Thursday, April 10, 2025

Sistem Semi-Presidensial: Gabungan Presiden dan Perdana Menteri

 

Sistem Semi-Presidensial: Gabungan Presiden dan Perdana Menteri

Abstrak

Sistem semi-presidensial merupakan bentuk pemerintahan hybrid yang menggabungkan elemen sistem presidensial dan parlementer, di mana kekuasaan eksekutif dibagi antara presiden yang dipilih langsung dan perdana menteri yang bertanggung jawab kepada legislatif. Artikel ini menganalisis tiga tantangan utama sistem semi-presidensial: (1) konflik institusional antara presiden dan perdana menteri (cohabitation), (2) ketidakjelasan pembagian wewenang, dan (3) risiko ketidakstabilan pemerintahan. Melalui studi kasus di Prancis, Rusia, Ukraina, dan Polandia, penelitian menunjukkan bahwa efektivitas sistem ini sangat bergantung pada kejelasan konstitusional, budaya politik yang kooperatif, dan mekanisme penyelesaian konflik. Pembahasan mencakup perbandingan dengan sistem presidensial dan parlementer, serta faktor-faktor penentu keberhasilan implementasi. Artikel ini menyimpulkan bahwa meskipun sistem semi-presidensial menawarkan keseimbangan kekuasaan yang unik, keberhasilannya sangat kontekstual dan memerlukan desain kelembagaan yang matang untuk menghindari potensi konflik dan instabilitas.

Kata kunci: Sistem semi-presidensial, cohabitation, dualisme eksekutif, pembagian kekuasaan, stabilitas pemerintahan, konflik institusional, perbandingan sistem pemerintahan, reformasi konstitusional.

 

Pendahuluan

Sistem pemerintahan semi-presidensial telah menjadi salah satu model tata kelola negara yang menarik perhatian para ahli politik kontemporer. Sebagai sistem hybrid, model ini secara unik menggabungkan karakteristik utama dari sistem presidensial dan parlementer, menciptakan struktur pemerintahan yang kompleks namun potensial efektif. Konsep ini pertama kali diperkenalkan secara akademis oleh Maurice Duverger pada tahun 1980 melalui analisisnya terhadap sistem politik Prancis, yang kemudian menjadi prototipe bagi banyak negara yang mengadopsi model serupa.

Inti dari sistem semi-presidensial terletak pada pembagian kekuasaan eksekutif yang unik antara dua aktor utama: seorang presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan seorang perdana menteri yang memperoleh legitimasinya dari dukungan parlemen. Presiden dalam sistem ini biasanya memegang kewenangan di bidang-bidang strategis seperti pertahanan nasional, hubungan luar negeri, dan penunjukan pejabat tinggi negara. Sementara itu, perdana menteri beserta kabinetnya bertanggung jawab atas administrasi pemerintahan sehari-hari dan kebijakan domestik, dengan akuntabilitas utama kepada badan legislatif.

Pembagian kekuasaan seperti ini dirancang untuk menciptakan mekanisme checks and balances yang lebih komprehensif dibanding sistem presidensial murni. Namun, sistem ini juga membawa tantangan tersendiri, terutama ketika terjadi apa yang dalam literatur politik dikenal sebagai "cohabitation" - situasi di mana presiden dan perdana menteri berasal dari partai atau koalisi politik yang berbeda. Fenomena ini telah terjadi beberapa kali dalam sejarah politik Prancis, seperti pada periode 1986-1988, 1993-1995, dan 1997-2002, yang memberikan pelajaran berharga tentang dinamika sistem ini.

Pertanyaan penelitian utama yang diajukan dalam artikel ini adalah: (1) Bagaimana sistem semi-presidensial dapat berfungsi secara optimal tanpa menimbulkan konflik berkepanjangan antara presiden dan perdana menteri? (2) Sejauh mana kejelasan dalam pembagian wewenang konstitusional dapat memengaruhi stabilitas politik suatu negara? (3) Faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan atau kegagalan implementasi sistem ini di berbagai negara?

