Friday, May 30, 2025

Kewajiban Bela Negara Masih Relevankah di Era Damai. (D20)

 Fahlevi Vici Febriyani (D20)


ABSTRAK

Kewajiban bela negara merupakan tanggung jawab setiap warga negara dalam mempertahankan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari berbagai ancaman. Namun, di era damai dan globalisasi saat ini, muncul pertanyaan mengenai relevansi kewajiban bela negara. Penelitian ini mengkaji permasalahan yang menyebabkan berkurangnya pemahaman dan semangat bela negara, serta menguraikan bentuk-bentuk bela negara yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan pendekatan multidimensi, penelitian ini menunjukkan bahwa kewajiban bela negara tetap relevan dan perlu dipahami secara lebih luas, meliputi aspek pendidikan, ekonomi, teknologi, dan sosial budaya. Implementasi bela negara yang adaptif dan kontekstual sangat penting untuk menjaga persatuan dan kedaulatan bangsa menghadapi ancaman modern. Oleh karena itu, peran pemerintah, institusi pendidikan, media, dan masyarakat sangat vital dalam memperkuat kesadaran bela negara di era damai.


KATA KUNCI: Kewajiban bela negara, era damai, nasionalisme, ancaman non-fisik, partisipasi warga negara




PENDAHULUAN


Kewajiban bela negara adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap warga negara untuk mempertahankan kedaulatan, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa dari berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Konsep ini sudah menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah Indonesia sejak masa perjuangan kemerdekaan, di mana seluruh rakyat tergerak untuk melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa. Dalam konteks hukum, kewajiban bela negara tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”


Seiring perkembangan zaman, bentuk ancaman terhadap negara tidak lagi hanya berupa serangan militer secara langsung, tetapi juga muncul ancaman-ancaman baru yang lebih kompleks, seperti ancaman ideologi, terorisme, disinformasi, serangan siber, serta tekanan ekonomi dan budaya asing. Kondisi ini menuntut perubahan cara pandang terhadap konsep bela negara, dari yang dulunya dianggap hanya sebagai tugas fisik militer menjadi tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat dalam menjaga keutuhan bangsa.


Namun demikian, di era damai seperti sekarang, muncul pertanyaan penting di tengah masyarakat dan akademisi: “Masih relevankah kewajiban bela negara di era damai?” Beberapa kalangan beranggapan bahwa kewajiban ini mulai kehilangan maknanya karena tidak ada ancaman militer yang nyata, sedangkan sebagian lain melihat kewajiban bela negara tetap penting sebagai upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Fenomena ini menarik untuk dikaji secara mendalam agar pemahaman terhadap bela negara dapat diperbaharui dan disesuaikan dengan kondisi dan tantangan zaman saat ini.


PERMASALAHAN


Di era damai saat ini, sejumlah permasalahan yang muncul menyebabkan menurunnya efektivitas dan semangat pelaksanaan kewajiban bela negara. Salah satu permasalahan utama adalah kurangnya pemahaman yang komprehensif di masyarakat tentang arti dan makna bela negara yang sesungguhnya. Banyak warga negara, khususnya generasi muda, beranggapan bahwa bela negara identik dengan aktivitas militer atau pelatihan yang bersifat formal dan kaku, seperti wajib militer atau latihan dasar militer. Pemahaman yang sempit ini menyebabkan mereka tidak melihat kaitan antara bela negara dengan kehidupan sehari-hari, sehingga kewajiban ini dirasa kurang relevan (Wahyudi, 2022).


Selain itu, pendidikan bela negara selama ini masih bersifat normatif dan cenderung mengutamakan aspek teori tanpa mengaitkannya dengan realitas kehidupan modern. Materi pembelajaran bela negara belum terintegrasi secara efektif dalam kurikulum pendidikan formal maupun non-formal yang dapat menarik minat peserta didik. Kurangnya inovasi dalam metode pembelajaran, termasuk minimnya pemanfaatan teknologi digital sebagai media edukasi, membuat pembelajaran bela negara kurang berdampak (Nugroho, 2021).


Globalisasi yang pesat membawa arus budaya dan nilai-nilai asing yang masuk tanpa filter ke dalam masyarakat Indonesia. Fenomena ini berpotensi mengikis rasa nasionalisme dan solidaritas sosial. Banyak generasi muda yang cenderung mengadopsi budaya asing secara berlebihan sehingga mengurangi identifikasi mereka terhadap budaya dan nilai-nilai bangsa sendiri. Sikap individualistis dan hedonistik juga semakin marak di kalangan masyarakat, sehingga nilai-nilai kolektivitas dan tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bela negara mulai tergerus (Sukma, 2020).


Permasalahan lain yang signifikan adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap ancaman non-militer yang bersifat modern, seperti serangan siber, penyebaran hoaks, radikalisme digital, serta manipulasi informasi yang dapat memecah belah bangsa. Meskipun ancaman ini sangat berbahaya, namun edukasi dan kampanye tentang ancaman tersebut masih sangat minim dan belum mendapatkan perhatian serius dari banyak kalangan. Akibatnya, masyarakat belum siap secara mental dan intelektual dalam menghadapi tantangan ini (Siregar, 2020).


Terakhir, kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam upaya bela negara juga menjadi permasalahan tersendiri. Banyak individu yang hanya menuntut hak tanpa menjalankan kewajibannya secara seimbang. Sikap apatis dan tidak peduli terhadap isu-isu kebangsaan serta lemahnya kesadaran kolektif terhadap pentingnya mempertahankan kedaulatan dan keutuhan bangsa memperlemah implementasi kewajiban bela negara secara menyeluruh (Wahyudi, 2022).


PEMBAHASAN


Kewajiban bela negara di era modern harus dipahami dalam konteks yang lebih luas dan dinamis. Bela negara bukan hanya soal angkat senjata atau pelatihan militer, melainkan mencakup seluruh tindakan aktif warga negara dalam menjaga kedaulatan, stabilitas, dan persatuan bangsa dari berbagai ancaman, baik fisik maupun non-fisik. Di zaman sekarang, ancaman tidak hanya datang dari agresi militer langsung, melainkan juga berupa serangan siber, penyebaran disinformasi, radikalisme digital, hingga pengaruh budaya asing yang dapat mengikis nilai-nilai kebangsaan. Oleh karena itu, konsep bela negara harus diperluas agar dapat merespons tantangan global yang semakin kompleks dan beragam (Siregar, 2020).


Pendidikan menjadi kunci utama dalam menanamkan kesadaran bela negara. Namun, pendidikan bela negara saat ini masih cenderung bersifat teoritis dan formal, kurang menyentuh aspek aplikatif yang dekat dengan kehidupan sehari-hari generasi muda. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan institusi pendidikan untuk merevitalisasi kurikulum dengan memasukkan nilai-nilai kebangsaan yang terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran serta menggunakan metode pembelajaran yang inovatif dan menarik, seperti pembelajaran berbasis proyek, simulasi, atau pemanfaatan teknologi digital. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya memahami kewajiban bela negara secara teoritis, tetapi juga termotivasi untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata (Kusuma, 2023).


Selain pendidikan, setiap warga negara memiliki peran strategis dalam melaksanakan bela negara sesuai dengan kapasitas dan profesinya. Misalnya, seorang guru yang berdedikasi membentuk karakter generasi muda, seorang pegawai negeri yang bekerja dengan jujur menjaga integritas birokrasi, atau seorang warga yang aktif melestarikan budaya lokal turut berkontribusi dalam menjaga keutuhan dan identitas bangsa. Di era digital, peran warga juga dapat diwujudkan dalam menjaga keamanan informasi dan melawan penyebaran berita palsu melalui literasi digital yang baik. Dengan demikian, bela negara menjadi sikap hidup sehari-hari yang inklusif dan tidak terbatas pada aktivitas militer saja (Kusuma, 2023; Siregar, 2020).


Peran media massa dan teknologi komunikasi juga sangat penting dalam memperkuat semangat bela negara. Media sosial, televisi, radio, dan platform digital lainnya dapat digunakan sebagai sarana edukasi dan kampanye nasionalisme yang kreatif dan relevan bagi masyarakat, terutama generasi milenial dan Z. Melalui konten-konten yang menarik seperti video pendek, game edukatif, dan cerita sejarah perjuangan bangsa, nilai-nilai kebangsaan dapat disampaikan secara lebih efektif. Di sisi lain, literasi digital perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat menyaring informasi dengan bijak dan tidak mudah terprovokasi oleh hoaks atau propaganda yang berpotensi memecah belah bangsa (Rahmat, 2022).


