Thursday, April 24, 2025

Soekarno dan Gagasan Nasionalisme Humanis


Dibuat oleh: Mahira Maharani (D13)


Soekarno dan Gagasan Nasionalisme Humanis

Abstrak

Nasionalisme humanis Soekarno merupakan konsep ideologis yang menggabungkan semangat kebangsaan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Gagasan ini lahir sebagai respons terhadap penindasan kolonial Belanda dan dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran, seperti Marxisme, Islam progresif, dan humanisme Barat. Artikel ini menganalisis latar belakang historis-filosofis, elemen-elemen utama, implementasi dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa, serta relevansinya dalam konteks Indonesia kontemporer. Nasionalisme humanis Soekarno menekankan emansipasi rakyat, keadilan sosial, anti-imperialisme, dan kemanusiaan universal, yang tercermin dalam Pancasila dan konsep Trisakti. Meskipun menghadapi tantangan dalam penerapannya, nilai-nilai nasionalisme humanis ini tetap relevan untuk menjawab persoalan ketimpangan sosial, krisis identitas, dan dominasi kapitalisme global saat ini. Artikel ini menyimpulkan bahwa aktualisasi pemikiran Soekarno diperlukan sebagai landasan moral dan strategis dalam membangun bangsa yang berdaulat, adil, dan bermartabat.

Kata kunci: Nasionalisme Humanis, Soekarno, Pancasila, Keadilan Sosial, Anti-Imperialisme, Trisakti, Indonesia Kontemporer

 

Pendahuluan

Nasionalisme merupakan konsep ideologis dan emosional yang memainkan peran krusial dalam pembentukan identitas dan kedaulatan suatu bangsa. Dalam konteks sejarah Indonesia, nasionalisme bukan sekadar wacana intelektual, melainkan sebuah kekuatan sosial-politik yang menjadi pendorong utama dalam perjuangan melawan penjajahan dan pembentukan negara merdeka. Nasionalisme Indonesia muncul sebagai respons terhadap kolonialisme Belanda yang telah berlangsung selama lebih dari tiga abad, dengan berbagai bentuk penindasan yang mengekang kebebasan, merampas sumber daya, dan merendahkan martabat bangsa Indonesia.

Di antara tokoh-tokoh nasional yang berkontribusi besar dalam mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan nasionalisme, Ir. Soekarno menempati posisi sentral. Sebagai proklamator kemerdekaan dan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno tidak hanya menjadi simbol perjuangan, tetapi juga penggagas utama konsep-konsep ideologis yang menjadi dasar pembentukan bangsa Indonesia modern. Salah satu gagasan terpenting yang diwariskan oleh Soekarno adalah nasionalisme humanis—sebuah pandangan yang memadukan semangat kebangsaan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal.

Nasionalisme humanis yang dirumuskan oleh Soekarno lahir dari pengalaman langsungnya menghadapi ketidakadilan kolonial serta hasil perenungan filosofis yang dipengaruh oleh berbagai aliran pemikiran, seperti Islam, sosialisme, humanisme Barat, dan Marxisme. Berbeda dari nasionalisme sempit yang eksklusif dan mengarah pada chauvinisme, nasionalisme Soekarno bersifat inklusif dan bertujuan membebaskan manusia dari penindasan struktural, baik oleh kekuatan asing maupun sistem sosial yang tidak adil. Ia menempatkan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai inti perjuangan kebangsaan. Bagi Soekarno, nasionalisme tidak dapat dipisahkan dari upaya menciptakan masyarakat yang adil, setara, dan bermartabat.

Oleh karena itu, penting untuk menelaah lebih dalam bagaimana gagasan nasionalisme humanis Soekarno terbentuk, latar belakang ideologis dan historis yang mempengaruhinya, bagaimana ia mengimplementasikannya dalam perjuangan nasional dan kebijakan kenegaraan, serta sejauh mana pemikiran tersebut masih relevan di era kontemporer. Penelitian terhadap nasionalisme humanis Soekarno juga menjadi sarana refleksi terhadap praktik kebangsaan kita saat ini dalam menghadapi tantangan globalisasi, ketimpangan sosial, dan krisis identitas nasional.

