TIRANI: BAHAYA PEMERINTAHAN YANG OTORITER
Oleh:
Nurul Khotimah (D24)
Abstrak
Artikel ini mengkaji tirani sebagai
bentuk pemerintahan otoriter yang membahayakan kebebasan dan hak asasi manusia.
Fokus pembahasan meliputi ciri-ciri rezim tirani, bagaimana ia berkembang
sepanjang sejarah, efeknya terhadap masyarakat dan politik, serta mekanisme
pertahanan demokrasi untuk mencegah munculnya tirani. Artikel ini melakukan
analisis komparatif berbagai kasus tirani di berbagai belahan dunia untuk
menentukan pola umum di mana tirani muncul, yang sering dimulai dengan erosi
berbagai hak asasi manusia.
KATA KUNCI: Tirani, Otoritarianisme, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Kekuasaan Politik, Pemerintahan Otoriter, Erosi Demokrasi, Pertahanan Demokratis
Pendahuluan
Sejak zaman Yunani kuno, Tirani
telah menjadi topik pembicaraan politik. Ini adalah konsep politik yang mengacu
pada kekuasaan yang berlebihan dan sewenang-wenang. Tirani adalah jenis
pemerintahan yang paling buruk, menurut Aristoteles (1996), di mana penguasaan
lebih memperhatikan kepentingan pribadi daripada kesejahteraan rakyat. Tirani
sering dikaitkan dengan otoritarianisme dan totalitarianisme di era modern. Sistem
kedua ini ditandai dengan konsentrasi kekuasaan yang ekstrem pada individu atau
kelompok kecil, skeptisisme politik , dan kemauan yang signifikan terhadap
kebebasan sipil.
Tirani adalah fenomena yang tidak
hanya relevan secara historis tetapi juga menjadi perhatian saat ini. Dalam
beberapa dekade terakhir, berbagai negara di seluruh dunia telah menyaksikan
penurunan demokrasi karena kebangkitan pemimpin populis yang menunjukkan
kecenderungan otoriter (Levitsky & Ziblatt, 2018). Pertanyaan penting tentang
kekuatan sistem demokratis dan strategi untuk mencegah kembalinya tirani muncul
sebagai akibat dari tren global saat ini.
PERMASALAHAN
Bagaimana evolusi konsep tirani dari masa Yunani kuno hingga era modern?Apa karakteristik utama pemerintahan tirani dan bagaimana manifestasinya dalam sejarah modern?
Bagaimana dampak tirani terhadap masyarakat dari aspek hak asasi manusia, ekonomi, serta sosial dan budaya?
Apa mekanisme pertahanan yang efektif untuk mencegah dan mengatasi tirani?
Bagaimana pengalaman negara-negara pasca-otoriter dalam transisi menuju demokrasi dan pelajaran apa yang dapat diambil?
Apa tantangan kontemporer terkait ancaman tirani dalam konteks global saat ini?
PEMBAHASAN
Akar
Historis dan Konseptual Tirani
Evolusi
Konsep Tirani
Konsep tirani telah berkembang
sepanjang sejarah pemikiran politik. Tirani pada awalnya digunakan di Yunani
kuno untuk merujuk pada orang yang merebut kekuasaan secara ilegal tanpa
konsekuensi moral yang signifikan (Finley, 1970). Namun, seiring berjalannya
waktu, istilah ini memperoleh makna yang lebih pejoratif , terutama setelah
meninggalnya tiran seperti Peisistratos dan keluarganya di Athena.
Dalam “Republik”, Plato
menggambarkan tirani sebagai akibat dari demokrasi yang menjadi lebih buruk, di
mana demagog muncul dan menjadi tiran (Plato, 2007). Pendapat ini menunjukkan
kekhawatiran tradisional bahwa demokrasi yang tidak menganjurkan dapat
memungkinkan munculnya diktator yang memanipulasi perasaan rakyat untuk
menguasai.
Di era modern, definisi tirani telah
berkembang mencakup berbagai bentuk pemerintahan otoriter , seperti
totalitarianisme dan otoritarianisme. Dalam bukunya yang berjudul “The Origins
of Totalitarianism”, Hannah Arendt (1951) memberikan analisis mendalam tentang
totalitarianisme sebagai jenis tirani kontemporer yang tidak hanya mengontrol
pemerintahan negara tetapi juga berusaha mengontrol setiap aspek kehidupan
masyarakat.
Manifestasi
Tirani dalam Sejarah Modern
Abad ke-20 menyaksikan munculnya
beberapa rezim tirani yang paling mengerikan yang pernah dilihat oleh manusia.
Nazi Jerman di bawah Hitler, Uni Soviet di bawah Stalin, dan Cina di bawah Mao
Zedong digambarkan sebagai jenis totalitarianisme yang menyebabkan banyak
korban jiwa dan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis.
