A. Latar Belakang
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia para founding fathers telah menjatuhkan
pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
Negara.
Cita desentralisasi ini senantiasa
menjadi bagian dalam praktek pemerintahan Negara sejak berlakunya UUD 1945,
terus memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali ke UUD
1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Garis perkembangan sejarah tersebut
membuktikan bahwa cita desentralisasi senantiasa dipegang teguh oleh Negara
Republik Indonesia, sekalipun dari satu periode ke periode lainnya terlihat
adanya perbedaan dalam intensitasnya.
Sebagai perwujudan dari cita
desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah penting sudah dilakukan oleh
pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan
cita-cita ini terus berlanjut. Sekalipun demikia, kenyataan membuktikan bahwa
cita tersebut masih jauh dalam realisasinya. Otonomi daerah masih lebih sebagai
harapan ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah terwujud sebagaimana yang diharapkan.
Kita nampaknya baru menuju kea rah Otonomi Daerah yang sebenarnya.
Beberapa faktor-faktor yang
menetukan prospek otonomi daerah, diantaranya, yaitu :
Faktor Pertama adalah faktor manusia
sebagai subyek penggerak (faktor dinamis) dalam peenyelenggaraan otonomi
daerah. Faktor manusia ini haruslah baik, dalam pengertian moral maupun
kapasitasnya. Faktor ini mencakup unsur pemerintah daerah yang terdiri dari
Kepala Daerah dan DPRD, aparatur daerah maupun masyarakat daerah yang merupakan
lingkungan tempat aktivitas pemerintahan daerah tersebut.
Faktor kedua adalah faktor keuangan
yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas
pemerintahan Daerah. Salah stu cirri daerah otonom adalah terletak pada
kemampuan self supportingnya / mandiri dalam bidang keuangan.
Karena itu, kemampuan keuangan ini akan sangat memberikan pengaruh terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sumber keuangan daerah yang asli,
misalnya pajak dan retribusi daerah, hasilm perusahaan daerah dan dinas daerah,
serta hasil daerah lainnya yang sah, haruslah mampu memberikan kontribusinya
bagi keuangan daerah.
Faktor ketiga adalah faktor peralatan
yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan
daerah. Peralatan yang ada haruslah cukup dari segi jumlahnya, memadai dari
segi kualitasnya dan praktis dari segi penggunaannya. Syarat-syarat peralatan
semacam inilah yang akan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Faktor keempat adalah faktor
organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan organisasi dan manajemen yang memadai
penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilakukan dengan baik, efisien, dan
efektif.oleh sebab itu perhatian yang sungguh-sunggguh terhadap masalah ini
dituntut dari para penyelenggara pemerintahan daerah.
Sejarah perkembangan Otonomi Daerah
membuktikan bahwa keempat faktor tersebut di atas masih jauh dari yang
diharapkan. Karenanya Otonomi Daerah masih menunjukkan sosoknya yang kurang
menggembirakan.oleh sebab itu apabila kita berkeinginan untuk merealisasi
cita-cita Otonomi Daerah maka pembenahan dan perhatian yang sungguh-sungguh
perlu diberikan kepada empat faktor di atas.
B. Tujuan Penulisan
Dengan adanya otonomi daerah
diharapkan daerah tingkat I maupun Tingkat II mampu mengelola daerah nya
sendiri. Untuk kepentingan rakyat dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
secara sosial ekonomi yang merata.
C. Rumusan Masalah
Makalah ini di buat
dengan rumusan masalah:
1. Apa itu Otonomi
Daerah?
2. Bagaimana Sejarah
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
3. Apa dasar hukum dan
Landasan teori Otonomi Daerah?
4. Apa salah satu yang
paling berperan di dalam Otonomi Daerah?
5. Apa dampak yang di
timbulkan oleh Otonomi Daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi
Daerah
Otonomi berasal dari 2 kata yaitu
, auto berarti sendiri,nomosberarti rumah tangga
atau urusan pemerintahan.Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga
sendiri.Dengan mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka istilah
“mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari
pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah
sendiri.
Ada juga berbagai pengertian yang
berdasarkan pada aturan yang di tetapkan oleh Pemerintahan Daerah. Pengertian
yang memliki kaitan dan hubungan dengan otonomi daerah yang terdapat di dalam
Undang-Undang,yaitu sebagai berikut:
- Pemerintah daerah
yaitu penyelenggaraan urusan di dalam suatu daerah.