Jika kewajiban bela negara diabaikan, implikasinya sangat berbahaya bagi ketahanan nasional. Lemahnya kesadaran bela negara dapat menyebabkan tergerusnya nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme, yang pada akhirnya menimbulkan keretakan sosial, konflik internal, dan memudahkan masuknya pengaruh negatif dari luar. Disintegrasi bangsa menjadi ancaman nyata jika persatuan dan kesatuan tidak dijaga secara konsisten. Oleh karena itu, penguatan bela negara merupakan upaya strategis untuk menjaga eksistensi dan kedaulatan bangsa dalam menghadapi tantangan yang terus berkembang (Sukma, 2020).


Secara keseluruhan, kewajiban bela negara tetap relevan bahkan semakin penting di era damai ini. Bentuk dan cara pelaksanaannya memang harus disesuaikan dengan konteks zaman yang berubah, tetapi semangat dan tujuan utamanya adalah menjaga bangsa tetap bersatu dan kuat menghadapi berbagai ancaman. Peran pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan seluruh lapisan masyarakat menjadi sangat penting dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya bela negara yang modern, adaptif, dan inklusif.


Kesimpulan


Kewajiban bela negara tetap relevan, bahkan semakin penting di era damai. Ancaman terhadap bangsa tidak lagi hanya berupa perang fisik, melainkan berkembang menjadi ancaman ideologis, budaya, ekonomi, dan teknologi. Oleh karena itu, konsep bela negara perlu dipahami secara lebih luas dan diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan mengedepankan kontribusi aktif dalam menjaga stabilitas nasional, bela negara dapat menjadi kekuatan kolektif untuk mempertahankan identitas dan kedaulatan bangsa di tengah dinamika global.


Saran


Agar semangat bela negara tidak luntur, diperlukan pendekatan yang adaptif dan kontekstual. Pemerintah perlu memperkuat pendidikan bela negara yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila dan karakter kebangsaan. Selain itu, media massa dan media sosial perlu dilibatkan dalam kampanye bela negara yang lebih kreatif dan relevan bagi generasi muda. Di sisi lain, setiap individu harus menyadari bahwa membela negara tidak harus dilakukan dengan senjata, melainkan melalui tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan profesi dan peran sosialnya masing-masing.


DAFTAR PUSTAKA


Kusuma, R. A. (2023). Pendidikan Bela Negara dan Tantangan Era Global. Yogyakarta: Pilar Nusantara Press.


Nugroho, H. (2021). Globalisasi dan Nasionalisme di Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.


Rahmat, M. (2022). Literasi Digital dan Penguatan Ideologi Pancasila. Bandung: Literindo.


Siregar, F. (2020). Ancaman Siber dan Urgensi Ketahanan Nasional. Surabaya: Lintas Informasi.


Sukma, R. (2020). Relevansi Bela Negara di Era Modern. Jurnal Ketahanan Nasional, 25(1), 45–58.


Wahyudi, A. (2022). Krisis Nasionalisme Generasi Z? Jakarta: Forum Kajian Kebangsaan.


WAJIB PAJAK YANG MALAS ANCAMAN BAGI PEMBANGUNAN NASIONAL

 


Abstrak

Pajak merupakan sumber utama pembiayaan negara untuk menyediakan layanan publik dan menjalankan program pembangunan. Namun, masih banyak masyarakat yang enggan membayar pajak karena rendahnya literasi, kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah, lemahnya penegakan hukum, dan tidak terasa langsungnya manfaat pajak. Artikel ini menyoroti pentingnya mengubah pandangan bahwa pajak adalah beban menjadi bentuk kontribusi nyata bagi bangsa. Untuk itu, dibutuhkan edukasi pajak sejak dini, sosialisasi yang inklusif, penyederhanaan sistem, transparansi penggunaan pajak, serta pemberian insentif bagi Wajib Pajak yang patuh. Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan semangat gotong royong dalam membayar pajak dapat tumbuh demi mendukung pembangunan yang adil dan berkelanjutan.

Kata kunci : kepatuhan pajak, wajib pajak, edukasi perpajakan, edukasi pajak



PENDAHULUAN

Pembangunan nasional adalah usaha bersama untuk memajukan seluruh aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan keamanan. Agar pembangunan ini bisa berjalan lancar dan merata, negara membutuhkan biaya yang besar. Salah satu sumber utama biaya pembangunan tersebut adalah dari pajak. Pajak adalah iuran yang dibayarkan oleh masyarakat kepada negara berdasarkan undang-undang. Uang pajak digunakan untuk membiayai berbagai hal yang kita gunakan sehari-hari, seperti membangun jalan, sekolah, rumah sakit, memberi subsidi pendidikan, hingga menjaga keamanan negara. Bisa dikatakan, tanpa pajak, negara akan kesulitan menjalankan semua program untuk kesejahteraan rakyat.

Sayangnya, tidak semua masyarakat sadar akan pentingnya pajak. Masih banyak orang yang malas membayar pajak, lupa melapor pajak, atau bahkan sengaja menghindari kewajiban pajaknya. Mereka ini disebut sebagai Wajib Pajak yang malas. Meski hanya sebagian, perilaku mereka bisa berdampak besar bagi negara. Ketika banyak orang malas bayar pajak, uang yang masuk ke kas negara akan berkurang. Akibatnya, program-program pembangunan bisa terhambat atau bahkan tidak berjalan sama sekali. Sikap malas ini muncul karena berbagai alasan. Ada yang tidak tahu cara bayar pajak, ada yang merasa pajak terlalu memberatkan, ada juga yang tidak percaya uang pajak digunakan dengan benar. Beberapa orang merasa tidak perlu bayar pajak karena merasa tidak mendapat manfaat langsung dari negara. Padahal, tanpa mereka sadari, banyak fasilitas yang mereka nikmati sebenarnya berasal dari uang pajak orang lain.

Di sisi lain, masih ada juga Wajib Pajak yang patuh dan selalu membayar pajak tepat waktu. Namun, mereka bisa merasa tidak adil jika melihat orang lain yang tidak membayar pajak tetap bisa hidup nyaman tanpa sanksi. Ini bisa membuat rasa gotong royong dan kepercayaan kepada negara jadi menurun. Jika dibiarkan terus-menerus, bukan hanya pendapatan negara yang berkurang, tapi juga semangat kebangsaan masyarakat bisa ikut melemah. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa membayar pajak bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk partisipasi aktif dalam membangun bangsa. Pajak adalah cara kita ikut serta menciptakan masa depan yang lebih baik untuk semua orang. Wajib Pajak yang malas bukan hanya merugikan negara, tapi juga merugikan masyarakat luas. Maka dari itu, sudah saatnya kita bahas lebih dalam mengapa kepatuhan pajak sangat penting dan bagaimana kita bisa mendorong lebih banyak orang untuk sadar pajak.


PERMASALAHAN

1. rendahnya literasi pajak

2. kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah

3. minimnya sanki dan pengawasan

4. tidak merasakan manfaat langsung dari pajak


PEMBAHASAN

Salah satu penyebab utama rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia adalah masih minimnya literasi pajak di kalangan masyarakat. Banyak orang, terutama pelaku usaha kecil, pekerja sektor informal, dan masyarakat di daerah terpencil, belum memahami secara jelas apa itu pajak, mengapa mereka harus membayar, dan bagaimana cara memenuhi kewajiban perpajakan mereka. Mereka sering kali tidak tahu bahwa mereka sebenarnya tergolong sebagai Wajib Pajak. Akibatnya, banyak yang tidak pernah melaporkan penghasilannya atau membayar pajak karena merasa itu hanya kewajiban orang-orang yang bekerja di kantor atau memiliki penghasilan besar. Padahal, sesuai peraturan perpajakan yang berlaku, setiap orang yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib membayar pajak. Survei dari Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat literasi pajak di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, yang berarti masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengedukasi masyarakat secara lebih luas dan masif (World Bank, Indonesia Economic Prospects 2022).

Selain faktor ketidaktahuan, masalah lain yang cukup serius adalah rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya dalam hal pengelolaan dana pajak. Banyak orang merasa ragu bahwa uang pajak yang mereka bayarkan benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Hal ini tidak lepas dari berbagai kasus korupsi yang mencoreng citra institusi negara, termasuk institusi perpajakan itu sendiri. Salah satu kasus besar yang menyita perhatian publik adalah kasus Rafael Alun Trisambodo, seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang diketahui memiliki kekayaan luar biasa yang tidak sebanding dengan profil gajinya sebagai aparatur sipil negara. Kasus ini menimbulkan kemarahan di masyarakat karena memperkuat persepsi bahwa uang pajak yang dibayarkan bisa saja jatuh ke tangan yang salah. Ketika kepercayaan publik menurun, maka dorongan untuk taat pajak juga ikut melemah. Orang-orang berpikir, untuk apa membayar pajak jika akhirnya hanya dinikmati oleh segelintir oknum?