Dalam kasus Nazi Jerman, Hitler
hanya dalam beberapa tahun dapat mengubah republik Weimar yang demokratis
menjadi negara totaliter. Hal ini menunjukkan bahwa tirani dapat dengan cepat
menggantikan demokrasi yang rapuh jika situasi sosial-politik mendukung
(Kershaw, 2008). Begitu pula, Stalin memanfaatkan teror sebagai alat untuk
mengendalikan politik di Uni Soviet, dan " Pembersihan Besar " yang
menghancurkan jutaan orang (Conquest, 1990).
Rezim Khmer Merah di Kamboja, yang dipimpin oleh Pol Pot
dari tahun 1975 hingga 1979, digambarkan sebagai tirani ekstrem yang mencoba
melakukan rekayasa sosial radikal dan mengakibatkan genosida yang memakan
hampir seperempat populasi negara (Kiernan, 2002). Kasus-kasus ini menunjukkan
bahwa ideologi yang komprehensif sering menjadi dasar tirani modern, yang
digunakan untuk membenarkan kekerasan massal dan reorganisasi paksaan
masyarakat.
Karakteristik
Pemerintahan Tirani
Konsentrasi
Kekuasaan
Kekuasaan luar biasa yang dimiliki
oleh satu orang atau kelompok kecil adalah ciri khas pemerintahan tirani.
Prinsip dasar negara demokrasi, pemisahan kekuasaan, tidak diperhatikan sama
sekali. Menurut Linz (2000), eksekutif, legislatif, dan yudikatif berfungsi
sebagai perpanjangan tangan penguasa daripada sebagai institusi independen yang
bekerja sama.
Terjadi, konsentrasi kekuasaan
dilegitimasi melalui berbagai mekanisme, seperti manipulasi pemilihan umum,
perubahan konstitusi yang menguntungkan penguasa, atau penggunaan keadaan
darurat untuk menghentikan kekuasaan konstitusional terhadap kekuasaan
eksekutif (Levitsky & Way, 2010). Misalnya, selama pemerintahan Putin,
kekuasaan secara bertahap dikonsolidasikan melalui perubahan konstitusional,
yang memperpanjang masa jabatan presiden dan memungkinkan Putin untuk tetap
mampu melampaui batas yang ditetapkan.
Penindasan
terhadap Oposisi dan Media
Rezim tirani secara sistematis
menekan suara-suara kritis dan oposisi politik. Mekanisme penindasan ini
bervariasi dari yang halus hingga yang brutal—mulai dari pelecehan
administratif dan pembatasan legal hingga penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan
terhadap musuh politik (Svolik, 2012).
Dalam strategi untuk mengendalikan
informasi pemerintahan otoriter, media independen menjadi target utama. Untuk
mempertahankan legitimasi, penguasaan atas narasi publik dianggap penting.
Pemerintahan Erdogan di Turki setelah upaya kudeta 2016 menutup lebih dari 100
kantor media dan memenjarakan puluhan jurnalis atas tuduhan terorisme atau
pelanggaran terhadap presiden (Human Rights Watch, 2018). Strategi ini
menunjukkan bahwa kebebasan pers seringkali menjadi korban pertama dalam proses
memperkuat otoritas.
Erosi
Hukum dan Institusi Demokratis
Tirani kontemporer berasal dari
erosi bertahap menuju institusi demokratis, bukan dari kudeta militer atau
revolusi. Menurut Levitsky dan Ziblatt (2018), fenomena ini disebut sebagai
“kematian demokrasi”, di mana para pemimpin otoriter modern cenderung
mempertahankan tampilan demokrasi sambil menghancurkan substansinya dari dalam.
Pengooptasan lembaga yang seharusnya
independen, seperti pengadilan, komisi pemilihan umum, dan badan anti-korupsi,
merupakan bagian dari proses ini. Pengadilan konstitusional Hongaria secara
bertahap kehilangan independensinya di bawah pemerintah Viktor Orbán. Hal ini
terjadi karena perubahan dalam proses penunjukan hakim dan dugaannya (Müller,
2017). Contoh ini menunjukkan bagaimana kerangka hukum dapat diubah untuk
menguntungkan rezim yang berkuasa.
Penggunaan
Propaganda dan Manipulasi Informasi
Rezim tirani mengandalkan propaganda
untuk melegitimasi kekuasaan mereka dan mendiskreditkan oposisi. Di era
digital, alat-alat manipulasi informasi telah berkembang melampaui media
tradisional untuk mencakup kampanye dezinformasi online, bot sosial media, dan
"tentara troll" yang dibiayai negara (Diamond, 2019).
