proses hukum. Masih minimnya program sekolah ramah anak yang mengakomodasi anak ABH menjadi sorotan.

Kesimpulan
Sistem peradilan pidana anak di Indonesia telah mengarah ke arah yang lebih progresif dan ramah anak melalui UU SPPA dan berbagai mekanisme seperti diversi dan keadilan restoratif. Namun, praktiknya masih jauh dari ideal. Masih ada banyak anak yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi, tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak, serta mengalami stigma sosial yang menghambat masa depan mereka.

Saran
Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum
Perlu pelatihan dan sertifikasi berkala bagi polisi, jaksa, dan hakim tentang pendekatan peradilan restoratif.

Pembangunan Fasilitas yang Memadai
Pemerintah pusat dan daerah harus berkomitmen menyediakan ruang tahanan, ruang pemeriksaan, dan pusat rehabilitasi anak yang layak.

Peran Aktif Sekolah dan Komunitas
Sekolah perlu dilatih untuk mendampingi dan menerima kembali anak-anak yang telah menyelesaikan proses hukum.

Evaluasi Berkala dan Reformasi Berkelanjutan
Evaluasi sistem SPPA perlu dilakukan secara berkala untuk menjamin kesesuaian dengan perkembangan sosial dan hak anak.

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (2023). Laporan Tahunan.

UNICEF Indonesia. (2022). Child Justice System Reform in Indonesia.

Idrus, M. (2020). Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Jakarta: Prenadamedia.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. (2021). Pedoman Diversi dalam Penanganan Anak.

Sulaeman, R. (2022). “Evaluasi Pelaksanaan Diversi dalam SPPA.” Jurnal Hukum & HAM, 14(2), 155–172.

Pendidikan Pancasila Solusi Ampuh Menguatkan Integrasi Nasional

 Oleh: Sulastri Marbun (D06)



Abstrak

Pendidikan Pancasila memegang peranan penting dalam memperkuat integrasi nasional Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya, suku, agama, dan bahasa. Dalam konteks dinamika globalisasi yang memicu disintegrasi bangsa, pendidikan Pancasila menjadi garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan, persatuan, dan toleransi. Artikel ini membahas urgensi pendidikan Pancasila sebagai solusi ampuh dalam memperkuat integrasi nasional. Melalui kajian mendalam mengenai permasalahan disintegrasi, konsep integrasi nasional, serta implementasi pendidikan Pancasila di berbagai jenjang pendidikan, artikel ini menegaskan peran vital Pancasila dalam menjaga keutuhan bangsa. Kesimpulan dan saran di akhir artikel menekankan perlunya penguatan kurikulum, inovasi metode pembelajaran, dan keterlibatan semua elemen masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila.

Kata Kunci: Pendidikan Pancasila, Integrasi Nasional, Kebhinekaan, Nilai Kebangsaan, Persatuan

Pendahuluan

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan memiliki potensi besar untuk terpecah belah. Namun, sejak awal kemerdekaan, bangsa ini bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi pemersatu bangsa. Pancasila bukan hanya sekadar simbol, melainkan juga pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Dalam era globalisasi yang membawa arus perubahan sosial dan budaya, nilai-nilai Pancasila mulai tergerus oleh berbagai kepentingan individu maupun kelompok. Hal ini menimbulkan keresahan terhadap rapuhnya integrasi nasional. Oleh sebab itu, pendidikan Pancasila hadir sebagai solusi konkret untuk memperkuat kembali semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Artikel ini akan menguraikan secara komprehensif mengenai peranan pendidikan Pancasila sebagai solusi ampuh dalam memperkuat integrasi nasional.

Permasalahan

Seiring perkembangan zaman, Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan yang mengancam integrasi nasional, antara lain:

  1. Meningkatnya Konflik Sosial: Perbedaan agama, etnis, dan kepentingan politik sering memicu konflik horizontal yang mengancam persatuan bangsa.

  2. Radikalisme dan Intoleransi: Penyebaran paham radikal dan intoleransi melalui media sosial maupun lembaga pendidikan tertentu memicu perpecahan dalam masyarakat.

  3. Erosi Nilai Kebangsaan: Generasi muda cenderung kehilangan jati diri kebangsaan akibat pengaruh budaya asing yang tidak sejalan dengan Pancasila.

  4. Kurangnya Pemahaman Pancasila: Minimnya pemahaman tentang Pancasila, baik di kalangan pelajar maupun masyarakat umum, menyebabkan pengabaian terhadap prinsip-prinsip persatuan dan keadilan sosial.

  5. Lemahnya Implementasi Pendidikan Pancasila: Kurikulum yang kurang inovatif dan metode pembelajaran yang monoton membuat pendidikan Pancasila kurang diminati.

Permasalahan-permasalahan tersebut menegaskan perlunya penguatan pendidikan Pancasila sebagai solusi untuk mengatasi disintegrasi nasional.

Pembahasan

A. Konsep Integrasi Nasional

Integrasi nasional adalah proses mempersatukan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang budaya, etnis, agama, dan bahasa menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dalam konteks Indonesia, integrasi nasional menjadi sangat penting mengingat tingginya tingkat heterogenitas masyarakat. Tanpa adanya integrasi yang kokoh, keberlangsungan bangsa akan terganggu.