Masalah selanjutnya yang turut memperburuk kepatuhan pajak adalah lemahnya pengawasan serta sanksi yang masih belum memberikan efek jera. Masih banyak Wajib Pajak yang tidak melapor atau tidak membayar pajak tepat waktu, namun tidak mendapat tindakan tegas dari otoritas pajak. Ketika pelanggaran tidak dihukum, maka orang cenderung merasa aman untuk terus menghindari pajak. Sementara itu, mereka yang taat pajak bisa merasa dirugikan, karena mereka berusaha patuh namun tidak melihat keadilan ditegakkan terhadap pelanggar. Ketimpangan ini menimbulkan perasaan tidak adil dan bisa menurunkan semangat masyarakat untuk patuh pada aturan.

Di sisi lain, sebagian besar masyarakat juga merasa bahwa mereka tidak merasakan langsung manfaat dari membayar pajak. Banyak yang merasa tetap harus mengeluarkan uang sendiri untuk mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan kebutuhan lainnya, tanpa bantuan atau subsidi dari negara. Hal ini membuat mereka bertanya-tanya, untuk apa membayar pajak jika pada akhirnya mereka tetap harus membiayai semuanya sendiri? Namun, sebenarnya, tidak semua manfaat pajak terlihat secara langsung. Banyak program dan layanan pemerintah yang dibiayai dari uang pajak, seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM), dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), infrastruktur jalan dan jembatan, hingga bantuan sosial untuk keluarga tidak mampu. Sayangnya, kurangnya informasi dan transparansi menyebabkan manfaat-manfaat ini tidak diketahui oleh sebagian masyarakat. Jika pemerintah bisa menjelaskan dengan lebih baik ke mana uang pajak digunakan, maka masyarakat pun bisa merasa lebih yakin bahwa kontribusi mereka tidak sia-sia.

Berikut dampak buruk dari wajib pajak yang malas :

1. pembangunan tertunda

2. negara bertambah utang

3. ketimpangan dan ketidakadilan sosial

4. menurunnya kualitas layanan publik 

Untuk mengatasi rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia, diperlukan upaya menyeluruh dari berbagai pihak, terutama pemerintah. Salah satu langkah penting adalah meningkatkan edukasi tentang pajak sejak dini, misalnya dengan memasukkan materi perpajakan ke dalam kurikulum sekolah. Dengan cara ini, anak-anak dan remaja bisa tumbuh dengan pemahaman yang lebih baik tentang kewajiban pajak dan bagaimana pajak berperan dalam pembangunan negara. Selain melalui pendidikan formal, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi perpajakan secara aktif kepada masyarakat umum, khususnya di daerah dan sektor informal. Sosialisasi ini harus dikemas dalam bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, serta menjangkau berbagai lapisan masyarakat.

Selain edukasi, sistem perpajakan itu sendiri juga perlu terus disederhanakan. Proses pelaporan dan pembayaran pajak yang terlalu rumit bisa membuat masyarakat enggan atau takut untuk melapor. Oleh karena itu, digitalisasi sistem pajak yang sedang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak harus diarahkan untuk benar-benar mempermudah Wajib Pajak, bukan malah membingungkan mereka. Penggunaan teknologi digital seperti aplikasi e-Filing dan e-Bupot harus dibarengi dengan panduan yang jelas serta layanan bantuan yang responsif, agar masyarakat merasa terbantu dan nyaman menjalani kewajibannya.

Tak kalah penting adalah penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran perpajakan. Selama ini, masih banyak pelanggaran yang tidak ditindak secara serius, sehingga menciptakan kesan bahwa menghindari pajak bukanlah pelanggaran berat. Pemerintah perlu menunjukkan komitmen bahwa siapa pun yang tidak taat pajak akan dikenakan sanksi, termasuk denda, penyitaan, atau bahkan proses hukum. Ketegasan ini bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi untuk menciptakan efek jera dan menjaga keadilan bagi para Wajib Pajak yang sudah patuh.

Transparansi dalam pengelolaan pajak juga sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Jika masyarakat mengetahui ke mana uang pajak mereka digunakan, dan dapat melihat hasilnya dalam bentuk infrastruktur yang membaik, pendidikan gratis, layanan kesehatan yang lebih terjangkau, atau bantuan sosial yang tepat sasaran, maka mereka akan merasa kontribusi mereka dihargai. Oleh karena itu, pemerintah harus rutin menyampaikan laporan pemanfaatan pajak secara terbuka, misalnya melalui media massa, website resmi, atau forum publik.

Terakhir, perlu juga diberikan insentif atau penghargaan kepada Wajib Pajak yang patuh sebagai bentuk apresiasi. Insentif ini bisa berupa kemudahan dalam mengakses layanan publik, keringanan administrasi, akses ke program pembiayaan pemerintah, atau bahkan penghargaan resmi seperti sertifikat dan penghormatan simbolik. Dengan adanya penghargaan ini, masyarakat akan merasa bangga menjadi bagian dari pembangunan bangsa dan lebih termotivasi untuk terus memenuhi kewajiban pajaknya secara sadar dan sukarela.


KESIMPULAN

Membangun Indonesia yang adil, makmur, dan berkelanjutan membutuhkan partisipasi aktif seluruh elemen bangsa, salah satunya melalui kepatuhan membayar pajak. Wajib Pajak yang malas adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan pembangunan nasional, karena mengurangi kapasitas negara dalam menjalankan fungsinya untuk rakyat. Sudah saatnya kita mengubah paradigma bahwa pajak adalah beban menjadi bahwa pajak adalah bentuk kontribusi. Karena sejatinya, setiap rupiah pajak yang kita bayarkan adalah investasi untuk masa depan bangsa.



DAFPUS 

1. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). APBN Kita Edisi Desember 2023. https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita

2. Direktorat Jenderal Pajak. (2023). Laporan Kinerja DJP 2022–2023. https://www.pajak.go.id

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)

4. Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Keuangan Pemerintah. https://www.bps.go.id

5. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (2023). Statistik Utang Negara. https://www.djpb.kemenkeu.go.id

6. DJP. (2023). Inklusi Kesadaran Pajak di Dunia Pendidikan.

D33 SISTEM PERADILAN ANAK SUDAHKAN RAMAH GENERASI MUDA

 

Abstrak
Sistem peradilan pidana anak di Indonesia mengalami reformasi signifikan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Undang-undang ini menekankan pendekatan restoratif dan diversi sebagai strategi utama untuk melindungi hak anak dalam proses hukum. Namun, dalam praktiknya, masih ditemukan tantangan besar, termasuk diskriminasi, kurangnya fasilitas ramah anak, serta stigma sosial terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana sistem ini telah ramah terhadap generasi muda, mengulas pelaksanaan UU SPPA, serta memberikan saran konkret untuk perbaikan. Pendekatan kualitatif digunakan melalui studi literatur dan telaah kasus.

Kata Kunci: peradilan anak, ramah anak, diversi, UU SPPA, keadilan restoratif

Pendahuluan
Anak-anak adalah masa depan bangsa dan berhak atas perlindungan hukum yang adil dan manusiawi. Namun, ketika mereka berhadapan dengan hukum, sering kali perlakuan yang diterima tidak mencerminkan pendekatan yang sesuai dengan usia dan kondisi psikologis mereka. Seiring perkembangan sistem hukum di Indonesia, muncul dorongan untuk membentuk sistem peradilan pidana anak yang lebih ramah terhadap perkembangan dan masa depan anak.

Salah satu tonggak penting adalah lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang menggantikan pendekatan represif dengan pendekatan restoratif. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk menjamin hak-hak anak, menghindari pemenjaraan sebagai hukuman utama, serta mengedepankan prinsip diversi sejak tahap penyidikan.

Permasalahan
Walaupun secara normatif sistem hukum anak telah mengalami reformasi, namun sejumlah persoalan tetap menjadi penghambat terciptanya sistem yang benar-benar ramah anak:

Diskriminasi dalam Penegakan Hukum
Masih ditemukan perlakuan berbeda antara anak dari keluarga miskin dan kaya dalam proses hukum, termasuk dalam hal akses bantuan hukum.