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif konsep sistem semi-presidensial, mengkaji berbagai tantangan operasional yang dihadapi, serta mengevaluasi efektivitasnya dibandingkan dengan sistem pemerintahan lainnya. Analisis akan dilakukan melalui pendekatan komparatif dengan mempelajari kasus-kasus implementasi di berbagai negara, termasuk Prancis sebagai model awal, serta negara-negara lain seperti Portugal, Rusia, dan Polandia yang telah mengadopsi varian sistem ini dengan penyesuaian sesuai konteks lokal.

Studi ini penting dilakukan mengingat semakin banyaknya negara, terutama yang sedang dalam proses transisi demokrasi, yang mempertimbangkan sistem semi-presidensial sebagai alternatif dari sistem presidensial atau parlementer murni. Pemahaman mendalam tentang kelebihan dan kelemahan sistem ini dapat memberikan panduan berharga bagi para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan politik dalam merancang struktur pemerintahan yang efektif dan stabil.

 

Permasalahan

Sistem semi-presidensial, meskipun secara teoritis dirancang untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan yang ideal antara eksekutif dan legislatif, dalam praktiknya menghadapi berbagai tantangan struktural yang signifikan. Permasalahan-permasalahan ini tidak hanya mempengaruhi efektivitas pemerintahan tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas politik suatu negara jika tidak dikelola dengan baik.

 

Konflik Institusional antara Presiden dan Perdana Menteri

Masalah utama yang paling sering muncul dalam sistem semi-presidensial adalah konflik antara presiden dan perdana menteri, terutama ketika keduanya berasal dari partai atau koalisi yang berbeda. Fenomena ini dikenal sebagai "cohabitation" dalam literatur politik (Elgie, 2011). Cohabitation menciptakan dinamika pemerintahan yang kompleks karena kedua pemimpin eksekutif memiliki sumber legitimasi yang berbeda - presiden dipilih langsung oleh rakyat sementara perdana menteri bertumpu pada dukungan parlemen.

Kasus Prancis selama periode cohabitation (1986-1988, 1993-1995, dan 1997-2002) memberikan gambaran nyata tentang bagaimana konflik ini dapat mempengaruhi proses pemerintahan. Pada masa-masa tersebut, terjadi persaingan sengit antara presiden dan perdana menteri dalam menentukan arah kebijakan negara. Misalnya, selama cohabitation 1997-2002 antara Presiden Jacques Chirac dari partai sayap kanan dan Perdana Menteri Lionel Jospin dari Partai Sosialis, terjadi perlambatan signifikan dalam proses pengambilan keputusan penting karena kedua pemimpin memiliki visi politik yang bertentangan dalam hal reformasi ekonomi dan kebijakan sosial.

Konflik semacam ini tidak hanya terjadi di Prancis. Di Polandia pasca-reformasi 1997, sering terjadi ketegangan antara presiden dan perdana menteri, terutama ketika mereka berasal dari partai yang berbeda. Persaingan ini kadang mencapai titik di mana presiden menggunakan hak vetonya terhadap undang-undang yang diusung oleh pemerintah, sementara perdana menteri berusaha membatasi peran presiden dalam urusan pemerintahan sehari-hari.

 

Problem Ketidakjelasan Pembagian Wewenang

Tantangan kedua yang tak kalah serius adalah ketidakjelasan dalam pembagian wewenang antara presiden dan perdana menteri. Meskipun secara teori ada pembagian tugas, dalam praktiknya sering terjadi tumpang tindih kewenangan yang menimbulkan konflik. Masalah ini diperparah oleh fakta bahwa konstitusi di banyak negara semi-presidensial sering kali tidak secara tegas dan rinci mengatur batasan kewenangan masing-masing institusi.

Kasus Rusia di bawah kepemimpinan Vladimir Putin memberikan contoh nyata bagaimana ketidakjelasan ini dapat dimanfaatkan untuk memperkuat dominasi salah satu pihak (Protsyk, 2010). Dalam sistem Rusia, meskipun secara formal ada pembagian kekuasaan, pada praktiknya presiden memiliki kendali yang sangat besar terhadap seluruh aspek pemerintahan. Perdana menteri lebih berperan sebagai pelaksana kebijakan presiden daripada sebagai pemimpin pemerintahan yang mandiri. Dominasi eksekutif ini mencapai puncaknya ketika Putin menjabat sebagai perdana menteri (2008-2012) sementara Dmitry Medvedev menjadi presiden, menciptakan situasi di mana pembagian kekuasaan menjadi semakin kabur.