Seringkali, propaganda kontemporer
berkonsentrasi pada pembuatan cerita nasionalis yang menggambarkan penguasa
sebagai penjaga negara dari ancaman internal dan luar. Misalnya, pemerintahan
Xi Jinping di Tiongkok menggunakan kombinasi pengawasan digital, propaganda
nasionalistik, dan sensor internet untuk mengontrol opini publik dan menekan
suara-suara kritis (Ekonomi, 2018).
Dampak
Tirani terhadap Masyarakat
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia jelas bertentangan
dengan pemerintahan tirani. Dalam pemerintahan yang otoriter, ada kecenderungan
untuk mempertahankan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berbicara.
Penahanan, penghapusan paksaan, dan penyiksaan sewenang-wenang sering digunakan
sebagai cara untuk mengaburkan kejujuran dan menyebarkan rasa takut di
masyarakat (Amnesty International, 2020).
Pasca kudeta militer yang terjadi
pada tahun 2021, junta militer Myanmar melakukan kekerasan massal terhadap
demonstrasi pro-demokrasi, menangkap ribuan aktivisme dan berbohong, dan
membunuh ratusan warga sipil (PBB , 2021). Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun
teknologi kontrol sosial telah berkembang, tirani kontemporer masih menggunakan
kekerasan fisik sebagai cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Stagnasi
Ekonomi dan Korupsi
Meskipun beberapa otoritas pemerintahan dapat menghasilkan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, seperti Cina, tirani pemerintahan
biasanya mengarah pada stagnasi dan ketimpangan ekonomi yang parah dalam jangka
panjang. Hal ini dapat disebabkan oleh sejumlah alasan. Ini termasuk korupsi
umum, alokasi sumber daya yang tidak efektif berdasarkan koneksi politik, dan
ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi karena
memberikan umpan balik dan akuntabilitas (Acemoglu & Robinson, 2012).
Degradasi
Sosial dan Kultural
Mekanisme
Pertahanan terhadap Tirani
Penguatan
Institusi Demokratis
Peran
Masyarakat Sipil dan Pendidikan Politik
Mekanisme
Internasional dan Solidaritas Global
Pelajaran
dari Negara-negara Pasca-Otoriter
Transisi
Demokratis yang Berhasil
Tantangan
dalam Masa Transisi
Seringkali terjadi perubahan dari tirani pemerintahan ke
demokrasi yang dibayangkan pada sejumlah masalah, termasuk ancaman instabilitas,
polarisasi politik, dan kelemahan demokrasi. Menurut Carothers,
"zona abu-abu" yang terletak antara demokrasi yang terkonsolidasi dan
otoritarianisme penuh menimbulkan risiko penyusunan dan kembalinya elemen
otoriter.
Keadilan
Transisional dan Rekonsiliasi
Konteks
Global Kontemporer
Kemunduran
Demokrasi Global
Teknologi
dan Tirani Modern
Populisme
dan Ancaman terhadap Demokrasi Liberal
Kebangkitan populisme di seluruh dunia menimbulkan
kekhawatiran akan kelangsungan hidup demokrasi liberal. Pemimpin populis sering
menggambarkan diri mereka sebagai perwakilan asli dari “rakyat” melawan “elit
korup”, menggunakan retorika ini untuk mendukung pelemahan institusi demokratis
yang dianggap menghalangi kehendak rakyat (Müller, 2016).
Kesimpulan
Di era kontemporer, tirani masih
menjadi ancaman besar terhadap kebebasan dan martabat manusia dalam berbagai
bentuknya. Ciri-ciri utama tirani adalah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan,
stereotip , dan kebebasan sipil . Jenis tirani ini telah berkembang selama
bertahun-tahun.
Pelajaran berharga dapat ditemukan
dari pengalaman yang dialami oleh berbagai negara yang berhasil mempertahankan
atau memulihkan demokrasi mereka setelah masa otoritarianisme. Untuk melawan
tirani, institusi demokratis yang kuat, masyarakat sipil yang aktif, dan budaya
politik yang menghargai pluralisme dan toleransi sangatlah penting. Solidaritas
antar-demokrasi dan standar hak asasi manusia global dapat membantu proses
demokratisasi di tingkat internasional.
Memahami dinamika tirani dan cara
melawannya menjadi penting dalam konteks global yang ditandai dengan perlawanan
terhadap demokrasi liberal. Hanya dengan kesadaran kolektif tentang bahaya
pemerintahan otoriter dan komitmen terhadap prinsip demokratislah masyarakat
dapat mempertahankan kebebasan politik dari ancaman otoritarianisme.
SARAN
- Penguatan Pendidikan
Kewarganegaraan: Institusi pendidikan harus meningkatkan program pendidikan
kewarganegaraan dengan tekanan pemikiran kritis, hak-hak sipil, dan demikratis
sebagai cara untuk melindungi masyarakat dari propaganda politik dan
manipulasi.