Integrasi nasional tidak hanya tercapai melalui kebijakan politik dan hukum, melainkan juga harus didukung oleh budaya dan nilai-nilai yang mempersatukan. Di sinilah peran Pancasila menjadi sangat krusial, karena Pancasila mengajarkan tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini harus tertanam dalam setiap individu agar tercipta harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.

B. Urgensi Pendidikan Pancasila dalam Memperkuat Integrasi Nasional

Pendidikan Pancasila tidak sekadar mengajarkan teori, tetapi juga membentuk karakter peserta didik agar memiliki jiwa nasionalisme dan menghargai perbedaan. Beberapa peranan penting pendidikan Pancasila dalam memperkuat integrasi nasional adalah:

  1. Menanamkan Rasa Cinta Tanah Air: Pendidikan Pancasila mengajarkan pentingnya mencintai tanah air dan berkontribusi dalam menjaga keutuhan bangsa.

  2. Mengembangkan Sikap Toleransi: Melalui pemahaman nilai Pancasila, generasi muda diajarkan untuk menghormati perbedaan dan menjunjung tinggi toleransi.

  3. Meningkatkan Solidaritas Sosial: Pendidikan Pancasila menumbuhkan semangat gotong royong, kebersamaan, dan kepedulian terhadap sesama.

  4. Menguatkan Identitas Kebangsaan: Generasi muda dilatih untuk memahami jati diri bangsa dan tidak mudah terpengaruh oleh budaya asing yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa.

C. Implementasi Pendidikan Pancasila

Untuk memperkuat integrasi nasional, pendidikan Pancasila perlu diimplementasikan secara optimal dengan langkah-langkah berikut:

  1. Penguatan Kurikulum: Kurikulum pendidikan harus menempatkan Pancasila sebagai mata pelajaran utama, baik di tingkat dasar, menengah, maupun perguruan tinggi.

  2. Inovasi Metode Pembelajaran: Guru perlu menggunakan metode yang kreatif dan kontekstual, seperti diskusi, studi kasus, role play, dan pemanfaatan teknologi.

  3. Integrasi Nilai Pancasila dalam Semua Mata Pelajaran: Tidak hanya diajarkan secara formal, nilai Pancasila harus terintegrasi dalam semua aspek pembelajaran, seperti dalam kegiatan ekstrakurikuler dan proyek-proyek sosial.

  4. Peran Keluarga dan Masyarakat: Penanaman nilai Pancasila tidak hanya tugas sekolah, tetapi juga keluarga dan masyarakat yang harus memberikan teladan.

  5. Pemanfaatan Media Sosial: Generasi muda sebagai digital native harus dibekali kemampuan untuk menyaring informasi dan memanfaatkan media sosial sebagai sarana penyebaran nilai kebangsaan.

D. Studi Kasus Keberhasilan Pendidikan Pancasila

Beberapa sekolah dan daerah di Indonesia telah berhasil menerapkan pendidikan Pancasila secara inovatif, seperti program "Sekolah Pancasila" yang mengintegrasikan kegiatan pembelajaran dengan praktik sosial di lingkungan masyarakat. Misalnya, program "Kampung Pancasila" yang melibatkan siswa dalam kegiatan gotong royong, bakti sosial, dan pelatihan kepemimpinan berbasis Pancasila. Keberhasilan program-program tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Pancasila yang aplikatif mampu membangun rasa persatuan dan solidaritas.

Kesimpulan

Pendidikan Pancasila merupakan solusi ampuh dalam memperkuat integrasi nasional Indonesia yang beragam. Nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan persatuan, toleransi, keadilan sosial, dan cinta tanah air harus ditanamkan sejak dini melalui pendidikan formal maupun informal. Implementasi pendidikan Pancasila yang kreatif dan aplikatif akan menghasilkan generasi penerus bangsa yang memiliki karakter kebangsaan yang kuat. Oleh karena itu, penguatan kurikulum, inovasi pembelajaran, serta keterlibatan keluarga dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pendidikan Pancasila untuk memperkuat integrasi nasional.

Saran

  1. Pemerintah perlu merevitalisasi kurikulum pendidikan Pancasila dengan pendekatan kontekstual dan aplikatif.

  2. Guru harus dibekali pelatihan intensif dalam mengajarkan Pancasila dengan metode kreatif yang menarik.

  3. Keluarga dan masyarakat perlu dilibatkan dalam penanaman nilai-nilai Pancasila di lingkungan sosial.

  4. Media massa dan media sosial harus dimanfaatkan untuk menyebarluaskan semangat kebangsaan dan nilai Pancasila.

  5. Penelitian dan evaluasi berkala terhadap efektivitas pendidikan Pancasila perlu dilakukan untuk perbaikan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

  • Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

  • Mahfud MD. (2011). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

  • Mulyana, D. (2005). Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

  • Tilaar, H.A.R. (1999). Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  • Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

  • Suyanto, S. (2005). Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. Jakarta: Grasindo.

