Wednesday, April 9, 2025
D26 Mobokrasi : Ketika Kekuasaan Dikuasai oleh Massa
Mobokrasi : Ketika Kekuasaan Dikuasai oleh Massa
Abstrak
Mobokrasi seringkali dianggap sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan atau ketimpangan kekuasaan, keberlanjutan fenomena ini justru dapat mengancam stabilitas sosial dan politik. Oleh karena itu, penting untuk memahami dinamika mobokrasi dan mencari cara untuk menjaga keseimbangan antara suara massa dan sistem pemerintahan yang sah agar demokrasi tetap berjalan secara efektif dan adil.
Artikel ini ingin menunjukkan bahwa terkadang aksi massa bisa berujung pada tekanan politik, bahkan pada keputusan yang diambil secara tergesa-gesa. Artikel ini mengkaji dampak jangka panjang dari mobokrasi, seperti turunnya kepercayaan pada institusi formal dan naiknya kekuatan kelompok informal. Dengan arti lain, kekuasaan bisa berpindah dari parlemen ke jalanan. Ini tentu bukan sesuatu yang baik buat masa depan demokrasi.
Tujuan penulisan ini adalah mengajak pembaca, khususnya mahasiswa, untuk berpikir lebih kritis dalam melihat fenomena massa. Tidak semua yang ramai itu benar. Demokrasi butuh suara, tapi juga butuh akal sehat. Mobokrasi bisa terlihat heroik di awal, namun berbahaya kalau dijadikan kebiasaan.
kata kunci : mobokrasi, kekuasaan, massa, pemerintahan, ketidakadilan, demokrasi
Abstract
Mobocracy is often considered a form of protest against injustice or power inequality, the continuation of this phenomenon can actually threaten social and political stability. Therefore, it is important to understand the dynamics of mobocracy and find ways to maintain a balance between the voice of the masses and the legitimate government system so that democracy continues to run effectively and fairly.
This article wants to show that sometimes mass action can lead to political pressure, even to decisions that are taken hastily. This article examines the long-term impacts of mobocracy, such as the decline in trust in formal institutions and the rise in the power of informal groups. In other words, power can shift from parliament to the streets. This is certainly not something good for the future of democracy.
The purpose of this writing is to invite readers, especially students, to think more critically in viewing mass phenomena. Not everything that is noisy is right. Democracy needs votes, but it also needs common sense. Mobocracy can look heroic at first, but it is dangerous if it becomes a habit.
keywords: mobocracy, power, masses, government, injustice, democracy
Pendahuluan
Di era demokrasi seperti sekarang ini, kekuasaan seharusnya dipegang oleh rakyat dengan melewati sistem yang tertata seperti pemilu, adanya wakil rakyat, dan ada hukum yang mengatur semuanya. Tapi pada kenyataannya, banyak keputusan penting yang justru diambil bukan karena pertimbangan matang, tapi karena tekanan dari massa. Disinilah muncul istilah “mobokrasi” ketika kekuasaan lebih ditentukan oleh emosi dan jumlah orang di jalanan, bukan oleh diskusi dan argumentasi yang sehat.
Fenomena seperti ini bukan cuma terjadi di negara lain. Di Indonesia sendiri kita pernah melihat bagaimana tekanan massa bisa mengubah arah kebajikan. Contoh nyatanya adalah demo mahasiswa tahun 2019 yang menolak revisi UU KPK. Awalnya, pemerintah dan DPR sepakat melanjutkan revisi. Akan tetapi karena tekanan dari berbagai pihak terutama mahasiswa dan masyarakat, akhirnya proses itu dihentikan. Dari satu sisi, ini terlihat seperti kemenangan rakyat. Tapi disisi lain, ini juga menunjukan bahwa kekuasaan bisa “ditekan” oleh massa.
Mobokrasi itu adalah fenomena ketika kekuasaan atau keputusan tidak lagi berada ditangan pemimpin formal, melainkan dikuasai dan berasal dari tekananan massa dan bukan lewat proses demokrasi yang sehat. Dalam konteks ini, suara terbanyak bukan lagi jadi wujud aspirasi yang membuat rakyat atau kelompok besar masyarakat memainkan peran utama dalam pengambilan keputusan. Fenomena ini bisa dilihat sebagai bentuk reaksi ketidakpuasan terhadap pemerintah, yang pada akhirnya mendorong massa untuk menggunakan kekuatan kolektif mereka dalam mempengaruhi kebijakan atau bahkan menggulingkan kekuasaan yang ada.