Kurangnya Sarana dan Prasarana Ramah Anak
Fasilitas seperti ruang tahanan khusus anak, ruang pemeriksaan, dan layanan psikososial sering kali tidak tersedia atau belum memenuhi standar yang ditetapkan.

Minimnya Pemahaman Aparat Penegak Hukum
Banyak aparat penegak hukum, termasuk polisi dan jaksa, belum sepenuhnya memahami konsep keadilan restoratif dan diversi.

Stigma Sosial terhadap Anak yang Pernah Berhadapan dengan Hukum
Anak yang sudah menyelesaikan proses hukum masih menghadapi stigma dari masyarakat yang berdampak negatif terhadap reintegrasi sosial mereka.

Pembahasan
1. Dasar Hukum dan Prinsip SPPA
UU SPPA menegaskan bahwa pendekatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) harus bersifat restoratif, bukan semata-mata retributif. Prinsip utama UU ini antara lain:

Diversi: penyelesaian di luar proses peradilan

Non-pemenjaraan sebagai langkah terakhir

Perlakuan manusiawi dan adil terhadap anak

2. Diversi sebagai Alternatif Pemidanaan
Diversi merupakan upaya penyelesaian perkara anak di luar proses peradilan formal, yang melibatkan korban, pelaku, keluarga, dan pihak terkait. Diversi dapat dilakukan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Namun, tantangan utama dalam penerapan diversi adalah:

Belum semua aparat memahami atau mendukung diversi

Kurangnya fasilitator yang kompeten

Tidak semua kasus memenuhi syarat diversi (misalnya kejahatan berat)

3. Kelembagaan dan Peran Lembaga Perlindungan Anak
Banyak lembaga seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) belum memenuhi standar internasional. Perlu ada sinergi antar lembaga seperti Komnas Perlindungan Anak, Bapas, dan LPKA dalam pemulihan anak.

4. Implementasi Nyata di Berbagai Daerah
Implementasi sistem ini bervariasi antar daerah. Di kota-kota besar, penerapan diversi lebih lancar karena tersedianya sumber daya. Sebaliknya, di daerah terpencil, sering kali anak langsung ditahan tanpa alternatif.

Contoh kasus positif:

Diversi di Yogyakarta: keberhasilan mengembalikan anak ke lingkungan sosial tanpa stigma
Contoh kasus negatif:

Penahanan anak di Papua tanpa pendamping hukum

5. Keterlibatan Masyarakat dan Sekolah
Sekolah dan masyarakat memegang peran penting dalam reintegrasi anak pasca proses hukum. Masih minimnya program sekolah ramah anak yang mengakomodasi anak ABH menjadi sorotan.

Kesimpulan
Sistem peradilan pidana anak di Indonesia telah mengarah ke arah yang lebih progresif dan ramah anak melalui UU SPPA dan berbagai mekanisme seperti diversi dan keadilan restoratif. Namun, praktiknya masih jauh dari ideal. Masih ada banyak anak yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi, tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak, serta mengalami stigma sosial yang menghambat masa depan mereka.

Saran
Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum
Perlu pelatihan dan sertifikasi berkala bagi polisi, jaksa, dan hakim tentang pendekatan peradilan restoratif.

Pembangunan Fasilitas yang Memadai
Pemerintah pusat dan daerah harus berkomitmen menyediakan ruang tahanan, ruang pemeriksaan, dan pusat rehabilitasi anak yang layak.

Peran Aktif Sekolah dan Komunitas
Sekolah perlu dilatih untuk mendampingi dan menerima kembali anak-anak yang telah menyelesaikan proses hukum.

Evaluasi Berkala dan Reformasi Berkelanjutan
Evaluasi sistem SPPA perlu dilakukan secara berkala untuk menjamin kesesuaian dengan perkembangan sosial dan hak anak.

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (2023). Laporan Tahunan.

UNICEF Indonesia. (2022). Child Justice System Reform in Indonesia.

Idrus, M. (2020). Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Jakarta: Prenadamedia.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. (2021). Pedoman Diversi dalam Penanganan Anak.

Sulaeman, R. (2022). “Evaluasi Pelaksanaan Diversi dalam SPPA.” Jurnal Hukum & HAM, 14(2), 155–172.

Pendidikan Pancasila Solusi Ampuh Menguatkan Integrasi Nasional

 Oleh: Sulastri Marbun (D06)



Abstrak

Pendidikan Pancasila memegang peranan penting dalam memperkuat integrasi nasional Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya, suku, agama, dan bahasa. Dalam konteks dinamika globalisasi yang memicu disintegrasi bangsa, pendidikan Pancasila menjadi garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan, persatuan, dan toleransi. Artikel ini membahas urgensi pendidikan Pancasila sebagai solusi ampuh dalam memperkuat integrasi nasional. Melalui kajian mendalam mengenai permasalahan disintegrasi, konsep integrasi nasional, serta implementasi pendidikan Pancasila di berbagai jenjang pendidikan, artikel ini menegaskan peran vital Pancasila dalam menjaga keutuhan bangsa. Kesimpulan dan saran di akhir artikel menekankan perlunya penguatan kurikulum, inovasi metode pembelajaran, dan keterlibatan semua elemen masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila.

Kata Kunci: Pendidikan Pancasila, Integrasi Nasional, Kebhinekaan, Nilai Kebangsaan, Persatuan

Pendahuluan

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan memiliki potensi besar untuk terpecah belah. Namun, sejak awal kemerdekaan, bangsa ini bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi pemersatu bangsa. Pancasila bukan hanya sekadar simbol, melainkan juga pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Dalam era globalisasi yang membawa arus perubahan sosial dan budaya, nilai-nilai Pancasila mulai tergerus oleh berbagai kepentingan individu maupun kelompok. Hal ini menimbulkan keresahan terhadap rapuhnya integrasi nasional. Oleh sebab itu, pendidikan Pancasila hadir sebagai solusi konkret untuk memperkuat kembali semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Artikel ini akan menguraikan secara komprehensif mengenai peranan pendidikan Pancasila sebagai solusi ampuh dalam memperkuat integrasi nasional.

Permasalahan

Seiring perkembangan zaman, Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan yang mengancam integrasi nasional, antara lain:

  1. Meningkatnya Konflik Sosial: Perbedaan agama, etnis, dan kepentingan politik sering memicu konflik horizontal yang mengancam persatuan bangsa.

  2. Radikalisme dan Intoleransi: Penyebaran paham radikal dan intoleransi melalui media sosial maupun lembaga pendidikan tertentu memicu perpecahan dalam masyarakat.

  3. Erosi Nilai Kebangsaan: Generasi muda cenderung kehilangan jati diri kebangsaan akibat pengaruh budaya asing yang tidak sejalan dengan Pancasila.

  4. Kurangnya Pemahaman Pancasila: Minimnya pemahaman tentang Pancasila, baik di kalangan pelajar maupun masyarakat umum, menyebabkan pengabaian terhadap prinsip-prinsip persatuan dan keadilan sosial.

  5. Lemahnya Implementasi Pendidikan Pancasila: Kurikulum yang kurang inovatif dan metode pembelajaran yang monoton membuat pendidikan Pancasila kurang diminati.

Permasalahan-permasalahan tersebut menegaskan perlunya penguatan pendidikan Pancasila sebagai solusi untuk mengatasi disintegrasi nasional.

Pembahasan

A. Konsep Integrasi Nasional

Integrasi nasional adalah proses mempersatukan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang budaya, etnis, agama, dan bahasa menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dalam konteks Indonesia, integrasi nasional menjadi sangat penting mengingat tingginya tingkat heterogenitas masyarakat. Tanpa adanya integrasi yang kokoh, keberlangsungan bangsa akan terganggu.

Integrasi nasional tidak hanya tercapai melalui kebijakan politik dan hukum, melainkan juga harus didukung oleh budaya dan nilai-nilai yang mempersatukan. Di sinilah peran Pancasila menjadi sangat krusial, karena Pancasila mengajarkan tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini harus tertanam dalam setiap individu agar tercipta harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.

B. Urgensi Pendidikan Pancasila dalam Memperkuat Integrasi Nasional

Pendidikan Pancasila tidak sekadar mengajarkan teori, tetapi juga membentuk karakter peserta didik agar memiliki jiwa nasionalisme dan menghargai perbedaan. Beberapa peranan penting pendidikan Pancasila dalam memperkuat integrasi nasional adalah:

  1. Menanamkan Rasa Cinta Tanah Air: Pendidikan Pancasila mengajarkan pentingnya mencintai tanah air dan berkontribusi dalam menjaga keutuhan bangsa.

