Oleh: Kejora Gemilang Gaza Al- Faruq (D32)
Dari "Aku" Menjadi "Kita": Transisi Identitas dalam Ruang Sosial
Pendahuluan
Setiap individu memiliki identitas, yaitu cara seseorang melihat dan mendefinisikan dirinya sendiri dalam konteks kehidupan. Identitas bukan hanya sekadar nama, usia, atau pekerjaan, melainkan mencakup nilai-nilai, kepercayaan, serta peran sosial yang dijalani. Namun, identitas bukanlah sesuatu yang tetap. Ia dapat berubah seiring waktu, terutama ketika seseorang terlibat dalam hubungan sosial dan memasuki lingkungan baru.
Salah satu bentuk perubahan identitas yang paling nyata adalah pergeseran dari identitas individual ("aku") ke identitas kolektif ("kita"). Proses ini mencerminkan perubahan dari sekadar menjadi pribadi yang berdiri sendiri, menuju individu yang merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, memahami proses transisi ini menjadi penting, karena ia mencerminkan dinamika relasi manusia dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang bagaimana proses pergeseran identitas dari “aku” ke “kita” terjadi, apa saja faktor yang mempengaruhinya, serta dampak yang muncul, baik secara positif maupun negatif, dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Permasalahan
Fenomena transisi identitas dari individu menjadi bagian dari kolektivitas menyimpan berbagai persoalan menarik untuk ditelaah, di antaranya:
-
Apa yang memicu perubahan identitas seseorang dari individualis menjadi bagian dari suatu komunitas?
-
Bagaimana dinamika transisi identitas ini berlangsung dalam berbagai konteks sosial seperti pendidikan, organisasi, dan media digital?
-
Apa dampak dari identitas kolektif terhadap keutuhan identitas pribadi?
-
Bagaimana menjaga keseimbangan antara menjadi diri sendiri dan menjadi bagian dari "kita"?
Pembahasan
A. Pengertian Identitas: Antara Individu dan Kolektif
Secara umum, identitas dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yakni identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi merujuk pada persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai individu yang unik. Ini mencakup karakteristik personal seperti minat, tujuan hidup, keyakinan, dan nilai-nilai pribadi. Sementara itu, identitas sosial terbentuk dari hubungan dan keterlibatan seseorang dalam kelompok sosial tertentu, seperti keluarga, komunitas agama, etnis, atau organisasi.
Henri Tajfel dan John Turner dalam teorinya tentang Social Identity menjelaskan bahwa individu cenderung mengidentifikasi dirinya dengan kelompok sosial tertentu karena hal itu memberikan rasa aman, kebanggaan, dan makna. Dalam proses ini, seseorang tidak hanya melihat dirinya sebagai "aku" tetapi juga sebagai bagian dari "kami"—sebuah entitas sosial yang memiliki nilai, tujuan, dan norma bersama.
B. Faktor yang Mendorong Transisi Identitas
Transisi dari identitas individu ke identitas kolektif tidak terjadi secara otomatis, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
-
Kebutuhan Sosial: Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Kebutuhan untuk diterima, dicintai, dan dihargai oleh orang lain mendorong seseorang untuk mencari kelompok yang bisa memberinya rasa aman dan kebermaknaan.
-
Pengalaman Baru: Ketika seseorang memasuki lingkungan baru, seperti kampus, tempat kerja, atau komunitas digital, ia terdorong untuk menyesuaikan diri dengan norma dan budaya kelompok tersebut.
-
Tekanan Sosial: Kadang-kadang, tekanan dari lingkungan juga memaksa individu untuk beradaptasi dengan cara berpikir dan bertindak kelompok agar bisa diterima.
-
Perubahan Tahap Hidup: Masa remaja, awal dewasa, dan pergantian status sosial (misalnya menjadi mahasiswa atau pekerja) sering menjadi momen krusial dalam pembentukan identitas kolektif.
C. Proses Pergeseran dari "Aku" ke "Kita"
Transisi identitas ini berlangsung melalui tahapan yang saling berkaitan. Awalnya, seseorang akan mulai mengamati kelompok yang diikutinya. Ia melihat bagaimana orang-orang di dalam kelompok tersebut bersikap, berkomunikasi, dan menyikapi suatu hal. Selanjutnya, individu akan mencoba menyesuaikan diri agar bisa diterima. Tahap ini sering disebut sebagai tahap penyesuaian.
