Thursday, April 10, 2025

Sistem Pemerintahan Di Inggris: Monarki Konstitusional yang Unik

 

Fahlevi Vici Febriyani (D20)

ABSTRAK

Setiap negara memiliki sistem pemerintahan yang mencerminkan sejarah, budaya, dan dinamika politiknya. Inggris merupakan salah satu contoh negara yang menganut sistem monarki konstitusional, di mana Raja atau Ratu berperan sebagai kepala negara secara simbolis, sementara kekuasaan eksekutif dijalankan oleh perdana menteri yang dipilih secara demokratis. Sistem ini dipandang berhasil menciptakan keseimbangan antara nilai-nilai tradisional dan prinsip demokrasi modern. Namun demikian, sistem monarki konstitusional juga tidak luput dari kritik dan tantangan. Dua isu utama yang sering muncul adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota keluarga kerajaan serta ketidakselarasan sistem pewarisan takhta dengan prinsip demokrasi partisipatif. Melalui kajian ini, dibahas bagaimana kedua permasalahan tersebut dapat berdampak pada stabilitas politik, kepercayaan publik, dan nilai-nilai keadilan dalam kehidupan bernegara. Diperlukan upaya reformasi yang bersifat terbatas namun signifikan untuk menjawab tantangan ini, seperti peningkatan transparansi, akuntabilitas, serta pelibatan masyarakat dalam evaluasi peran simbolik monarki.

Kata Kunci: Monarki konstitusional, Inggris, kekuasaan simbolik, reformasi politik, akuntabilitas.


PENDAHULUAN

Setiap negara memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, mencerminkan sejarah, nilai budaya, serta pengalaman politik masing-masing bangsa. Salah satu sistem pemerintahan yang menarik untuk dikaji adalah monarki konstitusional, sebagaimana diterapkan oleh Inggris. Inggris dikenal sebagai negara dengan tradisi pemerintahan yang panjang dan kompleks, serta menjadi pelopor dalam menggabungkan unsur kerajaan yang bersifat simbolik dengan sistem demokrasi yang dijalankan secara modern.

Monarki konstitusional di Inggris merupakan hasil dari proses panjang yang berakar pada sejarah perjuangan rakyat dan institusi politik dalam membatasi kekuasaan absolut raja. Awalnya, kekuasaan tertinggi berada di tangan monarki, namun melalui berbagai peristiwa penting seperti penandatanganan Magna Carta tahun 1215, Revolusi Glorious tahun 1688, dan penguatan peran Parlemen secara bertahap, sistem pemerintahan Inggris mengalami transformasi menuju pembagian kekuasaan yang lebih adil dan demokratis. Kini, konstitusi—baik yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis—membatasi kewenangan monarki, dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh perdana menteri serta parlemen yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.

Dalam struktur pemerintahan ini, Raja atau Ratu tetap menjadi kepala negara, namun hanya menjalankan peran simbolis dan seremonial. Fungsi-fungsi seperti membuka sidang parlemen, memberikan gelar kehormatan, atau mewakili negara dalam acara kenegaraan dijalankan oleh monarki, sementara pengambilan keputusan politik sepenuhnya berada di tangan perdana menteri bersama kabinetnya. Perdana menteri dipilih berdasarkan dukungan mayoritas di parlemen, yang menunjukkan keberpihakan pada suara rakyat dalam proses pengambilan kebijakan nasional.

Sistem monarki konstitusional di Inggris sering dianggap sebagai model pemerintahan yang sukses dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Di satu sisi, sistem ini tetap melestarikan simbol budaya dan sejarah nasional melalui keberadaan monarki, namun di sisi lain, tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi seperti keterwakilan rakyat, akuntabilitas, serta supremasi hukum. Kestabilan politik yang dihasilkan dari sistem ini menjadi salah satu faktor penting dalam menjaga kontinuitas dan identitas nasional rakyat Inggris.

