Fahlevi Vici Febriyani (D20)
ABSTRAK
Setiap negara memiliki sistem
pemerintahan yang mencerminkan sejarah, budaya, dan dinamika politiknya.
Inggris merupakan salah satu contoh negara yang menganut sistem monarki
konstitusional, di mana Raja atau Ratu berperan sebagai kepala negara secara
simbolis, sementara kekuasaan eksekutif dijalankan oleh perdana menteri yang
dipilih secara demokratis. Sistem ini dipandang berhasil menciptakan
keseimbangan antara nilai-nilai tradisional dan prinsip demokrasi modern. Namun
demikian, sistem monarki konstitusional juga tidak luput dari kritik dan
tantangan. Dua isu utama yang sering muncul adalah potensi penyalahgunaan
kekuasaan oleh anggota keluarga kerajaan serta ketidakselarasan sistem
pewarisan takhta dengan prinsip demokrasi partisipatif. Melalui kajian ini,
dibahas bagaimana kedua permasalahan tersebut dapat berdampak pada stabilitas
politik, kepercayaan publik, dan nilai-nilai keadilan dalam kehidupan
bernegara. Diperlukan upaya reformasi yang bersifat terbatas namun signifikan
untuk menjawab tantangan ini, seperti peningkatan transparansi, akuntabilitas,
serta pelibatan masyarakat dalam evaluasi peran simbolik monarki.
Kata Kunci:
Monarki konstitusional, Inggris,
kekuasaan simbolik, reformasi politik, akuntabilitas.
PENDAHULUAN
Setiap negara memiliki sistem
pemerintahan yang berbeda-beda, mencerminkan sejarah, nilai budaya, serta
pengalaman politik masing-masing bangsa. Salah satu sistem pemerintahan yang menarik
untuk dikaji adalah monarki konstitusional, sebagaimana diterapkan oleh
Inggris. Inggris dikenal sebagai negara dengan tradisi pemerintahan yang
panjang dan kompleks, serta menjadi pelopor dalam menggabungkan unsur kerajaan
yang bersifat simbolik dengan sistem demokrasi yang dijalankan secara modern.
Monarki konstitusional di Inggris
merupakan hasil dari proses panjang yang berakar pada sejarah perjuangan rakyat
dan institusi politik dalam membatasi kekuasaan absolut raja. Awalnya,
kekuasaan tertinggi berada di tangan monarki, namun melalui berbagai peristiwa
penting seperti penandatanganan Magna Carta tahun 1215, Revolusi
Glorious tahun 1688, dan penguatan peran Parlemen secara bertahap,
sistem pemerintahan Inggris mengalami transformasi menuju pembagian kekuasaan
yang lebih adil dan demokratis. Kini, konstitusi—baik yang bersifat tertulis
maupun tidak tertulis—membatasi kewenangan monarki, dan pemerintahan
sehari-hari dijalankan oleh perdana menteri serta parlemen yang dipilih secara
demokratis oleh rakyat.
Dalam struktur pemerintahan ini,
Raja atau Ratu tetap menjadi kepala negara, namun hanya menjalankan peran
simbolis dan seremonial. Fungsi-fungsi seperti membuka sidang parlemen,
memberikan gelar kehormatan, atau mewakili negara dalam acara kenegaraan
dijalankan oleh monarki, sementara pengambilan keputusan politik sepenuhnya
berada di tangan perdana menteri bersama kabinetnya. Perdana menteri dipilih
berdasarkan dukungan mayoritas di parlemen, yang menunjukkan keberpihakan pada
suara rakyat dalam proses pengambilan kebijakan nasional.
Sistem monarki konstitusional di
Inggris sering dianggap sebagai model pemerintahan yang sukses dalam menjaga keseimbangan
antara tradisi dan modernitas. Di satu sisi, sistem ini tetap melestarikan
simbol budaya dan sejarah nasional melalui keberadaan monarki, namun di sisi
lain, tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi seperti keterwakilan
rakyat, akuntabilitas, serta supremasi hukum. Kestabilan politik yang
dihasilkan dari sistem ini menjadi salah satu faktor penting dalam menjaga
kontinuitas dan identitas nasional rakyat Inggris.