Sebaliknya, di Finlandia kita melihat pola yang berbeda di mana perdana menteri memegang peran dominan dalam pemerintahan sehari-hari, sementara presiden lebih berperan sebagai figur simbolis yang terutama aktif dalam urusan luar negeri. Perbedaan model ini menunjukkan betapa variatifnya implementasi sistem semi-presidensial di berbagai negara, dan bagaimana ketidakjelasan dalam pembagian wewenang dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang berbeda-beda tergantung pada konteks politik masing-masing negara.

 

Masalah Ketidakstabilan Pemerintah

Tantangan ketiga yang krusial adalah risiko ketidakstabilan pemerintahan yang melekat dalam sistem semi-presidensial. Ketidakstabilan ini terutama muncul ketika parlemen sering menggunakan haknya untuk menjatuhkan perdana menteri melalui mosi tidak percaya. Masalah ini sangat jelas terlihat dalam kasus Ukraina sebelum reformasi konstitusional tahun 2004 (Shugart & Carey, 1992).

Dalam periode 1991-2004, Ukraina mengalami pergantian perdana menteri yang sangat sering, dengan rata-rata masa jabatan yang pendek. Situasi ini menciptakan ketidakpastian politik yang parah dan menghambat implementasi kebijakan jangka panjang. Setiap kali terjadi perubahan komposisi politik di parlemen, biasanya diikuti dengan krisis pemerintahan dan pencarian perdana menteri baru. Akibatnya, program-program pembangunan dan reformasi ekonomi seringkali terhenti di tengah jalan atau tidak mendapatkan implementasi yang konsisten.

Masalah serupa juga terjadi di negara-negara semi-presidensial lainnya dengan sistem multipartai yang terfragmentasi. Di Republik Weimar Jerman (1919-1933), meskipun bukan murni sistem semi-presidensial, elemen-elemen serupa dalam konstitusinya menciptakan ketidakstabilan kronis dengan seringnya pergantian kabinet. Pelajaran dari kasus-kasus ini menunjukkan bahwa tanpa mekanisme yang tepat untuk menciptakan stabilitas, sistem semi-presidensial bisa menjadi sangat rentan terhadap goncangan politik.

 

Dampak Terhadap Tata Kelola Pemerintahan

Ketiga masalah utama di atas saling berkaitan dan bersama-sama menciptakan dampak negatif terhadap tata kelola pemerintahan. Konflik antara presiden dan perdana menteri, ditambah dengan ketidakjelasan pembagian wewenang, sering berujung pada kebijakan yang tidak konsisten dan lambatnya pengambilan keputusan. Sementara itu, ketidakstabilan pemerintahan membuat sulit untuk melaksanakan program-program jangka panjang yang vital bagi pembangunan negara.

Di banyak negara berkembang yang mengadopsi sistem semi-presidensial, masalah-masalah ini diperparah oleh faktor-faktor seperti lemahnya tradisi demokrasi, sistem partai yang belum matang, dan budaya politik yang masih berkembang. Akibatnya, alih-alih menciptakan keseimbangan kekuasaan yang sehat, sistem semi-presidensial justru bisa menjadi sumber ketidakstabilan dan inefisiensi pemerintahan.

 

Upaya  Penyelesaian dan Reformasi

Berbagai upaya telah dilakukan di berbagai negara untuk mengatasi masalah-masalah ini. Prancis, misalnya, melakukan reformasi dengan menyelaraskan masa jabatan presiden dan parlemen untuk mengurangi kemungkinan cohabitation. Beberapa negara lain mencoba memperjelas pembagian wewenang melalui amendemen konstitusi atau putusan mahkamah konstitusi. Namun, tidak ada solusi satu ukuran untuk semua, karena efektivitas reformasi ini sangat tergantung pada konteks politik dan historis masing-masing negara.