  2. Mengembangkan Sikap Toleransi: Melalui pemahaman nilai Pancasila, generasi muda diajarkan untuk menghormati perbedaan dan menjunjung tinggi toleransi.

  3. Meningkatkan Solidaritas Sosial: Pendidikan Pancasila menumbuhkan semangat gotong royong, kebersamaan, dan kepedulian terhadap sesama.

  4. Menguatkan Identitas Kebangsaan: Generasi muda dilatih untuk memahami jati diri bangsa dan tidak mudah terpengaruh oleh budaya asing yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa.

C. Implementasi Pendidikan Pancasila

Untuk memperkuat integrasi nasional, pendidikan Pancasila perlu diimplementasikan secara optimal dengan langkah-langkah berikut:

  1. Penguatan Kurikulum: Kurikulum pendidikan harus menempatkan Pancasila sebagai mata pelajaran utama, baik di tingkat dasar, menengah, maupun perguruan tinggi.

  2. Inovasi Metode Pembelajaran: Guru perlu menggunakan metode yang kreatif dan kontekstual, seperti diskusi, studi kasus, role play, dan pemanfaatan teknologi.

  3. Integrasi Nilai Pancasila dalam Semua Mata Pelajaran: Tidak hanya diajarkan secara formal, nilai Pancasila harus terintegrasi dalam semua aspek pembelajaran, seperti dalam kegiatan ekstrakurikuler dan proyek-proyek sosial.

  4. Peran Keluarga dan Masyarakat: Penanaman nilai Pancasila tidak hanya tugas sekolah, tetapi juga keluarga dan masyarakat yang harus memberikan teladan.

  5. Pemanfaatan Media Sosial: Generasi muda sebagai digital native harus dibekali kemampuan untuk menyaring informasi dan memanfaatkan media sosial sebagai sarana penyebaran nilai kebangsaan.

D. Studi Kasus Keberhasilan Pendidikan Pancasila

Beberapa sekolah dan daerah di Indonesia telah berhasil menerapkan pendidikan Pancasila secara inovatif, seperti program "Sekolah Pancasila" yang mengintegrasikan kegiatan pembelajaran dengan praktik sosial di lingkungan masyarakat. Misalnya, program "Kampung Pancasila" yang melibatkan siswa dalam kegiatan gotong royong, bakti sosial, dan pelatihan kepemimpinan berbasis Pancasila. Keberhasilan program-program tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Pancasila yang aplikatif mampu membangun rasa persatuan dan solidaritas.

Kesimpulan

Pendidikan Pancasila merupakan solusi ampuh dalam memperkuat integrasi nasional Indonesia yang beragam. Nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan persatuan, toleransi, keadilan sosial, dan cinta tanah air harus ditanamkan sejak dini melalui pendidikan formal maupun informal. Implementasi pendidikan Pancasila yang kreatif dan aplikatif akan menghasilkan generasi penerus bangsa yang memiliki karakter kebangsaan yang kuat. Oleh karena itu, penguatan kurikulum, inovasi pembelajaran, serta keterlibatan keluarga dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pendidikan Pancasila untuk memperkuat integrasi nasional.

Saran

  1. Pemerintah perlu merevitalisasi kurikulum pendidikan Pancasila dengan pendekatan kontekstual dan aplikatif.

  2. Guru harus dibekali pelatihan intensif dalam mengajarkan Pancasila dengan metode kreatif yang menarik.

  3. Keluarga dan masyarakat perlu dilibatkan dalam penanaman nilai-nilai Pancasila di lingkungan sosial.

  4. Media massa dan media sosial harus dimanfaatkan untuk menyebarluaskan semangat kebangsaan dan nilai Pancasila.

  5. Penelitian dan evaluasi berkala terhadap efektivitas pendidikan Pancasila perlu dilakukan untuk perbaikan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

  • Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

  • Mahfud MD. (2011). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

  • Mulyana, D. (2005). Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

  • Tilaar, H.A.R. (1999). Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  • Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

  • Suyanto, S. (2005). Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. Jakarta: Grasindo.

Keterlibatan Perempuan dalam Politik Capaian dan Tantangan Era Modern

 

Mahira Maharani - 44223010041 (D-13)

Keterlibatan Perempuan dalam Politik: Capaian dan Tantangan Era Modern

Abstrak

Keterlibatan perempuan dalam politik merupakan salah satu indikator penting dalam menilai kualitas demokrasi dan pencapaian kesetaraan gender di suatu negara. Meskipun berbagai kebijakan afirmatif telah diterapkan di Indonesia, termasuk kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif, keterlibatan perempuan dalam politik masih menghadapi berbagai hambatan. Artikel ini membahas capaian dan tantangan perempuan dalam politik modern, terutama dalam konteks struktural dan kultural yang masih membatasi partisipasi aktif perempuan. Hambatan struktural seperti dominasi laki-laki dalam partai politik dan keterbatasan akses terhadap sumber daya politik, serta hambatan kultural berupa budaya patriarki dan stereotip gender, menjadi tantangan utama yang belum sepenuhnya teratasi. Di sisi lain, strategi pemberdayaan seperti pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, reformasi partai, serta dukungan media dan masyarakat menunjukkan potensi besar dalam memperkuat peran perempuan. Dengan mengadopsi praktik baik dari negara-negara lain seperti Rwanda dan negara-negara Skandinavia, Indonesia dapat membangun sistem politik yang lebih inklusif dan setara gender. Artikel ini menyimpulkan bahwa peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik tidak hanya membutuhkan kebijakan afirmatif, tetapi juga perubahan sistemik yang melibatkan seluruh elemen bangsa.

Kata kunci: Perempuan, Politik, Kesetaraan Gender, Partisipasi Politik, Budaya Patriarki, Kuota Afirmasi, Demokrasi Inklusif

 

Pendahuluan

Keterlibatan perempuan dalam politik merupakan isu penting yang mencerminkan dinamika sosial, budaya, dan demokrasi suatu bangsa. Dalam sejarah panjang dunia politik yang selama ini didominasi oleh laki-laki, perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang politik tidaklah mudah. Mulai dari hak untuk memilih hingga hak untuk dipilih, perempuan menghadapi berbagai hambatan, baik yang bersifat struktural maupun kultural. Namun, seiring dengan berkembangnya kesadaran global terhadap pentingnya kesetaraan gender dan hak asasi manusia, peran perempuan dalam politik mulai mendapatkan perhatian yang lebih serius dari berbagai pihak.

Di tingkat internasional, berbagai konvensi dan deklarasi telah mengakui pentingnya partisipasi perempuan dalam kehidupan politik dan pengambilan keputusan. Salah satu tonggak penting adalah Beijing Platform for Action tahun 1995, yang menekankan perlunya penghapusan hambatan terhadap partisipasi politik perempuan dan mendorong keterlibatan mereka dalam semua level pemerintahan. Begitu pula dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan kelima (kesetaraan gender) dan tujuan keenam belas (lembaga yang inklusif dan partisipatif), yang menargetkan peningkatan representasi perempuan di lembaga politik dan pemerintahan.

Di Indonesia, isu keterlibatan perempuan dalam politik mulai memperoleh ruang lebih besar setelah era reformasi. Berbagai regulasi dibuat untuk memperkuat posisi perempuan dalam sistem politik, termasuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mewajibkan partai untuk mencantumkan minimal 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif. Meskipun demikian, angka partisipasi perempuan secara nyata di legislatif dan eksekutif masih relatif rendah dibandingkan dengan laki-laki. Ini menunjukkan bahwa kebijakan afirmatif saja belum cukup untuk menghapus hambatan yang dihadapi perempuan.

Selain tantangan struktural seperti dominasi partai politik oleh laki-laki dan keterbatasan sumber daya politik yang dimiliki perempuan, hambatan kultural juga masih sangat kuat. Budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat Indonesia seringkali menempatkan perempuan sebagai pihak yang seharusnya lebih fokus pada ranah domestik daripada publik. Stigma, stereotip, serta minimnya dukungan sosial turut menjadi faktor yang mempersempit ruang gerak perempuan dalam berpolitik.

Oleh karena itu, analisis yang komprehensif terhadap capaian perempuan dalam politik serta tantangan yang mereka hadapi menjadi sangat penting. Dengan pemahaman yang mendalam, berbagai pihak – pemerintah, masyarakat sipil, media, hingga institusi pendidikan – dapat mengambil peran strategis dalam mendorong keterlibatan perempuan secara lebih bermakna dalam politik di era modern ini.