 

Permasalahan

Nasionalisme merupakan konsep yang terus mengalami perkembangan seiring dinamika zaman dan tantangan yang dihadapi oleh suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, nasionalisme tidak pernah berdiri sebagai gagasan tunggal yang statis, melainkan lahir dari pergulatan historis yang kompleks. Salah satu bentuk nasionalisme yang paling berpengaruh dalam perjalanan bangsa Indonesia adalah gagasan nasionalisme humanis yang dirumuskan oleh Ir. Soekarno. Untuk memahami secara mendalam makna, signifikansi, serta tantangan dari nasionalisme ini, terdapat sejumlah permasalahan yang perlu dikaji secara kritis dan menyeluruh.

Permasalahan pertama menyangkut latar belakang historis dan filosofis yang membentuk gagasan nasionalisme humanis Soekarno. Soekarno tumbuh dan hidup dalam situasi penjajahan Belanda yang tidak hanya menguras sumber daya alam Indonesia, tetapi juga merendahkan martabat manusia pribumi. Dalam menghadapi kenyataan tersebut, Soekarno tidak sekadar menuntut kemerdekaan politik, tetapi juga membangun fondasi ideologis yang lebih dalam: pembebasan manusia dari penindasan dalam segala bentuknya. Oleh karena itu, perlu ditelusuri lebih jauh bagaimana pengalaman hidup, pengaruh pemikiran dari berbagai ideologi seperti Marxisme, Islam progresif, dan humanisme Barat membentuk kerangka pemikiran Soekarno dalam merumuskan nasionalisme humanis.

Permasalahan kedua adalah mengenai elemen-elemen utama yang membentuk struktur nasionalisme humanis versi Soekarno. Penting untuk dijelaskan bagaimana konsep-konsep seperti emansipasi rakyat, solidaritas kemanusiaan lintas bangsa, nilai-nilai Pancasila—khususnya sila kedua—serta sikap anti-imperialisme dan anti-kolonialisme menjadi pilar dari pemikiran nasionalisme yang ia gagas. Tanpa pemahaman terhadap elemen-elemen ini, nasionalisme humanis akan terkesan hanya sebagai retorika moral tanpa pijakan ideologis yang kuat.

Selanjutnya, permasalahan ketiga berkaitan dengan bagaimana gagasan nasionalisme humanis Soekarno diimplementasikan dalam perjuangan kemerdekaan dan dalam proses pembangunan bangsa setelah kemerdekaan dicapai. Implementasi ini tidak terlepas dari dinamika politik yang kompleks, mulai dari upaya menyatukan berbagai kekuatan ideologis hingga kebijakan-kebijakan pembangunan seperti Revolusi Nasional dan Trisakti. Penting untuk ditelaah apakah idealisme Soekarno dapat benar-benar terwujud dalam praktik, atau justru mengalami deviasi akibat realitas politik dan tekanan global pada masa itu.

Terakhir, permasalahan keempat adalah sejauh mana nasionalisme humanis Soekarno masih relevan dengan situasi sosial-politik Indonesia kontemporer. Di tengah krisis identitas, meningkatnya intoleransi, ketimpangan sosial, serta tekanan kapitalisme global, diperlukan pembacaan ulang terhadap warisan pemikiran Soekarno untuk menilai apakah nilai-nilai nasionalisme humanis masih dapat menjadi pijakan ideologis dan moral dalam menghadapi tantangan zaman.

 

Pembahasan

1. Latar Belakang Historis dan Filosofis Nasionalisme Humanis Soekarno

Soekarno lahir pada tahun 1901, di tengah kondisi bangsa Indonesia yang masih terbelenggu oleh kekuasaan kolonial Belanda. Penjajahan tidak hanya bersifat politik dan ekonomi, tetapi juga menyusup ke aspek sosial dan budaya, menjadikan bangsa Indonesia sebagai objek eksploitasi dan diskriminasi sistematis. Dalam konteks inilah, Soekarno muda menyaksikan langsung penderitaan rakyat kecil, ketimpangan sosial, serta hilangnya harga diri bangsa akibat penjajahan. Kondisi tersebut membentuk kesadaran politiknya sejak dini, bahwa perjuangan kemerdekaan tidak cukup hanya untuk mengusir penjajah, tetapi juga harus mampu mengangkat martabat manusia Indonesia secara menyeluruh.

