Nama:nazwa amalia (44224010085)
universitas mercu buana fakultas ilmu komunikasi public relations kode (D29)
Abstrak
Di era disrupsi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan arus informasi yang sangat cepat, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan yang kompleks, terutama dalam mempertahankan nilai-nilai kebangsaan dan integritas nasional. Pancasila sebagai ideologi negara sekaligus dasar kehidupan berbangsa diuji ketangguhannya oleh derasnya penyebaran isu intoleransi, radikalisme, dan disinformasi melalui media sosial. Pada saat yang sama, pendidikan bela negara hadir sebagai strategi utama untuk memperkuat ketahanan nasional melalui pembentukan karakter generasi muda. Artikel ini bertujuan menganalisis bagaimana resiliensi Pancasila dapat dipertahankan di tengah tantangan media sosial, serta bagaimana pendidikan bela negara menjadi instrumen strategis dalam memperkuat ketahanan nasional di era globalisasi dan disrupsi teknologi. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif melalui kajian literatur dari sumber-sumber relevan. Hasil analisis menunjukkan bahwa Pancasila tetap relevan sebagai fondasi integrasi nasional, dan pendidikan bela negara memiliki peran sentral dalam menciptakan masyarakat yang sadar, tangguh, dan cinta tanah air.
Kata Kunci
Pancasila, Resiliensi, Media Sosial, Pendidikan Bela Negara, Ketahanan Nasional, Disrupsi, Globalisasi
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat kaya akan keberagaman—dari suku, budaya, agama, bahasa, hingga adat istiadat. Kekayaan ini tentu menjadi potensi besar, namun di sisi lain dapat menjadi pemicu konflik apabila tidak dikelola dengan bijak. Sejak kemerdekaan, Indonesia telah menghadapi berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar, yang menguji ketangguhan ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa.
Memasuki era disrupsi dan globalisasi, tantangan terhadap keutuhan bangsa semakin kompleks. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menciptakan ruang sosial baru melalui media sosial yang dapat memperkuat, namun juga melemahkan integrasi sosial. Di sinilah peran Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa kembali diuji. Selain itu, pendidikan bela negara menjadi penting dalam membentuk karakter generasi muda yang sadar akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Permasalahan
1. Bagaimana resiliensi Pancasila diuji dan dipertahankan dalam menghadapi tantangan disrupsi, khususnya melalui media sosial?
2. Apa peran strategis pendidikan bela negara dalam memperkuat ketahanan nasional di tengah derasnya arus globalisasi dan perubahan teknologi?
Pembahasan
1. Pancasila sebagai Dasar dan Filter Ideologis Bangsa
Sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, Pancasila mengandung nilai-nilai universal yang relevan sepanjang masa. Namun, di era saat ini, Pancasila dihadapkan pada tantangan baru, yaitu lunturnya nilai-nilai toleransi akibat penyebaran isu-isu intoleransi, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial. Media sosial yang seharusnya menjadi alat komunikasi dan integrasi justru seringkali menjadi medium penyebaran polarisasi dan propaganda negatif.
Nilai-nilai Pancasila seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial menjadi sangat relevan untuk menangkal disintegrasi. Misalnya, kasus intoleransi di dunia pendidikan yang melarang siswa berbeda agama mencalonkan diri dalam pemilihan ketua OSIS, menjadi contoh konkret lunturnya nilai dasar Pancasila. Jika tidak diperkuat, maka ideologi ini rentan tergerus oleh arus budaya dan pemikiran yang bertentangan dengan jati diri bangsa.
2. Dilema Media Sosial dan Dampaknya terhadap Toleransi
Media sosial menjadi dua sisi mata pisau. Di satu sisi, ia mempercepat arus informasi, memperluas jaringan, dan membuka peluang integrasi lintas budaya. Di sisi lain, ia menjadi ladang subur penyebaran radikalisme, intoleransi, dan kebencian. Penelitian dari berbagai lembaga menunjukkan meningkatnya ujaran kebencian berbasis SARA di media sosial. Kata-kata seperti “kafir” dan “komunis” menjadi konten viral yang menimbulkan keresahan sosial.
Hal ini membuktikan bahwa media sosial tidak netral—ia dapat menjadi alat penguat nilai Pancasila, tapi juga bisa sebaliknya. Maka, penguatan literasi digital dan penanaman nilai-nilai toleransi menjadi sangat penting dalam membendung derasnya penyebaran ide-ide yang bertentangan dengan semangat kebangsaan.
3. Strategi Pendidikan Bela Negara dalam Era Disrupsi
Pendidikan bela negara bukan hanya soal pelatihan militer, melainkan pembinaan karakter warga negara yang cinta tanah air, sadar akan hak dan kewajiban, serta tangguh menghadapi tantangan zaman. Dalam konteks modern, bela negara mencakup pengetahuan tentang ancaman kontemporer seperti disinformasi, serangan siber, infiltrasi budaya asing, hingga radikalisasi digital.
Pasal 27 Ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara. Pendidikan bela negara menjadi sarana strategis untuk menyemai nilai-nilai tersebut, terutama pada generasi muda yang merupakan target utama pengaruh globalisasi.
Melalui pendekatan edukatif dan dialogis, pendidikan bela negara dapat dilakukan lewat kurikulum formal di sekolah dan perguruan tinggi, program pelatihan, serta kegiatan pengabdian masyarakat. Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi kunci dalam menyinergikan antara pengetahuan, keterampilan, dan semangat kebangsaan dalam mencetak generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berjiwa patriotik.