- Penyelenggaran
urusan pemerintah daerah tersebut harus menurut asas otonomi seluas-luasya
dalam prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UUD 1945.
- Pemerintah Daerah
itu meliputi Bupati atau Walikota, perangkat daerah seperti Lurah,Camat serta
Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah tertinggi.
- DPRD adalah lembaga
pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD duduk para wakil rakyat yang menjadi
penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD adalah suatu unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
- Otonomi daerah
adalah wewenang,hak dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan
mengatur sendiri urusan pemerintahan dan mengurus berbagai kepentingan
masyarakat yang berada dan menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Daerah otonom
adalah suatu kesatuan masyarakat yang berada di dalam batas-batas wilayah dan
wewenang dari pemerintahan daerah di mana prngaturan nya berdasarkan prakarsa
sendiri namum sesuai dengan sistem NKRI.
- Di dalam otonomi
daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat adalah Presiden Republik Indonesia
sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
B. Sejarah
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
a) Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial
mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan
pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat
dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah
kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini
dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap
yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat
pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat
(zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu
diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak
panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan
kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
b) Masa Pendudukan
Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang
melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina,
sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan
kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah
Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun
berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan
penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda.
Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No.
27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa
Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah
otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
c) Masa Kemerdekaan
1. Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (komite
Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah
yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang
masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota
besar
3) Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur
hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya
terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2. Periode Undang-undang
Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang
otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan
mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah
Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a) Propinsi
b) Kabupaten/kota
besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus
dan mengatur rumah tangganya
sendiri.
3. Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah
otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi
daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga
tingkat, yaitu:
1) Daerah swatantra
tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2) Daerah swatantra
tingkat II
3) Daerah swatantra
tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini
menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat
(1) UUDS 1950.
4. Periode Penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku
pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi
pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah
yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I,
tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa
ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan
pamong praja.
5. Periode
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara
dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
(tingkat I)
2) Kabupaten
(tingkat II)
3) Kecamatan
(tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala
daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya,
menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan
pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh
pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas
memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani
peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam
dan di luar pengadilan.
6. Periode
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah
berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi.
Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah
tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1) Provinsi/ibu
kota negara
2) Kabupaten/kotamadya
3) Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak
pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan
masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip
otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
7. Periode
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi.
Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai
berikut:
1) Sistem
ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2) Daerah yang
dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi
sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah
kabupaten dan daerah kota.
3) Daerah di luar
provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4) Kecamatan merupakan
perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999
banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga
dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8. Periode Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU
No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan
tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan
mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi
dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan
wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi
terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap
kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala
daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.
C. Dasar Hukum Dan
Landasan Teori Otonomi Daerah
1. Dasar Hukum
Tidak hanya pengertian tentang
otonomi daerah saja yang perlu kita bahas.Namun ada dasar-dasar yang bisa
menjadi landasan.Ada beberapa peraturan dasar tentang pelaksanaan otonomi
daerah,yaitu sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
2) Undang-Undang No.32
Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
3) Undang-Undang No.33
Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber keuangan negara.
Selain berbagai dasar hukum yang mengatur tentang otonomi daerah,saya
juga menulis apa saja yang menjadi tujuan pelaksana otonomi daerah,yaitu
otonomi daerah harus bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat
yang berada di wilayah otonomi tersebut serta meningkatkan pula sumber daya
yang di miliki oleh daerah agar dapat bersain dengan daerah otonom lainnya.
2. Landasan Teori
Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi
daerah .
a. Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah yang saya tuliskan di
sini.Asas-asas tersebut sebagai berikut:
· Asas tertib
penyelenggara negara
· Asas Kepentingan
umum
· Asas Kepastian
Hukum
· Asas keterbukaan
· Asas
Profesionalitas
· Asas efisiensi
· Asas
proporsionalitas
· Asas efektifitas
· Asas akuntabilitas
b. Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi
urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya
dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi
maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem
pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan
dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan
perubahan pardigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat
diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya
(dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran
yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan
keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh
program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini
akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh
pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi.
Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial
ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah
secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
c. Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi
sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian sumber daya
dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik
perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan
pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah
pelayanan negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik
yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan
jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan
oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa
banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan
dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi
dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan
diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan
daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak
boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Pertama-
tama, kedua “sasi” itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah
pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak
ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan,
seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi
masyarakat.
D. Pemeran Penting
Dalam Otonomi Daerah
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)
Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya akan
membahas sedikit mengenai APBD.
Keberhasilan otonomi daerah tidak
lepas dari kemampuan bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator
penting dalam menghadapi otonomi daerah. Kedudukan faktor
keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting, karena
pemerintahan daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan
efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan
keuangan inilah yang mrupakan salah satu dasar kriteria untukmengetahui secara
nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan
pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai
proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian
yang terbesar dalammemobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah.
Oleh karena itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam
pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi
otonomi daerah.
Mardiasmo
mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang
hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran
finansial,sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan
suatu anggaran.Mardiasmo mendefinisikan nya sebagai berikut ,anggaran publik
merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu
organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan belanja dan
aktifitasSecara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu
rencana finansial yang menyatakan :
1) Berapa biaya atas
rencana yang di buat(pengeluaran/belanja),dan
2) Berapa banyak dan
bagaimana cara uang untuk mendanai rencana tersebut(pendapatan)
Sedangkan menurut
UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan Negara disebutkan bahwa APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.Lebih lanjut dijelaskan dalam PP No.58 Tahun 2005 tentang
Pengelolahan Keuangan Daerah disebutkan bahwa APBD adlah rencana keuangan
tahunan Pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan
pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber
daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
E. Dampak Otonomi
Daerah
a. Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah
makapemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas
lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah
pusatmendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah
yangberada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak
daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana
tersebut memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta
membangun program promosikebudayaan dan juga pariwisata.
b. Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan
bagioknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat
merugikaNegara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu
terkadang adakebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi
Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah
tetangganya, atau bahkandaerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan
Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan
system otonomi daerah maka pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi jalannya
pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah
membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Beberapa modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan APBD :
1) Korupsi Pengadaan
Barang Modus :
a. Penggelembungan
(mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan
kontraktor dalam proses tender.
2) Penghapusan barang
inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :
- Memboyong
inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
- Menjual inventaris
kantor
untuk kepentingan
pribadi.
3) Pungli penerimaan
pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4) Pemotongan uang
bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus :
- Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya dilakukan
secara bertingkat (setiap
meja).
5) Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari
pemerintah ke pihak luar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat
dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan
dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini
sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila
Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu
program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi
dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang
/badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui
mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak
yang akan terjadi.
B. Saran
Analisis Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah Dalam Mengontrol
Otonomi Daerah:
1. Merumuskan kerangka
hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di tingkat propinsi dan sejalan
dengan strategi desentralisasi secara bertahap.
2. Menyusun sebuah
rencana implementasi desentralisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang
menyangkut penjaminan kesinambungan pelayanan pada masyarakat,perlakuan
perimbangan antara daerah-daerah,dan menjamin kebijakan fiskal yang
berkelanjutan.
3. Untuk
mempertahankan momentum desentralisasi,pemerintah pusat perlu menjalankan
segera langkah desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-sektor yang
jelas merupakan kewenangan Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.
4. Proses otonomi
tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari menteri
negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan
kerjasama dari seluruh bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan
Polkam).
Upaya Yang Menurut Saya harus Dilakukan Pejabat Daerah Untuk
Mengatasi Ketimpangan Yang Terjadi :
1. Pejabat harus dapat
melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat
terdistribusi ke daerah.
2. Pejabat harus
melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan
politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.
3. Pejabat daerah
harus bisa bertanggung jawab dan jujur.
4. Adanya kerjasama
antara pejabat dan masyarakat.
5. Dan yang paling
penting pejabat harus tahu prinsip-prinsip otonomi.
http://susisitisapaah.blogspot.com/2011/03/sejarah-perkembangan-otonomi-daerah-di.html
OTONOMI
DAERAH: makalah OTONOMI DAERAH (riantoivansky.blogspot.com)
30_Marlina
ReplyDeleteArtikelnya cukup bagus, namun untuk penulisannya sedikit berantakan sehingga membuat pembaca kurang nyaman