 

Permasalahan

Meskipun keterlibatan perempuan dalam politik telah mengalami peningkatan, baik dari segi kuantitas maupun pengakuan formal melalui kebijakan afirmatif, pada kenyataannya masih banyak hambatan yang menghalangi partisipasi perempuan secara penuh dan bermakna. Salah satu permasalahan utama adalah ketimpangan representasi antara laki-laki dan perempuan di lembaga legislatif maupun eksekutif. Kuota 30% yang telah ditetapkan melalui regulasi politik seringkali hanya dipenuhi secara administratif, tanpa menjamin peran substantif perempuan dalam proses pengambilan keputusan politik.

Selain itu, budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat Indonesia juga menjadi permasalahan serius. Perempuan masih sering dianggap tidak pantas memegang posisi kepemimpinan karena stereotip yang melekat, seperti dianggap terlalu emosional, kurang tegas, atau terlalu terbebani dengan tanggung jawab domestik. Persepsi-persepsi ini menghambat perempuan untuk bersaing secara adil dalam kontestasi politik.

Keterbatasan akses terhadap pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, serta minimnya dukungan jaringan dan sumber daya politik, termasuk pendanaan kampanye, menjadi kendala teknis lainnya yang sering dihadapi perempuan. Tidak sedikit perempuan yang akhirnya hanya dijadikan “pelengkap kuota” oleh partai politik tanpa diberikan ruang yang cukup untuk berkembang atau mengemukakan pendapat.

Dengan demikian, permasalahan keterlibatan perempuan dalam politik bukan hanya soal jumlah, tetapi juga menyangkut kualitas keterlibatan dan akses terhadap struktur kekuasaan politik yang adil dan setara. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mencari solusi yang komprehensif.

 

Pembahasan

A. Peningkatan Keterlibatan Perempuan: Indikator Kemajuan Demokrasi

Keterlibatan perempuan dalam politik seringkali dijadikan tolok ukur penting dalam menilai tingkat demokratisasi suatu negara. Semakin besar partisipasi perempuan, baik sebagai pemilih maupun sebagai aktor politik, semakin inklusif pula sistem politik yang dijalankan. Dalam konteks Indonesia, reformasi politik pasca-1998 membuka peluang lebih besar bagi perempuan untuk terlibat dalam arena politik formal. Salah satu bentuk afirmasi nyata adalah diberlakukannya kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Meski begitu, keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia masih berada di bawah angka ideal. Pada Pemilu 2019, jumlah anggota DPR perempuan tercatat sebanyak 120 orang dari 575 kursi atau sekitar 20,9%. Meskipun meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya, angka ini masih jauh dari target 30% yang dicanangkan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan afirmatif belum sepenuhnya efektif jika tidak diikuti dengan upaya struktural dan kultural yang lebih menyeluruh.


B. Hambatan Struktural: Akses dan Kesempatan yang Tidak Setara

Hambatan terbesar perempuan dalam politik seringkali bersifat struktural. Struktur partai politik di Indonesia masih didominasi oleh laki-laki, baik dalam pengambilan keputusan, strategi pencalonan, maupun pembagian sumber daya. Dalam banyak kasus, partai lebih memilih kandidat laki-laki karena dianggap lebih kompeten dan berpengalaman. Perempuan seringkali tidak mendapatkan posisi strategis dalam partai, sehingga sulit bagi mereka untuk bersaing dalam pemilu.

Selain itu, pendanaan politik juga menjadi hambatan utama. Kampanye politik membutuhkan dana besar, dan perempuan umumnya memiliki akses yang lebih rendah terhadap sumber daya ekonomi dibandingkan laki-laki. Minimnya dukungan finansial menghambat kemampuan perempuan untuk menjalankan kampanye politik yang efektif. Akibatnya, meskipun masuk dalam daftar calon legislatif, banyak perempuan yang gagal memperoleh kursi karena kalah bersaing dari sisi logistik dan promosi.


C. Hambatan Kultural: Budaya Patriarki dan Stereotip Gender

Di luar hambatan struktural, hambatan kultural juga memainkan peran besar dalam membatasi partisipasi politik perempuan. Masyarakat Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkal yang menempatkan perempuan di posisi subordinat. Perempuan dianggap lebih cocok mengurus rumah tangga dan anak, sementara laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan pencari nafkah utama. Pandangan ini menciptakan stigma negatif terhadap perempuan yang terjun ke dunia politik.

Selain itu, perempuan politisi seringkali dihadapkan pada tuntutan ganda. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menjalankan peran domestik sebagai istri dan ibu, namun di sisi lain mereka harus bersaing keras di arena politik yang keras dan kompetitif. Ketidakseimbangan peran ini membuat banyak perempuan enggan atau kesulitan untuk aktif secara penuh dalam politik.

Media massa juga turut memperkuat hambatan kultural ini. Alih-alih menyoroti gagasan dan kebijakan yang diusung, media lebih sering mengangkat aspek personal seperti penampilan, status perkawinan, atau kehidupan rumah tangga perempuan politisi. Hal ini memperkuat stereotip dan mengalihkan perhatian publik dari substansi politik ke hal-hal yang bersifat superfisial.


D. Strategi dan Upaya Mengatasi Tantangan

Mengatasi tantangan-tantangan tersebut memerlukan pendekatan multidimensi yang melibatkan pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, media, dan lembaga pendidikan. Pertama, perlu adanya penguatan terhadap implementasi kebijakan afirmatif. Kuota keterwakilan perempuan tidak boleh hanya menjadi syarat administratif, melainkan harus diterjemahkan dalam bentuk pemberdayaan dan pembinaan politik yang berkelanjutan. Partai politik perlu diberikan insentif untuk benar-benar memfasilitasi kaderisasi dan pelatihan kepemimpinan bagi perempuan.

Kedua, penting untuk memperluas akses pendidikan politik dan pelatihan kepemimpinan perempuan. Banyak perempuan potensial yang belum memiliki pengalaman atau keterampilan politik karena minimnya pelatihan yang tersedia. Lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi perempuan, dan lembaga pendidikan dapat mengambil peran penting dalam menyediakan pelatihan ini secara inklusif dan merata di berbagai daerah.

Ketiga, dukungan sosial dan budaya perlu diperkuat. Masyarakat harus didorong untuk menerima dan mendukung perempuan dalam peran kepemimpinan. Ini bisa dilakukan melalui kampanye kesadaran publik, pendidikan gender di sekolah, serta pelibatan tokoh agama dan adat dalam menyuarakan pentingnya kesetaraan. Peran keluarga juga sangat vital; dukungan dari pasangan dan keluarga besar dapat memberikan kepercayaan diri bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam politik.

Keempat, media massa perlu menjalankan peran edukatif. Alih-alih memperkuat stereotip, media dapat menjadi alat advokasi untuk menyoroti keberhasilan perempuan dalam politik, mengangkat isu-isu yang mereka perjuangkan, dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender dalam kepemimpinan.


E. Belajar dari Praktik Baik Negara Lain

Beberapa negara telah berhasil meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik melalui strategi yang inovatif dan konsisten. Rwanda, misalnya, menjadi negara dengan persentase keterwakilan perempuan tertinggi di parlemen dunia, mencapai lebih dari 60%. Hal ini dicapai melalui sistem kuota yang ketat dan komitmen politik yang kuat terhadap kesetaraan gender. Negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, dan Finlandia juga dikenal memiliki sistem politik yang sangat inklusif terhadap perempuan.

Praktik baik dari negara-negara tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik bukan hanya masalah kuota, melainkan hasil dari perubahan sistemik yang menyeluruh, mulai dari kebijakan publik, struktur partai, sistem pendidikan, hingga budaya masyarakat yang mendukung perempuan sebagai pemimpin.

 

Kesimpulan

Keterlibatan perempuan dalam politik merupakan salah satu indikator utama kemajuan demokrasi dan kesetaraan gender di suatu negara. Di Indonesia, berbagai regulasi dan kebijakan afirmatif seperti kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif telah menunjukkan niat baik negara dalam membuka ruang politik bagi perempuan. Namun, meskipun keterlibatan perempuan dalam politik mengalami peningkatan secara kuantitatif, masih terdapat tantangan besar dari segi kualitas dan substansi keterlibatan tersebut.

Hambatan struktural berupa dominasi laki-laki dalam partai politik dan terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya politik, serta hambatan kultural seperti budaya patriarki, stereotip gender, dan tuntutan ganda peran domestik, masih menjadi penghalang serius bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dan setara dalam dunia politik. Media massa pun turut memperkuat hambatan ini melalui representasi yang kurang adil terhadap politisi perempuan.