Lalu, jika proses penyesuaian berjalan lancar, individu akan mulai menginternalisasi nilai dan tujuan kelompok sebagai bagian dari dirinya. Inilah tahap identifikasi, di mana seseorang mulai merasa "kita", bukan lagi "aku". Pada titik ini, individu telah merasakan rasa memiliki terhadap kelompok dan merasa identitasnya melekat pada kelompok tersebut.
Contoh konkret dari proses ini adalah mahasiswa baru yang mengikuti organisasi kampus. Awalnya ia hanya hadir sebagai "aku", lalu setelah mengikuti kegiatan, berdiskusi, dan menjalin hubungan sosial, ia merasa menjadi bagian dari "kita", misalnya: "kami adalah Himpunan Mahasiswa Komunikasi".
D. Dampak Transisi Identitas
Dampak Positif:
-
Solidaritas Sosial: Identitas kolektif memperkuat rasa kebersamaan dan kepedulian antarindividu.
-
Peningkatan Keterlibatan Sosial: Seseorang menjadi lebih aktif dalam kegiatan sosial karena merasa memiliki tanggung jawab bersama.
-
Pengembangan Diri: Dalam kelompok, seseorang bisa belajar banyak hal baru, baik dalam aspek sosial, emosional, maupun keterampilan praktis.
Dampak Negatif:
-
Hilangnya Jati Diri: Terlalu larut dalam identitas kolektif bisa membuat seseorang kehilangan otonomi dan keunikan pribadi.
-
Eksklusivisme dan Diskriminasi: Identitas kolektif yang sempit bisa melahirkan sikap "kami vs mereka", yang berujung pada diskriminasi terhadap kelompok lain.
-
Manipulasi Sosial: Dalam beberapa kasus, identitas kelompok bisa digunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan politik atau ideologis yang merugikan masyarakat luas.
E. Identitas dalam Era Digital
Perkembangan teknologi, khususnya media sosial, telah mempercepat dan memperluas proses pembentukan identitas kolektif. Di dunia digital, seseorang bisa menjadi bagian dari berbagai komunitas tanpa batas ruang dan waktu. Komunitas maya seperti forum diskusi, fandom, atau gerakan sosial berbasis tagar (misalnya #MeToo, #FridaysForFuture) adalah bentuk-bentuk identitas kolektif baru.
Namun, ruang digital juga membawa tantangan. Filter bubble dan echo chamber membuat orang cenderung hanya terpapar informasi yang sejalan dengan kelompoknya. Akibatnya, polarisasi identitas semakin menguat dan dialog antar-kelompok menjadi sulit terwujud.
F. Peran Pendidikan dan Keluarga
Pendidikan memiliki peran strategis dalam membimbing transisi identitas agar tetap sehat dan inklusif. Sekolah dan perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang aman untuk berekspresi sekaligus tempat belajar hidup bersama dalam keberagaman.
Keluarga juga berperan penting sebagai fondasi awal pembentukan identitas. Dengan pola asuh yang terbuka dan komunikatif, keluarga bisa membantu individu menjalani proses perubahan identitas dengan lebih stabil.
Kesimpulan
Transisi dari identitas personal menuju identitas kolektif merupakan hal yang wajar dan bahkan penting dalam kehidupan sosial manusia. Proses ini memungkinkan individu untuk menjalin hubungan sosial yang sehat, memperkuat solidaritas, serta meningkatkan partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Namun, dalam prosesnya, individu perlu tetap menjaga keseimbangan antara menjadi bagian dari kelompok dan tetap setia pada nilai-nilai pribadinya.
Kesadaran akan dinamika ini penting agar identitas kolektif tidak berkembang menjadi fanatisme atau eksklusivitas yang memecah belah masyarakat. Justru sebaliknya, identitas "kita" yang ideal adalah yang inklusif, terbuka terhadap perbedaan, dan didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan.
Saran
-
Untuk Individu: Jadilah bagian dari kelompok sosial, tapi tetap pertahankan keunikan dan nilai pribadi. Jangan kehilangan "aku" hanya demi diterima oleh "kita".
-
Untuk Lembaga Pendidikan: Bangun budaya inklusif yang mendorong partisipasi sosial tanpa menekan kebebasan berpikir.
-
Untuk Pemerintah dan Media: Ciptakan ruang publik dan media yang mendorong dialog lintas identitas, bukan yang memperkuat polarisasi sosial.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.