Sistem monarki konstitusional di Inggris menjadi bukti bahwa sebuah negara dapat mempertahankan nilai-nilai tradisional dan simbolisme kerajaan, sembari tetap menerapkan prinsip-prinsip demokrasi modern seperti keterwakilan rakyat, supremasi hukum, dan akuntabilitas pemerintah. Model ini dianggap berhasil menciptakan stabilitas politik yang berkelanjutan, serta memberikan rasa identitas dan kontinuitas nasional bagi rakyat Inggris.

Lebih dari itu, sistem ini juga membuktikan bahwa reformasi politik tidak selalu harus terjadi melalui perubahan radikal. Dengan pendekatan evolusioner—yakni perubahan bertahap yang mengikuti dinamika sosial dan politik—Inggris mampu menciptakan tatanan pemerintahan yang tidak hanya stabil, tetapi juga fleksibel dalam merespons perkembangan zaman. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan Inggris kerap menjadi objek kajian dalam ilmu tata negara, terutama dalam hal bagaimana kekuasaan negara dapat dibatasi dan diatur untuk menghindari otoritarianisme serta memastikan bahwa kedaulatan tetap berada di tangan rakyat.


PERMASALAHAN

Meskipun sistem monarki konstitusional di Inggris memiliki banyak kelebihan, tetap saja terdapat sejumlah kekurangan yang menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Salah satu isu utama yang sering dikritisi adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan. Walaupun Raja atau Ratu tidak memiliki kekuasaan politik secara langsung dan perannya lebih bersifat simbolik, anggota keluarga kerajaan tetap memiliki pengaruh besar dalam kehidupan publik. Jika pengaruh ini digunakan secara tidak tepat—seperti untuk kepentingan pribadi atau untuk memengaruhi keputusan tertentu—maka hal tersebut dapat merusak citra institusi kerajaan dan mengganggu stabilitas kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan. Skandal atau tindakan yang tidak etis dari pihak kerajaan juga bisa menimbulkan dampak negatif terhadap legitimasi dan moralitas kepemimpinan nasional.

Selain itu, sistem monarki konstitusional juga kerap dikritik karena dianggap tidak sepenuhnya demokratis. Penunjukan kepala negara yang dilakukan berdasarkan garis keturunan, bukan melalui pemilihan oleh rakyat, menunjukkan adanya ketimpangan dalam sistem politik. Meskipun rakyat memiliki hak untuk memilih anggota parlemen dan perdana menteri, mereka tidak memiliki suara dalam menentukan siapa yang akan menjadi Raja atau Ratu. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesesuaian sistem ini dengan nilai-nilai demokrasi modern, yang menjunjung tinggi prinsip keterwakilan dan keadilan politik. Dalam konteks ini, monarki dinilai kurang mencerminkan semangat egalitarianisme, karena posisi tertinggi dalam simbol negara hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu berdasarkan darah keturunan, bukan melalui pencapaian atau pilihan rakyat.


PEMBAHASAN

1. Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Sistem Monarki Konstitusional Inggris

Meskipun sistem monarki konstitusional di Inggris telah mengalami banyak reformasi dan pembatasan terhadap kekuasaan monarki, potensi penyalahgunaan kekuasaan tetap menjadi isu yang relevan untuk dikaji. Dalam sistem ini, Raja atau Ratu memang tidak lagi memiliki kekuasaan absolut seperti pada masa lalu, namun posisi mereka tetap memiliki pengaruh yang besar secara simbolis, sosial, dan bahkan politik dalam beberapa konteks. Status dan kedudukan anggota keluarga kerajaan yang sangat dihormati, serta akses mereka terhadap berbagai sumber daya negara, menciptakan ruang bagi kemungkinan penyimpangan yang tidak selalu mudah terdeteksi atau dikendalikan.

Salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang sering menjadi sorotan adalah penggunaan fasilitas negara oleh anggota keluarga kerajaan untuk kepentingan pribadi. Meskipun mereka menerima anggaran yang berasal dari pajak rakyat, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana tersebut kerap dipertanyakan. Kritik dari masyarakat muncul ketika keluarga kerajaan terlihat menjalani gaya hidup mewah atau bepergian dengan biaya tinggi yang dibebankan kepada negara, sementara publik dihadapkan pada krisis ekonomi atau kebijakan penghematan (austerity) dari pemerintah. Ketidakseimbangan semacam ini menimbulkan ketidakpuasan publik dan menciptakan persepsi bahwa monarki tidak sepenuhnya memahami kondisi rakyat.