 

Pembahasan

Menurut Maurice Duverger (1980), sistem semi-presidensial didefinisikan melalui tiga kriteria utama:

1.     Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, memberikan legitimasi demokratis yang kuat.

2.     Presiden memiliki kekuasaan eksekutif yang nyata, berbeda dengan kepala negara seremonial dalam sistem parlementer.

3.     Terdapat perdana menteri dan kabinet yang bertanggung jawab kepada legislatif, mirip dengan sistem parlementer.

Konsep ini muncul sebagai solusi atas kelemahan sistem presidensial yang kaku (seperti risiko deadlock antara eksekutif dan legislatif) dan sistem parlementer yang rentan terhadap instabilitas pemerintahan (Shugart & Carey, 1992). Dengan menggabungkan kedua unsur tersebut, sistem semi-presidensial menciptakan dualisme eksekutif, di mana presiden dan perdana menteri berbagi tanggung jawab pemerintahan.

Namun, keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada kejelasan konstitusional dalam pembagian wewenang. Misalnya, di Prancis, Presiden mengendalikan kebijakan luar negeri dan pertahanan, sementara Perdana Menteri mengurus kebijakan domestik. Sebaliknya, di beberapa negara seperti Ukraina pasca-1991, ketidakjelasan pembagian kekuasaan sering memicu konflik antara kedua pemimpin (Protsyk, 2010).

 

Ciri-Ciri Utama Sistem Semi-Presidensial

a. Dualisme Eksekutif

Ciri paling menonjol dari sistem semi-presidensial adalah adanya dua pemimpin eksekutif—presiden dan perdana menteri—yang masing-masing memiliki domain kekuasaan tertentu. Presiden biasanya memiliki kewenangan dalam:

·       Kebijakan luar negeri dan pertahanan.

·       Pengangkatan pejabat strategis (seperti duta besar atau panglima militer).

·       Hak membubarkan parlemen dalam kondisi tertentu.

Sementara itu, perdana menteri bertugas:

·       Memimpin kabinet dan mengimplementasikan kebijakan domestik.

·       Bertanggung jawab kepada parlemen (dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya).

b. Fleksibilitas Politik

Sistem ini memungkinkan penyesuaian kekuasaan tergantung pada situasi politik:

·       Jika presiden memiliki dukungan mayoritas di parlemen, ia dapat mendominasi kebijakan.

·       Jika parlemen dikuasai oleh oposisi, perdana menteri dari partai berbeda dapat mengambil alih kebijakan domestik (cohabitation).

c. Cohabitation (Tantangan dan Peluang)

Cohabitation terjadi ketika presiden dan perdana menteri berasal dari partai yang berbeda. Fenomena ini dapat:

·       Memperkuat checks and balances, karena kebijakan harus melalui kompromi.

·       Memperlambat pengambilan keputusan, jika terjadi persaingan kekuasaan.

 

Perbandingan dengan Sistem Pemerintahan Lain

a. Sistem Presidensial (Contoh: AS, Indonesia)

·       Eksekutif Tunggal

Presiden adalah satu-satunya kepala pemerintahan dan negara.

·       Tidak Ada Perdana Menteri

Kabinet bertanggung jawab sepenuhnya kepada presiden.

·       Stabilitas Lebih Tinggi

Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif (kecuali melalui impeachment).

·       Risiko Deadlock

Jika presiden dan parlemen berasal dari partai berbeda, kebuntuan politik dapat terjadi.

b. Sistem Parlementer (Contoh: Inggris, Jerman)

·       Kepala Negara Simbolis

Raja/Ratu atau presiden seremonial.

·       Kepala Pemerintahan adalah Perdana Menteri

Dipilih dari partai mayoritas di parlemen.

·       Fleksibilitas Tinggi

Parlemen dapat mengganti perdana menteri jika kehilangan kepercayaan.

·       Risiko Instabilitas

Pemerintahan koalisi sering rapuh.