Pada sisi lain, mobokrasi juga dapat mengarah pada ketidakpastian dalam pengambilan keputusan politik, di mana kepentingan individu atau kelompok lebih dominan dibandingkan kepentingan umum. Hal ini dapat menyebabkan ketegangan sosial yang tinggi, karena keputusan yang diambil tidak selalu menemukan proses demokrasi yang sehat dan inklusif. Dalam kondisi ini, masyarakat menjadi semakin terpecah dan sulit untuk mencapai konsensus, karena masing-masing kelompok berusaha memenangkan argumennya melalui tekanan massa.
Permasalahannya adalah, apakah semua gerakan massa selalu benar ? Apakah semua orang yang turun ke jalan tahu betul apa yang mereka perjuangkan ? Atau mereka hanya sekedar ikut-ikutan tanpa paham isu sebenarnya ? Disinilah bahayanya mobokrasi. Ketika jumlah massa jadi penentu kebenaran, maka suara minoritas yang rasional bisa tenggelam.
Dalam artikel ini penulis akan mencoba membedah dari pengertian, contoh kasus, sampai dampaknya terhadap demokrasi. Karena bagaimanapun juga, demokrasi bukan cuma soal siapa yang memiliki lebih banyak suara, tapi juga soal kualitas dari suara itu sendiri.
Permasalahan
Demokrasi di zaman sekarang seolah digunakan hanya untuk sekedar memperkuat basis-basis kekuasaan namun mengabaikan internalisasi nilai dan kultur yang berkeadaban. Demokrasi pun saat ini menjadi prinsip yang dianggap fundamental untuk menjalankan negara. Namun, seiring berjalannya waktu fenomena yang disebut mobokrasi atau “pemerintahan massa” mulai menjadi perhatian serius. Mobokrasi dapat terjadi ketika kekuasaan tidak lagi berada ditangan individu yang terpilih secara sah atau lembaga yang berwenang, melainkan dipilih dan dikuasai oleh massa yang bertindak berdasarkan emosi dan kepentingan kelompok. Fenomena ini menjadi suatu tantangan yang besar dalam mengelola sistem pemerintahan yang adil dan demokratis.
Pada dasarnya, demokrasi seharusnya memungkinkan setiap warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan melalui mekanisme yang terstruktur, seperti kegiatan pemilu, perwakilan legislatif, dan lembaga negara lainnya. Namun, dalam konteks mobokrasi, massa justru mengambil alih kendali politik tanpa melalui prosedur yang sah dan terkadang dengan cara yang tidak rasional. Masa ini seringkali terpengaruh oleh sentimen emosional dan bukan berdasarkan pertimbangan rasional atau objektif.
Salah satu studi kasus yang paling terlihat adanya sikap mobokrasi dari massa dapat dilihat dalam kerusuhan sosial atau demonstrasi yang tidak terkendali. Ketika massa merasa frustasi atau kecewa dengan kebijakan pemerintah< mereka bisa saja turun ke jalan, menyerukan perubahan, dan bahkan melakukan aksi anarkis. Dalam kondisi seperti ini, kekuasaan yang seharusnya berada pada pihak atau lembaga yang sah, tergeser oleh aksi massa yang berusaha memaksakan kehendaknya. Hal ini seringkali mengarah pada kekacauan sosial dan politik, karena keputusan yang diambil tidak lagi berdasarkan proses hukum atau deliberasi yang rasional.
Fenomena mobokrasi dapat dilihat juga dalam kasus-kasus dimana keputusan penting diambil berdasarkan tekanan publik yang tidak terkontrol. Misalnya, di dunia maya, media sosial sering kali menjadi sarana di mana opini publik dibentuk secara cepat, kadang tanpa dasar yang jelas. Ketika isu tertentu menjadi viral, massa dapat dengan mudah mempengaruhi keputusan-keputusan penting pemerintah atau korporasi, bahkan tanpa pertimbangan dampak jangka panjang terlebih dahulu. Ini menunjukan bahwa mobokrasi, keputusan bukan lagi hasil dari refleksi rasional dan pertimbangan yang matang, melainkan didorong oleh desakan kelompok yang besar.