Selain itu, anggota keluarga kerajaan memiliki pengaruh besar dalam opini publik. Meskipun secara resmi mereka tidak diperkenankan untuk menyampaikan pandangan politik secara terbuka, ada kalanya pendapat atau tindakan mereka memicu kontroversi karena dinilai mencampuri urusan kenegaraan. Sebagai contoh, jika seorang anggota kerajaan menyatakan dukungan terhadap kebijakan tertentu atau mengkritik kebijakan pemerintah, hal itu bisa dianggap sebagai bentuk intervensi yang melampaui batas peran simbolik mereka. Bahkan dalam bentuk yang lebih halus, tekanan moral atau ekspektasi publik yang datang dari institusi kerajaan bisa memengaruhi pengambilan keputusan politik di belakang layar.

Kasus-kasus skandal yang melibatkan anggota keluarga kerajaan juga menjadi contoh nyata bagaimana kekuasaan yang tidak diawasi secara ketat bisa disalahgunakan. Beberapa anggota kerajaan di masa lalu pernah terlibat dalam skandal keuangan, pelanggaran etika, hingga isu-isu yang bersifat sensitif secara sosial. Meski tidak selalu berkaitan langsung dengan kebijakan negara, skandal ini mencoreng reputasi monarki sebagai simbol integritas nasional. Lebih buruk lagi, ketika pihak kerajaan menggunakan pengaruhnya untuk menutupi atau menghindari pertanggungjawaban hukum atas tindakan tersebut, hal ini menciptakan kesan adanya perlakuan istimewa di luar hukum yang berlaku bagi warga biasa.

Masalah lainnya adalah terbatasnya mekanisme hukum yang dapat digunakan untuk mengontrol atau mengevaluasi tindakan monarki dan keluarga kerajaan. Karena posisi mereka yang unik dalam sistem kenegaraan, tidak semua aturan hukum dapat diterapkan secara langsung. Bahkan dalam beberapa aspek, keluarga kerajaan memiliki kekebalan tertentu yang membuat mereka berada di atas hukum dalam kasus-kasus spesifik. Ini menjadi tantangan besar dalam menjamin prinsip keadilan dan kesetaraan hukum di negara demokratis.

Penting juga untuk dicatat bahwa masyarakat Inggris sendiri memiliki sikap yang beragam terhadap keberadaan monarki. Meskipun sebagian besar rakyat masih mendukung institusi kerajaan karena alasan historis dan budaya, kritik terhadap gaya hidup keluarga kerajaan serta tuntutan terhadap transparansi dan reformasi terus meningkat, khususnya di kalangan generasi muda. Tekanan dari masyarakat sipil, media, dan lembaga independen semakin kuat agar institusi monarki dapat beradaptasi dengan tuntutan zaman dan memperkuat akuntabilitasnya di hadapan publik.

Untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota keluarga kerajaan, diperlukan penguatan mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat. Meskipun monarki bersifat simbolis, setiap tindakan atau kebijakan yang melibatkan institusi kerajaan harus diawasi oleh badan independen yang bertugas memastikan bahwa semua aktivitas publik dan penggunaan dana kerajaan dilakukan secara terbuka dan sesuai aturan hukum. Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah menetapkan standar etika dan tata kelola bagi anggota keluarga kerajaan, serta memperkuat peran media dan masyarakat sipil sebagai pengawas terhadap tindakan-tindakan yang menyimpang dari fungsi simbolik mereka. Selain itu, penting pula untuk membatasi akses dan pengaruh keluarga kerajaan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik, guna menjaga batas yang jelas antara simbolisme monarki dan praktik pemerintahan yang demokratis.

