Penulis : Nur Qalby Nabila Haswadi (nabilaqalby23@gmail.com)
Abstrak
Saat ini Indonesia berada di urutan ke-4 penyumbang kasus positif terbanyak. Untuk penanggulangan dari wabah ini adalah dengan program vaksinasi yang diharapkan dapat membantu mengendalikan dan memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19. Lalu bagaimakah korelasi dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan terkait penanggulangan COVID-19 dan upaya hukum apakah yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam pemberantasan virus COVID-19. Perlu dilakukan upaya penyelarasan perundang-undangan sosialisasi, transparansi atas kegunaan dan resiko vaksinasi COVID-19, lalu apakah mengikuti vaksin ini merupakan suatu hak atau kewajiban akan di jelaskan lebih lanjut dalam artikel ini.
Kata kunci : Vaksin,
COVID-19, Hukum, Hak dan
Kewajiban
Pendahuluan
Melihat
tajamnya kenaikan penyebaran COVID-19 dan bahaya yang akan muncul jika tidak segera ditangani, salah satu cara yang
sangat mungkin untuk mencegah penyebaran virus ini adalah dengan mengembangkan vaksin. Vaksin bukanlah obat. Vaksin
mendorong pembentukan kekebalan
spesifik pada penyakit COVID-19 agar terhindar dari tertular ataupun kemungkinan sakit berat. Selama vaksin yang aman dan
efektif belum ditemukan, upaya perlindungan yang bisa kita lakukan adalah disiplin 3M yaitu Memakai masker dengan
benar, Menjaga jarak dan jauhi
kerumunan, serta mencuci tangan pakai air mengalir dan sabun.
Vaksin
tidak hanya melindungi mereka yang
divaksinasi tetapi juga masyarakat luas dengan mengurangi penyebaran penyakit dalam populasi. Meskipun tidak
ada vaksin untuk SARS dan MERS yang ditemukan,
vaksin COVID-19 dapat ditemukan terlebih dahulu. Pengembangan vaksin
yang aman dan efektif sangat penting
dilakukan karena diharapkan dapat menghentikan penyebaran dan mencegah penyebaran penyakit di masa
mendatang . Selain itu, karena virus menyebar dengan sangat cepat maka diperlukan vaksin yang dapat diterapkan dalam
waktu singkat sehingga dapat meminimalisir dampaknya.
Dalam
menyikapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia turut ikut serta dalam rencana
kegiatan vaksinasi yang akan diberikan kepada masyarakatnya. Pada tanggal 5
Okober 2020, presiden Joko Widodo meresmikan Peraturan Presiden (Perpres)
Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2020 tentang pengadaan vaksin dan pelaksanaan
vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi COVID-19. Rencana kegiatan
vaksinasi tersebut haruslah mempertimbangkan segala aspek, mulai dari aspek kelayakan
vaksin yang akan digunakan, resiko pasca pemakaian, sampai tahapan &
prosedur dari pemberian vaksin hingga nantinya sampai ke masyarakat. Semua
aspek tersebut haruslah dipertimbangkan secara terperinci agar rencana kegiatan
vaksinasi dapat berjalan dengan baik dan terhindar dari hal-hal yang justru
akan merugikan. Rencana kegiatan vaksinasi tersebut juga haruslah
mempertimbangkan berbagai masukan, diataranya adalah dengan melihat bagaimana respon
dan opini masyarakat terhadap wacana vaksinasi tersebut.
Bagaimana
aspek hukum atas vaksin Covid-19 untuk kemudian tanggung jawab Negara berperan dalam
memenuhi kebutuhan untuk seluruh warga Negara mengingat dalam keadaan darurat
yang mana bila masyarakat tidak mampu membeli vaksin tersebut bukan tidak
mungkin akan menjadi korban keganasan Covid-19.
Permasalahan
Salah
satu variabel penting dalam kesuksesan cakupan vaksinasi COVID-19 adalah
penerimaan masyarakat terhadap vaksinasi. Makin banyak masyarakat yang bersedia
divaksin, makin besar cakupannya.Sikap masyarakat terhadap vaksin tidak sesederhana
mengkutub secara jelas antara pro-vaksin dan anti-vaksin. Kepercayaan mereka
terhadap manfaat vaksin merupakan rangkaian yang memiliki gradasi. Ada sebagian
masyarakat yang menerima semua program vaksinasi dan idealnya meyakini
kemanjurannya, sampai ada yang menolak total sama sekali meski vaksinnya sudah tersedia.
Sejumlah opini dibentuk, antara lain tentang bahaya vaksin baru ini, terutama menyangkut efek samping jangka panjang yang belum berbasis bukti hingga terkesan terburu-buru. Pasalnya memang untuk bisa merilis sebuah vaksin biasanya butuh peneliitan serta uji coba selama bertahun-tahun dan bahkan membutuhkan waktu hingga lebih dari satu dekade.
Pendapat lain adalah keraguan yang muncul akibat informasi tentang tingkat efektivitas yang hanya berkisar antara 50-60 persen, sementara uji coba ataupun uji klinis, masih terus berlangsung, adanya konspirasi politik dengan tujuan tertentu, hanya untuk kepentingan bisnis, adanya pelanggaran hak kebebasan publik apabila terjadi 'pemaksaan' untuk wajib divaksin, dan lain sebagainya, merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat keyakinan masyarakat untuk mau divaksin.
Keraguan masyarakat terhadap program vaksinasi virus korona dinilai akibat penyampaian informasi terkait vaksin pencegahan Covid-19 masih belum optimal, responden yang tidak mau vaksinasi Covid-19 ini memiliki sejumlah alasan. Di antaranya takut akan bahaya atau risiko kesehatan, tidak percaya vaksin mencegah penularan, dan meragukan kehalalannya.