Dalam proses intelektualnya, Soekarno banyak membaca dan berdialog dengan berbagai aliran pemikiran dunia. Dari Marxisme ia mempelajari struktur penindasan kelas dan pentingnya keadilan sosial; dari Islam progresif ia mengadopsi nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan pembelaan terhadap kaum tertindas; sementara dari humanisme Barat ia menangkap gagasan tentang harkat dan martabat manusia yang universal. Alih-alih meniru secara dogmatis, Soekarno mengolah semua itu menjadi sintesis ideologis yang khas, berakar pada realitas Indonesia.

Bagi Soekarno, nasionalisme sejati bukanlah kebanggaan buta terhadap bangsa sendiri, melainkan sebuah gerakan pembebasan untuk menciptakan masyarakat yang merdeka, adil, dan berperikemanusiaan. Maka, nasionalisme baginya selalu bersifat humanis: membebaskan rakyat dan mengembalikan kemanusiaannya.

 

2. Elemen Nasionalisme Humanis Soekarno

Gagasan nasionalisme humanis yang dikembangkan oleh Soekarno tidak sekadar menekankan kecintaan terhadap tanah air, melainkan juga mencakup pembebasan manusia secara menyeluruh dari berbagai bentuk penindasan. Salah satu elemen utama dari nasionalisme ini adalah emansipasi rakyat, di mana Soekarno menempatkan perjuangan kemerdekaan dalam kerangka perjuangan sosial. Ia menolak nasionalisme elitis yang hanya menguntungkan segelintir golongan, dan justru menekankan bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat kecil terbebas dari kemiskinan, ketimpangan, dan eksploitasi.

Selain itu, kemanusiaan universal merupakan prinsip penting dalam pandangan Soekarno. Ia menentang segala bentuk nasionalisme eksklusif yang menolak keberagaman. Baginya, nasionalisme tidak boleh berujung pada chauvinisme atau rasisme, melainkan harus mengandung solidaritas lintas bangsa dan peradaban. Hal ini tampak jelas dalam peran aktifnya pada Konferensi Asia Afrika 1955, di mana ia menyerukan persatuan antarbangsa yang tertindas di bawah kolonialisme dan imperialisme.

Fondasi ideologis dari nasionalisme humanis ini diwujudkan dalam Pancasila, khususnya sila kedua tentang “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Pancasila, menurut Soekarno, bukan hanya dasar negara, tetapi juga filsafat hidup yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Lebih jauh, nasionalisme Soekarno juga bersifat anti-imperialis dan anti-kolonialis. Ia menganggap imperialisme sebagai bentuk penindasan sistemik yang merampas kedaulatan bangsa dan martabat manusia. Oleh karena itu, perjuangannya selalu mengarah pada pembebasan, baik secara nasional maupun internasional.

 

3. Implementasi dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Pembangunan Bangsa

Gagasan nasionalisme humanis Soekarno memainkan peran penting dalam membangun semangat kolektif perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Dalam konteks kolonialisme yang memecah-belah dan menciptakan stratifikasi sosial, Soekarno hadir sebagai tokoh pemersatu. Ia mampu menjembatani berbagai kelompok ideologis yang berbeda—nasionalis sekuler, kelompok Islam, hingga kelompok kiri seperti Marxis dan sosialis—ke dalam satu barisan perjuangan melawan penjajahan. Keberhasilannya ini bukan hanya karena kemampuan retorikanya yang luar biasa, tetapi karena ia menawarkan visi nasionalisme yang menyentuh sisi kemanusiaan dan kesetaraan, sesuatu yang dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat.

Saat Indonesia memasuki masa kemerdekaan, nasionalisme humanis Soekarno tidak berhenti sebagai wacana ideologis semata, tetapi diupayakan menjadi dasar dalam pembangunan bangsa. Salah satu perwujudan konkretnya tampak dalam konsep “Revolusi Nasional”, yaitu usaha membangun tatanan masyarakat baru yang berkeadilan sosial dan berorientasi pada rakyat kecil. Dalam pidato-pidatonya, Soekarno sering mengulang pentingnya membangun bangsa yang tidak hanya merdeka secara formal, tetapi juga merdeka secara sosial dan ekonomi. Ia mengkritik keras bentuk kemerdekaan yang hanya mengganti penguasa asing dengan elit lokal tanpa mengubah struktur penindasan.