2.Aspek Ketidakdemokratisan dalam Sistem Monarki Konstitusional Inggris

Salah satu kritik utama terhadap sistem monarki konstitusional di Inggris adalah ketidakselarasannya dengan prinsip-prinsip demokrasi yang ideal. Meskipun Inggris dikenal sebagai negara demokrasi parlementer yang mapan, keberadaan institusi monarki tetap menyisakan ruang perdebatan tentang sejauh mana sistem ini benar-benar mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Salah satu sorotan utama adalah kenyataan bahwa kepala negara—yaitu Raja atau Ratu—tidak dipilih melalui mekanisme pemilu oleh rakyat, melainkan diwariskan secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan keluarga kerajaan. Hal ini secara langsung bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi, yaitu hak rakyat untuk memilih para pemimpin mereka.

Dalam sistem demokrasi modern, pemimpin negara seharusnya memperoleh legitimasi dari kehendak rakyat, melalui proses pemilihan yang adil dan terbuka. Namun, dalam sistem monarki konstitusional Inggris, posisi kepala negara didasarkan pada kelahiran dan bukan pada kompetensi, prestasi, atau pilihan rakyat. Meskipun peran Raja atau Ratu bersifat simbolis dan tidak memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan politik secara langsung, posisi mereka tetap membawa beban representatif dan menjadi simbol tertinggi negara. Ketika jabatan setinggi itu tidak dapat dijangkau oleh warga negara biasa—tidak peduli seberapa cakap dan layak mereka—maka sistem tersebut menimbulkan ketimpangan dalam partisipasi politik dan kesempatan yang adil.

Lebih jauh, keberadaan monarki mewariskan struktur sosial yang hierarkis dan elitis, di mana keluarga kerajaan menempati posisi eksklusif di atas masyarakat. Status dan perlakuan istimewa yang diterima oleh anggota kerajaan menciptakan kesan adanya kasta sosial yang tidak dapat ditembus oleh rakyat biasa. Dalam masyarakat yang menganut demokrasi, semua warga negara seharusnya memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan negara. Namun, dalam praktiknya, monarki menciptakan ruang sosial-politik yang tertutup dan tidak inklusif, karena hanya individu dari silsilah kerajaan yang berhak menduduki jabatan tertinggi simbolik negara.

Masalah ketidakdemokratisan ini juga berdampak pada persepsi publik terhadap keadilan dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan. Sebagian masyarakat mulai mempertanyakan mengapa sebagian kecil kelompok memiliki hak istimewa yang begitu besar hanya karena mereka dilahirkan dalam keluarga tertentu. Pertanyaan ini semakin menguat terutama di kalangan generasi muda, yang tumbuh dalam semangat kesetaraan dan meritokrasi. Banyak dari mereka menganggap bahwa posisi strategis dalam negara, meskipun bersifat simbolik, seharusnya dapat diakses oleh siapa saja berdasarkan kualifikasi dan dedikasi, bukan semata-mata karena darah bangsawan.

Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi negara. Ketika simbol negara tidak lagi dianggap mencerminkan representasi rakyat secara utuh, maka rasa keterikatan masyarakat terhadap institusi tersebut pun bisa melemah. Hal ini berpotensi mengganggu stabilitas nasional, khususnya jika muncul gerakan-gerakan yang menuntut penghapusan monarki dan penggantian sistem pemerintahan dengan model yang lebih demokratis, seperti republik.

Sebagai respons terhadap kritik ini, sebagian pihak berpendapat bahwa selama monarki tetap menjalankan perannya secara netral, simbolis, dan tidak mencampuri urusan pemerintahan, maka keberadaannya masih dapat diterima dalam kerangka demokrasi konstitusional. Namun, pandangan ini tidak menghapus fakta bahwa struktur warisan turun-temurun tetap bertentangan dengan semangat demokrasi partisipatif. Oleh karena itu, perdebatan mengenai relevansi monarki dalam masyarakat demokratis akan terus berlangsung, terutama di era yang semakin menuntut transparansi, keterbukaan, dan kesetaraan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menghadapi isu ketidakdemokratisan dalam sistem pewarisan kekuasaan simbolik, Inggris dapat mempertimbangkan reformasi terbatas tanpa menghapus institusi monarki. Salah satu solusi kompromi adalah dengan membuka ruang partisipasi publik dalam hal pengawasan dan evaluasi terhadap peran dan kontribusi keluarga kerajaan. Misalnya, melalui forum-forum konsultatif atau survei nasional yang melibatkan suara rakyat dalam menentukan peran-peran simbolik yang seharusnya dijalankan oleh monarki. Di samping itu, penting untuk memperkuat narasi bahwa kekuasaan sejati tetap berada di tangan rakyat melalui parlemen, dan bahwa institusi kerajaan hanya berfungsi sebagai pelengkap budaya dan tradisi nasional, bukan sebagai sumber otoritas politik. Edukasi publik mengenai batas-batas kekuasaan simbolik monarki juga sangat diperlukan agar masyarakat tidak salah persepsi mengenai peran mereka dalam sistem demokrasi.