Sistem monarki konstitusional di
Inggris menjadi bukti bahwa sebuah negara dapat mempertahankan nilai-nilai
tradisional dan simbolisme kerajaan, sembari tetap menerapkan prinsip-prinsip
demokrasi modern seperti keterwakilan rakyat, supremasi hukum, dan
akuntabilitas pemerintah. Model ini dianggap berhasil menciptakan stabilitas politik
yang berkelanjutan, serta memberikan rasa identitas dan kontinuitas nasional
bagi rakyat Inggris.
Lebih dari itu, sistem ini juga
membuktikan bahwa reformasi politik tidak selalu harus terjadi melalui
perubahan radikal. Dengan pendekatan evolusioner—yakni perubahan bertahap yang
mengikuti dinamika sosial dan politik—Inggris mampu menciptakan tatanan
pemerintahan yang tidak hanya stabil, tetapi juga fleksibel dalam merespons
perkembangan zaman. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan Inggris kerap menjadi
objek kajian dalam ilmu tata negara, terutama dalam hal bagaimana kekuasaan
negara dapat dibatasi dan diatur untuk menghindari otoritarianisme serta
memastikan bahwa kedaulatan tetap berada di tangan rakyat.
PERMASALAHAN
Meskipun sistem monarki
konstitusional di Inggris memiliki banyak kelebihan, tetap saja terdapat
sejumlah kekurangan yang menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Salah
satu isu utama yang sering dikritisi adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Walaupun Raja atau Ratu tidak memiliki kekuasaan politik secara langsung dan
perannya lebih bersifat simbolik, anggota keluarga kerajaan tetap memiliki pengaruh
besar dalam kehidupan publik. Jika pengaruh ini digunakan secara tidak
tepat—seperti untuk kepentingan pribadi atau untuk memengaruhi keputusan
tertentu—maka hal tersebut dapat merusak citra institusi kerajaan dan
mengganggu stabilitas kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan.
Skandal atau tindakan yang tidak etis dari pihak kerajaan juga bisa menimbulkan
dampak negatif terhadap legitimasi dan moralitas kepemimpinan nasional.
Selain itu, sistem monarki
konstitusional juga kerap dikritik karena dianggap tidak sepenuhnya demokratis.
Penunjukan kepala negara yang dilakukan berdasarkan garis keturunan, bukan
melalui pemilihan oleh rakyat, menunjukkan adanya ketimpangan dalam sistem
politik. Meskipun rakyat memiliki hak untuk memilih anggota parlemen dan
perdana menteri, mereka tidak memiliki suara dalam menentukan siapa yang akan
menjadi Raja atau Ratu. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesesuaian
sistem ini dengan nilai-nilai demokrasi modern, yang menjunjung tinggi prinsip
keterwakilan dan keadilan politik. Dalam konteks ini, monarki dinilai kurang
mencerminkan semangat egalitarianisme, karena posisi tertinggi dalam simbol
negara hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu berdasarkan darah keturunan,
bukan melalui pencapaian atau pilihan rakyat.
PEMBAHASAN
1. Potensi Penyalahgunaan
Kekuasaan dalam Sistem Monarki Konstitusional Inggris
Meskipun sistem monarki konstitusional di Inggris telah mengalami banyak
reformasi dan pembatasan terhadap kekuasaan monarki, potensi penyalahgunaan
kekuasaan tetap menjadi isu yang relevan untuk dikaji. Dalam sistem ini, Raja
atau Ratu memang tidak lagi memiliki kekuasaan absolut seperti pada masa lalu,
namun posisi mereka tetap memiliki pengaruh yang besar secara simbolis, sosial,
dan bahkan politik dalam beberapa konteks. Status dan kedudukan anggota
keluarga kerajaan yang sangat dihormati, serta akses mereka terhadap berbagai
sumber daya negara, menciptakan ruang bagi kemungkinan penyimpangan yang tidak
selalu mudah terdeteksi atau dikendalikan.
Salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang sering menjadi sorotan
adalah penggunaan fasilitas negara oleh anggota keluarga kerajaan untuk
kepentingan pribadi. Meskipun mereka menerima anggaran yang berasal dari pajak
rakyat, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana tersebut kerap dipertanyakan.