Meski demikian, terdapat strategi dan peluang untuk memperkuat peran politik perempuan. Pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, reformasi internal partai, peran media, dan dukungan masyarakat dapat menjadi kunci dalam mendorong keterlibatan perempuan yang lebih bermakna. Belajar dari praktik baik negara lain seperti Rwanda dan negara-negara Skandinavia, Indonesia dapat mencontoh bagaimana perubahan sistemik yang menyeluruh mampu menciptakan ruang politik yang lebih setara dan inklusif bagi perempuan.

 

Saran

Untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam politik secara lebih bermakna, diperlukan komitmen bersama dari pemerintah, partai politik, media, dan masyarakat. Kebijakan afirmatif harus diimplementasikan secara nyata, bukan sekadar formalitas. Partai perlu memberi ruang strategis dan pelatihan bagi kader perempuan, sementara akses terhadap pendidikan politik juga perlu diperluas. Selain itu, perubahan budaya melalui edukasi dan kampanye publik penting untuk menghapus stereotip gender. Media juga diharapkan menyajikan pemberitaan yang adil dan substansial. Dengan dukungan berbagai pihak, keterlibatan perempuan dalam politik dapat meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas.


D27 Konstitusi vs Kebijakan Pemerintah Ketika Regulasi Bertentangan UUD


 












Konstitusi vs Kebijakan Pemerintah Ketika Regulasi Bertentangan UUD

ABSTRAK

Wewenang hukum tertinggi dan landasan untuk menyusun pemerintahan Indonesia serta membuat undang-undang dan peraturan adalah konstitusi negara. Namun, pada kenyataannya, sering kali terdapat perbedaan antara praktik pemerintahan dan standar konstitusional yang diuraikan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dengan menggunakan analisis empiris dan hukum, artikel ini mengeksplorasi fenomena konflik ini, dengan menggunakan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai ilustrasi khusus. Kurangnya pemahaman tentang konsep ketatanegaraan, dominannya kepentingan politik-ekonomi, kurangnya partisipasi publik, dan prosedur perundang-undangan yang tidak tepat diidentifikasi sebagai penyebab utama konflik antara peraturan dan konstitusi. Pergumulan ini mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat, ketidakpastian hukum, dan menurunnya legitimasi pemerintahan. Pentingnya peran lembaga negara, khususnya Mahkamah Konstitusi, dalam menegakkan supremasi konstitusi ditegaskan dalam artikel ini, yang juga mengusulkan langkah-langkah preventif seperti pendidikan ketatanegaraan, reformasi legislatif, dan penguatan sistem pengujian hukum. Negara hukum yang demokratis dan adil dapat dicapai dengan menjadikan konstitusi sebagai sumber utama pedoman bagi semua kebijakan publik.

ABSTRACT

The highest legal authority and basis for organizing the Indonesian government and making laws and regulations is the country's constitution. However, in reality, there are often differences between government practices and constitutional standards outlined in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945). Using empirical and legal analysis, this article explores this conflict phenomenon, using the Job Creation Law as a specific illustration. Lack of understanding of the concept of constitutionality, the dominance of political-economic interests, lack of public participation, and inappropriate legislative procedures are identified as the main causes of the conflict between regulations and the constitution. This struggle results in public dissatisfaction, legal uncertainty, and declining government legitimacy. The importance of the role of state institutions, especially the Constitutional Court, in upholding the supremacy of the constitution is emphasized in this article, which also proposes preventive measures such as constitutional education, legislative reform, and strengthening the legal testing system. A democratic and just state based on law can be achieved by making the constitution the main source of guidance for all public policies.

 

PENDAHULUAN

Landasan dari seluruh struktur hukum dan pemerintahan suatu negara adalah konstitusinya, yang merupakan peraturan perundang-undangan yang paling mendasar. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) berfungsi sebagai kerangka utama untuk menetapkan dan melaksanakan sejumlah undang-undang, peraturan, dan persyaratan hukum lainnya di Indonesia. Namun, pada kenyataannya, sering kali terdapat perbedaan antara persyaratan UUD 1945 dan kebijakan pemerintah. Ada sejumlah konsekuensi hukum dan sosial dari ketidaksepakatan ini yang memerlukan pertimbangan yang cermat.

Masalah ini menjadi lebih penting dalam konteks dinamika politik dan hukum kontemporer, di mana pemerintah dipaksa untuk membuat keputusan dengan cepat, sering kali dengan mengorbankan norma-norma konstitusional, karena cepatnya perubahan sosial dan ekonomi. Demokrasi, keadilan, dan kepastian hukum semuanya terancam ketika kebijakan pemerintah tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusional. Dengan demikian, penting untuk melihat lebih dekat bagaimana dan mengapa konflik ini muncul serta solusi potensial untuk mempertahankan keutamaan konstitusi dalam menghadapi perubahan kebijakan.

 

PEMBAHASAN

Konsitusi Sebagai Hukum Tertinggi

Sebagai hukum tertinggi, konstitusi memegang peranan penting dalam struktur politik suatu negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan dokumen tertulis yang mengatur susunan pemerintahan negara, pembagian kewenangan, dan landasan hukum bagi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Pedoman dasar pengelolaan negara tertuang dalam konstitusi, yang juga memberikan kewenangan dan membatasi penggunaannya oleh lembaga pemerintah serta memastikan bahwa hak-hak individu dilindungi dari perilaku yang tidak wajar. Oleh karena itu, semua kebijakan dan peraturan pemerintah harus mematuhi dan tidak bertentangan dengan konstitusi yang menempati kedudukan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 semakin menegaskan tentang supremasi konstitusi dengan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, artinya kekuasaan pemerintahan harus digunakan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi berfungsi sebagai landasan hukum utama sekaligus alat untuk mengawasi kewenangan pemerintahan agar sesuai dengan cita-cita demokrasi dan hak asasi manusia. Sebagai lembaga yang melindungi konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan memastikan bahwa semua produk hukum mematuhinya.

Karakteristik utama konstitusi sebagai hukum tertinggi, antara lain:

1. Landasan pada pembatas kekuasaan: Selain menjamin hak-hak warga negara, Konstitusi membatasi kekuatan pemerintah untuk tidak sewenang-wenang.

2. Norma yang lebih luas dan kuat: Konstitusi menjadi lebih stabil dan tidak mudah diubah karena memuat aturan umum yang menjadi dasar bagi seluruh peraturan perundang-undangan lainnya. Perubahan konstitusi memerlukan proses yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar daripada perubahan undang-undang biasa.

3. Mengalahkan hukum yang lainnya: Jika konstitusi dan peraturan lain bertentangan, konstitusi harus diutamakan. Bahkan dalam kasus konflik biasa, konstitusi mengalahkan hukum internasional.

 

Fungsi Utama Konstitusi

1. Memberikan landasan hukum: Konstitusi berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi yang mengatur bagaimana pemerintah beroperasi dan menjadi dasar bagi peraturan perundang-undangan yang dibuat di bawahnya.

2. Sebagai identitas nasional dan simbol persatuan: Konstitusi juga berfungsi sebagai undang-undang nasional yang menunjukkan persatuan dan identitas bangsa.

3. Mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyat: Konstitusi menetapkan hak dan kewajiban pemerintah dan warga negara dalam hubungan mereka.

4. Melindungi hak asasi manusia: Dengan hak-hak dasar seperti kebebasan berpendapat, hak atas pendidikan, dan hak hidup yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, warga negara memiliki landasan hukum yang kuat untuk menuntut hak-haknya untuk dipenuhi.

5. Membatasi dan mengawasi kekuasaaan pemerintahan: Konstitusi yang membatasi kewenangan lembaga negara dan menetapkan sistem pengawasan dan keseimbangan antara cabang kekuasaan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan sewenang-wenang pemerintah.

6. Menetapkan proses perubahan hukum: Konstitusi mengatur perubahan (amendemen) terhadap dirinya sendiri dengan aturan ketat dan persetujuan luas.

 

Kebijakan Pemerintah: Implementasi dan Tantangan

Kebijakan pemerintah adalah alat utama untuk memasukkan ketentuan konstitusi ke dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam prosesnya, kebijakan pemerintah seringkali dihadapkan pada dinamika yang kompleks dari politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidak jarang kebijakan pemerintah menyimpang atau bahkan melanggar prinsip-prinsip konstitusi.