D27 Konstitusi vs Kebijakan Pemerintah Ketika Regulasi Bertentangan UUD


 












Konstitusi vs Kebijakan Pemerintah Ketika Regulasi Bertentangan UUD

ABSTRAK

Wewenang hukum tertinggi dan landasan untuk menyusun pemerintahan Indonesia serta membuat undang-undang dan peraturan adalah konstitusi negara. Namun, pada kenyataannya, sering kali terdapat perbedaan antara praktik pemerintahan dan standar konstitusional yang diuraikan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dengan menggunakan analisis empiris dan hukum, artikel ini mengeksplorasi fenomena konflik ini, dengan menggunakan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai ilustrasi khusus. Kurangnya pemahaman tentang konsep ketatanegaraan, dominannya kepentingan politik-ekonomi, kurangnya partisipasi publik, dan prosedur perundang-undangan yang tidak tepat diidentifikasi sebagai penyebab utama konflik antara peraturan dan konstitusi. Pergumulan ini mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat, ketidakpastian hukum, dan menurunnya legitimasi pemerintahan. Pentingnya peran lembaga negara, khususnya Mahkamah Konstitusi, dalam menegakkan supremasi konstitusi ditegaskan dalam artikel ini, yang juga mengusulkan langkah-langkah preventif seperti pendidikan ketatanegaraan, reformasi legislatif, dan penguatan sistem pengujian hukum. Negara hukum yang demokratis dan adil dapat dicapai dengan menjadikan konstitusi sebagai sumber utama pedoman bagi semua kebijakan publik.

ABSTRACT

The highest legal authority and basis for organizing the Indonesian government and making laws and regulations is the country's constitution. However, in reality, there are often differences between government practices and constitutional standards outlined in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945). Using empirical and legal analysis, this article explores this conflict phenomenon, using the Job Creation Law as a specific illustration. Lack of understanding of the concept of constitutionality, the dominance of political-economic interests, lack of public participation, and inappropriate legislative procedures are identified as the main causes of the conflict between regulations and the constitution. This struggle results in public dissatisfaction, legal uncertainty, and declining government legitimacy. The importance of the role of state institutions, especially the Constitutional Court, in upholding the supremacy of the constitution is emphasized in this article, which also proposes preventive measures such as constitutional education, legislative reform, and strengthening the legal testing system. A democratic and just state based on law can be achieved by making the constitution the main source of guidance for all public policies.

 

PENDAHULUAN

Landasan dari seluruh struktur hukum dan pemerintahan suatu negara adalah konstitusinya, yang merupakan peraturan perundang-undangan yang paling mendasar. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) berfungsi sebagai kerangka utama untuk menetapkan dan melaksanakan sejumlah undang-undang, peraturan, dan persyaratan hukum lainnya di Indonesia. Namun, pada kenyataannya, sering kali terdapat perbedaan antara persyaratan UUD 1945 dan kebijakan pemerintah. Ada sejumlah konsekuensi hukum dan sosial dari ketidaksepakatan ini yang memerlukan pertimbangan yang cermat.

Masalah ini menjadi lebih penting dalam konteks dinamika politik dan hukum kontemporer, di mana pemerintah dipaksa untuk membuat keputusan dengan cepat, sering kali dengan mengorbankan norma-norma konstitusional, karena cepatnya perubahan sosial dan ekonomi. Demokrasi, keadilan, dan kepastian hukum semuanya terancam ketika kebijakan pemerintah tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusional. Dengan demikian, penting untuk melihat lebih dekat bagaimana dan mengapa konflik ini muncul serta solusi potensial untuk mempertahankan keutamaan konstitusi dalam menghadapi perubahan kebijakan.

 

PEMBAHASAN

Konsitusi Sebagai Hukum Tertinggi

Sebagai hukum tertinggi, konstitusi memegang peranan penting dalam struktur politik suatu negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan dokumen tertulis yang mengatur susunan pemerintahan negara, pembagian kewenangan, dan landasan hukum bagi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Pedoman dasar pengelolaan negara tertuang dalam konstitusi, yang juga memberikan kewenangan dan membatasi penggunaannya oleh lembaga pemerintah serta memastikan bahwa hak-hak individu dilindungi dari perilaku yang tidak wajar. Oleh karena itu, semua kebijakan dan peraturan pemerintah harus mematuhi dan tidak bertentangan dengan konstitusi yang menempati kedudukan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 semakin menegaskan tentang supremasi konstitusi dengan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, artinya kekuasaan pemerintahan harus digunakan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi berfungsi sebagai landasan hukum utama sekaligus alat untuk mengawasi kewenangan pemerintahan agar sesuai dengan cita-cita demokrasi dan hak asasi manusia. Sebagai lembaga yang melindungi konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan memastikan bahwa semua produk hukum mematuhinya.

Karakteristik utama konstitusi sebagai hukum tertinggi, antara lain:

1. Landasan pada pembatas kekuasaan: Selain menjamin hak-hak warga negara, Konstitusi membatasi kekuatan pemerintah untuk tidak sewenang-wenang.

2. Norma yang lebih luas dan kuat: Konstitusi menjadi lebih stabil dan tidak mudah diubah karena memuat aturan umum yang menjadi dasar bagi seluruh peraturan perundang-undangan lainnya. Perubahan konstitusi memerlukan proses yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar daripada perubahan undang-undang biasa.

3. Mengalahkan hukum yang lainnya: Jika konstitusi dan peraturan lain bertentangan, konstitusi harus diutamakan. Bahkan dalam kasus konflik biasa, konstitusi mengalahkan hukum internasional.

 

Fungsi Utama Konstitusi

1. Memberikan landasan hukum: Konstitusi berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi yang mengatur bagaimana pemerintah beroperasi dan menjadi dasar bagi peraturan perundang-undangan yang dibuat di bawahnya.

2. Sebagai identitas nasional dan simbol persatuan: Konstitusi juga berfungsi sebagai undang-undang nasional yang menunjukkan persatuan dan identitas bangsa.

3. Mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyat: Konstitusi menetapkan hak dan kewajiban pemerintah dan warga negara dalam hubungan mereka.

4. Melindungi hak asasi manusia: Dengan hak-hak dasar seperti kebebasan berpendapat, hak atas pendidikan, dan hak hidup yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, warga negara memiliki landasan hukum yang kuat untuk menuntut hak-haknya untuk dipenuhi.

5. Membatasi dan mengawasi kekuasaaan pemerintahan: Konstitusi yang membatasi kewenangan lembaga negara dan menetapkan sistem pengawasan dan keseimbangan antara cabang kekuasaan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan sewenang-wenang pemerintah.

6. Menetapkan proses perubahan hukum: Konstitusi mengatur perubahan (amendemen) terhadap dirinya sendiri dengan aturan ketat dan persetujuan luas.

 

Kebijakan Pemerintah: Implementasi dan Tantangan

Kebijakan pemerintah adalah alat utama untuk memasukkan ketentuan konstitusi ke dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam prosesnya, kebijakan pemerintah seringkali dihadapkan pada dinamika yang kompleks dari politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidak jarang kebijakan pemerintah menyimpang atau bahkan melanggar prinsip-prinsip konstitusi.

Berikut, tantangan utama dalam mengimplementasi sebuah kebijakan pemerintah yang sejalan dengan konstitusi antara lain:

1. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan: Praktek korupsi pada kalangan pejabat pemerintah sangat menghambat pelaksanaan konstitusi dan menghasilkan kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat.

2. Pengaruh politik: Kepentingan atau dominasi partai politik sering memengaruhi kebijakan publik, bahkan dapat menyebabkan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi.

3. Kurangnya partisipasi publik: Jika masyarakat tidak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, kebijakan yang dibuat bisa saja tidak mencerminkan dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat serta prinsip-prinsip konstitusi.

 

Ketegangan antara Konstitusi dengan Kebijakan Pemerintah

Berbagai bentuk konflik antara konstitusi dan kebijakan pemerintah termasuk:

1. Pembuatan undang-undang yang brtentangan dengan UUD 1945: Misalnya, jika pemerintah dan DPR telah menetapkan undang-undang yang secara tidak proporsional dan membatasi hak-hak dasar warga negaranya, undang-undang tersebut dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi.

2. Kebijakan administratif yang diskriminatif: Selain itu, kebijakan pemerintah yang sangat tidak adil atau melanggar keadilan sosial dapat dianggap melanggar konstitusi.

3. Peraturan pemerintah yang melebihi kewenangan: Contoh lain adalah ketika peraturan pemerintah menggantikan kewenangan legislatif. Hal ini terjadi dalam perdebatan seputar Pasal 170 RUU Cipta Kerja, di mana pemerintah diberi kewenangan untuk mengubah undang-undang melalui peraturan, yang secara terang-terangan bertentangan dengan Pasal 20 UUD 1945.

 

Mekanisme penyelesaian konflik: Judicial Review

Sistem hukum Indonesia memiliki mekanisme peninjauan kembali untuk menyelesaikan perselisihan antara kebijakan pemerintah dan konstitusi, dengan sistem hukum Indonesia yang telah menyediakan mekanisme judicial review:

1. Mahkamah Konstitusi (MK): Berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dan MK dapat membatalkannya jika dianggap bertentangan dengan konstitusi.

2. Mahkamah Agung (MA): Berwenang untuk menguji peraturan di bawah naungan  undang-undang (seperti Peraturan Pemerintah, Perpres, Permen) terhadap undang-undang dan UUD 1945.

Proses peninjauan hukum yang dapat memastikan supremasi konstitusi dan membatalkan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi.

 

 Ketidaksesuaian Regulasi dan UUD: Studi Kasus

Beberapa kasus telah menunjukkan bagaimana jika kebijakan pemerintah atau undang-undang yang telah disahkan DPR menentang dengan UUD 1945. Misalnya, Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) telah menjadi subjek kontroversi dan gugatan konstitusional karena dianggap mengabaikan prinsip-prinsip dasar UUD, seperti hak atas pekerjaan yang layak dan perlindungan lingkungan hidup.


Menurut Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, UU Cipta Kerja tidak konstitusional karena tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang diatur dalam Konstitusi dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ini menunjukkan bahwa MK dapat membatalkan kebijakan karena ketidaksesuaian antara kebijakan dan konstitusi.

Penyebab Terjadinya Adanya Pertentangan

Terdapat beberapa faktor adanya yang menyebabkan terjadinya pertentangan antara kebijakan pemerintah dan konstitusi:

1. Kurang adanya pemahaman terhadap konstitusi: Para pembuat kebijakan mungkin tidak akan memahami secara menyeluruh tentang aturan konstitusional.

2. Kepentingan Politik dan Ekonomi: Kepentingan politik atau adanya tekanan dari suatu kelompok tertentu sering kali menentukan kebijakan, yang dapat bertentangan dengan prinsip konstitusi.

3. Lemahnya Partisipasi Publik: Proses legislatif yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas atau terbuka, dapat menghasilkan undang-undang yang sangat bertentangan dengan UUD dan tidak menguntungkan semua orang.

4. Prosedur Legislasi yang Tidak Sesuai: Banyaknya peraturan yang telah disahkan tanpa mengikuti prosedur formal yang telah ditetapkan, yang dapat menyebabkan cacat secara formal dan materil.