Kritik dari masyarakat muncul ketika keluarga kerajaan terlihat menjalani gaya
hidup mewah atau bepergian dengan biaya tinggi yang dibebankan kepada negara,
sementara publik dihadapkan pada krisis ekonomi atau kebijakan penghematan
(austerity) dari pemerintah. Ketidakseimbangan semacam ini menimbulkan
ketidakpuasan publik dan menciptakan persepsi bahwa monarki tidak sepenuhnya
memahami kondisi rakyat.
Selain itu, anggota keluarga kerajaan memiliki pengaruh besar dalam opini
publik. Meskipun secara resmi mereka tidak diperkenankan untuk menyampaikan
pandangan politik secara terbuka, ada kalanya pendapat atau tindakan mereka
memicu kontroversi karena dinilai mencampuri urusan kenegaraan. Sebagai contoh,
jika seorang anggota kerajaan menyatakan dukungan terhadap kebijakan tertentu
atau mengkritik kebijakan pemerintah, hal itu bisa dianggap sebagai bentuk
intervensi yang melampaui batas peran simbolik mereka. Bahkan dalam bentuk yang
lebih halus, tekanan moral atau ekspektasi publik yang datang dari institusi
kerajaan bisa memengaruhi pengambilan keputusan politik di belakang layar.
Kasus-kasus skandal yang melibatkan anggota keluarga kerajaan juga menjadi
contoh nyata bagaimana kekuasaan yang tidak diawasi secara ketat bisa
disalahgunakan. Beberapa anggota kerajaan di masa lalu pernah terlibat dalam
skandal keuangan, pelanggaran etika, hingga isu-isu yang bersifat sensitif
secara sosial. Meski tidak selalu berkaitan langsung dengan kebijakan negara,
skandal ini mencoreng reputasi monarki sebagai simbol integritas nasional.
Lebih buruk lagi, ketika pihak kerajaan menggunakan pengaruhnya untuk menutupi
atau menghindari pertanggungjawaban hukum atas tindakan tersebut, hal ini
menciptakan kesan adanya perlakuan istimewa di luar hukum yang berlaku bagi warga
biasa.
Masalah lainnya adalah terbatasnya mekanisme hukum yang dapat digunakan
untuk mengontrol atau mengevaluasi tindakan monarki dan keluarga kerajaan.
Karena posisi mereka yang unik dalam sistem kenegaraan, tidak semua aturan
hukum dapat diterapkan secara langsung. Bahkan dalam beberapa aspek, keluarga
kerajaan memiliki kekebalan tertentu yang membuat mereka berada di atas hukum
dalam kasus-kasus spesifik. Ini menjadi tantangan besar dalam menjamin prinsip
keadilan dan kesetaraan hukum di negara demokratis.
Penting juga untuk dicatat bahwa masyarakat Inggris sendiri memiliki sikap
yang beragam terhadap keberadaan monarki. Meskipun sebagian besar rakyat masih
mendukung institusi kerajaan karena alasan historis dan budaya, kritik terhadap
gaya hidup keluarga kerajaan serta tuntutan terhadap transparansi dan reformasi
terus meningkat, khususnya di kalangan generasi muda. Tekanan dari masyarakat
sipil, media, dan lembaga independen semakin kuat agar institusi monarki dapat
beradaptasi dengan tuntutan zaman dan memperkuat akuntabilitasnya di hadapan
publik.
Untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota keluarga
kerajaan, diperlukan penguatan mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang
ketat. Meskipun monarki bersifat simbolis, setiap tindakan atau kebijakan yang
melibatkan institusi kerajaan harus diawasi oleh badan independen yang bertugas
memastikan bahwa semua aktivitas publik dan penggunaan dana kerajaan dilakukan
secara terbuka dan sesuai aturan hukum. Salah satu langkah konkret yang bisa
dilakukan adalah menetapkan standar etika dan tata kelola bagi anggota keluarga
kerajaan, serta memperkuat peran media dan masyarakat sipil sebagai pengawas
terhadap tindakan-tindakan yang menyimpang dari fungsi simbolik mereka. Selain
itu, penting pula untuk membatasi akses dan pengaruh keluarga kerajaan dalam
pengambilan keputusan kebijakan publik, guna menjaga batas yang jelas antara
simbolisme monarki dan praktik pemerintahan yang demokratis.