Berikut, tantangan utama dalam mengimplementasi sebuah kebijakan pemerintah yang sejalan dengan konstitusi antara lain:

1. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan: Praktek korupsi pada kalangan pejabat pemerintah sangat menghambat pelaksanaan konstitusi dan menghasilkan kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat.

2. Pengaruh politik: Kepentingan atau dominasi partai politik sering memengaruhi kebijakan publik, bahkan dapat menyebabkan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi.

3. Kurangnya partisipasi publik: Jika masyarakat tidak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, kebijakan yang dibuat bisa saja tidak mencerminkan dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat serta prinsip-prinsip konstitusi.

 

Ketegangan antara Konstitusi dengan Kebijakan Pemerintah

Berbagai bentuk konflik antara konstitusi dan kebijakan pemerintah termasuk:

1. Pembuatan undang-undang yang brtentangan dengan UUD 1945: Misalnya, jika pemerintah dan DPR telah menetapkan undang-undang yang secara tidak proporsional dan membatasi hak-hak dasar warga negaranya, undang-undang tersebut dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi.

2. Kebijakan administratif yang diskriminatif: Selain itu, kebijakan pemerintah yang sangat tidak adil atau melanggar keadilan sosial dapat dianggap melanggar konstitusi.

3. Peraturan pemerintah yang melebihi kewenangan: Contoh lain adalah ketika peraturan pemerintah menggantikan kewenangan legislatif. Hal ini terjadi dalam perdebatan seputar Pasal 170 RUU Cipta Kerja, di mana pemerintah diberi kewenangan untuk mengubah undang-undang melalui peraturan, yang secara terang-terangan bertentangan dengan Pasal 20 UUD 1945.

 

Mekanisme penyelesaian konflik: Judicial Review

Sistem hukum Indonesia memiliki mekanisme peninjauan kembali untuk menyelesaikan perselisihan antara kebijakan pemerintah dan konstitusi, dengan sistem hukum Indonesia yang telah menyediakan mekanisme judicial review:

1. Mahkamah Konstitusi (MK): Berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dan MK dapat membatalkannya jika dianggap bertentangan dengan konstitusi.

2. Mahkamah Agung (MA): Berwenang untuk menguji peraturan di bawah naungan  undang-undang (seperti Peraturan Pemerintah, Perpres, Permen) terhadap undang-undang dan UUD 1945.

Proses peninjauan hukum yang dapat memastikan supremasi konstitusi dan membatalkan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi.

 

 Ketidaksesuaian Regulasi dan UUD: Studi Kasus

Beberapa kasus telah menunjukkan bagaimana jika kebijakan pemerintah atau undang-undang yang telah disahkan DPR menentang dengan UUD 1945. Misalnya, Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) telah menjadi subjek kontroversi dan gugatan konstitusional karena dianggap mengabaikan prinsip-prinsip dasar UUD, seperti hak atas pekerjaan yang layak dan perlindungan lingkungan hidup.


Menurut Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, UU Cipta Kerja tidak konstitusional karena tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang diatur dalam Konstitusi dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ini menunjukkan bahwa MK dapat membatalkan kebijakan karena ketidaksesuaian antara kebijakan dan konstitusi.

Penyebab Terjadinya Adanya Pertentangan

Terdapat beberapa faktor adanya yang menyebabkan terjadinya pertentangan antara kebijakan pemerintah dan konstitusi:

1. Kurang adanya pemahaman terhadap konstitusi: Para pembuat kebijakan mungkin tidak akan memahami secara menyeluruh tentang aturan konstitusional.

2. Kepentingan Politik dan Ekonomi: Kepentingan politik atau adanya tekanan dari suatu kelompok tertentu sering kali menentukan kebijakan, yang dapat bertentangan dengan prinsip konstitusi.

3. Lemahnya Partisipasi Publik: Proses legislatif yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas atau terbuka, dapat menghasilkan undang-undang yang sangat bertentangan dengan UUD dan tidak menguntungkan semua orang.

4. Prosedur Legislasi yang Tidak Sesuai: Banyaknya peraturan yang telah disahkan tanpa mengikuti prosedur formal yang telah ditetapkan, yang dapat menyebabkan cacat secara formal dan materil.

Implikasi dalam hukum dan sosial

Secara hukum, perselisihan yang terjadi antara kebijakan pemerintah dan UUD memiliki dampak yang negatif. Secara hukum, MK dapat membatalkan kebijakan atau undang-undang yang bertentangan dengan UUD melalui uji materiil. Ketidakpastian hukum ini merugikan investor dan masyarakat.

Secara sosial, kebijakan yang sangat bertentangan dengan konstitusi dapat menyebabkan ketidakpuasan pada publik, protes sosial, serta penurunan kepercayaan kepada pemerintah. Contohnya, gelombang demonstrasi yang menentang UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa masyarakat sangat sensitif terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil dan tidak konstitusional.

Peran pada lembaga negara

Beberapa lembaga negara dapat bertanggung jawab secara signifikan untuk memastikan bahwa kebijakan sesuai dengan konstitusi:

1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR): Memiliki tanggung jawab untuk membuat undang-undang yang selaras dengan konstitusi.

2. Presiden: Sebagai kepala negara dan pemerintahan, presiden harus memastikan bahwa kebijakan eksekutif tidak melanggar konstitusi.

3. Mahkamah Konstitusi (MK) : Jika undang-undang dianggap inkonstitusional, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkannya.

4. Mahkamah Agung (MA): Mahkamah Agung telah memastikan bahwa peraturan yang dibuat oleh undang-undang harus sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

Pencegahan dan Penanganan

Untuk menghindari konflik antara kebijakan dan UUD, beberapa tindakan penting harus dilakukan:

1. Pendidikan Konstitusi: Meningkatkan pemahaman konstitusi bagi masyarakat umum dan pembuat kebijakan.

2. Pendidikan Konstitusi: Meningkatkan pemahaman konstitusi bagi masyarakat umum dan pembuat kebijakan.

3. Transparansi dan Partisipasi Publik: Menggalakkan proses legislatif yang transparan yang melibatkan semua bagian masyarakat.

4. Penguatan Sistem Uji Materiil: Meningkatkan tanggung jawab MK untuk mengawasi konstitusi.

5. Reformasi Prosedural: memastikan bahwa setiap peraturan dibuat secara sah dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

 

KESIMPULAN:

 

Konstitusi adalah dasar dari seluruh kehidupan bernegara. Ketika kebijakan pemerintah bertentangan dengan konstitusi, bukan hanya supremasi hukum yang terancam, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap institusi negara. Selain itu, inkonsistensi antara kebijakan dan konstitusi akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan masyarakat, dunia usaha, dan keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Pemerintah dan pembuat undang-undang harus menjadikan konstitusi sebagai titik tolak dan rujukan utama dalam setiap pembuatan kebijakan. Tidak cukup hanya mematuhi prosedur hukum, tetapi juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai substansial yang terkandung dalam UUD 1945 seperti keadilan sosial, perlindungan hak asasi manusia, dan partisipasi publik yang bermakna.

 

SARAN:

1. Peningkatan literasi konstitusi di kalangan pejabat publik, aparat penegak hukum, dan masyarakat luas melalui pendidikan formal dan informal.

2. Penguatan peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi tidak hanya dalam uji materiil, tetapi juga dalam memberikan tafsir konstitusional yang progresif.

3. Penerapan prinsip checks and balances secara efektif antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tidak ada satu lembaga pun yang bertindak melebihi kewenangannya.

4. Peningkatan transparansi dalam proses legislasi agar publik dapat terlibat secara aktif dan substansial dalam setiap tahapan pembentukan peraturan.

5. Revisi atau pembatalan terhadap kebijakan yang terbukti bertentangan dengan konstitusi harus segera dilakukan sebagai bentuk komitmen terhadap supremasi hukum.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan negara akan menjadi demokratis, adil, dan berkeadaban dengan pemerintah menjalankan kekuasaan secara sah dan sesuai dengan semangat dan isi konstitusi.

 DAFTAR PUSTAKA

Pusdik Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (n.d.). Konstitusi dan Konstitusionalisme.

Ali Akbar, Tasdin Tahrim, & Emy Yunita Rahma Pratiwi. (2022). Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.

Yuliandri. (n.d.). Konstitusi dan konstitusionalisme. Pusdik Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Kusuma, F. A., Apriliani, D., Tania, R., Febriyanti, S., & Rozalia. (2024). Analisis Peran Konstitusi Dalam Sistem Hukum Tata Negara. Law and Justice Journal, 3(1), 1-15.

Pusat Pendidikan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (n.d.). Konstitusi dan Konstitusionalisme.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47