Implikasi dalam hukum dan sosial

Secara hukum, perselisihan yang terjadi antara kebijakan pemerintah dan UUD memiliki dampak yang negatif. Secara hukum, MK dapat membatalkan kebijakan atau undang-undang yang bertentangan dengan UUD melalui uji materiil. Ketidakpastian hukum ini merugikan investor dan masyarakat.

Secara sosial, kebijakan yang sangat bertentangan dengan konstitusi dapat menyebabkan ketidakpuasan pada publik, protes sosial, serta penurunan kepercayaan kepada pemerintah. Contohnya, gelombang demonstrasi yang menentang UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa masyarakat sangat sensitif terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil dan tidak konstitusional.

Peran pada lembaga negara

Beberapa lembaga negara dapat bertanggung jawab secara signifikan untuk memastikan bahwa kebijakan sesuai dengan konstitusi:

1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR): Memiliki tanggung jawab untuk membuat undang-undang yang selaras dengan konstitusi.

2. Presiden: Sebagai kepala negara dan pemerintahan, presiden harus memastikan bahwa kebijakan eksekutif tidak melanggar konstitusi.

3. Mahkamah Konstitusi (MK) : Jika undang-undang dianggap inkonstitusional, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkannya.

4. Mahkamah Agung (MA): Mahkamah Agung telah memastikan bahwa peraturan yang dibuat oleh undang-undang harus sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

Pencegahan dan Penanganan

Untuk menghindari konflik antara kebijakan dan UUD, beberapa tindakan penting harus dilakukan:

1. Pendidikan Konstitusi: Meningkatkan pemahaman konstitusi bagi masyarakat umum dan pembuat kebijakan.

2. Pendidikan Konstitusi: Meningkatkan pemahaman konstitusi bagi masyarakat umum dan pembuat kebijakan.

3. Transparansi dan Partisipasi Publik: Menggalakkan proses legislatif yang transparan yang melibatkan semua bagian masyarakat.

4. Penguatan Sistem Uji Materiil: Meningkatkan tanggung jawab MK untuk mengawasi konstitusi.

5. Reformasi Prosedural: memastikan bahwa setiap peraturan dibuat secara sah dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

 

KESIMPULAN:

 

Konstitusi adalah dasar dari seluruh kehidupan bernegara. Ketika kebijakan pemerintah bertentangan dengan konstitusi, bukan hanya supremasi hukum yang terancam, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap institusi negara. Selain itu, inkonsistensi antara kebijakan dan konstitusi akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan masyarakat, dunia usaha, dan keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Pemerintah dan pembuat undang-undang harus menjadikan konstitusi sebagai titik tolak dan rujukan utama dalam setiap pembuatan kebijakan. Tidak cukup hanya mematuhi prosedur hukum, tetapi juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai substansial yang terkandung dalam UUD 1945 seperti keadilan sosial, perlindungan hak asasi manusia, dan partisipasi publik yang bermakna.

 

SARAN:

1. Peningkatan literasi konstitusi di kalangan pejabat publik, aparat penegak hukum, dan masyarakat luas melalui pendidikan formal dan informal.

2. Penguatan peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi tidak hanya dalam uji materiil, tetapi juga dalam memberikan tafsir konstitusional yang progresif.

3. Penerapan prinsip checks and balances secara efektif antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tidak ada satu lembaga pun yang bertindak melebihi kewenangannya.

4. Peningkatan transparansi dalam proses legislasi agar publik dapat terlibat secara aktif dan substansial dalam setiap tahapan pembentukan peraturan.

5. Revisi atau pembatalan terhadap kebijakan yang terbukti bertentangan dengan konstitusi harus segera dilakukan sebagai bentuk komitmen terhadap supremasi hukum.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan negara akan menjadi demokratis, adil, dan berkeadaban dengan pemerintah menjalankan kekuasaan secara sah dan sesuai dengan semangat dan isi konstitusi.

 DAFTAR PUSTAKA

Pusdik Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (n.d.). Konstitusi dan Konstitusionalisme.

Ali Akbar, Tasdin Tahrim, & Emy Yunita Rahma Pratiwi. (2022). Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.

Yuliandri. (n.d.). Konstitusi dan konstitusionalisme. Pusdik Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Kusuma, F. A., Apriliani, D., Tania, R., Febriyanti, S., & Rozalia. (2024). Analisis Peran Konstitusi Dalam Sistem Hukum Tata Negara. Law and Justice Journal, 3(1), 1-15.

Pusat Pendidikan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (n.d.). Konstitusi dan Konstitusionalisme.