2.Aspek Ketidakdemokratisan dalam Sistem Monarki Konstitusional Inggris
Salah satu kritik utama terhadap sistem monarki konstitusional di Inggris
adalah ketidakselarasannya dengan prinsip-prinsip demokrasi yang ideal.
Meskipun Inggris dikenal sebagai negara demokrasi parlementer yang mapan,
keberadaan institusi monarki tetap menyisakan ruang perdebatan tentang sejauh
mana sistem ini benar-benar mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Salah satu
sorotan utama adalah kenyataan bahwa kepala negara—yaitu Raja atau Ratu—tidak
dipilih melalui mekanisme pemilu oleh rakyat, melainkan diwariskan secara
turun-temurun berdasarkan garis keturunan keluarga kerajaan. Hal ini secara
langsung bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi, yaitu hak rakyat untuk
memilih para pemimpin mereka.
Dalam sistem demokrasi modern, pemimpin negara seharusnya memperoleh
legitimasi dari kehendak rakyat, melalui proses pemilihan yang adil dan
terbuka. Namun, dalam sistem monarki konstitusional Inggris, posisi kepala
negara didasarkan pada kelahiran dan bukan pada kompetensi, prestasi, atau
pilihan rakyat. Meskipun peran Raja atau Ratu bersifat simbolis dan tidak
memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan politik secara langsung, posisi
mereka tetap membawa beban representatif dan menjadi simbol tertinggi negara.
Ketika jabatan setinggi itu tidak dapat dijangkau oleh warga negara biasa—tidak
peduli seberapa cakap dan layak mereka—maka sistem tersebut menimbulkan
ketimpangan dalam partisipasi politik dan kesempatan yang adil.
Lebih jauh, keberadaan monarki mewariskan struktur sosial yang hierarkis dan
elitis, di mana keluarga kerajaan menempati posisi eksklusif di atas
masyarakat. Status dan perlakuan istimewa yang diterima oleh anggota kerajaan
menciptakan kesan adanya kasta sosial yang tidak dapat ditembus oleh rakyat
biasa. Dalam masyarakat yang menganut demokrasi, semua warga negara seharusnya
memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan negara. Namun, dalam praktiknya,
monarki menciptakan ruang sosial-politik yang tertutup dan tidak inklusif,
karena hanya individu dari silsilah kerajaan yang berhak menduduki jabatan
tertinggi simbolik negara.
Masalah ketidakdemokratisan ini juga berdampak pada persepsi publik terhadap
keadilan dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan. Sebagian masyarakat mulai
mempertanyakan mengapa sebagian kecil kelompok memiliki hak istimewa yang
begitu besar hanya karena mereka dilahirkan dalam keluarga tertentu. Pertanyaan
ini semakin menguat terutama di kalangan generasi muda, yang tumbuh dalam
semangat kesetaraan dan meritokrasi. Banyak dari mereka menganggap bahwa posisi
strategis dalam negara, meskipun bersifat simbolik, seharusnya dapat diakses
oleh siapa saja berdasarkan kualifikasi dan dedikasi, bukan semata-mata karena
darah bangsawan.
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengurangi kepercayaan publik
terhadap institusi negara. Ketika simbol negara tidak lagi dianggap
mencerminkan representasi rakyat secara utuh, maka rasa keterikatan masyarakat
terhadap institusi tersebut pun bisa melemah. Hal ini berpotensi mengganggu
stabilitas nasional, khususnya jika muncul gerakan-gerakan yang menuntut
penghapusan monarki dan penggantian sistem pemerintahan dengan model yang lebih
demokratis, seperti republik.