- Reformasi Institusional:
Negara-negara demokratis harus terus memperkuat sistem pengendalian dan
keseimbangan mereka, yang mencakup kebebasan yudikatif independen, transparansi
pemerintahan, dan kerangka hukum yang melindungi kebebasan sipil dan politik
dari kehilangan kekuasaan.
- Dukungan Media Independen: Kebijakan
yang melindungi kebebasan pers dan promosi literasi media harus diprioritaskan
oleh pemerintah dan lembaga internasional.
- Penguatan Mayarakat Sipil:
Organisasi masyarakat sipil, gerakan anti-korupsi, dan pengawasan demokratis
harus diprioritaskan.
- Kerjasama Internasional:
Negara-negara yang menganut sistem demokrasi harus memperkuat kolaborasi dalam
menjaga nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia melalui organisasi
internasional, perjanjian multilateral, serta forum regional.
- Pengembangan Etika Digital:
Diperlukan pengembangan kerangka etika dan hukum internasional yang mengatur
pemanfaatan teknologi digital untuk mencegah penyalahgunaan teknologi sebagai
sarana penindasan dan pengawasan secara massal.
- Penelitian dan Dokumentasi:
Institusi akademik dan penelitian harus terus mendokumentasikan serta
menganalisis kasus-kasus penurunan demokrasi yang terjadi saat ini untuk
merumuskan strategi pencegahan yang lebih efektif.
- Pendekatan Multi-stakeholder: Kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan komunitas internasional sangat penting dalam menghadapi tantangan global yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia.mereka, yang mencakup kebebasan yudikatif independen, transparansi pemerintahan, dan kerangka hukum yang melindungi kebebasan sipil dan politik dari kehilangan kekuasaan.
Daftar
Pustaka
Acemoglu, D., & Robinson, J. A.
(2012). Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty.
Crown Publishers.
Alenius, K. (2019). The Development
of Digital Literacy in Estonia: National Efforts and Challenges. Journal of
Baltic Studies, 50(3), 305-320.
Amnesty International. (2020). Annual Report 2019/20: The State of the World's Human Rights. Amnesty International.
Aristotle. (1996). The Politics
(T. A. Sinclair, Trans.). Penguin Classics.
Bermeo, N. (2016). On Democratic Backsliding. Journal of Democracy, 27(1), 5-19.
Clark, P. (2010). The Gacaca Courts, Post-Genocide Justice and Reconciliation in Rwanda: Justice without Lawyers. Cambridge University Press.
Diamond, L. (2019). Ill Winds:
Saving Democracy from Russian Rage, Chinese Ambition, and American Complacency.
Penguin Press.
Economy, E. C. (2018). The Third
Revolution: Xi Jinping and the New Chinese State. Oxford University Press.
Finley, M. I. (1970). Early
Greece: The Bronze and Archaic Ages. Norton.
Freedom House. (2021). Freedom in
the World 2021: Democracy under Siege. Freedom House.
Gel'man, V. (2015). Authoritarian Russia: Analyzing Post-Soviet Regime Changes. University of Pittsburgh Press.
Haggard, S., & Kaufman, R. R.
(2016). Dictators and Democrats: Masses, Elites, and Regime Change.
Princeton University Press.
Hausmann, R., & Muci, F. (2019).
Don't Blame Washington for Venezuela's Oil Woes: A Rebuttal. Americas
Quarterly.
Howard, P. N., & Hussain, M. M.
(2013). Democracy's Fourth Wave? Digital Media and the Arab Spring.
Oxford University Press.
Human Rights Watch. (2018). Turkey: Events of 2017. Human Rights Watch.
Lankov, A. (2013). The Real North
Korea: Life and Politics in the Failed Stalinist Utopia. Oxford University
Press.
Levitsky, S., & Way, L. A.
(2010). Competitive Authoritarianism: Hybrid Regimes after the Cold War.
Cambridge University Press.
Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How Democracies Die. Crown.
Lutz, E., & Sikkink, K. (2001).
The Justice Cascade: The Evolution and Impact of Foreign Human Rights Trials in
Latin America. Chicago Journal of International Law, 2(1), 1-33.
Müller, J. W. (2016). What Is
Populism? University of Pennsylvania Press.
Müller, J. W. (2017). The Rise and Rise of Hungarian Populism. Project Syndicate.
Polyakova, A., & Meserole, C.
(2019). Exporting Digital Authoritarianism: The Russian and Chinese Models.
Brookings Institution.
Pop-Eleches, G., & Tucker, J. A. (2019). Communism's Shadow: Historical Legacies and Contemporary Political Attitudes. Princeton University Press.
Svolik, M. W. (2012). The
Politics of Authoritarian Rule. Cambridge University Press.
United Nations. (2021). Report of
the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar. United
Nations Human Rights Council.
Weyland, K. (2013). The Threat from
the Populist Left. Journal of Democracy, 24(3), 18-32.
.jpeg)
No comments:
Post a Comment