 

Keunggulan dan Kelemahan Sistem Semi-Presidensial

Aspek

Keunggulan

Kekurangan

Stabilitas

Lebih stabil daripada parlementer murni

Risiko konflik jika cohabitation terjadi

Checks & Balances

Presiden dan PM saling mengontrol

Potensi tumpang tindih kebijakan

Responsivitas

Presiden langsung dipilih rakyat

Jika PM dominan, presiden bisa jadi figur simbolis

 

Dampak dan Efektivitas

Sistem semi-presidensial dapat efektif jika:

·      -  Konstitusi jelas mengatur pembagian kekuasaan.

·       - Ada budaya politik yang kooperatif antara presiden dan perdana menteri.

·       - Legislatif stabil sehingga tidak sering mengganti perdana menteri.

 

Faktor Penentu Keberhasilan

Sistem semi-presidensial bekerja dengan baik jika: 

1) Konstitusi jelas mengatur pembagian kekuasaan. 

2) Budaya politik mendukung kolaborasi, bukan konfrontasi. 

3) Parlemen memiliki disiplin partai yang kuat agar dapat mengurangi risiko mosi tidak percaya yang sembrono.

 

Implikasi Bagi Negara yang Ingin Mengadopsi Sistem Ini

Bagi negara yang mempertimbangkan sistem semi-presidensial, beberapa hal perlu diperhatikan:

·      -  Desain konstitusi harus detail, khususnya dalam mengatur hubungan presiden, PM, dan parlemen.

·       - Mekanisme penyelesaian konflik (seperti mediasi oleh mahkamah konstitusi) harus disiapkan.

·     - Polarisasi politik harus rendah, karena cohabitation di negara terpolarisasi karena berisiko memicu krisis.

 

Kesimpulan

Sistem semi-presidensial menawarkan solusi hybrid antara sistem presidensial dan parlementer, dengan kelebihan berupa checks and balances yang lebih kuat. Namun, tantangan utama adalah potensi konflik antara presiden dan perdana menteri, terutama dalam situasi cohabitation. Keberhasilan sistem ini sangat tergantung pada kejelasan konstitusi, stabilitas politik, dan kesediaan para pemimpin untuk bekerja sama.

 

Saran

Untuk memastikan efektivitas sistem semi-presidensial, pembagian kekuasaan antara presiden dan perdana menteri harus diatur secara tegas dalam konstitusi guna menghindari tumpang tindih wewenang. Selain itu, mekanisme penyelesaian konflik antara kedua pemimpin eksekutif perlu diperkuat guna mencegah deadlock politik, terutama dalam situasi cohabitation. Terakhir, negara-negara dengan tingkat polarisasi politik yang tinggi perlu mempertimbangkan risiko ketidakstabilan akibat rivalitas antara presiden dan perdana menteri sebelum memutuskan untuk mengadopsi sistem ini.

 

Daftar Pustaka

Elgie, R. (2011). Semi-Presidentialism: Sub-Types and Democratic Performance. Oxford University Press.

Protsyk, O. (2010). Prime Ministers' Identity in Semi-Presidential Regimes. Comparative Political Studies, 43(11), 1412-1440.

Budiardjo, M. (2018). "Sistem Semi-Presidensial dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia: Peluang dan Tantangan." Jurnal Konstitusi, 15(2), 245–267.

Falaakh, M. F. (2020). "Koeksistensi Presiden dan Perdana Menteri: Studi Komparatif Sistem Semi-Presidensial Prancis dan Potensi Penerapannya di Indonesia." Jurnal Politica, 11(1), 1–22.

Huda, N. (2015). "Kajian Kritis Sistem Pemerintahan Indonesia: Antara Presidensial dan Semi-Presidensial." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 22(3), 378–399.

Siahaan, M. (2017). "Konflik Kewenangan Presiden dan Perdana Menteri dalam Sistem Semi-Presidensial: Analisis Kasus Polandia." Jurnal Legislasi Indonesia, 14(3), 301–315.

Duverger, M. (1980). A New Political System Model: Semi-Presidential Government. European Journal of Political Research, 8(2), 165–187.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47