Menurut pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiasyah, ada sejumlah alasan di balik sikap penolakan warga, pertama yakni vaksinasi Covid-19 ini kemauan pemerintah yang cenderung mengedepankan kepanikan. Kepanikan pemerintah ini menyebabkan penyampaian informasi terkait vaksin virus korona tidak optimal. Informasi yang minim terkait vaksin cenderung akan mendapat penolakan dari warga. Selain itu ada sejumlah alasan lain seperti kehalalan, risiko dan efek samping, serta vaksin yang berbayar.
Pembahasan
Penanganan
pengendalian Covid-19 telah memasuki tahap penting yakni vaksinisasi. Presiden Jokowi
pun mengambil inisiatif sebagai orang pertama Indonesia yang menerima vaksinasi
Covid-19 jenis sinovac. Vaksinasi Covid-19 akan dilakukan secara bertahap, dan
gratis. Secara yuridis, penolakan terhadap vaksinasi Covid-19 yang merupakan
bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dikenai sanksi
pidana. Penelitian menunjukkan vaksinasi adalah sebuah kontrak sosial karena
vaksinasi merupakan perilaku kooperatif yang dipandang memiliki konsekuensi
moral. Menolak vaksinasi dapat dimaknai sebagai pelanggaran moral, meski tidak harus
selalu berkonsekuensi sanksi secara hukum, akibat dampak yang mungkin
ditimbulkannya.
Berdasarkan
Pasal 15 ayat (2) jo Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan memberikan konstruksi makna “Bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan (vaksinasi adalah bagian dari kekarantina kesehatan) dipidana
dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp. 100.000.000 (Seratus juta rupiah). Berdasarkan pemaparan tersebut,
vaksinasi Covid-19 pada prinsipnya merupakan kewajiban hukum dan bukan merupakan
sebuah hak.
Pada
prinsipnya, setiap orang berhak untuk memilih pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “Setiap orang berhak secara
mandiri bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Covid-19 adalah
sebuah hak individu sebagai bagian pemilihan pelayanan kesehatannya sendiri.
Namun
jika digunakan kontruksi hukum secara sistematis (mengacu pada sistem peraturan
perundang-undangan secara komprehensif) dan kontekstual (kondisi aktual), maka
hak individu terkait vaksinasi Covid-19 akan bertransformasi sebagai hak publik
tatkala dihubungkan dengan kondisi darurat kesehatan dan wabah penyakit menular
yang memiliki implikasi pada pemenuhan hak atas kesehatan bagi masyarakat luas
yang mana konsekuensi tersebut menjadi tanggungjawab konstitusional pemerintah.
Vaksinasi
Covid-19 sebagai bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan solusi
dari wabah penyakit menular merupakan domain hak publik dalam rangka memperoleh
jaminan dan pemenuhan kesehatan. Tanpa adanya (kewajiban) vaksinasi, seseorang
bisa menjadi causa bagi penularan wabah penyakit Covid-19 dan membahayakan hak
masyarakat untuk memperoleh jaminan dan pemenuhan kesehatan.
Penerapan
sanksi pidana pada UU Wabah tersebut hanya berkaitan dengan penyelidikan epidemiologis,
pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina.
Sehingga penerapan sanksi pidana tersebut tidak langsung dijatuhkan dan harus dipilah-pilah
bagi masyarakat luas yang menolak vaksinasi. Dikutip dari webinar dengan narasumber
Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.C.L., M.M. beliau mengatakan bahwasannya orang
yang perlu dijatuhkan sanksi adalah orang yang menghalang-halangi atau
memprovokasi orang lain untuk tidak melakuakan vaksinasi yang merupakan salah satu
upaya untuk membrantas virus COVID 19 ini.
Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa vaksin Covid-19 memiliki aspek hukum yang
patut diperhatikan karena vaksin Covid-19 merupakan hasil olah pikir manusia
yang dalam ilmu hukum dapat memperoleh perlindungan hak eksklusif. Dalam
prespektif hukum vaksin merupkan hak pada setiap individu yang sejalan dengan
ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
Saran
Pemerintah
perlu menjelaskan bahwa bersedia divaksinasi berarti individu mengambil peran untuk
bergotong-royong melindungi orang-orang dari kelompok rentan yang tak mungkin melakukan
hal yang sama. Bersedia divaksinasi adalah kewajiban moral bagi setiap individu.
Daftar Pustaka
Dr. I Nyoman Prabu Buana Rumiartha, S. M. (2021). MAKNA
HUKUM PADA PRINSIP TATA KELOLA PERSPEKTIF PENGADAAN VAKSIN DAN PELAKSANAAN
VAKSINASI COVID-19. Raad Kertha .
Gandryani, F. (2021). PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-19 DI
INDONESIA:. Jurnal RechtsVinding.
Kementerian
Kesehatan, Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronaviruses Disease
(Covid-19) (Jakarta: Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit, 2020)
Pasal
5 Ayat 3 UU 36/2009 tentang Kesehatan
WHO.
Weekly Operational Update on COVID-19. 2020.
34_Tasya
ReplyDeleteartikel ini sangat baik dalam segi isi maupun penulisan. artikel ini juga dapat menambah wawasan karena berisi tentang kewajiban yang dimiliki setiap masyarakat untuk melakukan vaksin sehingga dapat membantu pemerintah dalam mengurangi penyebaran virus covid-19 ini.
14_Indah
ReplyDeleteDalam artikel ini menurut saya penulisan daftar pustaka kurang lengkap namun artikel sangat menambah pengetahuan kita terhadap kewajiban hukum vaksinasi bagi masyarakat kita.