KESIMPULAN

Sistem monarki konstitusional di Inggris merupakan contoh nyata bagaimana sebuah negara dapat mempertahankan identitas budaya dan tradisi melalui keberadaan monarki, sembari tetap menjalankan pemerintahan demokratis melalui parlemen dan perdana menteri. Namun, sistem ini tetap memiliki kelemahan, terutama terkait potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota keluarga kerajaan dan ketidaksesuaian dengan prinsip demokrasi partisipatif karena pewarisan kekuasaan berdasarkan garis keturunan. Kritik terhadap gaya hidup mewah, kurangnya transparansi, serta posisi eksklusif keluarga kerajaan menunjukkan adanya ketimpangan yang dapat mengganggu legitimasi publik. Oleh karena itu, perlu ada upaya adaptif agar sistem ini tetap relevan dan selaras dengan nilai-nilai demokrasi modern yang mengedepankan kesetaraan, keterbukaan, dan akuntabilitas.

 

SARAN

1.      Penguatan Transparansi dan Akuntabilitas
Pemerintah Inggris perlu membentuk atau memperkuat lembaga independen yang berfungsi untuk mengawasi penggunaan dana publik oleh keluarga kerajaan, serta mengaudit aktivitas-aktivitas yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
2.      Pembatasan Pengaruh Politik
Diperlukan penegasan aturan dan batasan yang jelas agar anggota keluarga kerajaan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan politik ataupun menyampaikan pandangan yang dapat memengaruhi opini publik secara politis.
3.      Partisipasi Publik dan Edukasi
Perlu dibuka ruang partisipatif bagi masyarakat dalam mengevaluasi peran simbolik monarki, misalnya melalui jajak pendapat nasional atau forum dialog publik, serta edukasi mengenai peran konstitusional monarki agar masyarakat memahami batas dan fungsi simbolik mereka.
4.      Reformasi Simbolik
Meskipun tidak mengubah sistem monarki secara keseluruhan, Inggris dapat mempertimbangkan reformasi terbatas untuk mengurangi kesan elitis dan memperkuat citra inklusif keluarga kerajaan di mata rakyat.


DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, S. (2023). Lembaga Representatif Publik: Relasi Kekuasaan Dalam Perspektif Perbandingan Sistem Presidensial Vs Sistem Parlementer Studi Kasus Indonesia Dengan Inggris. Jurnal Adhikari2(3), 392-405.

Maulida, A. S., Sepkamala, D. D., Herayani, S., & Ikrima, W. H. (2023). Analisis Perbandingan Administrasi Publiknegara Inggris Dan Australia. Pentahelix1(2), 163-174.

Putri, F. R., Ramadhina, A., Wiyono, S. A., Zemlya, N. A. R., & Zulhamzah, R. (2024). Perbandingan Administrasi Publik Negara Inggris dan Australia. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi14(2), 125-138.

Saragih, G. M. (2023). Perbandingan ketatanegaraan Indonesia dan Inggris dari berbagai aspek (comparison of Indonesian and England constitutions from various aspects). REUSAM: Jurnal Ilmu Hukum10(2), 201-214.

Suryana, C., Fatihah, N. A., Subki, M. T., & Maulani, M. I. (2022). Sistem Pemerintahan: Demokrasi dan Monarki.


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

KUIS 13-2 (11 JULI 2025) SUSULAN

 D04,D05,D07,D09,D16,D18,D20,D46,D47