Namun, meskipun mobokrasi memiliki dampak yang merugikan bagi stabilitas politik dan sosial, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam beberapa situasi, gerakan massa juga dapat berperan sebagai katalis perubahan positif. Contohnya adalah gerakan protes terhadap perbedaan antara gerakan massa yang produktif dan mobokrasi terletak pada tujuan dan cara-cara yang digunakan. Ketika massa bergerak dengan tujuan yang jelas dan melibatkan dialog serta pendekatan damai, gerakan tersebut bisa menjadi alat perubahan yang efektif . Sebaliknya, ketika kekuasaan massa diambil dengan cara yang kasar dan destruktif, mobokrasi justru dapat menjerumuskan negara ke dalam ketidakpastian politik.
Oleh karena itu, penting bagi negara dan masyarakat untuk menemukan keseimbangan antara memberikan ruang bagi aspirasi massa dan menjaga agar proses demokrasi tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan kedamaian. Mobokrasi juga menunjukan bahwa ketika kekuasaan dikuasai oleh massa, bukan hanya proses demokrasi yang terganggu, tetapi juga stabilitas sosial dan kepercayaan publik terhadap lembaga negara. 
Pembahasan
Studi kasus yang penulis riset, mengungkapkan bagaimana insiden 6 Januari 2021 di Amerika Serikat. Di mana pendukung Presiden Donald Trump berusaha menyerbu gedung Capitol untuk menggagalkan pengesahan Joe Biden sebagai presiden, mencerminkan kemunduran demokrasi yang tergelincir menjadi mobokrasi. Dalam mobokrasi, sekelompok massa berusaha mengendalikan pemerintahan dengan kekerasan, tanpa melalui mekanisme demokrasi yang sah. Perbedaan antara demokrasi dan mobokrasi terletak pada representasi publik yang sah, penghormatan terhadap konstitusi, dan cita-cita luhur bangsa yang dijaga dalam demokrasi, sementara mobokrasi menafikan prinsip-prinsip tersebut. Akar permasalahan dari kerusakan ini adalah populisme yang dipicu oleh kebijakan elit politik yang mengedepankan kepentingan pribadi, sering kali dengan klaim palsu untuk mewakili rakyat. Insiden ini memberikan pelajaran yang sangat penting bagi Indonesia, yang meskipun masih dalam tahap berkembang dalam berdemokrasi, telah menunjukan kedewasaan politik pada pemilu 2019. Dengan mengedepankan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, Indonesia berhasil melalui kompetisi politik dengan cara yang damai dan penuh rasa saling menghormati. Fenomena ini menjadi contoh bagi dunia, termasuk AS, untuk menjaga demokrasi yang sehat dan menghindari ekstremisme yang dapat merusak sosial dan politik.
Di Indonesia sendiri pada era kepemimpinan Joko Widodo sempat menegaskan pentingnya peran konstitusi dalam menjaga demokrasi dan mencegah munculnya kekuasaan yang mutlak atau mobokrasi di Indonesia. Dalam sambutanya pada Simposium Internasional Asosiasi Mahkamah Konstitusi di Surakarta, Jokowi menyatakan bahwa konstitusi Indonesia menjamin adanya perimbangan kekuasaan antar lembaga negara, yang memungkinkan saling kontrol dan pengawasan. Hal ini mencegah dominasi sepihak dari satu kelompok atau individu, seperti dalam sistem diktator konstitusi juga berfungsi sebagai pelindung kemajemukan Indonesia, yang meliputi perbedaan etnis, budaya, agama dan pendapat. Dalam konteks ini, konstitusi memastikan bahwa tidak ada kelompok yang dapat memaksakan kehendaknya tanpa menghormati hak-hak warga negara lainnya. Jokowi juga menekankan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi menjadikan konstitusi sebagai rujukan utama dalam mewujudkan praktik demokrasi. Berikut merupakan langkah-langkah untuk mencegah mobokrasi : 
Pendidikan Politik dan Kesadaran Hukum
Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai hak dan kewajiban mereka dalam sistem demokrasi dan mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan pendapat dan penyelesaian konflik secara damai.
Penguatan Lembaga Pengawasan dan Penegakan Hukum
Memperkuat peran lembaga seperti kepolisian dan pengadilan dalam menegakan hukum secara adil dan menindak tegas kelompok yang mencoba melakukan pemaksaan kehendak melalui kekerasan atau intimidasi.
Akses Informasi yang Terbuka dan Transparan
Menjamin akses informasi yang akurat dan transparan untuk menghindari penyebaran berita palsu atau provokasi, masyarakat yang terinformasi dengan baik lebih mampu menilai situasi dan menghindari kerusuhan yang disebabkan oleh hoaks.