D30 Polri vs KPK Siapa Lebih Efektif Memberantas Korupsi


Polri vs KPK Siapa Lebih Efektif Memberantas Korupsi
Abstrak
Artikel ini mengulas tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian
Nasional dalam memberantas korupsi di Indonesia. Sementara Kepolisian Nasional memiliki
struktur dan tanggung jawab yang luas dalam penegakan hukum umum, KPK diakui sebagai
badan otonom yang berfokus pada penyelesaian kasus korupsi yang signifikan dan sistematis.
Ada dinamika baru dalam upaya pemberantasan korupsi dengan dibentuknya Korps
Pemberantasan Korupsi (Kortas Tipikor) di bawah Kepolisian Nasional pada tahun 2024.
Artikel ini mengulas tentang keberhasilan pemberantasan korupsi beserta manfaat, kesulitan,
dan kolaborasi antara kedua lembaga tersebut.
Kata Kunci: KPK, Polri, pemberantasan korupsi, efektivitas, Kortas Tipikor, sinergi lembaga
Abstract
The efficiency of the Corruption Eradication Commission (KPK) and the National Police in
combating corruption in Indonesia is examined in this article. While the National Police has
a broad structure and responsibility in general law enforcement, the KPK is recognized as an
autonomous entity that focuses on resolving significant and systematic corruption cases. There
is a new dynamic in the effort to eradicate corruption with the creation of the Corruption
Eradication Corps (Kortas Tipikor) under the National Police in 2024. The success of
eliminating corruption is examined in this article along with the benefits, difficulties, and
collaborations between the two organizations.
Keywords: KPK, Polri, corruption eradication, effectiveness, Kortas Tipikor, institutional
synergy
PENDAHULUAN
Salah satu masalah terbesar Indonesia adalah korupsi, yang menghambat kemajuan dan
mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah. Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah dua lembaga utama yang
dibentuk pemerintah untuk menangani masalah ini.
Sebagai lembaga terpisah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002,
KPK berwenang untuk menyelidiki dan mengajukan tuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Lembaga ini memiliki reputasi yang baik dalam menangani kasus-kasus korupsi yang
signifikan dan mengedukasi masyarakat tentang bahaya korupsi.
Sebagai lembaga penegak hukum yang berkedudukan di daerah, Polri turut berperan dalam
upaya pemberantasan korupsi. Untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, pemerintah
membentuk Korps Pemberantasan Korupsi (Kortas Tipikor) di lingkungan Polri pada tahun
2024. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menekan angka korupsi dan
mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi.
Kendati demikian, masih terus terjadi perdebatan mengenai seberapa baik kedua lembaga ini
bekerja dalam pemberantasan korupsi. Beberapa pihak meragukan upaya KPK dalam
pemberantasan korupsi akan semakin kuat atau lemah dengan dibentuknya Kortas Tipikor.
Lebih jauh, pembangunan sistem pemberantasan korupsi yang menyeluruh dan berhasil sangat
bergantung pada kerja sama KPK dan Polri.
PERMASALAHAN
Ada sejumlah topik utama yang harus dicermati dalam rangka pemberantasan korupsi di
Indonesia:
1. Kesenjangan Kewenangan dan Penekanan Tugas: Kepolisian Nasional melalui Komisi
Pemberantasan Korupsi (Kortas Tipikor) memiliki organisasi yang lebih luas tetapi
penekanannya berbeda dengan KPK yang memiliki kewenangan unik dalam
menangani kasus korupsi yang signifikan dan sistemik. Kesenjangan ini dapat
mengakibatkan kesenjangan atau tumpang tindih dalam cara penanganan kasus korupsi.
2. Sinergi dan Koordinasi Kelembagaan: Kemampuan KPK dan Kepolisian Nasional
untuk bekerja sama secara efektif sangat penting dalam memerangi korupsi. Isu "cicak
vs buaya", yang menggambarkan adanya konflik kepentingan dan kurangnya kerja
sama, merupakan salah satu contoh dalam sejarah kesulitan antara kedua lembaga
tersebut.
3. Kemandirian dan Integritas Kelembagaan: Sejak UU KPK direvisi pada tahun 2019,
KPK mengalami kesulitan dalam menegakkan integritasnya sebagai entitas yang
independen. Membangun kepercayaan publik terhadap kejujuran dan profesionalisme
personelnya merupakan masalah bagi Kepolisian Nasional.4. Efektivitas dalam Pencegahan dan Penegakan: Metode yang digunakan oleh kedua
organisasi untuk menghentikan dan menegakkan korupsi berbeda. Untuk
mengidentifikasi teknik yang paling berhasil dalam memberantas korupsi, penilaian
terhadap kemanjuran masing-masing pendekatan harus dilakukan.
Permasalahan ini menjadi dasar untuk mengevaluasi dan membandingkan seberapa baik KPK
dan Polri telah melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk menciptakan kebijakan
dan taktik yang lebih berhasil bagi upaya pemberantasan korupsi di masa mendatang, studi ini
sangat penting.
PEMBAHASAN
Efektivitas KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berperan penting dalam menyelidiki, mendakwa,
dan menghentikan kegiatan korupsi di berbagai industri sejak didirikan pada tahun 2002.
Namun, sejumlah kendala menghalangi kemampuan KPK untuk memberantas korupsi secara
efektif, terutama mengingat disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang
mengubah UU KPK. Kekhawatiran atas independensi lembaga tersebut muncul akibat
sejumlah perubahan undang-undang ini, termasuk pembentukan Dewan Pengawas, kenaikan
pangkat pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), dan pembatasan kewenangan
penyidikan dan penyadapan. Dampaknya ditunjukkan dengan menurunnya jumlah Operasi
Tangkap Tangan (OTT) dan banyaknya kasus yang terungkap pascaperubahan undang-undang
tersebut. Namun, KPK tetap menjadi organisasi penting dalam pemberantasan korupsi,
membantu menegakkan supremasi hukum dan membangun pemerintahan yang jujur.
Peran Polri dalam Pemberantasan Korupsi
Lembaga Kepolisian memiliki peran penting dalam menyelesaikan kasus korupsi, yaitu
sebagai penyidik tindak pidana korupsi (tipikor) sesuai dengan Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tipikor dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mereka
berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, termasuk melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan lainnya yang sesuai dengan hukum.
Dengan struktur organisasi yang luas hingga ke daerah, Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) memiliki keunggulan dalam menjangkau berbagai daerah. Polri memiliki kewenangan
untuk menyelidiki dan mengusut segala kegiatan yang melanggar hukum, termasuk yang
terkait dengan tindak pidana korupsi. Namun, diperlukan konsistensi dan profesionalisme dalam menjalankan tanggung jawab, tugas,
dan kewenangan penyidikan kasus tindak pidana korupsi. Untuk bersaing dengan penyidik dari
KPK dan Kejaksaan, para detektif Polri perlu mengembangkan keterampilannya.
Pada tahun 2024, pemerintah membentuk Korps Pemberantasan Korupsi (Kortas Tipikor)
untuk memperkuat peran Polri dalam pemberantasan korupsi. Tugas untuk melacak dan
melindungi aset dari tindak pidana korupsi berada di tangan Kortas Tipikor.
Sinergi Antara KPK dan Kapolri
Agar korupsi dapat diberantas secara efektif, KPK dan Polri harus bekerja sama. Melalui
audiensi dan pembaruan nota kesepahaman (MoU) yang menguraikan pembagian tugas dan
tanggung jawab, kedua lembaga telah menciptakan kolaborasi.
Setyo Budiyanto, Ketua KPK, menggarisbawahi pentingnya kerja sama dalam mencapai tujuan
pemberantasan korupsi yang lebih berhasil. Upaya ini mencakup sejumlah elemen, termasuk
penindakan, pencegahan, dan pendidikan.
Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kapolri, menyambut baik kunjungan tersebut dan menegaskan
kembali tekad Polri untuk terus memperkuat kemitraannya dengan KPK. Selain itu, ia menepis
kekhawatiran bahwa tanggung jawab Komisi Pemberantasan Korupsi tumpang tindih dengan
tanggung jawab organisasi lain. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi benar-benar
meningkatkan kemampuan Polri untuk bekerja sama dengan KPK.
"Kami minta dukungan dari Polri untuk bisa bersama-sama meningkatkan IPK ini menjadi
lebih baik," kata Setyo. "Harapannya dengan adanya Kortas ini nanti akan lebih masuk kepada
sektor pendidikan dan juga pencegahan," imbuh Setyo.
"Tentunya ini merupakan awal dari sinergitas yang akan terus kita tingkatkan dan kita bangun
dalam hal melaksanakan pemberantasan korupsi," ucap Jenderal Sigit.
Polri selama ini memiliki Direktorat Tindak Pidana Korupsi yang menjadi lini serang
penindakan. Dengan adanya Kortas Tipikor dan Satgassus Pencegahan Korupsi, formasi dalam
memerangi korupsi diharapkan makin lengkap bersama KPK.
Diketahui pula, dalam tubuh Satgassus Pencegahan Korupsi diisi para mantan pegawai KPK
salah satunya Yudi Purnomo. Saat di Mabes Polri, Setyo sempat bertemu dengan Yudi dan
berfoto Bersama "Saya yakin penerimaan di internal pegawai KPK akan sosok Setyo tidak ada masalah bahkan mendukung penuh dan bisa bekerjasama dengan baik. Sebab memang
sosoknya yang tegas dan integritas," kata Yudi dalam keterangan tertulis, Jumat (22/11/2024).
Tantangan dan Harapan
Kendati sudah ada upaya kolaborasi, masih ada beberapa masalah, seperti kemungkinan
tumpang tindih kewenangan dan disparitas metodologi antara KPK dan Polri. Namun, kedua
lembaga tersebut dapat bekerja sama memberantas korupsi jika ada koordinasi yang efektif dan
pembagian tugas yang jelas. Pimpinan KPK telah menanggapi positif kesungguhan Polri
melalui Komisi Pemberantasan Korupsi dan Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Pencegahan
Korupsi. Kedua tugas ini dinilai mampu mendukung upaya antikorupsi pemerintah. Oleh
karena itu, baik KPK maupun Polri berperan penting dalam upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia. Sementara Polri, melalui Kortas Tipikor, meningkatkan perannya dalam pencegahan
dan penindakan korupsi di tingkat daerah, KPK, dengan independensinya, berhasil menangani
kasus-kasus korupsi yang signifikan. Pendekatan yang efisien dan menyeluruh untuk
pemberantasan korupsi memerlukan kolaborasi antara kedua organisasi ini.
Tantangan:
1. Budaya Korupsi yang Mengakar: Nepotisme, penyuapan, dan penggelapan masih marak di
berbagai sektor, menghambat upaya pemberantasan korupsi.
2. Keterbatasan Sumber Daya: Keterbatasan sumber daya manusia, keuangan, dan teknologi
menjadi kendala dalam penanganan kasus korupsi.
3. Kurangnya Sinergi Antar Lembaga: Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar lembaga