Sebagai respons terhadap kritik ini, sebagian pihak berpendapat bahwa selama
monarki tetap menjalankan perannya secara netral, simbolis, dan tidak
mencampuri urusan pemerintahan, maka keberadaannya masih dapat diterima dalam
kerangka demokrasi konstitusional. Namun, pandangan ini tidak menghapus fakta
bahwa struktur warisan turun-temurun tetap bertentangan dengan semangat
demokrasi partisipatif. Oleh karena itu, perdebatan mengenai relevansi monarki
dalam masyarakat demokratis akan terus berlangsung, terutama di era yang
semakin menuntut transparansi, keterbukaan, dan kesetaraan dalam semua aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menghadapi isu ketidakdemokratisan dalam sistem pewarisan kekuasaan
simbolik, Inggris dapat mempertimbangkan reformasi terbatas tanpa menghapus
institusi monarki. Salah satu solusi kompromi adalah dengan membuka ruang
partisipasi publik dalam hal pengawasan dan evaluasi terhadap peran dan
kontribusi keluarga kerajaan. Misalnya, melalui forum-forum konsultatif atau
survei nasional yang melibatkan suara rakyat dalam menentukan peran-peran
simbolik yang seharusnya dijalankan oleh monarki. Di samping itu, penting untuk
memperkuat narasi bahwa kekuasaan sejati tetap berada di tangan rakyat melalui
parlemen, dan bahwa institusi kerajaan hanya berfungsi sebagai pelengkap budaya
dan tradisi nasional, bukan sebagai sumber otoritas politik. Edukasi publik
mengenai batas-batas kekuasaan simbolik monarki juga sangat diperlukan agar
masyarakat tidak salah persepsi mengenai peran mereka dalam sistem demokrasi.
KESIMPULAN
Sistem monarki konstitusional di Inggris merupakan contoh nyata bagaimana
sebuah negara dapat mempertahankan identitas budaya dan tradisi melalui
keberadaan monarki, sembari tetap menjalankan pemerintahan demokratis melalui
parlemen dan perdana menteri. Namun, sistem ini tetap memiliki kelemahan,
terutama terkait potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota keluarga
kerajaan dan ketidaksesuaian dengan prinsip demokrasi partisipatif karena
pewarisan kekuasaan berdasarkan garis keturunan. Kritik terhadap gaya hidup
mewah, kurangnya transparansi, serta posisi eksklusif keluarga kerajaan menunjukkan
adanya ketimpangan yang dapat mengganggu legitimasi publik. Oleh karena itu,
perlu ada upaya adaptif agar sistem ini tetap relevan dan selaras dengan
nilai-nilai demokrasi modern yang mengedepankan kesetaraan, keterbukaan, dan
akuntabilitas.
SARAN
Pemerintah Inggris perlu membentuk atau memperkuat lembaga independen yang berfungsi untuk mengawasi penggunaan dana publik oleh keluarga kerajaan, serta mengaudit aktivitas-aktivitas yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
2. Pembatasan Pengaruh Politik
Diperlukan penegasan aturan dan batasan yang jelas agar anggota keluarga kerajaan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan politik ataupun menyampaikan pandangan yang dapat memengaruhi opini publik secara politis.
3. Partisipasi Publik dan Edukasi
Perlu dibuka ruang partisipatif bagi masyarakat dalam mengevaluasi peran simbolik monarki, misalnya melalui jajak pendapat nasional atau forum dialog publik, serta edukasi mengenai peran konstitusional monarki agar masyarakat memahami batas dan fungsi simbolik mereka.
4. Reformasi Simbolik
Meskipun tidak mengubah sistem monarki secara keseluruhan, Inggris dapat mempertimbangkan reformasi terbatas untuk mengurangi kesan elitis dan memperkuat citra inklusif keluarga kerajaan di mata rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, S. (2023). Lembaga Representatif Publik: Relasi Kekuasaan
Dalam Perspektif Perbandingan Sistem Presidensial Vs Sistem Parlementer Studi
Kasus Indonesia Dengan Inggris. Jurnal Adhikari, 2(3), 392-405.
Maulida, A. S., Sepkamala, D. D., Herayani, S., & Ikrima,
W. H. (2023). Analisis Perbandingan Administrasi Publiknegara Inggris Dan
Australia. Pentahelix, 1(2), 163-174.
Putri, F. R., Ramadhina, A., Wiyono, S. A., Zemlya, N. A. R., &
Zulhamzah, R. (2024). Perbandingan Administrasi Publik Negara Inggris dan
Australia. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, 14(2), 125-138.
Saragih, G. M. (2023). Perbandingan ketatanegaraan Indonesia dan Inggris
dari berbagai aspek (comparison of Indonesian and England constitutions from
various aspects). REUSAM: Jurnal Ilmu Hukum, 10(2), 201-214.
Suryana, C., Fatihah, N. A., Subki, M. T., & Maulani, M. I. (2022).
Sistem Pemerintahan: Demokrasi dan Monarki.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.