Lebih lanjut, konsep “Trisakti” yang ia perkenalkan pada pertengahan tahun 1960-an menjadi manifestasi lanjutan dari nasionalisme humanis tersebut. Trisakti terdiri dari tiga prinsip utama: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Konsep ini bukan hanya solusi jangka pendek terhadap tantangan pasca-kolonial, tetapi juga fondasi ideologis untuk membangun bangsa yang kuat, mandiri, dan bermartabat. Dalam kerangka Trisakti, pembangunan tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari sejauh mana rakyat menikmati keadilan dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun demikian, implementasi gagasan nasionalisme humanis ini tidak selalu berjalan mulus. Realitas politik dan dinamika global yang kompleks pada masa itu, khususnya dalam konteks Perang Dingin, memaksa Soekarno untuk melakukan kompromi. Ketegangan antara blok Barat dan Timur menempatkan Indonesia dalam posisi sulit. Soekarno yang awalnya mencoba mengambil jalan netral, lambat laun condong ke blok Timur dan kelompok kiri nasional, yang menimbulkan resistensi dari kelompok Islam dan militer.

Konflik ideologis di dalam negeri, ditambah tekanan internasional dan krisis ekonomi, membuat banyak idealisme Soekarno tersandera oleh kebutuhan stabilitas politik. Dalam beberapa kasus, pendekatan otoriter mulai muncul, seperti pembubaran partai politik dan pembatasan kebebasan pers, yang bertentangan dengan semangat humanisme yang ia gagas. Akibatnya, meskipun nasionalisme humanis tetap menjadi cita-cita luhur, penerapannya tidak sepenuhnya terealisasi secara konsisten dalam praktik kenegaraan.

 

4. Relevansi dengan Konteks Indonesia Kontemporer

Meskipun Soekarno telah wafat lebih dari lima dekade lalu, gagasan nasionalisme humanis yang ia rintis tetap memiliki signifikansi dalam menghadapi tantangan-tantangan bangsa Indonesia di era modern. Dalam situasi global yang didominasi oleh arus kapitalisme neoliberal, di mana negara sering kali tunduk pada kepentingan korporasi multinasional dan logika pasar bebas, ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi kian melebar. Sektor informal tumbuh tanpa perlindungan, sumber daya alam dieksploitasi tanpa kendali, dan rakyat kecil kerap tersisih dari proses pembangunan. Dalam kondisi ini, visi Soekarno tentang nasionalisme yang menekankan keadilan sosial dan kemandirian ekonomi menjadi sangat relevan sebagai tawaran ideologis sekaligus etis.

Selain itu, krisis identitas nasional turut mewarnai kehidupan sosial-politik Indonesia kontemporer. Politisasi agama, meningkatnya intoleransi, serta menguatnya sektarianisme menunjukkan kegagalan sebagian masyarakat dalam memahami nasionalisme dalam kerangka inklusif. Nasionalisme humanis Soekarno, yang menempatkan kemanusiaan di atas identitas primordial, dapat menjadi pendekatan strategis untuk meredam konflik horizontal dan memperkuat integrasi bangsa. Pandangan Soekarno yang menghargai pluralitas agama, etnis, dan budaya sangat penting dalam menjaga kebinekaan Indonesia.

Lebih jauh, dalam hal kebijakan pembangunan nasional, pendekatan Soekarno melalui konsep Trisakti dapat dijadikan pijakan alternatif dari ketergantungan ekonomi terhadap asing dan dominasi investor besar. Semangat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) tidak hanya relevan untuk kedaulatan pangan dan energi, tetapi juga sebagai upaya memandirikan ekonomi rakyat dan koperasi.

Dengan demikian, nasionalisme humanis Soekarno bukanlah konsep usang, melainkan warisan pemikiran visioner yang mampu menjawab tantangan zaman—jika diaktualisasikan secara kreatif dan kontekstual dalam kebijakan serta praksis sosial-politik Indonesia masa kini.