penegak hukum, termasuk KPK dan Polri, dapat menghambat efektivitas upaya pemberantasan
korupsi.
4. Tantangan Hukum: Peraturan perundang-undangan yang belum lengkap atau tidak tegas
dapat menjadi celah bagi pelaku korupsi.
5. Tantangan Pelaku Korupsi: Pelaku korupsi seringkali memiliki kekuasaan dan pengaruh
yang kuat, sehingga sulit untuk ditangkap dan diproses.
Harapan:
1. Strategi Trisula KPK: Penindakan, pencegahan, dan pendidikan antikorupsi diharapkan
dapat menciptakan perubahan perilaku dan budaya antikorupsi. 2. Sinergi KPK dan Polri: Penguatan kerja sama dan koordinasi antara KPK dan Polri, melalui
Kortas Tipikor, dapat mempercepat proses penanganan kasus dan meningkatkan efektivitas
pemberantasan korupsi.
3. Perbaikan Sistem Hukum: Perbaikan peraturan perundang-undangan dan peningkatan
kualitas penegakan hukum diharapkan dapat menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan.
4. Peningkatan Kesejahteraan Pegawai Publik: Kesejahteraan pegawai publik yang baik dapat
mengurangi peluang terjadinya korupsi.
5. Partisipasi Aktif Masyarakat: Masyarakat yang sadar dan aktif dalam mengawasi pemerintah
dan sektor swasta dapat menjadi kekuatan tambahan dalam memberantas korupsi.
6. Penggunaan Teknologi Digital: Penggunaan teknologi digital dapat meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas, serta memudahkan proses pengawasan dan pelaporan.
Dengan mengatasi tantangan dan mengoptimalkan harapan, diharapkan strategi KPK dan Polri
dapat lebih efektif dalam memberantas korupsi di Indonesia, menciptakan pemerintahan yang
bersih dan akuntabel.
KESIMPULAN
Khususnya, lembaga penegak hukum seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bekerja sama untuk menyelesaikan tugas besar
dan pelik dalam memberantas korupsi di Indonesia. Meskipun memiliki perbedaan dalam sifat,
metode, dan kewenangannya, kedua lembaga tersebut memegang peranan yang krusial.
KPK dikenal dibentuk khusus untuk menangani kasus-kasus korupsi, khususnya yang
melibatkan pejabat berwenang dan menimbulkan kerugian negara yang besar. KPK dapat
menangani banyak situasi penting dengan sukses karena kewenangannya yang luas, yang
meliputi penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan. Namun, ada pula yang menilai
kewenangan KPK semakin menurun dengan adanya perubahan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2019, terutama karena kurangnya independensi dan menurunnya Operasi Tangkap
Tangan (OTT).
Di sisi lain, Polri sebagai organisasi yang strukturnya sampai ke daerah, memiliki kemampuan
untuk memberantas korupsi di wilayah yang lebih luas. Kortas Tipikor dan Satgassus
Ekspresicegah Korupsi merupakan contoh upaya Polri dalam meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi. Pedoman tersebut mendorong komitmen Polri untuk lebih serius
dalam menangani kasus korupsi.
Namun, baik KPK maupun Polri memiliki tantangan masing-masing. Sementara Polri harus
meningkatkan profesionalisme, transparansi, dan integritas dalam penanganan kasusnya agar
tidak menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat, KPK harus mengupayakan independensi
dan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap revisi undang-undang.
Tidak ada satu lembaga pun yang dapat dipastikan lebih efektif, berdasarkan pembahasan yang
telah diberikan. Sejauh mana lembaga-lembaga dapat mencapai sinergi, kolaborasi, dan
dedikasi merupakan faktor penentu dalam efisiensi pemberantasan korupsi, bukan hanya satu
lembaga saja. Manfaat KPK dan Polri dapat digunakan untuk saling melengkapi. Perjuangan
melawan korupsi di Indonesia akan lebih tangguh dan menyeluruh jika keduanya dapat bekerja
sama secara damai, didukung oleh undang-undang yang sesuai, dan pengawasan publik yang
waspada. Oleh karena itu, membangun kolaborasi yang efektif lebih penting daripada
membandingkan atasan untuk mencapai tujuan bersama yaitu Indonesia yang bebas dari
korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Yuriska. Article Perbedaan Kewenangan Kekhususan Komisi Pemberantasan Korupsi. Diakses
pada tanggal 29 mei 2024. Journal uwgm.ac.id.
Haryanti Puspa Sari, Ihsanuddin. 18 oktober 2024, 09:36. Jokowi Benruk Korps
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Polri, Ini respon KPK. Nasional.kompas.com
Rizwan azali. Oktober 2022. Efektivitas Peran Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Langkah
Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Pada Pejabat Di Indonesia. Jurnal kajian kontemporer
hukum dan Masyarakat (2022).
Nurhaliza Trie Anna Dewi. Peran KPK Dalam Pemberantasan Korupsi Di Indonesia.
Ejournal.appihi.or.id.
Tempo. 17 oktober 2024. Intip Tugas Korps Pemberantasan Korupsi Polri Yang Dibentuk
Jokowi. Tempo.co
Admin . Januari 2025. KPK dan Polri Tingkatkan Sinergi Untuk Pemeberantasan Korupsi.
Polreskotabaru.com Rumondang Naibaho. 08 januari 2025. Potret Sinergi KPK dengan Satgassus Pencegahan
Korupsi Polri. News.detik.com.

 

Wawasan Nusantara dan Perubahan Iklim: Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil

 Haekal Fahmi D47 Wawasan Nusantara dan Perubahan Iklim: Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil Abstrak Perubahan iklim global menjadi ancaman nyata...