Peran Media yang Seimbang dan Edukatif
Media harus bertanggung jawab dalam informasi yang objektif dan mengedukasi publik mengenai dampak negatif mobokrasi, dan juga menghindari penyebaran berita yang dapat memperkeruh situasi atau memicu ketegangan.
Penguatan Budaya Toleransi dan Inklusivitas
Mempromosikan budaya saling menghargai dan toleransi antar kelompok masyarakat. Menyediakan ruang untuk perbedaan pendapat secara damai tanpa kekerasan.
Kesimpulan
Mobokrasi, sebagai sebuah fenomena ketika kekuasaan massa mendikte arah kebijakan, menjadi tantangan nyata bagi sistem demokrasi yang ideal. Artikel ini menyoroti bahwa mobokrasi muncul saat emosi kolektif dan tekanan dari kelompok yang mendominasi mengalahkan pertimbanngan rasional dan proses hukum yang berlaku. Contohnya demonstrasi mahasiswa tahun 2019 yang menentang revisi UU KPK menggambarkan bagaimana tekanan publik dapat secara signifikan mempengaruhi keputusan pemerintah, mengidentifikasi potensi “kekuatan jalanan” dalam proses pengambilan keputusan.
Mobokrasi berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik dan konflik sosial karena keputusan yang diambil seringkali bias terhadap kepentingan kelompok tertentu dan tidak mencerminkan kepentingan masyarakat secara luas. Peristiwa 6 Januari 2021 di As, dengan pendukung Donald Trump menyerbu Gedung Capitol, adalah representasi ekstrem dari bagaimana mobokrasi dapat mengancam pilar-pilar demokrasi.
Akan tetapi perlu dicatat bahwa mobilisasi massa juga dapat mendorong perubahan sosial yang konstruktif asalkan dilakukan dengan tujuan yang jelas, berdasarkan dialog yang inklusif, dan melalui cara-cara damai. Keseimbangan yang hati-hati antara memberikan ruang untuk aspirasi publik dan menjaga prinsip-prinsip demokrasi merupakan kunci untuk mencegah mobokrasi dari merusak stabilitas sosial dan politik.
Saran
Untuk mengatasi potensi ancaman mobokrasi dan memperkuat fondasi demokrasi, beberapa pendekatan alternatif dapat dipertimangakan : 
Memperkuat Literasi Media dan Digital : Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memilih dan memilah serta menganalisis informasi dari berbagai sumber, termasuk media sosial, untuk mencegah penyebaran disinformasi yang dapat memicu polarisasi dan tindakan impulsif.
Mendorong partisipasi Publik yang Lebih Terstruktur : Mengembangkan mekanisme partisipasi dari publik yang lebih terstruktur, seperti hal nya diadakan forum warga atau konsultasi publik online, untuk memastikan bahwa suara masyarakat didengar dalam proses pengambilan keputusan tanpa harus turun kejalan.
Mengoptimalkan Peran Lembaga dan Mediator : Memperkuat peran lembaga mediator independen, seperti ombudsman dan komisi hak asasi manusia untuk menyelesaikan konflik antara pemerintah dan masyarakat secara damai dan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan.
Dengan mengadopsi pendekatan-pendekatan ini, diharapkan masyarakat dapat menjadi lebih sdar,terlibat dan bertanggung jawab dalam menjaga demokrasi, sehingga mencegah mobokrasi dan menjadi  ancaman serius bagi stabilitas sosial dan politik.
Daftar Pustaka
Ali Ridho, Zuhad Aji Firmanto ( 2021 ) Konstitusi, mobokrasi dan demoriter
Hasanuddin Wahid ( 13 Januari 2021 ) Mobokrasi demokrasi AS yang kebablasan. Diakses pada tanggal 6 April 2025, dari https://nasional.kompas.com/read/2021/01/13/21124131/mobokrasi-demokrasi-as-yang-kebablasan#google_vignette
Bayu Prasetyo ( 9 Agustus 2017 ) Presiden : Konstitusi Indonesia Mencegah Mobokrasi yang Memaksakan Kehendak. Diakses pada tanggal 6 April 2025, dari https://jateng.antaranews.com/amp/berita/172626/presiden-konstitusi-indonesia-mencegah-mobokrasi-yang-memaksakan-kehendak
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tugas Mandiri 07
Judul Tugas: Ringkasan Pasal-Pasal Penting UUD 1945 Terkait Sistem Pemerintahan ( Kelompok ) Tujuan Pembelajaran: Mahasiswa mampu: M...
No comments:
Post a Comment