 

Kesimpulan

Gagasan nasionalisme humanis Soekarno merupakan warisan pemikiran yang tidak hanya bersifat historis, tetapi juga memiliki nilai strategis dan moral yang sangat relevan untuk menjawab tantangan Indonesia masa kini. Berangkat dari latar belakang penjajahan yang menindas, Soekarno mengembangkan konsep nasionalisme yang tidak eksklusif dan chauvinistik, melainkan inklusif, berakar pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan solidaritas global. Dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa, nasionalisme humanis ini menjadi fondasi ideologis yang menuntut pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan—baik struktural maupun kultural. Meskipun implementasinya dalam praktik politik Soekarno mengalami pasang surut karena berbagai faktor internal dan eksternal, nilai-nilai dasar dari nasionalisme humanis tetap menjadi panduan moral yang kuat. Di tengah krisis identitas, ketimpangan sosial, dan ancaman kapitalisme global saat ini, pemikiran Soekarno masih menawarkan arah dan inspirasi untuk membangun bangsa yang lebih adil, berdaulat, dan bermartabat. Oleh karena itu, pembacaan dan aktualisasi ulang terhadap nasionalisme humanis Soekarno menjadi penting untuk memastikan bahwa semangat kemerdekaan tidak hanya menjadi kenangan sejarah, tetapi terus hidup dalam praksis kebangsaan kita hari ini.

 

Saran

Berdasarkan pembahasan mengenai nasionalisme humanis Soekarno dalam artikel ini, terdapat beberapa saran yang dapat diajukan sebagai upaya untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai nasionalisme tersebut dalam konteks Indonesia kontemporer. Pertama, pemerintah dan pemangku kebijakan perlu menjadikan prinsip keadilan sosial dan keberpihakan pada rakyat kecil sebagai landasan utama dalam setiap kebijakan pembangunan. Semangat Trisakti yang menekankan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan perlu dihidupkan kembali agar arah pembangunan nasional tidak tercerabut dari jati diri bangsa.

Kedua, penting bagi dunia pendidikan untuk mengintegrasikan pemikiran-pemikiran Soekarno, khususnya nilai-nilai nasionalisme humanis, ke dalam kurikulum secara kritis dan kontekstual. Hal ini bertujuan agar generasi muda tidak hanya mengenal sejarah perjuangan kemerdekaan secara permukaan, tetapi juga memahami substansi ideologis yang mendasarinya sebagai bekal dalam merespons tantangan masa kini.

Ketiga, perlu adanya revitalisasi semangat kebangsaan yang inklusif melalui media, budaya populer, dan ruang publik. Nasionalisme humanis yang menekankan solidaritas, toleransi, dan kemanusiaan harus menjadi narasi tandingan terhadap meningkatnya intoleransi, radikalisme, dan sektarianisme.

Terakhir, kalangan akademisi dan peneliti didorong untuk terus menggali, mengkritisi, dan mengembangkan pemikiran Soekarno secara ilmiah agar tidak terjebak pada kultus individu, tetapi menjadikannya sebagai sumber gagasan yang dinamis dan kontributif terhadap pembangunan bangsa ke depan.

 

Daftar Pustaka

Latif, Yudi. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Harsya, Wahyu. (2020). “Relevansi Pemikiran Soekarno tentang Nasionalisme dalam Konteks Kebangsaan Indonesia Masa Kini.” Jurnal Politik Profetik, Vol. 8, No. 2.

 

Supriyono, Bambang. (2017). “Nasionalisme Soekarno dan Tantangan Globalisasi.” Jurnal Sosial Politik, Universitas Brawijaya.

 

Damanik, Dedi. (2019). “Humanisme dalam Pemikiran Politik Soekarno.” Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 4 No. 1.

 

Nugroho, Heru. (2010). Globalisasi, Kapitalisme, dan Perlawanan Kultural. Yogyakarta: Resist Book.

 

No comments:

Post a Comment

Wawasan Nusantara dan Perubahan Iklim: Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil

 Haekal Fahmi D47 Wawasan Nusantara dan Perubahan Iklim: Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil Abstrak Perubahan iklim global menjadi ancaman nyata...