4. Ketahanan Nasional sebagai Tujuan Strategis
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis bangsa yang mencerminkan kemampuan dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman, tantangan, gangguan, dan hambatan. Ketahanan ini tidak hanya bersifat fisik atau militer, tetapi juga ideologis, sosial, ekonomi, dan budaya.
Pendidikan bela negara berperan penting dalam membentuk daya tahan ideologi dan moral masyarakat. Di tengah gempuran budaya asing dan gaya hidup global, nilai-nilai Pancasila harus terus dijaga melalui internalisasi nilai kebangsaan sejak usia dini.
Sebagai contoh, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, pelajaran Pancasila, dan pendidikan karakter sangat efektif dalam membentuk pola pikir generasi muda agar tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh luar. Dalam jangka panjang, pendidikan ini akan membentuk masyarakat yang memiliki integritas, loyalitas, serta kesadaran kolektif dalam menjaga keutuhan bangsa.
Kesimpulan
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia tengah diuji ketahanannya di era disrupsi yang penuh dengan tantangan media sosial dan pengaruh globalisasi. Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi melalui media sosial menjadi ancaman nyata yang dapat menggoyahkan persatuan bangsa jika tidak segera ditangani secara serius. Dalam konteks ini, pendidikan bela negara menjadi kunci untuk membentuk generasi muda yang tidak hanya paham secara intelektual, tetapi juga kuat secara ideologis dan moral.
Dengan pendidikan bela negara yang terintegrasi dalam sistem pendidikan formal dan informal, serta dukungan teknologi dan pendekatan kontekstual, Indonesia akan mampu menciptakan ketahanan nasional yang kuat dan adaptif. Pancasila tetap menjadi fondasi utama untuk menjaga persatuan dalam keberagaman, dan media sosial dapat dimanfaatkan untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan jika dikelola secara bijak.
Saran
1. Penguatan Literasi Digital: Pemerintah perlu mengembangkan program literasi digital nasional yang mengedukasi masyarakat tentang bahaya hoaks, ujaran kebencian, dan disinformasi di media sosial.
2. Revitalisasi Pendidikan Pancasila dan Bela Negara: Mata pelajaran Pancasila dan bela negara harus dikemas lebih menarik dan relevan dengan kondisi kekinian, agar tidak ditinggalkan oleh generasi muda.
3. Kolaborasi Multi-Sektor: Pemerintah, tokoh agama, pendidik, media, dan masyarakat sipil harus bekerja sama dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat dan toleran.
4. Optimalisasi Peran Perguruan Tinggi: Universitas sebagai pusat ilmu dan pembinaan karakter harus aktif mengintegrasikan nilai-nilai bela negara dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
5. Pemanfaatan Media Sosial Positif: Media sosial sebaiknya digunakan sebagai alat kampanye nasionalisme, toleransi, dan semangat gotong royong, dengan melibatkan influencer, content creator, dan komunitas digital.
Daftar Pustaka
Adlini, M. N., et al. (2022). Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka. Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 6(1), 974–980. https://doi.org/10.33487/edumaspul.v6i1.3394
Damono, S. D. (2005). Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Danandjaja, J. (2008). Pendekatan Folklore dalam Penelitian Bahan-Bahan Tradisi Lisan. Dalam Pudentia (Ed.), Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Eka, E., et al. (2024). Strategi Bela Negara untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional di Era Globalisasi. Indo-MathEdu Intellectuals Journal, 5(3), 3061–3067. https://doi.org/10.54373/imeij.v5i3.1204
Erick Saragih, et al. (2023). Era Disrupsi Digital pada Perkembangan Teknologi di Indonesia. Transformasi: Journal of Economics and Business Management. 2(4), 141–149. https://doi.org/10.56444/transformasi.v2i4.1152
Hartono, D. (2020). Fenomena Kesadaran Bela Negara di Era Digital dalam Perspektif Ketahanan Nasional. Jurnal Kajian Lemhannas RI, 8(1), 19.
Ibrahim, A. I. (2013). Maskulinitas dalam Novel Keluarga Permana Karya Ramadhan K.H. Metalingua: Jurnal Penelitian Sastra, 6(2), Desember.
Irwan Triadi, & Lia Agustina. (2024). Peran Pendidikan Dalam Membentuk Kesadaran Bela Negara di Kalangan Generasi Muda Indonesia. Aliansi: Jurnal Hukum, Pendidikan dan Sosial Humaniora, 1(2), 221–235. https://doi.org/10.62383/aliansi.v1i2.110
Iskandar, E. (2009). Biarkan Perang Bubat Berlanjut. http://serbasejarah.wordpress.com/2009/11/02/biarkan-perang-bubat-berlanjut (Diakses: 4 November 2009, pukul 09.14 WIB)
Sutoyo, et al. (2020). Indonesia dalam Era Disrupsi. https://www.google.co.id/books/edition/Indonesia_dalam_Era_Disrupsi/62KbEAAAQBAJ
Sunara Akbar, R., et al. (2024). Urgensi Pendidikan Bela Negara di Era Society 5.0 (Tantangan dan Peluang). Journal on Education, 6(4), 19343–19354. https://doi.org/10.31004/joe.v6i4.5868
Bachri, S. C. (1998). Jembatan. Horison, XXXII(6), Juni, hlm. 29. Jakarta: Yayasan Indonesia.
Prihatmi, T. S. R. (1975). Saya Ingin Bercerita agar Tidak Sumpek. Kompas, Selasa, 1 Juli.
No comments:
Post a Comment